bagian dua puluh dua; mantra.

“Anak kamu udah gede ya, Ann. Mana cantik banget lagi. Kayak kamu,” Puji Airin sambil tersenyum kagum melihat perkembangan Luna yang semakin hari semakin terlihat cantik dan anggun.

“Ya iya lah. Cucu siapa dulu?” Disampingnya, Pak Josh sudah menampangkan wajah sombongnya.

Kini Pak Josh dan Airin sudah berada di rumah Anne. Berniat untuk menjenguk Anne yang sedang sakit. Mereka bertiga sudah duduk di ruang tamu selama sepuluh menit lamanya. Saling bercanda gurau sambil meminum secangkir teh hangat, menemani Luna yang sedang bermain boneka barbie, dan berbincang sedikit soal pekerjaan masing-masing.

“Aku nggak muji kamu.” Cibir Airin pada Pak Josh. Wanita cantik itu sedikit menggelengkan kepalanya. Terlalu bingung dengan tingkah laku kekasihnya yang semakin hari semakin menjadi-jadi.

“Oh ya, suami kamu ke mana, Ann? Belum pulang?”

Yang ditanya pun sekilas melirik jam yang terpasang di dinding. Dan Jam menunjukkan pukul enam sore, “Sebentar lagi pulang kok tan. Tadi emang lagi banyak pasien, jadi pulangnya agak telat.”

Mendengar penuturan Anne barusan, membuat Airin menatap wanita yang tak lama lagi akan menjadi anaknya itu dengan tatapan kagum, “Kamu beruntung banget sih Ann. Bisa dapet suami yang baik, ganteng, berwibawa. Anak kamu juga cantik. Kasih tahu rahasianya dong?”

Anne yang ditanya seperti itu hanya bisa membulatkan matanya. Rahasia? Rahasia apa yang dimaksud oleh wanita yang tingkat kecantikannya melebihi kecantikan dewi Hera sekalipun.

“Apasih, tan? Justru tante Airin yang jauh lebih beruntung sekarang bisa dapetin ayah aku. Ya nggak, yah?” Tanya Anne pada sang ayah sambil menaikkan sebelah alisnya nakal.

“Yoi.” Pak Josh yang baru saja dipuji sang anak pun merasa sangat senang akan hal itu.

Wanita yang kini masih berpakaian polisi itu kemudian terkekeh pelan. Pasalnya, hubungan ayah dan anak ini sangatlah dekat dan hangat. Jujur kalau Airin bisa pilih, ia ingin memiliki ayah yang sifatnya seperti Pak Josh ini. Selalu menjalani hidup dengan santai, terbuka dengan anak, sosok yang sangat cocok dijadikan wadah untuk berbagi keluh kesah. Tidak seperti ayah kandungnya yang cenderung lebih tegas, dingin, dan keras kepala.

“Yeaayyy ... ayah pulang,” Ucap Luna berlari menghampiri Jeffry yang berada di ambang pintu.

Airin mengikuti langkahan Luna pergi. Ia membalikkan badannya ke arah pintu tempat Jeffry menggendong Luna saat ini. Akan tetapi, saat melihat wajah Jeffry untuk pertama kalinya, ia merasa aneh. Seperti pernah bertemu sebelumnya.

“Loh ada ayah disini?” Tanya Jeffry kemudian sambil berjalan mendekat ke arah ruang tamu.

“Hallo Jeff. Sudah lama kita nggak ketemu.” Sapa Pak Josh sambil mengangkat tangan kanannya sedikit.

Jeffry hanya tersenyum manis lalu duduk di sofa single yang terletak di ruang tamu tersebut.

“Luna sayang. Kamu main dulu ya sama caca.” Bujuk Anne pada sang anak. Kalau penasaran, caca adalah nama boneka barbie milik Luna.

“Tapi Luna mau main sama ayah, bunda.” Rengek Luna dengan bibir yang mengerucut ke depan.

“Ayah lagi ada tamu sayang. Nanti aja ya main sama ayahnya.” Bujuk Anne lagi.

Dan detik selanjutnya, Luna pun turun dari pangkuan Jeffry dan berjalan menjauh.

“Aku bikinin kopi kesukaan kamu dulu ya.” Tawar Anne yang hanya diberi anggukan oleh sang suami. Lalu Anne pun pergi sejenak menuju dapur.

Airin masih sibuk mencerna otaknya. Hatinya tidak tenang. Seolah ada yang bergejolak di dalam dirinya. Seperti memiliki insting yang kuat pada Jeffry.

“Kamu kenapa?” Pak Josh yang menyadari keanehan Airin, langsung menggenggam tangan mulus wanita itu.

Airin menoleh ke arah Pak Josh, sambil berbisik, “Dia kok kayak anaknya—“

“Perkenalkan, nama saya Jeffry Nathanael. Anak dari Briptu Adhiyatma,” Potong Jeffry tiba-tiba.

“Ahhh kamu anaknya Pak Adhi?” Airin yang baru saja menyadari sesuatu, sontak menutup mulut dengan kedua tangannya, “Saya turut berduka cita atas kepergian kedua orang tua kamu ya, Jeff.” Ungkap Airin dengan sedih.

Jeffry tersenyum miring, “Terima kasih.”

Anne kemudian datang dengan membawa segelas kopi hitam kesukaan Jeffry. Kopi hitam yang super pahit. Anne sendiri pun terheran, mengapa suaminya suka sekali meminum kopi rasa karet ban ini.

“Padahal almarhum pernah bantuin saya bertugas beberapa minggu yang lalu. Kamu pernah aku ceritain kan soal perampok yang nyerang ibu-ibu. Itu Briptu Adhi yang bantuin aku.” Jelas Airin pada Pak Josh.

Jeffry hanya diam. Wajahnya tenang dan datar. Tidak sedih, dan juga tidak senang. Seolah tidak merasa kehilangan sama sekali dengan kepergian kedua orang tuanya. Namun sayangnya, tidak ada seorang pun yang menyadari hal tersebut.

“Silahkan diminum teh hangatnya.” Yang bisa Jeffry lakukan hanya mempersilahkan kedua tamu tersebut untuk meneguk kembali teh yang sudah tinggal setengah gelas lagi.

Disaat Jeffry meneguk kopi panasnya dengan nikmat, ia sedikit melirik ke arah Airin dan Pak Josh. Mereka berdua sedang bercanda gurau dengan Anne, istrinya. Entah membahas apa, Jeffry seakan tuli. Tapi yang jelas, sosok iblis yang ada pada dirinya saat ini sedang membisikkan sebuah mantra. Mantra yang menyuruhnya untuk melenyapkan salah satu di antara keduanya.

—jaemtigabelas