Jawaban yang tidak diharapkan.

Anne baru saja bertemu dengan Jeffry asli di dalam mimpinya. Lelaki itu nampak sangat bahagia, amat sangat bahagia daripada kemarin. Sambil mengucapkan kata-kata terima kasih pada wanita cantik itu. Terima kasih karena berkat Anne, kini Jeffry yang asli bisa pergi dengan tenang. Akan tetapi, justru Anne yang menjadi sangat khawatir akan kedepannya seperti apa nantinya? Karena sekarang, identitas Jeffry sudah terkuak. Membuat posisi suaminya itu terancam.

Di tengah tidur lelapnya, Anne tiba-tiba terbangun saat mendengar suara gedoran begitu keras pada pintu rumahnya. Ia melirik jam yang menunjukkan pukul sebelas malam. Siapa yang datang ke rumahnya selarut ini? Apakah mungkin itu Jeffry yang sudah memutuskan untuk pulang? Tanpa basa-basi lagi, Anne langsung beranjak dari tempat tidurnya, lalu berjalan untuk membuka pintu rumahnya.

Saat Anne membuka pintunya, alangkah terkejut dan terharunya ia mendapati sosok Jeffry sedang berdiri di depan rumah. Namun, kondisi lelaki itu membuat hati Anne teriris-iris. Bagaimana tidak, wajahnya yang sangat pucat serta keringat yang memenuhi wajah tampan itu dan tangannya sedang memegang perut sebelah kanan yang bercucuran darah, bisa dipastikan itu luka tusukan Tio saat Jeffry datang untuk menyelamatkan Anne waktu itu.

“Astaga Jeff.” Anne langsung memeluk leher Jeffry dengan sangat erat. Mendekap tubuh kekar itu dengan tangisan yang seketika pecah. Sekian lamanya Anne menunggu, akhirnya Jeffry mau menampakkan dirinya di depannya lagi.

Pelukan mereka terlepas, “Kamu kemana aja sih? Aku nggak bisa tenang gara-gara mikirin kamu.” Racau Anne pada suaminya itu.

Hanya senyuman tipis yang tersungging di bibir lelakinya yang Anne dapatkan. Senyuman yang akan selamanya Anne rindukan. “Syukurlah kamu nggak papa.”

Melihat Jeffry yang semakin kesakitan akibat luka pada perutnya itu, membuat Anne mengerutkan dahinya khawatir, “Iya aku nggak papa. Tapi kamu yang kenapa-napa, Jeff. Masuk yuk, aku obatin luka kamu.” Anne menarik tangan Jeffry, menyuruh lelaki itu untuk masuk ke dalam. Namun Jeffry justru menahannya.

Anne berbalik, menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. Perlahan Jeffry melepaskan tautan tangan Anne pada tangannya. Bibirnya masih terlukis sebuah senyuman. Walau ekspresinya tidak bisa bohong, kalau lelaki jangkung itu sedang menahan rasa sakit yang luar biasa pada perutnya.

“Semua udah berakhir, Ann.” Ucap Jeffry sambil menatap Anne begitu dalam. Kedua matanya berbinar.

“Maksud kamu? Apanya yang berakhir, Jeff?”

Dikala kebingungan Anne, di depan rumahnya tiba-tiba beberapa mobil polisi, dengan lampu sirine mulai berdatangan untuk mengepung rumah Anne dan Jeffry.

“Jeff, kenapa mereka kesini?” Anne semakin bingung dibuatnya.

“ANGKAT TANGAN!!!” Teriak para polisi tersebut sambil menodong pistol yang mereka genggam.

Jeffry mengangkat kedua tangannya setinggi daun telinganya. Matanya masih menatap nanar Anne yang terlihat syok dengan situasi saat ini. Wanita itu butuh penjelasan.

“Aku menyerahkan diri, Ann.”

