Bagian Tujuh puluh sembilan; seorang iblis yang bersembunyi dibalik topeng malaikat.

2 jam sebelum kejadian

“LUNA!” Pekik Jeffry yang baru saja mendobrak pintu pembatas ruangan dengan rooftop gedung.

Dengan napas yang tersenggal-senggal serta wajah yang super panik, Jeffry sedikit berlari ke arah William yang sedang menyandera Luna di ujung sana.

“Lepasin anak saya!” Tegas Jeffry dengan sorot mata yang sangat tajam. Bahkan hanya melihat ujung pistol yang sudah menempel di dahi sang anak pun, membuat rahang Jeffry mengeras.

William tersenyum miring. Ia tidak ada sedikitpun niatan untuk menjauhkan pistol miliknya dari kepala gadis ber-usia tujuh tahun itu. Terlihat Luna yang sudah menangis tersedu-sedu sambil memanggil sang ayah agar segera menyelamatkannya.

“Dimana adik saya?!” Tanya William kemudian. Perasaan tegang dan takut tersirat di raut wajahnya saat ini. Soalah ia benar-benar sudah tahu, bahwa ini adalah keputusan dimana dirinya harus bertaruh dengan nyawanya sendiri.

William sudah kehilangan kesabaran saat ia sadar bahwa adiknya sedang diculik oleh oknum yang tak lain dan tak bukan adalah Jeffry. Lelaki iblis ini hanya pintar berakting layaknya tidak tahu keberadaan adiknya saat ini. Tapi dari lubuk hati William yang paling dalam, lelaki itu sangat yakin bahwa Jeffry lah yang membawa sang adik pergi entah kemana.

“Saya tidak tahu adik kamu ada—”

“SAYA TANYA DIMANA ADIK SAYA?!!” Pekik William dengan suara beratnya. Ia semakin mendekatkan pistol ke kepala Luna. “Atau saya benar-benar akan membunuh anak anda disini.”

Mendengar ancaman dari William, membuat Jeffry tidak bisa berkata-kata lagi. Langkahannya mulai mendekat perlahan. Selangkah demi selangkah Jeffry mendekat ke posisi William berdiri saat ini sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan daun telinganya.

“JANGAN MENDEKAT!” William langsung menodongkan pistolnya ke arah Jeffry. Bermaksud untuk melarang lelaki iblis itu untuk mendekatinya. Namun Jeffry seakan tuli. Lelaki berbadan kekar itu semakin mengikis jarak. Dan langkahannya terhenti tepat di 10 cm dari jarak pistol.

Tatapan mereka bertemu. Tangan William yang sedang menggenggam sebuah pistol, gemetar seketika. Sorot mata Jeffry seolah mengisyaratkan bahwa sebentar lagi akan terjadi kiamat di dunia William. Keringat dingin mulai bercucuran, mengalir ke seluruh permukaan kulit di tubuh lelaki ber rahang tegas itu. Angin kencang yang berhembus pun tidak mampu membuat air keringat William berhenti keluar.

Selang sepuluh menit mereka saling berperang tatap. William mulai lengah dan ketakutan, Jeffry langsung mengambil pistol teresbut dengan gerakan tak kasat mata. Jeffry kemudian memelintir tangan William ke belakang punggung kekar lelaki tersebut. Membuat William meringis kesakitan.

“Ayah ....” Luna terlepas dari genggaman William yang sedang meronta ingin Jeffry melepaskan tangannya.

“Sayang, kamu lari ya. Lari seperti kancil yang ada di buku cerita kamu.”

“Tapi Luna takut, ayah.”

“Luna nggak usah takut ya sayang. Di bawah ada bunda yang nungguin Luna turun. Ayah masih mau pukul om jahat ini yang sudah berani culik Luna. Lari ya sayang.”

Luna yang notabenenya masih anak kecil, masih polos, dan tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya bisa menuruti perintah sang ayah. Anak kecil itu langsung lari terbirit-birit keluar dari gedung tersebut. Meninggalkan kedua lelaki dewasa yang akan berperang setelah ini.

