Akhir cerita.
Dari dulu Luna dibuat penasaran oleh pertanyaan bagaimana rasanya bisa disambut ibu setiap pulang sekolah? Bagaimana rasanya dibuatkan bekal oleh ibu menggunakan tempat yang super lucu dan bisa pamer ke teman-teman sekolah? Bagaimana rasanya dicium keningnya oleh ibu sebelum tidur? Luna tidak bisa mendekripsikan nya.
Selama sepuluh tahun ini, Luna hidup bersama dengan kakek nya. Ayah dari sang bunda yang sangat menyayangi nya. Setiap Luna pulang sekolah, sang kakek selalu menyambutnya dengan pelukan hangatnya. Dan kakek nya lah yang menyiapkan bekal sebelum gadis tujuh belas tahun itu berangkat sekolah.
Ada rasa iri ketika teman-teman nya dengan terang-terangan menceritakan kisah ibu mereka di depan Luna. Alhasil gadis remaja itu hanya bisa menyembunyikan kesedihan nya. Tidak ada yang tahu soal sang bunda yang sudah lama mendekam di rumah sakit jiwa.
“Kakek tunggu disini ya.” Ujar Pak Josh yang walau sudah beruban dan kulitnya mulai menunjukkan keriput, tapi masih terlihat gagah dan tampan.
“Loh katanya mau ketemu bunda. Kok Luna malah masuk sendiri.” Gerutu Luna dengan raut wajah kesal namun masih terlihat menggemaskan di mata sang kakek.
“Gantian. Nanti kakek masuk kalo kamu udah selesai.”
Kakek nya itu kadang susah ditebak. Yang dari awal ngajak jenguk siapa, tapi justru dirinya yang disuruh masuk sendiri. “Yaudah.”
Luna kemudian menggeser pintu bangsal yang ada di depannya itu. Menampakkan wanita dengan baju rumah sakit jiwa pada umumnya, duduk di atas kasur menghadap jendela. Sudah sebulan Luna tidak menjenguk sang bunda. Bukan apa-apa, hanya saja peraturan rumah sakit jiwa yang mewajibkan hanya bisa menjenguk sebulan sekali.
“Bunda. Luna datang.” Sapa Luna pada Anne-bundanya-.
Wanita itu tidak menyahut. Hanya menatap kosong ke depan dengan tatapan nya yang sayu. Tubuhnya semakin kurus tidak terawat. Rambutnya yang sudah mulai memutih itu sangat berantakan. Luna seketika melirik gelas beriisi susu yang pecah di lantai, bisa dipastikan kalau bundanya habis meraung tidak jelas. Kedua tangan Anne dipasang rantai yang dikaitkan di tiang kasur supaya wanita itu tidak melakukan hal buruk yang mengancam nyawanya sendiri.
Luna menengadahkan kepalanya sejenak. Sebisa mungkin air matanya tidak jatuh. Melihat kondisi bundanya yang tidak ada kemajuan, hati Luna seakan ditusuk pedang seratus kali.
“Luna kangen bun. Bunda gimana kabarnya?” Bodohnya Luna. Sudah jelas-jelas bundanya tidak baik-baik saja.
Gadis berparas cantik seperti bundanya itu seolah berbicara seorang diri. Pasalnya, sampai sekarang Anne masih membisu. Seakan bibirnya dijahit sangat rapat. Tapi Luna tidak menyerah untuk mendapatkan perhatian Anne, gadis itu lalu menggenggam tangan sang bunda.
“Inget nggak bun, dulu bunda selalu marah-marah tiap Luna telat bangun buat sekolah? Sekarang Luna udah nggak telat bangun lagi bun. Ayahnya bunda itu galak banget. Lebih galak dari bunda. Kalo Luna ketahuan begadang terus bangun siang nih, siap-siap sapu melayang ke badan Luna. Nggak kayak bunda yang bangunin Luna pake cium. Jadi kangen deh.” Luna tersenyum kecut. Ini bukan pertama kami ia mengatakannya pada sang bunda. Setiap kali berkunjung, Luna pasti akan membuka percakapan menggunakan template kalimat seperti ini. Niatnya berusaha agar bundanya bisa menjadi seperti dulu. Bunda yang selalu menjaganya.
