bagian lima belas; reason.
Di ruangan lain, Nagara duduk di sofa dengan bersandar. Tangan kanannya meremas rambutnya kasar. Seakan ingin mencabut sampai ke akar. Sedangkan tangan kirinya menggenggam gelas yang berisi alkohol yang sedari tadi diminumnya. Menandakan bahwa dunianya sudah hancur sekarang.
BRAAK!
Hendra datang dengan mendobrak pintu sangat keras, nyaris menghancurkannya. Tangannya terkepal. Berjalan cepat ke arah Nagara yang sedang duduk di sofa tidak berdaya. Meraih kerah kemeja biru tua lelaki setengah mabuk itu. Mengangkatnya, hingga Nagara berdiri lalu melempar lelaki itu ke lantai.
“Brengsek!” Teriak Hendra. Mengangkangi Nagara yang setengah sadar. Mencengkeram kerah kemeja Nagara kuat dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya meninju Nagara. Bertubi–tubi.
Oh! Wajah tampan itu akan hancur.
Setiap detik jam dinding di ruangan Nagara menjadi saksi betapa beringas Hendra menghajar Nagara. Hendra yang selalu patuh, Hendra yang biasa kekanakan, Hendra yang selalu setia kawan, Hendra yang selalu ada di pihaknya, dan Hendra yang sangat menyayanginya.
Hendra menghajar Nagara dengan air mata yang mengalir deras.
Nagara merasakannya. Hendra terluka bersamanya. Dengan rasa kecewa yang seakan mencekik. Bersamaan dengan air mata Hendra yang menyatu dengan darah di wajah Nagara.
Dan untuk pertama kalinya, Hendra menangis.
”Apa yang lu lakuin, bangsat?” lirih Hendra. Ikut berbaring di lantai. Di samping Nagara. Napas mereka menderu bersama.
Nagara yang tersenggal dengan darah yang memenuhi bibirnya, tak lupa pipi dan pelipis yang robek.
Good Job, Hendra!
”Gue nggak mau.” Nagara mulai bicara saat nafasnya mulai kembali. “Dia nggak bisa mengandung dengan sehat. Dokter bilang... Rahimnya lemah. Jantungnya bermasalah. Bahaya kalau sampai dia ngelahirin anak.”
Nagara bernapas sebentar. “Tubuhnya belum siap dengan bayi. Itu bahaya buat dia.”
Mereka terdiam, menatap langit-langit ruangan Nagara serius. Seperti menonton film di atas mereka. Pikiran keduanya melayang. Nagara meletakkan lengannya di mata. Menutupi pandangan dan menyembunyikan air mata yang akan keluar dari pelupuk matanya.
”Gue nggak mau ngambil resiko kehilangan keduanya. Gue putusin buat merelakan bayi gue.”
Mengalir sudah. Silahkan tepuk tangan!
Seorang Abimanyu Surya Nagara yang setiap harinya mengeluarkan kata pedas, menyebalkan, ketus, dan keras kepala itu...
Dia menangis. Untuk janin berusia 3 minggu.
”Gue sayang sama bayi gue hen, Demi Tuhan. Tapi gue nggak bisa kehilangan Joey.”
Hendra bangkit. Mengelap peluh yang mampir di wajahnya. Dia menatap Nagara lama, sebelum akhirnya membersihkan bekas air mata dengan lengan kemeja yang dipakainya. Seperti bocah 6 tahun yang di marahi, lalu menangis.
“Ini pertama kali gue mukul lu, kan?” Hendra melangkahi Nagara.
Mengambil botol alkohol yang masih tersisa setengah. Kemudian meletakkan botol itu di samping kepala Nagara.
“Mati aja lah lu, brengsek.” Hendra pergi meninggalkan Nagara.
—jaemtigabelas