bagian satu; Jaket.
“Maaf. Gue lama ya?” Tanya Joey, sambil berjalan mendekat ke arah lelaki yang sedang menggendong seorang bayi.
Hendra yang berwajah kecut itu pun memandang malas Joey. Sudah cukup 20 menit ia dipermalukan oleh para tamu penting yang datang ke perusahaan Nagara. Kurang lebih sebanyak sepuluh orang yang menertawakannya secara diam-diam, karena melihat Hendra sedang menggendong seorang bayi yang tengah memakai busana serba pink, serta bando pita berukuran sedang melingkar di kepala mulusnya.
Sungguh, Hendra ingin pergi saja dari tempat terkutuk ini.
“Nungguin lu keluar kayak lagi nunggu korut berubah jadi negara kapitalis tahu nggak?” Ejek Hendra kemudian. Terlihat wajahnya yang sudah mulai memerah. Entah akibat memendam rasa malu, atau memendam amarahnya. Atau mungkin, keduanya.
Joey mencibir tanpa suara. Dari pada ia harus mendengar omelan seorang OB yang ada di depannya ini. Joey segera mengambil bayi Jovanka dari gendongan Hendra. “Tapi hebat loh. Anak gue nggak nangis waktu digendong sama lo. Coba kalau ayahnya yang gendong, nangis terus dia.”
Lelaki bareface itu hanya mengedikkan bahunya. Kepalanya terangkat sedikit, seolah ingin menyombongkan diri, “Ya iyalah. Orang yang gendong 11 12 sama Justin Bieber gini.”
Plaaaakkkk...
Pukulan kecil mengenai lengan Hendra. Joey tergelak pelan sambil sedikit menggelengkan kepalanya. Setelah memastikan bayi Jovanka sudah aman di gendongannya, Joey lalu berbalik. Sempat mencari keberadaan suaminya, dan akhirnya ketemu. Lelaki yang dicintainya itu, saat ini sedang berbincang dengan seseorang. Yang Joey yakini adalah dewan direktur perusahaan ini.
“Mau gue anter ke sana?” Tanya Hendra, membuat Joey kembali membalikkan badannya.
Joey sedikit merucutkan bibirnya, nampak berpikir sejenak, “Nggak usah. Emang gue anak kecil apa pakai dianter segala?”
“Lah.... Emang anak kecil kan? Lihat aja sekarang tinggi lu.” Ejek Hendra lagi.
Wanita yang sudah menyandang sebagai seorang ibu itu menghela napasnya panjang. Kalau saja Joey bisa, pasti tangannya sudah mendarat ke wajah menyebalkan itu. Tapi apa daya. Tangannya sudah dipakai untuk menopang tubuh kecil Jovanka.
“Udah ah, gue nggak mau berantem. Mending gue pergi dari sini.” Joey setengah berbalik, “Thanks ya Hen. Dadah om gilaaaa.”
Senyuman wanita itu merekah lebar. Tangannya mengayunkan tangan mungil Jovanka. Menyuruh sang anak untuk melambaikan tangannya pada Hendra juga. Namun, melihat senyuman manis dibibir Joey, membuat Hendra lupa dengan segalanya. Akal sehatnya seketika hilang. Jantungnya kembali berpacu cepat. Waktu seakan terhenti. Hanya memandangi punggung Joey perlahan menjauh dari pandangannya, Hendra merasa, raganya juga menghilang saat itu juga.
Hendra menggeleng cepat. Tidak, ini salah. Jangan seperti ini, Hen. Joey sudah punya kebahagiaannya sendiri. Hendra pun sama. Meskipun yang ia alami selama ini hanya terjebak dengan perasaan yang semu.
Tunggu, perasaan semu?
Braakkk...
Disaat Hendra berbalik. Lelaki jangkung itu tidak sengaja menabrak seorang gadis yang sedang membawa segelas kopi hangat ditangannya. Alhasil, kopi tersebut tumpah ke kemeja gadis tersebut.
“Sorry... Nggak sengaja.”
“HENDRAAAAAAA!!!!” Pekik gadis pemilik nama lengkap Karin Ranjani itu.
