Sikap Jeffry akhir-akhir ini sempat membuat Anne pusing tujuh keliling. Layaknya air yang mengalir tenang tiba-tiba beku karena terkena suhu udara yang sangat dingin. Dari kemarin Anne tidak bisa tidur tenang. Selalu terbangun tengah malam dan mendapati tempat di samping tempat tidurnya itu kosong. Tidak ada kehadiran Jeffry disana.
“Ann.”
Anne sontak menegakkan kepalanya saat suara berat sang ayah membuyarkan lamunannya. Kini mereka sedang makan siang bersama di cafe dekat taman kota. Hanya sekedar memesan roti kering dan Americano, sudah membuat Anne kenyang. Entah, akhir-akhir ini ia kehilangan selera makannya.
Wanita dengan kemeja yang selaras dengan warna rambutnya itu sedari tadi hanya memandangi roti yang ada di depannya tanpa menjamah sedikitpun. Berbanding terbalik dengan Pak Josh yang saat ini tengah memakan lahap paha ayam yang ia beli di toko cepat saji di samping cafe tempat mereka duduk saat ini. Mungkin karena menu cafe tidak sepadan dengan daya tampung perutnya.
“Kok malah bengong. Kamu mikirin apa?” Tanya Pak Josh dengan mulut yang hampir penuh dengan daging ayam. Saking penuhnya beliau lalu mengambil minuman coca cola yang ada disampingnya untuk melancarkan makanan yang beliau kunyah agar bisa masuk ke dalam perutnya dengan lancar.
Anne tersenyum kecut. Ayahnya tidak tahu menahu tentang apa yang dialaminya selama ini. Punya suami yang ternyata mempunyai jiwa psikopat, penuh dendam, rumah tangga yang hampir retak. Ayahnya itu tidak pernah tahu kalau sang putri saat ini sedang membutuhkan pertolongan.
“Dad ... I wanna ask you something,” Tanya Anne dengan aksen britishnya.
“Iya tanya apa? Kamu dari tadi bilang mau tanya terus tapi nggak tanya tanya ke ayah.” Heran Pak Josh dengan sikap Anne yang sedikit aneh belakangan ini.
Anne mengulum bibirnya sejenak. Mulutnya tiba-tiba merasa sangat pahit untuk berbicara. Anne sedikit ragu apakah ayahnya ingin mendengar pertanyaan ini atau tidak. Tapi mau bagaimana lagi? Anne harus cepat-cepat menemukan titik terang supaya Jeffry tidak menelan korban lagi dan tidak memiliki dendam kepada sang ayah.
“Ini soal Pak Rudy,”
Mendengar nama yang tidak asing di telinga, membuat senyuman Pak Josh perlahan memudar. Sorot mata yang awalnya ceria berubah menjadi sendu dan sangat serius. Sudah Anne duga.
“Sahabat ayah yang dihukum mati beberapa tahun yang lalu karena kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap artis papan atas.” Imbuh Anne dengan pandangan yang seolah menuntut sebuah penjelasan.
Detik selanjutnya bukannya menjawab, Pak Josh malah terkekeh pelan mendengar pertanyaan dari putri semata wayangnya itu, “Kok tiba-tiba banget? Orangnya udah nggak ada, Ann. Apa yang mau ditanyain coba?”
“Ayah inget nggak, Anne pernah cerita soal mimpi Anne?” Wanita berparas cantik itu mengalihkan pandangannya sejenak. Kedua mata Anne terpejam sambil berdo'a supaya sang ayah kali ini percaya, “Mimpi itu benar-benar nyata, yah.”
Dahi Pak Josh seketika berkerut bingung. Pelan-pelan mencoba mengingat kapan dan dimana Anne cerita tentang mimpi buruknya. Bukannya tidak ingat kronologinya, hanya saja Pak Josh mengira kalau Anne saat itu hanya sekedar mimpi yang tidak memiliki arti apa-apa di dalamnya.
“Mimpi apa kamu emangnya?” Tanya Pak Josh yang sedikit terdengar seolah-olah ia belum bisa percaya dengan kalimat sang putri barusan.
“Ayah bakal percaya kalo Anne pernah mimpiin psikopat yang paling di takuti se negara ini?” Anne sedikit ragu dengan reaksi sang ayah selanjutnya saat mendengar pertanyaan tidak masuk akal ini.
Benar saja, Pak Josh kembali menunjukkan rentetan gigi putihnya dengan bahu yang naik-turun. Tertawa tanpa suara. Nampaknya Pak Josh masih belum bisa menerima semua penjelasan dari Anne. Membuat wanita yang sebentar lagi memasuki kepala tiga itu hanya bisa menghela napas pasrah.
“Ada-ada aja kamu tuh Ann, Ann.” Pak Josh lalu mengecek jam tangannya, “Udah ah, Ayah lagi banyak kerjaan. Nanti dilanjutin lewat chat aja, ya.” Katanya sebelum beranjak dari tempat duduknya.
“Anne serius, yah.” Anne sudah tidak tahu harus bagaimana supaya ayahnya percaya kalau semua mimpinya benar-benar menjadi kenyataan sekarang.