“Bun. Luna nggak nuntut bunda buat sembuh sekarang juga. Luna bakal tetap disini sampai bunda sembuh. Ayah ... pasti juga merindukan bunda di atas sana persis seperti Luna merindukan bunda.”
Anne tetap tidak berkutik. Ingin rasanya Luna menyerah, berkali-kali Luna dibohongi oleh harapannya sendiri. Namun, setiap malam pasti gadis itu akan merindukan orang tuanya. Bunda Anne, Ayah Jeffry, Luna masih mengingat semua momen kebersamaan mereka waktu mereka masih menjadi keluarga yang utuh. Dan Luna sangat ingin kembali ke momen itu.
“Cepet sembuh ya bun. Biar kita bisa ketemu ayah bareng. Ayah sedih banget loh tiap Luna dateng sendiri ke makam nya.” Gadis itu tersenyum lirih menatap sang bunda dengan nanar. Begitu hebatnya Luna sampai sekarang ia tidak mengeluarkan air matanya sedikitpun. Padahal di dalam hatinya ia ingin menjerit.
Beginilah kehidupan Luna yang terbilang jauh dari kebahagiaan. Ayah kandungnya di penjara, ayah angkatnya sudah tiada, dan bunda angkatnya yang berakhir menjadi gila. Tidak ada yang lebih hancur dari perasaan gadis yang beberapa hari yang lalu baru menginjak tujuh belas tahun itu. Disaat teman-temannya sibuk mengatur waktu untuk berlibur bersama ibu serta ayah mereka, tapi tidak dengan Luna. Disaat libur musim panas, Luna pasti menyempatkan diri untuk pergi ke penjara, makam, dan rumah sakit jiwa. Tempat yang tidak disukai oleh semua orang.
“Yaudah Luna mau pulang dulu ya bun. Bulan depan Luna ke sini lagi. Pokoknya waktu Luna ke sini nanti, bunda harus udah gendut ya.” Ancam Luna yang terdengar seperti anak kecil yang kesal karena tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya.
Tangan mungil itu terangkat untuk membawa surai sang bunda ke belakang daun telinganya, supaya dirinya bisa jelas melihat kecantikan bundanya yang tidak sirna sedikitpun. Bundanya akan selalu cantik seperti bidadari tanpa sayap.
Cup .... Luna mengecup pipi sang bunda dengan sayang, begitu lama, seolah ini adalah saat terakhir ia bertemu dengan Anne. Air matanya terjatuh bebas menyentuh permukaan kulit Anne. Merasa kedua matanya mulai basah, Luna menjauhkan bibirnya dari pipi sang bunda.
“I Love you, bunda.” Bisik Luna parau.
Gadis itu beranjak dari duduknya dan melangkah pergi. Dadanya terasa semakin sesak. Padahal sudah sering Luna berkunjung menemui Anne, tapi hatinya masih merasakan sakit yang teramat dalam.
Saat ia keluar dari ruangan gelap itu, tangisan Luna tidak terbendung lagi. Tepat di depan sang kakek yang tengah berdiri di hadapannya itu, Luna menangis sejadi-jadinya. Pak Josh langsung memeluk daksa cucu kesayangannya lalu menepuk pelan punggung gadis itu. Luna meluapkan semua yang mengganjal di dadanya melalui tangisan itu. Di pelukan sang kakek, Luna berubah menjadi rapuh.
“Udah berhenti nangis nya?” Tanya Pak Josh ketika tangisan Luna mulai mereda.
Gadis cantik itu melepaskan pelukan kakeknya. Ia hanya mengangguk pelan sambil menghapus jejak air matanya.