“Nggak. Nggak ....” Potong Anne cepat dan langsung mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya itu, tangannya menyentuh tengkuk tegas Jeffry. “Ini belum berakhir, Jeff. Aku punya rencana. Aku sembuhin luka kamu, kita kabur ke luar negeri, dan mulai kehidupan baru. Kehidupan untuk kita bertiga, ya. Aku, kamu, sama Luna.” Bisik Anne sambil mencoba untuk tersenyum. Padahal kalau boleh jujur, dadanya sudah mulai sesak. Sangat takut apabila ketakutannya selama ini akan terjadi.

Namun Jeffry menggeleng pelan, menyadarkan Anne yang sebentar lagi akan dihancurkan oleh ekspektasinya sendiri. “Nggak bisa, Ann. Aku harus lakuin ini. Demi kebahagiaan kamu.”

“Kamu kebahagiaan aku, Jeff ... Kamu kebahagiaan aku. Please don't leave me!” Tangisan Anne pecah. Ia kembali memeluk Jeffry sangat erat. Seolah tidak mengizinkan suaminya itu pergi barang sejengkal pun.

Disisi lain, Pak Josh berjalan cepat lalu berdiri di tengah-tengah kerumunan polisi, “TURUNIN PISTOL KALIAN SEKARANG!”

Tidak ada yang menggubris. Semua masih menodongkan pistol ke arah Jeffry yang kini dipeluk oleh Anne. Pak Josh berbalik menatap anak dan menantunya itu dengan perasaan campur aduk. Tidak tega jika harus menembak mati menantunya di depan sang putri.

Kepala polisi yang kebetulan juga ikut dalam penyergapan pun turun dari mobil lalu menghampiri Pak Josh dengan wajah sombongnya itu. Pak Josh membalas tatapan lelaki tua itu tak kalah tajam.

“Minggir Josh. Ini urusan saya. Kamu nggak berhak ikut campur!” Usir kepala polisi tersebut, namanya Pak Yudis.

“Ini bisa dibicarakn dengan baik-baik, pak. Ok, emang kita harus menghukum berat psikopat itu. Tapi jangan ditembak mati di depan anak saya juga.” Pinta Pak Josh yang sepertinya tidak didengar. Hanya masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Pak Yudis masih bertahan pada keputusannya.

Lelaki tua itu maju selangkah, semakin mendekat ke arah bawahannya yang tidak tahu diri menghalangi pekerjaannya. “Saya tidak peduli, Josh. Mau di depan presiden pun, saya tetap akan menembak mati menantu kamu sekarang juga. Dia psikopat yang sudah menghantui kota ini bertahun-tahun, Pembunuh keji yang tidak kenal ampun. Dia pantas ditembak mati.”

Pak Josh menggeleng cepat dengan raut wajah yang memelas, “Pak saya mohon. Kali ini saja, saya akan urus semuanya. Saya pastikan dia dapat hukuman yang berat seperti apa yang orang-orang mau-”

“Orang-orang mau?” Potong Pak Yudis cepat, lelaki itu tertawa dengan nada seraknya, “Josh, Josh. Kamu itu terlalu naif atau gimana, hah? Orang-orang mau dia ditembak mati sekarang juga. Ngerti kamu?”

Pak Josh masih mematung disana. Menatap Pak Yudis sangat memohon. Berharap atasannya itu mau mendengarkannya sekali saja.

“Jadi sekarang kamu minggir, atau saya pecat kamu, Josh.”

Sekali lagi Pak Josh menggelengkan kepalanya pelan. Sebisa mungkin ia membujuk Pak Yudis untuk tidak menembak mati Jeffry. Sebenarnya Pak Josh setuju apabila Jeffry akan dihukum berat atas perbuatan kejinya. Akan tetapi, tidak ditembak mati sekarang juga. Itu akan melukai perasaan sang putri. “Pak, saya mohon.”

Karena Pak Josh yang tak kunjung berpindah tempat, membuat Pak Yudis geram. Lelaki beruban itu berbalik untuk merebut pistol salah satu polisi yang berdiri di belakangnya, dan langsung menembak punggung Jeffry begitu saja.

“JANGAAANNN!!!!”

“DORRR!!!”

“DORRR!!!”

“DORRR!!!”

Tiga peluru berhasil mengenai Jeffry. Semua orang langsung tertegun saat itu juga. Termasuk Anne yang posisinya masih memeluk Jeffry. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat tubuh Jeffry ambruk di pelukannya.

