Bagian tujuh ; Pergi dan Kembali.
Suasana yang menyelimuti sore itu amat sangat mencengkam. Siap untuk membunuh jiwa Nagara saatt itu juga. Nagara langsung terbang dari Singapura menuju Jakarta saat membaca pesan dari Hendra. Bahkan pesan tersebut belum terbalaskan. Nagara hanya membaca beberapa kalimat dan langsung memesan tiket pesawat untuk segera pulang.
Joey akan melahirkan hari ini. Itu inti dari pesan Hendra. Tapi, bukankah usia kehamilannya baru menginjak tujuh bulan?
Persetan dengan usia kehamilan. Yang Nagara pikirkan hanyalah Joey, Joey, dan Joey. Kondisi istrinya adalah alasan utama Nagara pulang, setelah hampir dua minggu ia bersembunyi.
Sial, mengapa koridor Rumah Sakit ini sangat panjang? Nagara tidak sabar untuk segera bertemu dengan istri tercintanya, dan berjuang bersama untuk melahirkan buah hati mereka.
Satu menit berlalu, akhirnya Nagara bertemu Hendra. Lelaki itu sedang berdiri di depan ruangan. Menundukkan kepalanya karena panik dengan kondisi wanita yang ada didalam ruangan tersebut.
“Dimana Joey?” Nagara langsung menanyakan keberadaan Joey pada Hendra.
“Akhirnya lu dateng juga, brengsek. Dia di dalam.” Jawab Hendra yang masih tersulut emosi.
Tidak mempedulikan emosi Hendra. Nagara segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Saat masuk, keadaan semakin mencengkam. Ada Dokter Fransiska dan beberapa perawat disana. Serta Joey. Wanita itu sedang merintih kesakitan. Istri mu sekarat, Nagara.
“Bapak nagara... Akhirnya anda datang juga.” Dokter Fransiska berjalan menghampiri Nagara.
Nagara tidak bergeming. Matanya masih tertuju pada sang istri yang sudah memakai baju rumah sakit, dan tidur terlentang di atas kasur bangsal sambil menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.
“Ada yang mau saya bicarakan, pak.” Imbuh Dokter Fransiska, membuat obsidian Nagara kini teralihkan pada wanita berpakaian medis itu.
“Sorry... Mau bicara apa dok?” Nagara mencoba untuk fokus, meskipun pikirannya sedang kacau saat ini.
“Benar seperti apa yang saya bilang kemarin. Jantung ibu Joey, mulai lemah kembali. Saya sarankan untuk melakukan operasi caesar, pak. Demi keselamatan ibu Joey, dan juga bayinya. Tapi...” Dokter Fransiska menggantungkan kalimatnya. Tersirat raut wajah ragu disana. Membuat hati Nagara semakin tidak tenang.
“Tapi apa dok?”
“Ibu Joey... tetap ingin melahirkan secara normal, pak.”
Nagara seketika menatap Joey dengan tatapan tidak menyangka. Istrinya itu masih saja keras kepala. Ini menyangkut keselamatan Joey dan juga bayinya. Nagara tidak bisa diam saja. Lelaki jangkung itu kemudian berjalan menghampiri Joey. Berdiri di samping istrinya yang susah payah mengatur deru napasnya.
“Joey...” Panggil Nagara dengan lembut. Namun tidak digubris oleh sang pemilik nama. Tangannya lalu mengusap peluh yang mengalir di sekujur wajah cantik itu. “Ini bahaya sayang. Operasi caesar saja, ya?”
Joey menggelang pelan. Ia masih tetap pada pendiriannya untuk melahirkan secara normal. Bukan apa-apa. Hanya saja, Joey merasa ia sanggup untuk melahirkan buah hatinya secara normal.
“Joey... dengerin saya....”
“Nggak mau!” Kini, wajah pucat itu menatap Nagara dengan sorot mata yang begitu tajam. “Aku bisa, mas!”
Tatapan mereka bertemu. Posisi wajah mereka sangat dekat. Nagara sampai bisa merasakan deru napas istrinya yang sedang memburu. Sakit. Itu yang dirasakan Nagara saat ini. Melihat Joey yang merintih kesakitan, Nagara seperti ingin mati saja sekarang.
“Aku yang mengandung, aku yang merasakan sakit, aku mual, aku pusing. Dan sekarang, aku yang melahirkan dia. Jadi aku berhak buat ambil keputusan!” Ujar Joey penuh dengan penekanan. Berharap suaminya itu menuruti apa yang ia mau.
Nagara tidak bisa barkata-kata lagi. Hati Joey seketika menjadi sekeras batu yang tidak bisa ditembus oleh setetes air pun. Mau tidak mau, Nagara mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
'Tidak apa-apa Nagara, Pasti ada pelangi setalah hujan, bukan?'
Nagara lalu menoleh ke arah Dokter Fransiska. Kepalanya mengangguk pelan. Menyuruh dokter cantik itu untuk melanjutkan persalinan istrinya.
Dan disinilah Nagara sekarang, menjadi orang yang paling panik sedunia. Menggenggam tangan sang istri yang sudah basah karena keringat. Hatinya bergetar mendengar teriakan kesakitan itu. Kedua kakinya seketika lemas saat itu juga.