Terlihat Pak Josh kembali menghadap Anne yang tengah menatapnya dengan tatapan penuh keseriusan dan penuh kepasrahan. Entah itu karena sedikit penasaran atau hanya karena kasihan, sehingga Pak Josh lebih memilih untuk tetap stay di tempatnya.
“Waktu Anne suruh ayah buat jagain Tante Airin, itu kenapa Anne bisa tahu kalo Tante Airin dalam bahaya?” Anne menjeda kalimatnya, “Itu karena Anne pernah mimpiin kejadian itu sebelumnya, yah.”
“Kalo Anne nggak bilang ke ayah soal itu ... Tante Airin sekarang udah mati, yah. Persis sama kayak apa yang ada di dalam mimpi Anne.”
“Bentar-bentar.” Pak Josh langsung memotong kalimat Anne. Dari sorot matanya, nampaknya beliau mulai percaya. “Jadi maksud kamu, mimpi kamu benar-benar kejadian?”
Wanita bersurai hitam legam itu mengangguk pelan namun yakin. Mencoba untuk meyakinkan sang ayah kalau yang ada dipikiran lelaki beruban itu adalah benar.
“Tapi kenapa bisa-”
Kini Anne menggelengkan kepalanya pelan. Ia sendiri pun masih belum mengerti darimana asal mimpi itu? Kenapa harus dia yang menerima mimpi buruk itu? Dan yang paling yang bikin penasaran, kenapa dia yang harus menerima nasib seperti ini?
“Anne juga nggak tahu, yah. Anne udah pergi ke psikiater. Katanya Anne ngalamin Precognitive Dream dimana mimpi yang kita alamin bisa jadi kenyataan. Dan sekarang Anne ngerasain itu.”
Tubuh Pak Josh mulai terasa berat, kepalanya begitu pening saat ini. Pak Josh lalu melemaskan tubuhnya bersandar pada badan kursi. Beliau sangat bingung harus berkata apa. Karena jujur, saat ini Pak Josh antara percaya dan tidak percaya dengan semua penjelasan dari Anne. Ini sangat tidak masuk akal baginya.
“Makanya Anne sengaja ajak ayah makan siang buat tanya soal Pak Rudy. Ini ada sangkut pautnya sama psikopat yang udah menelan banyak korban, yah.”
“Iya ayah tahu.” Jawab Pak Josh singkat sambil memijat kepalanya yang sangat pening.
Anne mngernyitkan dahi, “Ayah tahu?” Tanya wanita itu sedikit ragu.
Pak Josh menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, “Selama ini ayah terus-terusan diterror sama psikopat bajingan itu, Ann. Seakan-akan ayah ini penyebab semua rekan kerja ayah mati. Dan ayah ngerasa kalo ayah ini pengecut. Sampe sekarang aja ayah masih belum bisa tangkap bajingan gila itu.” Jelas Pak Josh dengan raut wajah kesal dan geram. Geram dengan dirinya sendiri dan psikopat itu-yang tak lain adalah menantunya sendiri-.
“Kenapa ayah nggak pernah cerita?” Anne mulai frustasi. Pasalnya, sang ayah tidak pernah cerita kalau selama ini beliau diterror oleh Jeffry. Membayangkannya saja membuat Anne merinding. Pasti ayahnya tidak bisa menjalani hidup dengan tenang. Maka dari itu, wajar kalau Anne begitu kesal sekarang. Rasa bersalah memenuhi relung hatinya sekarang.
Anne semakin heran saat melihat sebuah senyuman mengembang di mulut ayahnya saat ini. Tatapannya yang tetap tenang, seakan dunia sedang berpihak padanya, membuat Anne semakin bingung. Apakah ia harus panik atau bersikap biasa saja saat melihat sorot mata ayahnya itu.
“Ayah nggak papa. Terror doang lagian. Apa yang harus ditakutin? Yang pantes ditakutin tuh cuma Tuhan. Ngapain kita takut sama manusia yang pada dasarnya sama-sama makan nasi.” Tutur Pak Josh dengan nada tenangnya.
“Ini bukan masalah sepele, yah.” Anne sontak menggenggam tangan Pak Josh, “Kita harus menemukan titik terang soal kasus ini. Sekarang ayah ceritain semua tentang hubungan ayah sama Pak Rudy. Kenapa Pak Rudy bisa dihukum mati? Jelas-jelas Pak Rudy nggak bersalah.”
Pak Josh menatap sekeliling cafe yang sedikit ramai pengunjung itu. Antara enggan untuk menjelaskan pada Anne tentang semua yang sudah terjadi, atau terlalu bingung harus memulai dari mana. Karena ini terbilang topik yang sangat rumit jika djelaskan dengan kata-kata.
“Sebenarnya ayah bingung apa yang harus ayah akui, Ann. Ayah udah lakuin yang terbaik. Ayah udah berjuang biar sahabat ayah bisa bebas dari hukuman. Tapi nggak bisa. Bukti udah benar-benar kuat menjuru ke sahabat ayah. Dan psikopat itu terus-terusan nuntut ayah untuk mengakui dosa-dosa ayah di masa lalu. Ayah bingung sebenarnya. Ayah ngerasa nggak melakukan kesalahan apa-apa.”