Setelah yakin bahwa Luna benar-benar pergi dari sini. Jeffry kemudian melepaskan genggamannya dari tangan William, sambil sedikit mendorong tubuh lelaki jangkung itu ke arah depan. William tertegun. Kenapa Jeffry melepaskannya begitu saja? Karena yang ada dipikirannya sekarang adalah Jeffry yang akan membunuhnya setelah ini.

“BERHENTI!” Pekik William sambil menodongkan pistolnya sekali lagi ke arah Jeffry yang sedang memunggunginya. “Anda tidak boleh pergi dari sini, sebelum anda memberitahu dimana anda menculik adik saya?!”

William sudah sangat lelah jika harus disuruh untuk bersabar sedikit lagi. Ini menyangkut nyawa adik tercintanya, satu-satunya keluarga yang ia punya. Kedua orang tuanya meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan.

Jeffry berbalik. Dan siapa sangka, wajah yang tadinya super panik layaknya orang normal lainnya. Kini, wajah tersebut berubah menjadi sangat menyeramkan. Sosok iblis yang selama ini bersembunyi di benak Jeffry, sudah tersirat di wajahnya. Sorot mata yang lurus kedepan namun tajam mematikan. Mampu membuat sang lawan tidak bisa berdiri tegak. Entah apa yang sudah merasuki diri Jeffry saat ini. Seolah ada 6 iblis yang sudah menguasai tubuh lelaki yang berprofesi sebagai dokter bedah itu.

“Apa? Kamu mau tahu adik kamu sekarang ada dimana?” Tanya Jeffry dengan nada enteng. Tidak peduli jika William sudah menunjukkan rasa khawatirnya sejak tadi.

Sial. William ingin sekali menembak Jeffry saat ini. Tapi kenapa dirinya tidak bisa. Seolah ada yang menahan tangannya, entah itu apa?

Jeffry berjalan mendekat. Membuat William melangkah mundur secara perlahan. Kakinya sudah tidak bisa berdiri tegap karena tatapan Jeffry yang sangat mengintimidasi. Dan detik selanjutnya, tubuh William terjatuh ke bawah. Jeffry berjongkok di hadapan William.

“Mau tahu adik kecil kamu ada dimana, Will?” Tanya Jeffry sekali lagi sambil tersenyum miring.

William mengangguk ragu. Matanya masih kosong ke arah depan, seakan terhipnotis oleh tatapan Jeffry saat ini.

“Kebetulan ... Karena kamu sudah berani melawan saya. Saya ada hadiah buat kamu.” Jeffry merogoh saku celananya. Mengeluarkan selembar foto polaroid berwarna putih. “Tadaaaa ... Special gift for you.”

Kedua mata William seketika membulat dengan sempurna. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Dunianya langsung hancur sepersekian detik saat memandangi jasad adiknya ada di dalam foto tersebut. Adiknya yang sudah tidak bernyawa. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh darah yang menggenang. Tubuh mungil tanpa busana yang sudah disayat ratusan kali. Seperti sapi yang sengaja digorok oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab. Adik kecilnya sudah tiada.

“Bagaimana? Kali ini karya saya bagus kan?”

“ELIZAAAAAA!!!” Pekik William memanggil nama sang adik dengan nada lirih.

Kedua tangan yang gemetar itu terangkat mengambil selembar foto yang ada digenggaman Jeffry. Adik yang sudah menemaninya selama hampir sisa hidupnya. Adik yang manis, adik yang lucu, dan adik yang periang. Kini William sudah tidak bisa lagi melihat sosok periang itu.

“Kenapa anda tega melakukan ini semua? Salah saya apa? Dosa saya apa? Sampai anda tega membunuh anak kecil tidak bersalah ini?” Tanya William dengan pandangan yang kosong.

Jeffry terkekeh pelan sambil kepalanya tertunduk. Merasa senang sudah merusak mental lelaki yang berprofesi sebagai polisi itu. Detik selanjutnya, kekehannya terhenti. Kepalanya terangkat dengan raut wajah yang sangat serius. “Karena kamu sama seperti mereka.”