Sudah ribuan kali Nagara memanjatkan do'a. Berharap Tuhan benar-benar mendengarkan do'anya kali ini. Dahi jenjang itu ia kecup dengan sayang. Nagara ketakutan setengah mati. Takut jika kekhawatirannya selama ini menjadi kenyataan. Ia hanya ingin anak dan istrinya selamat. Tidak lebih dari itu.
Sampai semuanya berlalu, pikiran Nagara masih kosong. Ia bahkan tidak dapat menangkap ucapan selamat dari dokter Fransiska dan para perawat disana. Teriakan istrinya yang tidak lagi terdengar. Membuat napas Nagara yang awalnya menggebu, berangsur normal seperti semula.
“Selamat. Anaknya perempuan.”
Tidak ada yang lebih membahagiakan dari keduanya, baik Joey maupun Nagara. Suara tangisan pertama yang keluar dari mulut bayi mereka, membuat mata Nagara mulai berlinang air mata.
Nagara lalu mengambil bayinya yang sudah terbalut kain putih itu dari gendongan perawat. Memeluk bayi mungil tersebut dengan penuh cinta dan sayang. Tangisan yang nyaring tidak membuat Nagara risih, melainkan membuat Nagara merasa amat sangat bahagia. Kini, ia sudah menjadi seorang ayah.
“Dok... pasien kritis.”
Sampai suara suster yang ada di ujung sana, membuyarkan lamunan Nagara. Nyawanya seolah baru saja dicabut oleh malaikat. Saat Nagara mengalihkan atensinya pada sang istri. Sosok itu memejamkan matanya.
“Ada apa?” Dokter Fransiska kembali menghampiri Joey yang sudah tidak berdaya di atas kasur bangsal.
“Jantung pasien tidak terdeteksi dok.”
Deg... Tubuh Nagara seketika lemas. Pandangannya langsung kosong. Tidak... istrinya tidak boleh pergi.
“Bapak Nagara... kami akan mengurus pasien terlebih dahulu. Bapak bisa menunggu di luar.” Ujar sang perawat kemudian mengambil bayi perempuan itu dari gendongan Nagara.
Nagara masih blank. Apa yang baru saja terjadi? Ia tidak ingin keluar dari ruangan ini. Nagara hanya ingin menemani Joey. Istrinya sedang melawan maut sekarang.
“Siapkan alat kejut jantung.” Suara dokter Fransiska membuat Nagara semakin panik.
Lelaki pemilik nama asli Abimanyu Surya Nagara itu memejamkan matanya. Kedua tangannya mulai menjambak rambutnya. Super panik dan dan super takut. Itu yang mewakilkan perasaanya saat ini.
Dokter Fransiska mulai menempel alat kejut jantung itu tepat di dada Joey.
Percobaan pertama... tidak berhasil.
Percobaan kedua... tetap tidak berhasil.
Dan percobaan ketiga...
Harapan Nagara langsung pupus, saat melihat mesin EKG tersebut masih memperlihat garis lurus. Tidak ada perubahan. Ya Tuhan, selamatkan istrinya.
“Pak. Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan istri anda.” Dokter Fransiska menghampiri Nagara dengan raut wajah menyesalnya.
Satu kalimat yang berhasil meruntuhkan Nagara saat itu. Kalimat yang terngiang dan begitu berdengung di telinganya. Kalimat yang menghancurkannya luar dan dalam.
Nagara masih berharap ini hanyalah mimpi. Joey tidak pergi. Joeynya tidak boleh pergi. Tangisan Nagara langsung pecah. Perlahan, langkahannya mendekati tubuh kaku istrinya. Selang pernapasan tidak lagi tertancap di hidungnya. Wajah yang selalu terlihat cantik itu berubah menjadi pucat. Dan bibir manis itu tidak lagi berwarna merah, melainkan berwarna abu-abu gelap.
“Mas... kamu mau bayinya perempuan atau laki-laki?”
“Apa saja. Yang penting kamu selamat, Joey.”
“Mas... aku pasti selamat. Tuhan pasti punya rencana yang baik buat kita, mas.”
“Joey... kalau misal Tuhan benar-benar mengambil kalian dari saya. Tenang saja, saya pasti akan mencari seribu cara untuk menyusul kalian.”
“J... Joey....” Nagara berusaha memanggil nama istri tercintanya, sambil terisak.
Tangan kekarnya memeluk punggung tangan Joey. Menggenggamnya erat, menciumnya, dan menempelkan tangan dingin itu ke tengkuknya. Membiarkan buliran air matanya mengenai kulit mulus Joey. Dunia Nagara semakin hancur. Setelah kehilangan seorang sahabat, kini Nagara juga harus merasakan kehilangan orang yang paling ia cintai.
“Jangan pergi... Jangan pergi sayang... Maafin aku.” Kalimat menyakitkan itu terdengar lirih.
Ini karma untuknya. Karma karena sudah meninggalkan Joey yang sedang berjuang mempertahankan buah hati mereka sendirian. Nagara, ini karma yang pantas untukmu.
“Maaf... sudah jadi suami yang nggak berguna buat kamu.”
Setelah kalimat maaf terucap dari mulutnya. Nagara merasa ada pergerakan sedikit di jari telunjuk Joey. Lelaki itu terkejut bukan main. Ini bukanlah halusinasinya saja. Nagara benar-benar merasa kalau telunjuk Joey sedikit bergerak.
“Dok... jantung pasien kembali berdetak.” Ujar salah satu perawat, membuat Nagara menangis bahagia.