Anne kembali mengernyitkan dahi, “Bukti? Jadi Pak Rudy dihukum mati karena bukti udah kuat mengarah ke beliau? Bukan karena ayah yang bungkam dan nggak mau kasih kesaksian?”
Tanpa diduga, Pak Josh terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. “Semua orang berpikiran gitu tentang ayah, Ann. Tapi ayah berani bersumpah di hadapan Tuhan, kalo ayah nggak terima suap darimana pun. Rekan-rekan kerja ayah hampir semua terima dana suap itu. Tapi ayah nggak pernah sudi terima dana itu, bahkan lihat aja ayah udah jijik. Ayah nggak mungkin ngekhinatin sahabat yang udah bantuin ayah sampai ayah ada di titik ini.”
Tatapan Anne berubah kosong. Memandang jauh ke depan dengan pikiran yang bercabang kemana-mana. Kepalanya terasa mau meledak. Dadanya mulai sesak, ada orang yang setega itu untuk menjatuhkan orang lain? Sekalinya hukum bertindak, dunia hancur seketika.
“Yah,” Anne memanggil sang ayah.
“Hmm?” Sahut Pak Josh kemudian.
“Siapa dalang dibalik semua ini? Siapa yang tega bikin Pak Rudy yang nggak bersalah itu harus menanggung semuanya? Mereka nggak mikir apa, nasib istri sama anaknya gimana nanti? Lihat sekarang, keluarga Pak Rudy hancur kan yah. Istrinya bunuh diri, anaknya nggak tahu perginya kemana? Sekarang siapa yang salah, yah? Si pelaku yang sebenarnya? Si orang yang memfitnah Pak Rudy dan membuat beliau harus dihukum mati? Atau hukum yang patut disalahin juga disini, yah-”
“Besan kamu.” Potong Pak Josh tiba-tiba.
“Apa?” Anne menatap sang ayah bingung.
“Dalang dibalik semua ini Pak Adhi, Ann.”
Anne langsung menutup mulutnya yang menganga lebar. Benar-benar terkejut dengan penuturan sang ayah barusan. Ayahnya tidak sedang bercanda kan?
“Kalo kamu nggak percaya nggak papa. Ayah juga nggak punya bukti-”
“Anne percaya.” Ucap Anne penuh penekanan, “Apapun yang keluar dari mulut ayah ... Anne percaya., yah”
Pak Josh kemudian tersenyum miring, “Terima kasih sayang.”
“Tapi kenapa Pak Adhi ... Kenapa beliau?”
Pak Josh mengedikkan bahunya tidak tahu, “Ayah juga kurang tahu, Ann. Yang ayah tahu, Pak Adhi kerja sama sama anak dari pengusaha batu bara. Dia adalah pelaku pemerkosaan artis papan atas itu, Ann. Tapi entah kenapa, Pak Adhi justru memfitnah sahabat ayah ini. Sampai sekarang yang ayah belum ketemu titik terang cuma itu, Ann.”
“Sekarang dimana anak pengusaha batu bara itu yah?”
“Udah mati. Mati di apartemennya dalam keadaan telanjang penuh darah, penuh sayatan, dan tanpa kepala. Bisa dipastikan ini ulah psikopat itu.”
Lemas Anne kemudian. Seolah dirinya tidak diberi kesempatan untuk memasok udara banyak, Anne dibuat terkejut beberapa kali. Jadi selama ini Jeffry salah. Ia menganggap kalau Pak Josh ikut andil dalam dalang dihukum matinya Pak Rudy. Padahal faktanya, justru Pak Adhi lah yang membuat Pak Rudy dipenjara dan dihukum mati. Meninggalkan keluarga yang kini sudah hancur.
Bisa dibilang Jeffry salah sasaran.
“Tapi, Ann ....” Ucap Pak Josh tiba-tiba, “Kalo kamu mimpiin psikopat itu, kamu pasti tahu pawakan psikopat itu kan?”
Skak mat kamu Ann. Kamu harus jawab apa?
“Kamu bisa kasih tahu ayah siapa psikopat itu? Biar ayah bisa langsung tangkap bedebah gila itu, Ann.”
Anne menggigit bibir bawahnya. Apa yang harus ia lakukan? Jujur wanita itu kini amat sangat bingung. Apakah Anne jujur saja pada sang ayah kalau suaminya lah psikopat yang udah membunuh rekan-rekannya selama ini, sehingga beliau bisa tangkap Jeffry dan semua akan berakhir? Tapi bagaimana dengan nasib keluarga kecilnya? Anne tidak mau akhir dari mimpi buruknya benar-benar menjadi kenyataan. Bayangan detik-detik Jeffry yang akan dihukum mati. Saat lelaki itu jujur soal perasaannya untuk yang terakhir kalinya, langsung berputar mengelilingi otaknya.
Kalau boleh memilih, lebih baik Anne pergi dari cafe tersebut dan menabrakkan diri ke mobil yang sedang melintas, dari pada ia harus berada disituasi seperti ini.