Bagian enam ; Memaklumi

Tidak ada yang lebih menyakitkan dari kehilangan seorang sahabat yang sudah menemani mu selama dua tahun lebih lamanya. Dunia Nagara seakan hancur berkeping-keping. Seolah dirinya baru saja kehilangan separuh jiwanya. Senyuman Jendra yang khas, suara tawanya, tingkah lakunya yang membuat Nagara tertawa. Kini, Nagara tidak bisa melihat itu semua pada diri sahabatnya. Hanya wajah pucat, mata yang terpejam, serta tubuh yang terbujur kaku di dalam peti. Ya, Nagara melihat itu semua dengan mata telanjangnya. Hatinya semakin perih dan perih. Tidak bisa didefinisikan lagi.

Dikala Nagara sibuk dengan kesedihannya tersebut, sebuah tangan mungil tiba-tiba menggenggam tangannya. Diusapnya punggung tangan itu lembut. Sangat lembut. Nagara lalu mengangkat kepalanya. Joey, kini sedang berusaha untuk menguatkan suaminya yang tengah rapuh. Mencoba untuk tersenyum penuh arti. Senyuman yang berarti menguatkan. Bermaksud menyuruh Nagara untuk tersenyum juga, walaupun keadaan tidak mendukung saat ini.

“Mas... nggak papa ya. Jendra pasti sudah bahagia kok disana.” Suara lembut Joey terdengar jelas di telinga Nagara. Joey berusaha menenangkan suaminya. Walapun ia tahu, kalau kalimatnya tidak bisa membuat Jendra kembali hidup, dan membuat Nagara kembali bahagia seperti sedia kala.

Nagara tidak bergeming. Pandangannya kosong. Namun senyumannya tetap merekah sempurna. Sudah cukup meyakinkan Joey, bahwa suaminya itu masih terlihat kuat.

Joey kemudian menatap sekeliling. Kepalanya mulai pusing saat melihat banyak orang yang mulai berdatangan ke kediaman Jendra. Joey tidak tahu persis siapa mereka. Namun, melihat semakin banyak orang yang berdatangan, membuat dadanya mulai terasa sesak.

“Mas... kepala ku pusing. Aku keluar dulu ya.” Bisik Joey sambil mengernyitkan dahinya.

“Kamu pusing? Saya antar kamu pulang.” Ujar Nagara sambil menangkup pipi sang istri. Raut wajahnya terlihat sangat panik dengan kondisi Joey yang tengah hamil besar saat ini.

Joey menggeleng. “Nggak usah mas. Kamu disini aja. Kasihan, wali Jendra cuma kamu, mas. Aku cuma butuh udara segar kok. Nanti kalau sudah baikan, aku ke sini lagi.”

Wanita bersurai kecoklatan itu lalu berdiri dengan hati-hati. Efek kehamilannya yang sudah menginjak umur 7 bulan. Membuat Joey sangat kesulitan hanya untuk beranjak dari duduknya. Bahkan waktu berdiri pun, beban tubuhnya seakan bertambah menjadi dua kali lipat dari biasanya.

Dan detik selanjutnya, Joey pergi dari pandangan Nagara untuk mencari udara segar di halaman belakang rumah Jendra.


Sudah lebih dari tiga puluh menit Nagara menanti. Menunggu Joey yang tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Nagara mengambil ponsel dari saku jas nya, mencoba untuk menghubungi sang istri.

Tidak ada jawaban. Hanya suara operator yang terdengar disana.

Nagara mulai panik. Rasa takutnya mulai melanda. Bagaimana jika Joey tiba-tiba pingsan di tengah jalan? Bagaimana jika perutnya tiba-tiba berkontraksi tanpa sepengetahuan Nagara? Ya Tuhan, jangan sampai pikiran negatifnya itu menjadi kenyataan.

Namun, saat lelaki ber jas rapih itu memasuki halaman belakang rumah Jendra. Hatinya tiba-tiba mencelos. Ada sedikit rasa lega, saat melihat Joey sedang terduduk manis disamping Hendra. Bercanda gurau layaknya pasangan yang paling bahagia di alam Semesta ini.

Nagara sangat membenci situasi seperti ini. Tangannya terkepal kemudian. Ia marah, Ia murka. Akan tetapi, Nagara tidak bisa berbuat apa-apa. Jika lelaki yang sedang duduk disamping Joey adalah lelaki yang tidak ia kenal. Tanpa menunggu lama, Nagara pasti langsung menonjok wajah tidak bersalah itu. Tidak peduli dengan situasi disana yang sedang berduka. Jika mengenai istri tercintanya, Nagara tidak bisa diam saja.

Akan tetapi, jika lelaki itu Hendra... Nagara hanya diam. Melihat dari jauh kebahagiaan mereka yang begitu menyakiti perasaannya saat ini. Entah mengapa, jika itu Hendra... Nagara memaklumi. sekali pun lelaki itu tahu, bahwa Hendra memiliki perasaan lebih kepada istrinya.

—jaemtigabelas