“Yaudah, kamu sekarang ke mobil dulu ya. Nanti kakek nyusul.”
“Kakek mau kemana?” Tanya Luna dengan sedikit sesegukan.
“Kakek mau ketemu bunda kamu dulu.”
Luna setengah berbalik menatap sang bunda yang masih setia pada posisinya itu, lalu kembali menatap sang kakek. “Kakek yakin mau ketemu bunda?”
“Tadi yang ngomelin kakek gara-gara nggak mau masuk siapa?”
“Ya Luna sih. Tapi pas terakhir kali Kakek jenguk bunda, Luna masih inget, bunda kayak orang kesurupan kek.”
Pak Josh seketika tersenyum lebar. Kalimat tersebut bukanlah lelucon belaka, cucunya itu berkata jujur. “Udah setahun kakek nggak jenguk bunda kamu. Kakek nggak mau dicap jadi ayah durhaka, nak.” Jawab beliau diiringi tangannya yang mengusap surai halus sang cucu.
Pada akhirnya Luna hanya menurut. Gadis itu berjalan meninggalkan kakeknya seorang diri dan menuju parkiran mobil. Setelah kepergian Luna, Pak Josh meraih kenop pintu. Lelaki gagah itu menghela napas sejenak, menyiapkan hatinya untuk bertemu dengan putri semata wayangnya itu. Kalau kalian ingin tahu, ketika Pak Josh membuka pintu ini, seakan dirinya membuka gerbang menuju neraka.
Pak Josh mulai masuk ke dalam. Ruangan tersebut sepi dan sedikit gelap. Hanya ada satu lemari, satu meja, dan satu kasur di dalam ruangan satu petak itu. Jika dulu kamar sang anak didominasi oleh warna pink dan di dekor dengan begitu cantik, kini kamar yang harus Anne singgahi justru berbanding terbalik.
“Ann ....” Panggil Pak Josh sedikit ragu. Beliau tidak yakin, jika setelah ini putrinya akan memeluknya sambil menunjukkan senyum sumringahnya.
Kali ini, Anne merespon. Wanita itu hanya melirik tajam ke arah sang ayah, seperti melirik musuhnya sendiri. Raut wajah yang awalnya datar, perlahan berubah menjadi amarah yang menggebu-gebu.
“PERGI!!!!” Jerit Anne mendorong keras tubuh ayahnya.
Beberapa pukulan Pak Josh dapatkan dari Anne, bukan pukulan sayang, melainkan pukulan kebencian. Sakit, tapi lelaki berusia lima puluh itu tidak goyah. Beliau masih tetap berdiri tegak dengan menahan tangisannya.
“NGAPAIN KALIAN KE SINI, HAH? DIMANA JEFFRY?!!!” Dengan racauan tidak jelas itu, Anne berdiri dan langsung mencengkram kerah baju Pak Josh. Seperti menantang ayahnya sendiri. “JAWAABBBB!!! DIMANA SUAMI SAYAAAAA???!!!”
Jeritan itu mampu membuat perasaan Pak Josh hancur. Tidak bisa didefinisikan, tapi kalian bisa bayangkan seorang ayah dibentak putrinya seperti orang yang tidak saling kenal.
“Anne-” Pak Josh mencoba untuk memeluk Anne, namun wanita itu menolak mentah-mentah.
“KALIAN ITU SETAN TAHU NGGAK?!! KALIAN ITU ANJING! POLISI SAMPAH!! PERGI DARI SINI!!!” Anne semakin menjadi-jadi. Ia meninju dada Pak Josh berkali-kali dan ritmenya sangat cepat. Sungguh, Anne tidak sadar kalau yang dipukulnya ini adalah ayah kandungnya sendiri.