Karena kesalahan yang baru saja ia perbuat. Hendra berakhir disini. Berdiri di depan toilet wanita sambil menyenderkan punggungnya di dinding ber marmer tersebut. Sebenarnya, Rendy sudah mengamuk dari tadi. Mengamuk karena Hendra tidak kunjung datang untuk membenarkan AC ruangannya. Ia tidak peduli. Amukan seorang Rendy bagi Hendra, seperti amukan kucing. Yang hanya perlu dilihat tanpa perlu melakukan apa-apa.
Hanya berselang lima belas menit Hendra menunggu. Karin akhirnya keluar dari toilet tersebut sambil mengibas-ngibaskan bercak kecoklatan yang ada di kemeja biru mudanya. Gadis dengan rambut tergelombang ke bawah itu, seketika menatap Hendra dengan aura mematikannya.
“Kalau mau balik lihat-lihat dulu kek. Main asal balik badan aja. Lihat nih... kemeja kesayangan gue udah nggak berbentuk lagi.” Omel Karin dengan nada penuh kesal.
“Ya maaf sih. Gue juga nggak tahu kalau ada lu di belakang gue tadi.” Balas Hendra dengan tatapan menyesalnya.
Wajah Karin masih merengut. Ia masih sibuk mengibas-ngibaskan kemejanya. Berharap noda kopi tersebut menghilang dari kemeja yang ia beli dengan harga hampir sama dengan harga satu buah motor. “Gimana nih? Mana sepuluh menit lagi gue ada meeting penting.”
Melihat Karin yang masih nampak kesal, Hendra kemudian melepaskan jaket yang ia kenakan sejak tadi. Lalu menaruhnya di kedua bahu Karin. “Nih... Pakai ini dulu.”
Karin sekilas melirik jaket tersebut. Sedikit heran, saat lelaki yang dimatanya suka jahil, memberikan sebuah jaket padanya. Karin lalu menjauhkan jaket itu dari bahunya, dan mengembalikan jaket tersebut ke pemiliknya. “Ini jaket kulit, Hendra. Ya kali gue pakai ini waktu meeting? Bisa-bisa gue diomelin sama atasan.”
“Neng. Meskipun ini jaket kulit, setidaknya bercak kopi di kemeja lu itu nggak kelihatan. Lu mau meeting, apa cosplay jadi spg kopi?”
Nah kan, Hendra kembali menjadi lelaki yang sangat menyebalkan. Kalimat lelaki itu, sukses membuat Karin ingin segera mencabut bibir pedas itu sekarang juga.
“Nggak usah, hen. Gue mau pinjam blazernya Sonya aja nanti.” Karin masih bersih kukuh untuk tidak memakai jaket kulit berwarna hitam pekat itu. Memakai jaket kulit waktu meeting dengan dewan direksi? Oh ayolah, ia tidak ingin didepak dari perusahaan yang sudah ia abdikan selama empat tahun lamanya.
Disaat Karin ingin pergi dari hadapan Hendra, lelaki OB itu menahan lengan Karin. “Nggak ada waktu buat cari pinjaman Blazer. Gue lihat Sonya hari ini nggak pakai blazer ke kantor. Udah deh jangan ngeyel. Pakai!” Tegas Hendra.
“Cewek kalau nggak cantik, setidaknya rapi. Soalnya, kebanyakan orang bisa menilai kepribadian lu, ya dari penampilan lu sendiri. Kalau lu nggak mau dianggap jelek, benerin dulu penampilan lu.” Imbuhnya. Entah datang dari mana semua kalimat itu. Hendra hanya reflek berbicara seperti itu.
Mendengar penuturan Hendra, Karin menurut. Gadis itu dengan polosnya memakai jaket kulit milik Hendra. Membiarkan jaket hitam itu membalut tubuh langsingnya. Karin sudah tidak punya waktu lagi. Sudah lima menit waktunya terbuang hanya untuk mendebatkan hal yang tidak penting dengan Hendra.
Merasa ada bau yang aneh, Karin mengendus-endus jaket Hendra dengan alis yang berkerut, “Jaket lo udah dicuci belum sih? Bau banget.”
Hendra hanya tergelak pelan, lalu mulai melangkah pergi sambil berkata, “Udah sebulan nggak dicuci.”
Mata Karin seketika membulat sempurna. Saking terkejutnya, bola matanya hampir terlepas. Mulutnya menganga lebar. Mungkin setelah ini, Karin akan menghabiskan satu botol parfum jo malone miliknya.
—jaemtigabelas