bagian dua puluh satu; kehangatan mereka kembali.
Joey hampir saja membanting pintunya ketika Hendra menahan daun pintu tersebut agar tetap terbuka. Terlihat Joey yang sesenggukan dan matanya yang memerah basah. Menatap sedih Hendra. Lelaki itu lalu menggenggam tangan mungil Joey, membawa gadis itu masuk kamarnya.
“Gue nggak bakal maksa lo. Semua keputusan ada di tangan kalian. Tapi please, lo dengerin ini dulu.”
Hendra mengambil ponsel dari saku celananya. Mencari aplikasi perekam suara disana.
Detika selanjutnya, Joey mendengar suara samar-samar dari ponsel Hendra. Suara tangisan lelaki.
Hendra merekam semuanya. Merekam saat dirinya memukul wajah bosnya berkali-kali sampai tidak berbentuk. Nagara yang mengaku, Nagara yang menangis, Nagara yang ternyata mencintai bayi empat minggunya, bayi mereka.
Dan inti dari rekaman tersebut adalah Nagara yang mengutamakan keselamatannya.
“Dia nggak pernah menginginkan kematian bayi kalian. Dia cuma terlalu cinta sama lo.”
Joey menutup mulutnya erat. Sial. Seandainya bisa, dia ingin memisahkan mulut kurang ajarnya dari wajahnya. Dia bahkan memaki Nagara. Siapa yang biadab sekarang?
“Kenapa dia nggak jujur sama gue sih?”
“Lo tahu persis Nagara orangnya gimana?”
Tanpa babibu lagi, Joey berlari keluar kamar. Dia ingin bicara dengan Nagara.
Diruang tamu, terlihat Malik yang duduk seorang sendiri sambil menekuk wajahnya. Kaki Joey gemetar. Kemana Nagaranya? Malik kemudian mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra Joey. Malik memasang wajahnya yang paling menyesal. Seandainya dulu dia tidak menyetujui ide gila Nagara untuk menikahi adiknya. Nagara dan Joey tidak akan sesakit ini.
“Dia pulang.”
Joey berbalik. Dia bahkan tidak menjawab kalimat Malik. Dia ingin Nagaranya. Joey ingin pulang ke pelukan suaminya. Kakinya berhenti di halaman depan. Malamnya terasa cerah. Secerah siang tadi.
Nagara masih di sini. Berdiri memunggunginya. Badannya yang menjulang, bahunya yang tegap. Nagara yang berdiri dengan kedua tangan yang tersimpan di saku. Joey ingin lelakinya.
“Na…” Joey memanggil dengan suara lirih. Tapi dia memastikan Nagara mendengarnya.
Lelaki itu tetap diam, tidak merespon. Joey sudah tidak tahan. Persetan dangan harga diri. Dia berlari mendekap Nagara. Nagara masih tidak bergerak. Tubuhnya kaku menerima pelukan Joey. Gadis itu bernapas dipunggung jenjang Nagara. Meminta kembali kebahagiaan yang dulu di berikan lelaki itu. Joey menggeser tubuhnya. Ingin menatap wajah Nagara.
Demi Tuhan, Joey seperti tenggelam di lautan. Ia tidak pernah merasakan ini dan tidak pernah melihat ini seumur hidupnya. Untuk pertama kalinya, Joey melihat Nagara dengan wajah basah penuh air mata. Benar-benar basah. Bahkan hidungnya berair. Wajah dan matanya yang memerah sempurna. Tidak ada suara. Dia kesakitan Joey.
“Saya yang membunuhnya, ya?” Lirih Nagara.
“Nggak... nggak.” Joey menggeleng cepat. Menangkup rahang lelakinya. ”Itu semua salah gue. Bukan salah lo, na.”
Joey memeluk Nagara lagi. Kali ini Nagara menyambut. Mereka menangis bersama.
“Gue yang bunuh dia. Gue yang ceroboh. Gue yang nggak becus menjaganya. Maafin gue.” Joey berteriak dalam tangisnya. Tepatnya didalam pelukan Nagara, ia menangis tersedu-sedu.
Malam saksinya. Malik yang di belakang mereka, ditemani Hendra yang mengintip dari jendela kamar Joey.
Nagara memeluk Joey sampai tangisnya mereka mereda. Dan didetik itu juga, kehangatan mereka kembali.
“Dari kemarin saya cari kemeja ini kemana-mana. Ternyata ada disini.”
Joey tersenyum, “Gue yang bawa tanpa sepengetahuan lo.”
Gadis itu melepaskan diri dari Nagara.
“Ayo pulang.”
—jaemtigabelas