Tugas seorang ayah adalah selamanya ada disisi anaknya sampai ajal memisahkan, walau situasinya seberat apapun. Melihat Anne yang amat sangat membencinya, Pak Josh ingin menangis. Ia merindukan putrinya yang manja kepadanya, yang merengek meminta dibelikan ice cream, yang menangis saat terjatuh. Pak Josh merindukan sosok Anne yang dulu.
Semenjak Jeffry ditembak mati oleh para polisi, membuat mental Anne menjadi sangat terganggu. Awalnya hanya berhalusinasi kalau Jeffry masih hidup, tapi semakin lama, ia tiba-tiba menjerit sendiri, menangis sendiri, dan tertawa sendiri. Parahnya lagi, setiap Anne bertemu dengan polisi, ia tidak segan-segan mengambil benda tajam yang ada di dekatnya lalu melukai polisi tersebut. Termasuk ayahnya sendiri.
Dan inilah alasan Pak Josh mau tidak mau harus memasukkan Anne ke rumah sakit jiwa.
Dikala Anne yang masih memukuli dadanya, Pak Josh memaksakan diri untuk memeluk sang putri. Walau wanita itu meronta habis-habisan karena tidak mau dipeluk, Pak Josh masih tetap memeluk Anne dengan sangat erat.
Mendengar suara jeritan yang sangat keras, para suster yang berjaga disana datang untuk menenangkan Anne. Namun saat suster tersebut baru masuk, Pak Josh mengangkat tangannya, menandakan jangan mendekat dulu. Beliau bisa atasi ini semua.
“Sayang, ini ayah ... Ini ayah, sayang.” Ucap Pak Josh seraya mengusap kepala sang anak. “Ini ayah, nak.”
Sepertinya kalimat tersebut sangat ampuh, dilihat Anne yang perlahan mulai tenang. Sebenci apapun seorang anak, dan se enggak kenalnya seorang anak, ia pasti memiliki ikatan batin dengan orang tuanya. Anne merasakan itu. Ada gejolak yang menyuruhnya untuk tenang. Suara ayahnya yang parau itu, Anne tidak akan bisa lupa.
Kedua bahu Pak Josh bergerak naik turun. Ya, lelaki tua itu menangis. Persetan dengan harga dirinya sebagai lelaki. Karena tidak ada yang mengerti betapa hancurnya ia sebagai seorang ayah. Tidak ada yang bisa Pak Josh lakukan selain menangis untuk saat ini.
“Ayah ....”
Pak Josh terpaku seketika. Beliau tidak berhalusinasi, Anne benar-benar memanggilnya ayah untuk pertama kalinya.
“Ayah, itu ada Jeffry di belakang ayah. Coba deh ayah balik. Anne malu, masa kita peluk-pelukan gini di depan suami Anne.”
Pak Josh semakin mempererat pelukannya. Putrinya mulai berbicara yang tidak jelas lagi.
“Jeff ... sini deketan, mau peluk. Aku kangen.” Ujar Anne sambil merentangkan kedua tangannya.
Pak Josh sangat yakin kalau dibelakangnya kini tidak ada siapa-siapa. Namun beliau bingung harus menjawab apa. Sudah sering Anne seperti ini, berbicara sendiri seolah ada Jeffry disampingnya. Padahal kenyataannya, di samping Anne hanya ada tempat kosong yang tidak pernah disinggahi oleh siapa pun. Wanita itu selalu sendiri.
“Ayah sayang sama kamu, nak. Maafin ayah, udah bikin hidup kamu menderita.” Hanya sepatah kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Pak Josh.
Tidak ada jawaban, Anne masih tersenyum dan tertawa dengan dunianya sendiri. Pak Josh hanya bisa memaklumi itu.
Dan inilah akhir dari sebuah cerita yang begitu menyedihkan. Soal harapan yang gagal untuk tercapai. Dan masa depan yang dihancurkan oleh takdir. Kadang Anne bertanya-tanya, kalau misal dirinya tidak mimpi buruk, apakah hidupnya tidak akan berakhir seperti ini?
SELESAI