bagian seratus dua puluh tujuh; akhir dari kisah seorang psikopat.
Anne duduk termenung di balik bilik yang terbuat dari kaca. Kurang lebih sudah hampir sepuluh menit Anne menunggu kedatangan seseorang.
Tak lama kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Menampakkan Jeffry, dengan seragam tahanannya, serta kedua tangan yang terborgol ke depan. Membuat hati Anne perih melihatnya.
“Hai Jeff. Apa kabar?” Anne berusaha menyapa lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu, dengan diiringi senyum yang dipaksa mengembang.
“Hai. Aku baik.” Jawab Jeffry singkat dengan suara yang berat dan serak.
“Waktu kalian hanya lima belas menit.” Ujar penjaga ruangan tersebut lalu pergi meninggalkan suami-istri itu untuk menghabiskan waktu bersama.
Anne menundukkan kepalanya. Wanita itu harus terlihat tegar walau dirinya saat ini tidak sanggup menatap wajah Jeffry. Wajah itu sudah tidak terawat lagi. Rambut yang sudah mulai gondrong. Beberapa jerawat hampir memenuhi wajah tampannya. Serta bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di daerah dagunya.
Tanpa menunggu lama lagi, Anne kemudian mengambil amplop cokelat berukuran sedang dari dalam tasnya. Kemudian ia letakkan amplop tersebut di atas meja.
Anne sedikit mengulum bibirnya, “Ini surat cerai yang kamu minta, Jeff.”
Jeffry memandangi amplop cokelat itu dengan tatapan nanar. Ia membuka amplop tersebut dan membaca surat pernyataan cerai yang harus ia tanda tangani. Dan detik selanjutnya, Jeffry menanda tangani surat itu.
Ya, mereka sudah resmi bercerai hari ini.
“Sudah aku tanda tangani.” Ucap Jeffry singkat, sambil tersenyum lirih ke arah mantan istrinya.
Anne yang tidak tahu harus berkata apa, ia mengambil kertas tersebut dan membaca satu per satu huruf yang tertulis disana. Hatinya seketika hancur. Keluarga yang ia impikan sejak dulu, keluarga yang akan selamanya hidup dengan harmonis, penuh cinta dan kasih sayang. Kini, semua impian itu harus sirna. Tidak ada lagi kebahagiaan. Melainkan kehancuran rumah tangga yang membuat Anne tidak bisa berdiri dengan tegak.
Tangisan Anne seketika pecah saat itu juga. Apakah ini benar-benar sudah berakhir? Untuk dirinya dan juga Jeffry?
“Hei. Kok nangis?” Tanya Jeffry dengan nada yang melembut. Sungguh, Anne ingin sekali memeluk daksa mantan suaminya itu dengan sangat erat, sebelum lelaki itu akan melakukan eksekusi matinya dua hari ke depan.
“Aku nggak sanggup, Jeff.” Anne mulai sesegukan. “Aku nggak sanggup hidup tanpa kamu.”
“Ann, look at me.” Jeffry menyuruh Anne untuk menatapnya untuk yang terakhir kalinya. “Kamu pantas buat hidup bahagia. Dan bahagia mu adalah tanpa aku.”
Anne menggelengkan kepalanya perlahan. Merasa bahwa ucapan Jeffry barusan adalah salah, “No. aku bahagia waktu sama kamu. Kamu sumber kebahagiaan aku. Kamu suami sekaligus ayah yang bertanggung jawab, Jeff. Aku masih sayang sama kamu.”
“Jangan berharap lagi soal kita ya, Ann.” Jeffry masih berusaha untuk menunjukkan senyum terakhirnya. “Kisah kita, cukup sampai disini.”
Anne sudah tidak tahu harus berkata apa lagi. Disisi lain ia masih ingin menghabiskan waktu bersama Jeffry dalam kurun waktu yang sangat lama. Namun disisi lain juga, ini sudah menjadi balasan yang setimpal untuk Jeffry. Divonis hukuman mati, adalah balasan atas semua perbuatan keji yang telah dilakukan oleh Jeffry selama ini.
Akan tetapi, Anne masih belum rela.
“Jaga Luna dengan baik. Titip salam ku ke anak kecil itu, kalau aku sangat menyayanginya. Dia sudah ku anggap sebagai anak kandung ku sendiri.”
Anne tidak menggubris. Ia masih sibuk menangis tersedu-sedu sambil terisak.
“Dan berjanjilah, setelah ini kamu harus hidup dengan bahagia, Ann. Hapus rasa sayang itu pada diri kamu. Karena aku nggak pantas mendapatkan itu.” Imbuh Jeffry kemudian. Kalau boleh jujur, hati lelaki itu juga sama terlukanya dengan Anne.
Seperti dua sejoli yang sudah saling mencintai. Tetapi harus dipaksa berpisah oleh takdir. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari itu.
“Waktu kalian sudah habis.” Ujar penjaga ruangan itu.
Jeffry kemudian beranjak dari duduknya. Mulai melangkah menjauh dari pandangan Anne tanpa berkata apa-apa.
“Jeff.”
Sang pemilik nama pun menoleh. Anne tidak langsung melanjutkan kalimatnya. Wanita itu ingin menatap wajah Jeffry dengan sangat dalam. Merekam detail wajah itu melalui indra penglihatannya, sebelum Jeffry benar-benar pergi meninggalkan ruangan ini.
“Aku mau tanya sesuatu.”
Jeffry dibuat bingung sekaligus penasaran oleh mantan istrinya itu. “Tanya apa, Ann?”
Sejenak Anne berusaha menelan salivanya, sebelum ia melontarkan pertanyaan terakhirnya.
“Apa kamu mencintai ku sama seperti aku mencintaimu?”
Jeffry tertegun dengan pertanyaan Anne barusan. Pertanyaan soal perasaan yang selama ini Jeffry rasakan saat menghabiskan separuh hidupnya bersama wanita itu.
“Ya.” Jeffry tersenyum ikhlas, “Aku mencintai mu.”
Kini, gantian Anne yang tertegun. Sudah ia duga, Jeffry pasti merasakan perasaan yang sama dengan dirinya. Mereka berdua sudah menghabiskan waktu yang terbilang sudah cukup lama. Dan Anne sangat yakin bahwa Jeffry mencintainya juga. Walau berkali-kali lelaki itu bilang bahwa tujuan ia mendekati Anne atas dasar dendam pribadi.
“Maka dari itu. Berbahagialah. Cari lelaki yang lebih baik dari aku. Hanya itu satu pinta ku untuk mu. Aku pamit.”
Setelah mengeluarkan sepatah kalimat terakhir. Jeffry benar-benar pergi meninggalkan Anne seorang diri. Meninggalkan perasaan yang masih membekas di relung hati Anne yang terdalam.
Semua sudah hilang. Senyuman, harapan. Bahkan serbuk-serbuk kebahagiaan itu tidak lagi tersisa. Yang tersisa saat ini hanyalah kehilangan. Kehilangan menjadi saksi bisu kisah percintaan Anne dan Jeffry yang harus kandas di tengah jalan.
Dan ini lah akhir dari kisah seorang psikopat bernama Steffi Gabrielle/ Jeffry Nathanael. Tidak semua orang jahat, terlahir untuk menjadi jahat. Tapi terkadang, orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti.
—selesai—