bagian seratus dua puluh empat; rasa dendam dan kehilangan.
“STOP, STEFF!!!” Pekik Anne frustasi.
Kali ini, Jeffry mendengar pekikan dari istirnya. Tubuhnya tertegun seketika saat Anne menyebutkan nama yang sangat tidak asing baginya. Anne sudah tahu semua rahasianya selama ini.
“STEFFI GABRIELLA ... INI KAMU KAN?!”
Kedua tangan kekar itu perlahan turun dengan sendirinya. Suasana seketika semakin mencengkam dan menyeramkan, saat setelah Anne meneriaki nama Steff ke arah Jeffry.
Merasa Jeffry masih bungkam, Anne pun melanjutkan kalimatnya. “Steffi Gabriella ... Putri dari seorang penjaga supermarket. Yang beberapa tahun lalu dituduh atas kasus pembunuhan dan pemerkosaan artis papan atas. Itu kamu kan Jeff?”
Jeffry kini berbalik. Terlihat jelas raut wajah murka yang tertahan disana. “Apa maksud kamu? Jangan bicara ngelantur, Anne. Steff adik aku. Dia udah meninggal!”
“Nggak!” Anne memotong cepat ucapan Jeffry dengan nada tinggi. Ia menggelengkan kepalanya pelan, menandakan kalau semua kalimat Jeffry tidaklah benar. “Steff masih hidup sampai sekarang. Hidup dalam wujud dan rupa yang berbeda.”
“Kamu menyentuh meja kerja ku?”
Anne tidak menjawab.
“UDAH AKU BILANG, JANGAN PERNAH SENTUH MEJA KERJA KU SIALAN!” Pekik Jeffry seraya berjalan cepat menghampiri Anne dan langsung mencengkram kuat kedua rahang wanita itu.
Anne segera menepis tangan Jeffry dari rahangnya yang sudah dipastika sedikit retak itu. “Jadi semua itu benar? Surat pernyataan telah melakukan operasi kelamin yang aku temui waktu mencari sertfikat rumah kedua orang tua kamu. Itu semua benar? Iya Jeff?”
Jeffry menundukkan kepalanya sejenak. Perlahan namun pasti, Anne mendengar suara cekikikan yang sangat nyaring. Entah apa yang membuat Jeffry mengeluarkan suara tawa yang mengerikan itu. Bulu kuduk Anne semakin merinding mendengarnya.
“Iya. Steffi Gabriella ... Itu aku.” Akhirnya Jeffry mengaku.
Anne tidak terkejut karena sebelumnya ia sudah tahu bahwa suaminya ini sebenarnya adalah berjenis kelamin perempuan. Wanita pemilik nama lengkap Elaine Khalida itu hanya tidak menyangka kalau selama ini lelaki yang sudah ia percaya setengah mati itu akan memembohonginya seperti ini. Semakin retaklah hatimu Anne.
Jeffry kembali berdiri. Berjalan perlahan mengelilingi ruang gelap itu. “Apa saja yang kamu tahu, Ann?”
Anne membuang pandangannya. Disisi lain, otaknya sedang berpikir keras. Ia sudah tahu semua rahasia Jeffry yang tidak semua orang ketahui. Tapi, Anne harus memulai dari mana?
“Ok, karena kamu nggak mau jawab. Mau dengar sedikit cerita?” Tawar Jeffry pada Anne yang tidak dibalas oleh wanita itu.
“Dulu keluarga ku amat sangat bahagia. Meskipun hidup serba kekurangan, tinggal di rumah kontrakan yang kumuh, mau makan saja harus ada yang mengalah. Tapi aku, ayah ku, dan ibu ku sangat bahagia. Mereka merawatku dengan penuh kasih sayang. Mereka adalah sosok orang tua yang sangat sempurna.”
Jeffry lalu mengeluarkan jari telunjuknya mengarah ke kedua orang yang sedang terduduk pasrah di ujung sana. “Tapi semua berubah, waktu mereka berdua tiba-tiba datang menghancurkan keluarga bahagiaku. Masa depan yang sudah orang tua ku ciptakan untukku, dihancurkan sama mereka hanya dengan jentikan jari. Kamu tahu itu Anne?” Ucap Jeffry dengan nada penuh penekanan sambil menatap sangat tajam ke arah istrinya.