“Jefff ....”

Waktu seolah berhenti sejenak. Wanita berpiyama itu nampak menahan tangis. Tangan mulusnya menyentuh pipi Jeffry, mengusapnya dengan diiringi air mata yang entah sejak kapan jatuh ke permukaan.

“Ann ....” Rintih Jeffry yang masih menatap Anne lekat, walau saat ini ia sedang sekarat. Lelaki itu mulai terbatuk-batuk, mengeluarkan cairan darah dari mulutnya. Tangannya terangkat untuk menghapus jejak air mata sang istri. “Jangan nangis.”

“Jangan pergi. Aku mohon jangan pergiiiii!!” Jerit Anne frustasi.

“Terima kasih ya, Ann. Udah cinta sama aku. Kemarin, selama aku pergi, aku mulai sadar, kalau aku juga cinta sama kamu. Kamu berarti buat aku. Hanya keselamatan kamu yang aku pentingin ... Terima kasih, udah kasih warna dihidup aku, dan udah mau terima apa adanya aku. Kamu harus bahagia ya.”

“Nggak! aku nggak bisa bahagia kalo nggak ada kamu. Sebentar aku panggilin ambulan dulu ya buat kamu. Bertahan, Jeff.”

Jeffry menggeleng. Napasnya terdengar parau. Sedikit demi sedikit lelaki itu kehilangan kesadarannya. Namun, Jeffry masih berusaha untuk tersenyum supaya Anne bisa tenang dan berhenti menangis. “Tuhan benar-benar nggak ngizinin kita bersatu, Ann. Aku ini terlalu jahat buat kamu. Tuhan sayang sama kamu, makanya dia ambil aku biar kamu bisa hidup bahagia.”

“Jangan bilang gitu, Jeff. Aku mohon ... Demi aku sama Luna, ya.”

“Anne ....” Suara Jeffry memelan. Napasnya semakin hilang. “I love you.”

Detik selanjutnya, Jeffry menghembuskan napas terakhirnya. Dia pergi di dekapan sang istri. Anne yang melihat itu seketika menjerit.

“JEEEFFFF!! JANGAN PERGIIII!!” Teriak Anne sambil mendekap erat daksa tak bernyawa suaminya. Tangisan nya semakin menajadi-jadi. Semua rencananya akan memulai kehidupan baru bersama Jeffry hancur seketika.

Para polisi datang menghampiri kemudian mengangkat paksa mayat Jeffry dari pelukan Anne. Wanita itu semakin menjerit. Tangisannya terdengar pilu dan menyakitkan. Tangisan seseorang yang sangat kehilangan.

Pak Josh yang tak kuasa melihat sang putri menangis, langsung memeluknya.

“Kenapa kalian ambil Jeffry dari Anne? Anne cuma mau keluarga Anne utuh, yah. Anne cuma mau hidup bahagia bersama orang yang Anne cintai seperti dulu. Apa itu salah?” Tanya Anne melepaskan tautan sang ayah dan menatapnya sambil sesegukan. Layaknya balita yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya.

Karena tak sanggup untuk menjawab, Pak Josh memilih untuk memeluk Anne. Namun nampaknya sang putri menolak pelukan hangatnya. Wanita itu meronta dan menangis sejadi-jadinya.

“AKU MAU JEFFRY. JEFFRY JANGAN PERGIIIII!!! ARRGHHHHH!!!” Anne menjerit seperti kesetanan.

Sosok Jeffry seolah adalah peran utama dalam dunianya. Tidak ada yang bisa merebut Jeffry dari tempat itu. Karena apabila peran utamanya diambil, maka dunia Anne tidak ada apa-apanya. Kosong dan tandus. Dunia Anne hancur. Setelah perjuangannya untuk mengembalikan keluarganya utuh, apakah ini jawabannya? Jawaban yang sangat tidak Anne harapkan. Semua terasa sia-sia.

Lalu, untuk siapa Anne harus hidup, kalau tujuan hidupnya saja sudah tiada?

To be continued