“Kamu itu tikus bagi saya. Pengkhianat! Semua polisi-polisi itu ... Tidak pantas untuk hidup tenang. Termasuk kamu, William.” Ucap Jeffry sambil mendorong dada William dengan jari telunjuknya.

Dunia sudah tidak berarti lagi bagi William. Melawan Jeffry pun rasanya percuma. Dia yang akan kalah nantinya. Seharusnya ia tidak memutuskan untuk berbuat sejauh ini. Menculik Luna yang justru berimbas dengan kematian adik tercintanya. Ini semua salahnya.

“Tapi saya tidak seperti apa yang anda pikirkan. Saya bukan pengkhianat. Saya selalu menuruti semua kemauan anda. Tapi, apa pantas saya mendapatkan ini semua? Bahkan saya sendiri tidak ingin berurusan dengan anda dari awal!”

Jeffry mendecih pelan lalu mengangkat bahunya tidak tahu, “Entah. Saya hanya muak melihat wajah sok benar dan sok tegas itu. Melihat kalian yang berlagak seperti orang yang paling kuat sepenjuru negeri ini. Membuat saya ingin membunuh kalian semua.”

Tangan Jeffry mengangkat dagu William. Menyuruh lelaki pengecut itu untuk membalas tatapannya. “Seharusnya kamu tidak melihat saya membunuh rekan kerja kamu, Will. Kalau di malam itu kamu memutusukan untuk kabur dan berpura-pura untuk tidak peduli. Adik kamu pasti masih hidup sekarang.”

“BRENGSEK!!!” Pekik William yang sudah dibalut oleh amarah yang memuncak. Tidak peduli lagi jika harus nyawanya yang terancam kali ini. Ia hanya ingin segera melenyapkan iblis yang sudah membunuh adik kesayangannya, adik satu-satunya.

Pukulan demi pukulan mengenai wajah tampan Jeffry secara bertubi-tubi. William seolah ikut dirasuki oleh iblis. Ia memukul Jeffry tanpa ampun. Sudah lama dirinya ingin melakukan ini. Memukul Jeffry yang sudah menggangu hidupnya, dan membunuh psikopat gila yang sudah membuat adiknya pergi dengan cara yang mengenaskan.

Rahang Jeffry patah. Namun lelaki itu masih sempat tertawa disela-sela pukulan keras William, menunjukkan deretan giginya yang sudah dipenuh oleh warna merah darah.

BUGHHHH ....

BUGHHHH ....

BUGHHHH ....

Pukulan itu tidak ada hentinya sampai William merasa puas. Namun sepertinya lelaki itu tidak akan pernah puas karena rasa dendamnya sudah memuncak. William lalu mengambil pistol miliknya dan menodongkan tepat di dahi mulus Jeffry. Jeffry yang masih sibuk tertawa lepas itu seakan tidak takut sedikitpun kalau William bisa menembaknya kapan saja. Lelaki itu tidak kenal takut dengan yang namanya kematian.

William berusaha menekan pedal pistolnya itu. Berperang dengan hati nuraninya yang tidak sejalan dengan otaknya saat ini. Otaknya seolah menyuruhnya untuk segera membunuh lelaki iblis ini. Tapi hati nuraninya justru melarang. William tidak diajarkan untuk menjadi lelaki yang jahat. Membunuh manusia, sama saja mencari masalah dengan Tuhan. Manusia adalah ciptaan murni dari Tuhan. Siapa dia yang berani merusak ciptaan-Nya itu?

“AARRRRGHHHHHHHH!!!!” Pekik William yang langsung beranjak dari tempatnya. Kedua tangannya menutup mukanya yang memerah akibat emosi yang memuncak. Pada akhirnya, ia hanya lelaki pengecut yang selalu mendengar hati nuraninya. Berbuat jahat, bukanlah keahlian William.

Lelaki dengan jaket kulit hitam itu lalu berjalan menuju samping gedung. Berdiri tegak di pembatas rooftop gedung tersebut. Yang jika William melangkah maju sedikit saja, lelaki itu pasti akan terjatuh ke bawah.