Anne masih membisu. Terlalu bingung untuk menjawab apa dan bagaimana?
“Lelaki brengsek itu ....” Kini jari telunjuk Jeffry mengarah ke arah lelaki yang sudah kehilangan kesadaran. “Kalau saja dia nggak datang ke supermarket tempat ayah ku bekerja ... Aku nggak mungkin bertindak sejauh ini, Ann.”
Terlihat buliran air mata mengalir jatuh dari netra Jeffry. Lelaki psikopat itu menangis tertahan. Kedua mata serta wajahnya mulai memerah. Menandakan bahwa rasa sakit, marah, dendam, dan kecewa sudah tercampur di dalam benak lelaki itu.
“Wanita tua itu, dengan enaknya menuduh ayah ku atas perbuatan keji anaknya yang nggak mau bertanggung jawab. Mereka berdua yang membuat keluarga ku hancur, Ann. Mereka pantas mendapatkan ini.”
Kini, Anne memberanikan diri menatap tajam Jeffry. “Tapi kamu nggak berhak buat menghakimi mereka, Jeff. Dengan kamu menjadi psikopat seperti ini, membunuh para polisi yang tidak bersalah itu. Apa bedanya kamu sama mereka?”
Bukannya menjawab, Jeffry malah mengeluarkan pistol yang ia sembunyikan di saku belakang celananya. Dan ...
DOOORRRRRR!!!
“AAAAAAAAA!!!” Pekik Anne sambil menutup matanya. Ia sangat terkejut bukan main saat Jeffry tiba-tiba menembak kepala wanita tidak berdaya itu.
“JEFFRY! UDAH GILA YA KAMU?!”
Jeffry lalu mengarahkan pistol yang masih mengepulkan asap itu ke arah Anne. Tepatnya di kepala wanita itu. Tampat favoritnya. “Jangan sok-sok an merasa kalau dirimu paling benar dan paling suci sejagat raya ini, Ann. Atau aku bakal tembak kamu sekarang juga.”
Anne seketika menahan napasnya. Dadanya sesak. Apalagi saat pistol itu sudah menempel didahi mulusnya. Jantungnya seolah sudah berhenti berdetak.
“Kamu nggak tahu penderitaan yang sudah aku alami sejak ayah dan ibu ku pergi. Penderitaan yang tidak ada habisnya. Aku dimaki, aku dilecehkan, aku diperlakukan seperti binatang. Kamu nggak tahu rasanya hidup di dunia, tapi seperti hidup di neraka.”
Jeffry perlahan menjauhkan pistol tersebut dari dahi Anne. Membuat wanita itu bisa bernapas sedikit lega.
“Nggak ada yang lindungin aku, nggak ada yang percaya sama aku. Yang ada hanya pukulan, kata-kata kasar, tendangan, dan diabaikan. Kamu lihat luka ini.” Jeffry menunjukkan bekas jahitan yang ada dipinggang sebelah kirinya. “Ini bekas operasi pengangkatan ginjal. Ginjal aku rusak parah karena sering ditendang. Kamu tahu apa yang aku pikirkan waktu itu, Ann?”
Anne masih bungkam. Ia sengaja membiarkan Jeffry bercerita panjang lebar soal masa lalunya. Karena Jeffry tidak tahu, bahwa sedari tadi Anne telah memasang alat perekam yang ia sembunyikan di saku celananya.
“Yang aku pikirkan waktu itu sama seperti mereka berdua. Mati, aku mau mati.”
Sebenarnya Anne sedikit merasa kasihan. Steff, anak gadis yang masih kecil. Harus menanggung beban yang begitu berat agar dirinya bisa bertahan dari kejamnya dunia. Anne tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya yang dirasakan Steff dulu. Steff, hanya butuh hidup yang tenang. Layaknya seperti anak kecil pada umumnya.
“Tapi aku sempat mengurung niat ku untuk bunuh diri, saat tiba-tiba ada satu keluarga yang mau mengadopsiku. Mereka adalah Briptu Adhiyatma dan istrinya. Ketua pantiku bilang, kalau mereka terpaksa mengadopsiku hanya karena kasihan melihat kondisiku yang jauh dari kata normal.” Jeffry mendecih pelan. “Aku nggak tahu apakah itu benar, atau dia hanya mau membuatku semakin merasa tidak pantas untuk hidup. Tapi aku nggak peduli. Yang penting aku bisa keluar dari tempat neraka itu.”
