Pertemuan.

“Tepatnya pukul 9 malam, seorang mayat ditemukan dalam kondisi tanpa kepala. Lagi-lagi seorang polisi yang tengah berjaga pada malam harilah yang menjadi korban kali ini. Polisi masih berusaha untuk menemukan jejak pelaku yang sampai saat ini belum ditemukan keberadaannya—”

PIIIPPP ....

Anne langsung mematikan radio mobilnya saat suara radio tersebut mulai menyiarkan berita soal kasus pembunuhan yang tidak lain dilakukan oleh Jeffry, suaminya.

Pagi yang sangat berantakan. Dibuka dengan sarapan pagi yang hening dan sunyi. Tidak ada perbincangan seperti biasanya, semuanya bungkam layaknya masing-masing bibir mereka sudah terjahit rapat-rapat. Hanya Luna yang mengoceh pagi itu. Mengoceh tentang mimpi indahnya semalam. Luna yang tiba-tiba menjadi putri kerajaan, lalu ada seorang pangeran tampan yang selalu mendampinginya. Yaa .... Walaupun tatapan Anne kosong waktu itu, setidaknya ia masih bisa meresapi apa yang putrinya itu katakan.

Sejak kejadian semalam, membuat hubungan Anne dan Jeffry mulai merasa canggung. Ini bukan hanya firasat Anne saja. Terlihat jelas dari sikap mereka pagi ini yang enggan membuka pembicaraan. Kalau kemarin Anne dan Jeffry masih bersikap hangat layaknya suami-istri yang saling mencintai. Tapi kini berbanding terbalik. Seolah mereka hanyalah sepasang suami-istri yang tidak memiliki rasa, namun dipaksa untuk menikah atas dasar perjodohan.

Bahkan semalam, Jeffry tidak tidur disamping Anne.

Ditengah dirinya yang sedang menyetir mobil, Anne berpikir keras. Apakah tindakannya kali ini sudah benar? Apakah dengan memilih untuk bungkam semua akan baik-baik saja? Atau justru sebaliknya? Kalau nanti ketahuan, apakah Jeffry akan pergi? Dan otomatis keluarganya akan hancur?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu sontak memenuhi otak Anne saat ini. Sampai rasanya kepalanya mau meledak saking banyaknya pikiran dan beban yang Anne tanggung demi keluarga kecilnya. Jeffry dan Luna, keduanya sangat berarti bagi Anne. Persetan dengan identitas suaminya yang transgender. Anne tidak peduli. Meskipun dicap menyukai sesama jenis pun, Anne akan tetap mencintai Jeffry sebagai Jeffry. Bukan sebagai Steff.

Sebegitu besarnya rasa cinta Anne pada Jeffry. Sampai maut datang pun, Anne tidak akan menyesal pernah mencintai lelaki yang bisa membuat hidupnya bahagia dan nyaman. Tapi pedihnya, kini kebahagiaan itu perlahan menghilang dari diri wanita pemilik nama asli Elaine Khalida. Dan yang melenyapkan kebahagiaan itu justru suami tercintanya sendiri.

BRUAAAKKKK!!!

Mobil Anne tidak sengaja menabrak motor yang tengah menyebrang didepannya. Membuat motor tersebut terseret sepanjang 1 meter.

“Ya Tuhan ....” Anne mengusap wajahnya untuk menyadarkan dirinya dari lamunan. Anne merutuki dirinya sendiri karena sudah membuat paginya semakin berantakan.

Tanpa basa-basi, Anne langsung meminggirkan mobil putihnya lalu turun dan menghampiri orang yang baru saja ia tabrak tadi.

“Mas ... Mas nggak papa?” Tanya Anne khawatir.

Nampak sosok lelaki tinggi dengan jaket denimnya yang sedang berusaha membangunkan motornya.

“Nggak papa kok bu. Cuma keseleo aja kaki saya.” Ucap lelaki itu dengan nada enteng.

“Haduuhhh mas saya minta maaf ya. Tadi saya nggak lihat kalo mas mau nyeberang. Saya anter ke rumah sakit ya?” Tanya Anne dengan perasaan bersalah memenuhi hatinya saat ini.

“Nggak usah bu. Ibu ini mau berangkat kerja kan? Nanti kalo ibu nganter saya ke rumah sakit, ibu jadi telat meetingnya.” Tutur lelaki yang sampai sekarang identitasnya belum diketahui.

Anne seketika mengernyitkan dahinya, “Kok mas tahu kalo saya abis ini ada meeting?”

Lelaki tersebut justru tertawa pelan, “Cuma nebak aja kok bu.”

Anne menghela napas panjangnya. Baru kali ini ia ketemu orang yang ditabrak tapi orangnya tidak marah atau memaki dirinya. “Tapi saya nggak bisa ninggalin mas tanpa kasih imbalan apa-apa. Disini saya yang salah. Saya harus tanggung jawab atas kesalahan saya mas.”

Lelaki itu nampak berpikir sejenak. Terik matahari yang mulai membakar kulit, membuat Anne kehabisan kesabaran hanya menunggu jawaban dari lelaki yang tidak ia kenal ini. Oh ayolah, jangan membuat Anne ingin menjemput bulan yang tengah tertidur. Anne sangat ingin cepat-cepat menyambut malam, sehingga ia bisa tidur dan melupakan hari yang sangat tidak mengenakkan ini.

“Yaudah gini aja bu. Ibu kasih saya uang buat beli bensin aja. Kebetulan bensin saya tinggal dikit.” Pada akhirnya lelaki yang masih mengenakan helm full face itu bersuara.

“Ok kalo itu mau mas. Tapi saya nggak punya cash. Jadi nanti saya suruh sekretaris saya buat transfer ke rekening mas ya.” Kata Anne yang mengiyakan permintaan lelaki tersebut tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin segera pergi dari sini, karena 15 menit lagi meeting paginya akan dilaksanakan.

“Bisa diatur bu.”

“Saya boleh minta nomor rekening sama nomor handphone mas.”

Lelaki itu hanya menurut. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menyebutkan beberapa nomor yang diminta oleh Anne tadi.

“Ok udah saya simpan ya mas. Oh ya, mas namanya siapa?” Tanya Anne untuk memastikan.

Lelaki tersebut kemudian melepaskan helmnya. Saat helm full face itu terlepas, kini Anne bisa melihat secara jelas wajah lelaki yang ditabraknya tadi. Persis seperti wajah seorang pangeran diceritakan oleh putrinya. Tampan. Dengan alis yang tebal dan tajam, wajah yang kecil, serta dagu yang sedikit runcing. Definisi dari wajah tampan yang sempurna.

“Tio ... Nama saya Tio.” Ujar lelaki bernama lengkap Prasetyo Hariska itu dengan senyuman yang merekah dibibirnya.

—To Be Continued—
jaemtigabelas