William berbalik menghadap Jeffry. Tangan kanannya terangkat hanya untuk mengarahkan pistol ke kepalanya. Lelaki jangkung itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Menyusul sang adik yang sudah lebih dulu meninggalkan dirinya di dunia kejam ini.

Jeffry bangun dari tidurnya. Penampilannya sudah tidak serapih tadi. Kemeja yang penuh bercak darah, wajah yang penuh luka dan lebam akibat pukulan keras dari William. Namun itu semua tidak mampu membuat Jeffry sadar, bahwa semua yang sudah ia lukakan termasuk dosa yang tidak dapat diampuni. Membunuh seseorang adalah dosa terkejam yang pernah ada. Seorang pembunuh kelak akan menghabiskan seumur hidupnya di dalam neraka.

Maka dari itu. Lebih baik William membunuh dirinya sendiri dari pada membunuh orang karena terselimuti oleh dendam yang telah tercipta di dalam benaknya. Ia lebih baik mati dengan tenang daripada harus hidup menjadi boneka iblis tidak tahu diri ini.

“Ohhh ... Ok kalau itu mau kamu. Saya akan bantu.” Ujar Jeffry kemudian. Tangannya terangkat membentuk sebuah pistol, lalu mengarahkannya tepat di kepala William.

Jeffry memiringkan kepalanya sedikit sambil menyipitkan matanya. Layaknya ingin menembak seseorang.

“Satu ....”

“Dua ....”

“Tiga ....”

DOOOORRRRRR!!!

William pun menembaki dirinya sendiri. Tubuhnya seketika terjatuh ke bawah. Suara pekikan seseorang terdengar dari bawah. Seseorang yang berhasil menemukan mayat William dalam keadaan yang mengenaskan.

Jeffry melangkah tertatih menuju samping rooftop. Memandang ke bawah sambil tersenyum penuh kemenangan. Detik selanjutnya, pandangannya bertemu dengan Pak Josh. Ayah mertuanya itu menatap Jeffry dengan mata yang terbakar, penuh dendam, dan penuh ambisi untuk membunuh Jeffry saat ini juga.

Saat Pak Josh memerintahkan anak buahnya untuk segera naik ke arah rooftop. Jeffry langsung mencari suatu benda yang setidaknya bisa membantunya kali ini. Dan ketemu. Sebuh pisau lipat entah punya siapa berada tidak jauh darinya. Tanpa perlu berpikir panjang, Jeffry menusuk dirinya sendiri tepat di perut sebelah kirinya. Seolah dirinya habis ditusuk oleh William. Tubuhnya pun tersungkur ke bawah.

Cerdik sekali rencana mu, Jeff.

Beberapa menit kemudian, derap langkah seseorang mulai mendekat. Salah satu anak buah Pak Josh lalu membuka pintu rooftop tersebut. Dan mereka berhasil menangkap Jeffry yang tengah sekarat dengan perut yang penuh darah. Anne ada disana, diam-diam wanita itu mengikuti ayahnya serta anak buah ayahnya pergi.

“JEFRRRYYYYY!!!” Pekik pelan Anne. Wanita tersebut langsung berlari ke arah suami tercintanya. Mengangkat kepala Jeffry dan ia letakkan di atas pahanya. “Jeff. Astaga kamu berdarah!.”

Anne menutup bekas tusukan pada perut Jeffry menggunakan tangan kanannya, supaya suaminya itu tidak mati karena kehabisan darah.

“KALIAN KENAPA DIAM AJA? PANGGIL AMBULANS!!!” Pekik Anne pada anak buah ayahnya. Wajahnya begitu panik saat mendapati Jeffry yang sudah mulai kehilangan alam sadarnya.

Pak Josh yang melihat pemandangan tersebut hanya bisa bernapas pasrah. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Melihat putrinya yang lebih percaya dengan psikopat pembunuh berantai ini, menciptakan luka yang sangat mendalam di hati Pak Josh.

Tidak disangka. Semua kebaikan dan kepolosan yang ada pada diri Jeffry, ternyata hanya kepalsuan dan tipu daya belaka. Layaknya Seorang iblis yang selama ini bersembunyi dibalik topeng malaikatnya.


—jaemtigabelas