“Sebulan setelah Briptu Adhiyatma mengadopsiku. Dia dan istrinya tiba-tiba memaksa ku untuk menjalani operasi kelamin. Anak tunggal mereka yang bernama Jeffry Nathanael baru saja meninggal setelah seminggu yang lalu menjadi korban perampokan. Dan mereka memintaku untuk menggantikan anak semata wayangnya itu dengan dalih 'Kalau bukan karena kami. Kamu tidak akan bisa hidup sampai sekarang'. Sungguh lucu bukan?” Lanjut Jeffry dengan seringai jahatnya.
“Dan aku nurut. Aku mau menuruti permintaan mereka, karena aku merasa harus berhutang budi pada mereka. Semenjak itu, Tidak ada lagi Steffi Gabrielle lagi, anak dari penjaga supermarket yang dituduh pembunuh dan pemerkosa. Tapi Jeffry Nathanael, anak dari pengusaha kaya yang sempat mau diangkat menjadi Briptu. Steff sudah mati.”
“Terus apa hubungannya sama aku? Kenapa kamu tega melakukan ini kepadaku Jeff?” Tanya Anne yang sudah sangat frustasi. Ia tidak tahu dengan benar apa motif Jeffry yang sengaja mendekatinya dan membuatnya jatuh cinta pada lelaki psikopat ini.
“Kesalahan kamu. Kamu adalah alasan kenapa ayah kamu sampai tega mengkhianati ayah ku, Ann. Ayah kamu yang membuat ayah ku dihukum mati.” Jawab Jeffry dengan penuh penekanan.
Anne menggeleng kepalanya cepat. “Nggak. Itu semua hoax, Jeff.”
“Hoax?” Jeffry terkekeh pelan. “Asal kamu tahu ya, Ann. Ayah kamu menerima suap dari mereka berdua. Mereka membayar ayah kamu untuk bungkam dan berakting seolah nggak tahu apa-apa. Alhasil, yang awalnya ayah ku bisa bebas dari tuduhan, malah dijatuhi hukuman mati atas perbuatan yang sama sekali beliau tidak lakukan.”
“Nggak. Ayah ku nggak mungkin sejahat itu, Jeff.” Anne masih bersi kukuh kalau Pak Josh-ayahnya tidak mungkin berkhianat.
Jeffry kembali berjongkok di depan Anne. Mendorong dahi Anne beberapa kali menggunakan ujung pistol yang ia genggam, “Ann, sadar dong. Dulu ibu kamu penyakitan. Ayah kamu nggak punya biaya buat operasi ibu kamu waktu itu. Dan kamu masih ngelak kalau ayah kamu nggak menerima suap dari mereka berdua?”
Anne seketika diam. Wanita itu bingung, apakah ia harus percaya perkataan Jeffry, atau ia harus percaya pada dirinya sendiri. Pak Josh memang tidak pernah menceritakan hal tersebut pada Anne. Tapi sebagai anak, apakah ia salah membela ayah kandungnya sendiri?
“Tapi sayang sekali. Uang hasil suap itu, tidak berpengaruh apa-apa buat ibu kamu, Ann.”
“Maksud kamu?” Anne mengernyitkan dahinya.
“Maksud ku ....” Jeffry mendekatkan kepalanya, “Ibu kamu pantas mati.”
*CUUIIHHH ...
Anne langsung meludahi wajah Jeffry dengan sengaja. Kalau tadi Anne masih bisa sabar menghadapi kelakuan iblis dari suaminya itu. Tapi tidak saat Jeffry menjadikan kematian ibunya sebagai karma atas dosa yang sudah diperbuat oleh ayahnya dulu. Anne sangat marah mendengar itu.
“DASAR CEWEK NGGAK TAHU DIRI!”
BUGGHHHH ....
Jeffry meninju rahang Anne sangat keras. Tidak peduli lagi yang ia pukul adalah istrinya sendiri. Lelaki itu kemudian bangkit dan mulai menjauh dari Anne yang mulai melemah.
