bagian tujuh puluh tiga; rak buku.
Hari ini, Anne terpaksa harus kerja setengah hari. Dikarenakan pikiran yang tidak bisa diajak bekerja sama. Sejak insiden meminum susu semalam, membuat perasaannya menjadi campur aduk. Maka dari itu, daripada Anne tidak bisa fokus dengan pekerjaannya, lebih baik ia pulang dan mengistirahatkan otaknya sejenak. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri saat ini.
Suara air mendidih yang berasal dari panci berisi sup daging itu sama sekali tidak menggoyahkan lamunan Anne. Pandangannya kosong ke depan. Namun tangannya tetap sibuk memotong wortel yang bentuknya mulai tidak beraturan. Sampai detik ini, Anne masih memikirkan alasan mengapa Jeffry tega memberikan obat tidur tanpa sepengetahuannya? Jika dia benar-benar peduli pada Anne, bukankah lebih baik kalau suaminya itu berkata jujur dari awal.
“Awwww ....” Anne meringis kesakitan, saat bilah pisau itu tidak sengaja mengenai jari telunjuknya. Ia langsung menghisap darah yang mengalir keluar dari telunjuknya.
Anne segera mengambil kotak P3K nya lalu mengambil plaster untuk menutupi luka yang ada di jari telunjuknya itu.
“Bunda ....” Rengek Luna yang sudah berada di hadapan Anne.
“Kenapa sayang?” Anne sedikit berjongkok. Menyamakan tingginya dengan tinggi sang putri.
“Luna mau ambil bola yang tadi Luna mainin, bun. Sekarang bolanya ada di ruang kerja ayah.” Ucap anak tujuh tahun itu dengan mata yang masih fokus ke arah bawah.
“Heiii sayang. Lihat bunda.” Anne memegang kedua bahu sang anak, menyuruh Luna untuk menatap matanya. “Kamu ambil sendiri ya. Kan udah besar. Bunda masih mau bikin sup buat Luna.”
“Tapi bun, Luna takut.”
Alis Anne berkerut. Merasa janggal dengan perilaku Luna saat ini. Anak tujuh tahun itu tidak biasanya takut dengan suatu hal. Karena sejak kecil, Jeffry selalu mengajari Luna untuk menjadi gadis yang pemberani. Maka dari itu, Anne merasa heran saat mendengar kata ‘takut’ keluar dari mulut anaknya itu.
Demi kemauan sang putri, Anne berjalan menuju ruang kerja Jeffry sambil menggandeng Luna yang bersembunyi dibelakang tubuhnya. Ia lalu membuka sedikit ruang kerja Jeffry dengan perlahan. Ruangan ini seperti ruang privasi bagi Jeffry. Tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam ruangan tersebut, tanpa sepengetahuan Jeffry sebelumnya. Anne juga tidak tahu mengapa? Tapi namanya juga privasi. Anne tidak bisa berbuat apa-apa.
Saat ibu dan anak itu masuk. Wangi harum rasa kopi itu langsung menusuk ke lubang hidung mereka. Sebenarnya yang membuat Anne suka dengan ruang kerja Jeffry adalah wangi kopi ini. Wangi kopi yang bisa membuat pikirannya tenang. Andai saja suaminya itu tidak menjadikan ruangan ini sebagai ruang privasinya. Anne ingin berlama-lama berada disini. Tidur di atas sofa yang terletak di ujung ruangan. Memandangi pemandangan kebun di belakang rumah. Ahhh ... Anne sangat menyukai ruangan ini melebihi kamarnya sekalipun.
“Nahhh ... ini bola kamu sayang.” Anne mengambil bola berukuran sedang yang terletak di tengah ruangan, lalu berbalik menghadap Luna. Namun yang ia dapati adalah anak gadis itu justru menatap takut ke arah rak buku yang terletak di sebelah kanannya.
“Kenapa sayang?” Tanya Anne meyakinkan.
Luna tidak menjawab. Tidak tahu apa yang sedang anak itu itu pikirkan. Luna langsung berlari terbirit-birit meninggalkan ruang kerja sang ayah. Persis seperti seorang anak yang baru saja melihat hantu yang sangat menyeramkan.
Merasa ada yang tidak beres dengan sang putri. Anne kemudian menatap rak buku yang menjulang ke atas memenuhi ruangan tersebut. Rak yang memiliki pembatas dengan rak yang lain. Karena penasaran, Anne pun berjalan mendekat ke arah rak tersebut.
Tidak ada yang mencurigakan sebenarnya. Hanya terdapat beberapa tumpukan buku tebal yang Anne yakini itu adalah buku tentang anatomi tubuh, ilmu kedokteran, dan buku lainnya mengenai profesi Jeffry selama ini.
Namun, saat Anne ingin menyentuh rak tersebut. Ponselnya tiba-tiba berdering. Menandakan ada panggilan masuk. Wanita itu langsung mengambil ponsel dari saku celananya. Menampakkan kontak bertuliskan ’My Husband ❤️’ disana.
“Halo, Jeff?” Anne pun langsung mengangkat panggilan Jeffry. Seperti tidak terjadi apa-apa.
”Aku ketinggalan sesuatu. Bisa kamu antar berkas yang ada di meja kerja aku ke rumah sakit sekarang, Ann?”
Anne lalu melirik meja kerja Jeffry yang terletak tepat di sebelah kirinya saat ini.
“Ohhhh iya, berkasnya ada disini. Tapi maaf, Jeff. Kepala aku masih pusing. Aku minta Pak Yanto yang anter berkasnya ya?”
”Ya udah nggak papa. Kamu istirahat yang cukup ya. Cepat sembuh. Love you.”
Wanita itu tersenyum, “Love you too.” Dan langsung menutup panggilannya.
Pandangan Anne kini terfokus pada berkas yang ada di atas meja kerja Jeffry. Ia mengambilnya dan segera keluar dari ruang kerja itu. Akan tetapi, saat pintu ruangan tersebut tertutup rapat. Anne tidak pernah tahu, bahwa ada kamera cctv yang menyala di balik tirai jendela.
—jaemtigabelas