bagian empat puluh sembilan; balasan.

“Kamu ngapain disini?” Ujar Pak Josh yang nampak terkejut saat melihat punggung Jeffry sedang berada di depan makam seseorang yang ia kenal.

Jeffry yang mendengar suara serak berat itupun kemudian berdiri dari posisi jongkoknya. Namun ia tidak langsung berbalik. Jeffry memasok udaranya terlebih dahulu, lalu tersenyum miring, sebelum dirinya memutuskan untuk berbalik menghadap Pak Josh. Tentu dengan sorot mata polosnya.

“Aku lagi mengunjungi makam seseorang yah.” Jeffry memasukkan kedua tangannya ke saku coatnya. “Ayah kenal sama beliau?” Tanya Jeffry kemudian. Bermaksud mengarahkan pembicaraannya pada makam yang sedang ia kunjungi saat ini.

Pak Josh terdiam seketika, saat sorot matanya mengarah ke batu nisan yang bertuliskan nama sang teman. Jantungnya terasa seperti ingin jatuh ke dalam jurang yang begitu dalam. Darahnya seketika mengalir deras dari ujung kepala sampai ujung kaki. Keringat dinginnya mulai bercucuran memenuhi wajah tampannya saat ini. Rahangnya mengeras. Mulutnya seolah tertutup rapat hanya untuk menjawab pertanyaan dari menantunya tersebut.

Karena Pak Josh yang tak kunjung menjawab pertanyaannya, Jeffry kembali berbalik. Menghadap makam yang sudah dipenuhi oleh bucket bunga berwarna kuning pemberiannya.

“Soal Steff ....” Jeffry sedikit menggantungkan kalimatnya. Hati serta jantungnya seketika berdenyut sakit saat menyebutkan satu nama yang memiliki arti yang begitu mendalam baginya, “Iya ... Dia memang adikku, yah. Adik angkatku.”

“Dua belas tahun yang lalu, ayahku ingin mengadopsi seorang anak perempuan, karena ibuku yang tidak kunjung mendapatkan keturunan. Dan ketemulah Steff ini. Ayah sangat menyukai gadis lima belas tahun itu, dan langsung mengangkatnya sebagai anak ....”

“Aku dengar, Steff adalah anak yatim piatu yang punya masa lalu yang begitu tragis. Ayahnya seorang narapidana kasus pemerkosaan serta pembunuhan pada seorang publik figur yang sangat terkenal. Hingga membuat dirinya harus dihukum mati akibat kasus itu ....”

“Dan hanya berselang tiga hari dari eksekusi mati ayahnya, ibunya juga menyusul dengan cara gantung diri di dalam kamarnya. Sungguh tragis bukan, yah?” Tanya Jeffry dengan nada sedikit parau. Kepalanya mulai pening setelah menceritakan serpihan-serpihan masa lalu adik kecil yang selalu ia bangga-banggakan itu.

Pak Josh masih membisu. Ia memejamkan matanya sejenak. Buliran air mata perlahan menetes dari kelopak matanya. Meninggalkan jejak pada pipi mulusnya itu. Pecahan masa lalu itu seolah menghujam jantungnya saat ini. Masa lalu yang membuatnya sangat bersalah seumur hidup. Membuat Pak Josh selalu merasa kalau dirinya tidak pantas hidup di dunia tak abadi ini.

“Steff selalu cerita sama aku, yah ....” Jeffry menengadahkan kepalanya ke arah cakrawala yang sangat cerah. Dipenuhi oleh pepohonan rindang yang menghalangi sinar mentari yang ingin menghujam kulitnya saat ini, “Ayahnya ... adalah lelaki yang sangat baik, bertanggung jawab, pantang menyerah, dan selalu membuatnya tenang dikala pikirannya sedang kacau. Ayahnya adalah sosok yang paling sempurna di mata Steff saat itu. Tapi mungkin karena saking baiknya, beliau dijadikan kambing hitam atas perbuatan orang keji di luar sana. Orang yang tidak mau bertanggung jawab atas ulahnya, sehingga memaksa orang lain untuk menggantikannya dalam menempuh proses hukum. Semua orang seakan buta dan tuli, saat Steff dan ibunya berjuang menegakkan keadilan untuk orang tercintanya.”

Jeffry berbalik. Memandangi tubuh Pak Josh yang mulai gemetar tidak karuan. Jeffry seketika menunjukkan senyum kemenangannya. “Ayah bisa lihat sekarang. Polisi itu justru membiarkan orang bersalah hidup semena-mena. Sedangkan orang yang tidak bersalah, hidup mereka harus hancur karena ulah para polisi yang konon katanya adalah sosok yang membuat semua orang aman dan tentram.” Jeffry meringis sejenak. “Tapi nyatanya, kalimat itu adalah kalimat terkonyol yang pernah aku dengar seumur hidupku, yah ....”

“STOOOPPPPPP!” Pak Josh memekik tajam. Rahangnya semakin mengeras seiring matanya yang semakin memerah padam. “Dimana dia sekarang? DIMANA ADIKMU ITU, JEFFRY?!”

Lelaki yang surainya sudah mulai terlihat panjang itu, kemudian mendecih pelan. Sangat lucu, karena baru sekarang dirinya mendengar Pak Josh menanyai keberadaan sang adik, “Dia mungkin sudah tenang di atas sana, yah. Menyusul kedua orang tuanya yang lebih dulu meninggalkan dunia kejam ini. Tapi sayangnya, sampai sekarang aku tidak berhasil menemukan mayat Steff. Sehelai rambut pun, aku belum menemukannya.”

Jeffry mulai maju selangkah demi selangkah. Sehingga kini, jarak dirinya dengan Pak Josh hanya tersisa beberapa senti saja. Lelaki jangkung itu mendekatkan kepalanya pada telinga kanan Pak Josh. Bermaksud supaya mertuanya yang saat ini sedang gugup itu, mendengar perkataannya secara jelas.

“Entah Steff dibunuh oleh seseorang, Aku tidak akan diam saja, yah. Semua orang yang membuat hidup adikku hancur ... harus menerima balasannya.” Ujar Jeffry penuh penekanan disetiap kalimatnya.

Jeffry langsung berlalu pergi, meninggalkan ayah mertuanya seorang diri. Berdiri mematung di depan batu nisan yang bertuliskan nama teman karibnya itu. Tangan Pak Josh kemudian terkepal kuat. Mencoba untuk meredamkan amarahnya yang sudah memuncak saat ini. Pak Josh tidak begitu tahu, kalau Jeffry ternyata adalah kakak angkat dari anak temannya itu. Dan dari semua penjelasan Jeffry barusan, Pak Josh bisa menarik kesimpulan bahwa, menantunya itu ingin menghabisi dirinya.

—jaemtigabelas