“Jeff.” Panggil Anne dengan suara yang sangat lemah, tapi masih bisa didengar oleh Jeffry. “Aku pernah ada diposisi kamu. Aku pernah merasakan kehilangan seseorang yang sangat berarti dihidup ku.”
Jeffry tidak menjawab. Ia masih fokus menatap foto sang ayah yang sedang tersenyum memeluk sang ibu. Foto berukuran 6R yang ia tancapkan ke dinding menggunakan paku.
“Kita sama-sama merasa kehilangan, Jeff. Aku sama seperti kamu. Rasanya mau mati. Tidak ada lagi sosok yang menguatkan kita, yang menemani kita, yang menampung keluh kesah kita. Tapi Jeff. Apa kamu tahu arti sebenarnya dari kata kehilangan?” Tanya Anne sedikit terisak.
Karena merasa Jeffry tidak ada niatan untuk menjawab, Anne melanjutkan kalimatnya lagi. “Kehilangan menuntut kita untuk menjadi sosok yang kuat. Bukan menuntut kita untuk menjadi sosok yang jahat. Bukan hak kita untuk menghakimi seseoroang dengan cara membunuh, Jeff. Biar Tuhan yang membalas dosa yang sudah mereka perbuat ke kamu.”
“Tuhan?” Jeffry menengadahkan kepalanya ke atas, “Mau sampai kapan aku harus menunggu Tuhan membalas dosa-dosa mereka hah? Setiap mereka hidup dengan tenang dan bahagia diatas penderitaan orang lain. Aku nggak rela, Ann.”
“Iya aku tahu. Aku tahu mereka salah. Tapi semua ada waktunya, Jeff. Aku yakin, ayah kamu nggak pernah mau melihat anak gadisnya tumbuh besar sebagai seorang pembunuh. Yang beliau mau hanyalah melihat bahwa anak gadisnya ini tumbuh dengan bahagia, menjadi gadis yang cantik, anggun, dan baik hatinya.”
“Diam kamu!” Tangan Jeffry terkepal kuat. “Kamu nggak tahu apa-apa, Ann. Justru mereka berdua pasti bangga karena aku sudah membalaskan dendam mereka.”
Anne menggeleng pelan, “Nggak, Jeff. Aku sangat tahu watak ayah kamu. Aku nggak sengaja membaca buku catatan ayah ku. Ayah ku menulis semua hal tentang ayah kamu di buku itu. Ayah kamu baik, Jeff. Sangat baik.” Anne menjeda kalimatnya. Ia semakin terisak, “Beliau adalah sosok malaikat tak bersayap yang sebenarnya. Sehari sebelum ayah kamu dihukum mati. Ayah ku mendatangi beliau untuk meminta maaf karena sudah terlanjur berkhianat. Tapi, apa kamu tahu jawaban ayah kamu waktu itu Jeff?”
“Aku suruh kamu diam Anne!” Jeffry menutup kedua telinganya sambil menggelengkan kepalanya cepat. Ia tidak mau mendengarkan kalimat Anne setelah ini. Jeffry merasa bahwa dirinya sudah melakukan yang terbaik untuk dirinya beserta keluarganya.
“Ayah kamu memaafkan ayah ku.” Tangisan Anne langsung pecah. “Beliau malah memaklumi perbuatan ayah ku, Jeff. Ayah kamu baik. Beliau tidak mungkin mau punya anak pembunuh seperti kamu.”
BRAAAKKKKK Jeffry memukul keras meja dihadapannya.
“Nggak. Nggak mungkin.” Sekali lagi Jeffry menggelengkan kepalanya. “Jelas-jelas ayahku menyuruh ku untuk membalaskan dendam dia.”
Anne menatap nanar ke arah suaminya, “Itu semua hanya hayalan kamu semata, Jeff. Atas dasar dendam kamu sendiri. Kamu mengira bahwa ayah kamu benar-benar menyuruh kamu untuk membunuh orang-orang yang sudah membuat keluarga kamu hancur. Tapi kenyataannya bukan begitu, Jeff. Kamu menjadi pembunuh, semua karena dendam pribadi kamu.”
“DIAAAAMMM!!” Pekik Jeffry sangat keras. Ia berbalik dan kembali menodongkan pistol ke arah Anne. “Diam atau aku bakal tembak kamu sekarang juga.”
“Jeff, perlu kamu tahu ....” Anne menatap sendu ke arah suaminya. Lelaki yang sudah ia cintai sepenuh hati dari delapan tahun yang lalu. “Aku sayang sama kamu.”
Tangan Jeffry seketika gemetar. Lelaki itu nampak menahan tangis yang ingin pecah saat itu juga. Mendengar Anne mengucapkan bahwa wanita itu menyayanginya, sukses membuat lelaki pembunuh itu berubah menjadi lelaki yang rapuh.
“Nggak peduli kamu perempuan atau laki-laki. Hati aku masih setia pada tempat yang sama, Jeff. Di hati kamu. Dan selamanya akan bertahan disitu.”
Jeffry bergeming.
“Belum terlambat untuk berubah, Jeff. Kita jalani semua dari awal bareng-bareng. Aku mohon, jangan begini lagi ya? Aku cinta sama kamu. Aku akan memandangmu sebagai Jeffry Nathanael, suami yang sudah bersedia meminang ku. Menjadikan ku ratu dihati kamu. Bukan sebagai Steffi Gabrielle. Mau ya, Jeff?” Tanya Anne diiringi dengan nada lirih namun serius. Ia tidak main-main. Semua yang Anne ucapkan barusan, murni dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Anne merasa bahwa Jeffry bisa berubah. Lelaki itu hanya perlu sosok yang membuat dirinya merasa diperhatikan, disayang, dan mau menemaninya. Karena dari kecil, Jeffry tidak pernah merasakan tumbuh dengan ditemani oleh orang-orang yang menyayanginya. Justru ia tumbuh bersama orang-orang yang menyiksanya.
“AKU BILANG DIAM!”
DOOORRRR!!
Suara tembakan terdengar. Anne tidak bisa berkata-kata lagi, saat peluru panas itu mengenai dadanya. Ya, Jeffry menembak Anne tepat di dada wanita itu.
“A ... Anne ....” Jeffry seperti sadar bahwa ia baru saja menembak Anne. Tangannya gemetar seketika, kedua matanya membulat saat menemukan Anne mulai kehilangan kesadaran. Darah mengalir memenuhi dada istrnya.
Tanpa berbasa-basi lagi, Jeffry langsung berjalan menghampiri Anne dan memeluk daksa sang istri. Ya Tuhan, apa yang sudah ia perbuat? Jeffry tidak ingin Anne mati.
“Ann. Kamu harus bertahan ya. Aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang.” Jeffry mengelus sayang pipi Anne, disaat wanita itu mulai tidak sadarkan diri.
“No! Jangan mati.” Tangisan Jeffry seketika pecah. “Jangan tinggalin aku, Ann. JANGAN PERGI!!!”
BRAAAKKKK Suara pintu terbuka.
Menampakkan Pak Josh datang bersama beberapa anak buahnya. Setelah hampir dua jam mencari keberadaan sang putri. Akhirnya Pak Josh menemukan ruangan rahasia ini. Akan tetapi, alangkah terkejutnya beliau saat mendapati Anne yang sudah dipenuhi darah dan terkapar tidak berdaya di pelukan Jeffry.
“ANNE!” Pak Josh langsung berlari menghampiri putri semata wayangnya itu.
“MINGGIR BRENGSEK!” Pak Josh mendorong Jeffry menjauh dari daksa putrinya. Dan seketika anak buah Pak Josh langsung memborgol kedua tangan Jeffry dan menyeret lelaki itu untuk keluar dari sana.
Anne sudah tidak sanggup lagi. Wajahnya sudah sangat pucat. Ditambah darah semakin mengalir deras memenuhi daerah dadanya. Telinganya berdengung. Anne tidak bisa mendengar secara jelas saat sang ayah mengajaknya berbicara dengan raut wajah yang sangat cemas. Dan diujung sana, Anne merasa bahwa ada kehadiran sang ibu. Beliau berdiri dengan sinar putih mengelilingi tubuhnya. Tersenyum manis ke arah Anne seperti sedia kala.
Dan detik selanjutnya. Anne pun tidak sadarkan diri.