Lantas.

Suara jentikan jari yang sedikit mendominasi ruangan berkaca itu. Lelaki jangkung berumur dua puluh enam itu tengah menunggu sang pujaan hati datang dengan senyum merekahnya. Sosok gadis yang sudah membuat hari-harinya menjadi lebih berwarna. Tenggara, lelaki itu sudah mencintai Nayla sejak duduk dibangku SMA.

Namun naasnya, perasaan lelaki yang biasa dipanggil Ten itu tidak pernah terbalaskan. Beberapa kali dirinya harus menelan rasa pahit percintaannya sendiri karena ketidakpekaan Nayla pada dirinya.

Melihat Nayla yang sering bergonta-ganti pacar adalah bumbu pahit yang harus Ten telan berkali-kali. Mulai dari pacaran dengan kapten basket, kapten futsal, sampai pacaran dengan ketua BEM fakultas bernama Ajun Perwira.

Mungkin Ten bisa senang saat ini, karena dirinya baru mendengar beberapa minggu yang lalu, Nayla resmi memutuskan hubungannya dengan Ajun—si ketua BEM yang diidam-idamkan kaum hawa—. Dengan alasan karena pria bertengkuk tegas itu super sibuk dan jarang memberikan waktu untuk Nayla.

Senyuman Tenggara seketika mengembang tipis. Sambil menatap bucket bunga tulip berwarna putih yang sudah ia siapkan sejak tadi, Ten berharap bahwa kali ini ia bisa mengutarakan perasaannya yang sempat terpendam selama enam tahun lamanya.

Lama bukan? Namun lantas kenapa Ten masih bertahan dengan perasaan semu tersebut?

Jawabannya adalah cinta. Kalau tidak cinta, tidak mungkin pria berdarah thailand itu setia menunggu gadis selama enam tahun tanpa ada kejelasan apa-apa. Sesimple itu kadang, hanya saja perjuangan untuk mendapatkan perhatian Nayla yang tidak simple.

Detik selanjutnya, yang ditunggu pun datang juga. Nayla, dengan dress sederhana namun masih nampak elegan berwarna kuning mentari, serta senyumannya yang selalu indah mengalahkan desir pantai sekali pun. Gadis itu, tidak ada hentinya membuat jantung Ten berpacu sangat cepat hanya dengan menatap senyuman manis itu.

Melihat kedatangan Nayla, Ten lalu segera menyembunyikan bucket bunga tulipnua dibelakang punggung. Berniat untuk memberi kejutan pada gadis manis itu.

”Nay gue mau...”

”Ten... ten... lo tahu nggak sih? Ajun kemarin tiba-tiba datang ke rumah gue. Dan lo tahu tujuan dia datang ke rumah tuh apa?” Potong Nayla dengan nada yang super excited.

”Ap... apa?” Tanya Ten ragu. Please untuk kali ini saja takdir berpihak padanya.

”Ajun mau ngelamar gue.”

Seolah ada petir yang menyambar Ten saat ini, pria bersurai hitam itu tidak tahu harus berekspresi apa. Senyuman yang ia pasang lebar sejak tadi, kini perlahan luntur akibat dikecewakan oleh ekspektasinya sendiri.

”Lo pasti bisa bayangin betapa bahagianya gue kemarin waktu Ajun datang sambil bawain bucket bunga tulip warna putih ke rumah? Ahhhh sumpah gue pikir gue bakal pisah beneran sama dia. Tapi ternyata Ajun cowok yang se so sweet itu ya?”

Ten hanya bisa tersenyum pahit setelah itu. ”Hehhehe iya nay. Congrats ya buat lo, gue ikut seneng.”

Dan tanpa Nayla sadari, dari belakang Ten sedang meremas bucket bunganya begitu kuat. Menumpahkan rasa sakit dan kecewanya pada bunga tak bersalah itu. Apakah takdir benar-benar membencinya? Kenapa dirinya tidak diizinkan untuk merasakan kebahagiaan sedikitpun?


Hari terasa ramai untuk hari sabtu. Ini sudah hari ke sembilan semenjak Nayla mengumumkan bahwa ia akan menikah dengan calon suaminya nanti pada Tenggara. Ya, pada akhirnya mereka akan menikah. Mengabaikan perasaan hancur yang sudah Ten alami beberapa hari kemarin.

Dan sekarang, Nayla meminta tolong Ten menemaninya food testing untuk catering pernikahannya nanti. Karena sebelum ini, Nayla ditimpa drama yang begitu memusingkan. Catering makanan yang sudah Nayla sewa untuk resepsi hilang tanpa kabar. Untungnya, ada catering lain yang menyanggupi membuat makanan untuk 400 orang dengan deadline semepet ini.

”Makasih ya Ten, udah mau nemenin gue. Sorry ngerepotin.” Kata Nayla saat masuk ke kursi mobil samping Ten.

”Kapan sih lo nggak ngerepotin gue.” Jawab Tenggara dengan nada bercandanya.

”Gue pulang naik grab kok. Janji cuma nganterin doang, gue tahu lo pasti sibuk.”

Ten hanya bisa tersenyum miris saat itu.

”Bener-bener ya, tinggal tiga hari lagi nikah ada aja dramanya.” Kesal Nayla sambil menyandarkan kepalanya pada kepala kursi mobil dengan mata yang terpejam.

Nayla memang sengaja mengajak Ten untuk menemaninya food testing. Selain Ajun yang sedang ’dipingit’, calon suaminya itu sedang berada di luar kota untuk menyelesaikan urusan disana.

Ada yang berbeda dengan mobil milik Tenggara. Mobilnya sunyi, tidak ada suara yang biasanya menemani perjalanan mereka berdua. Nayla lalu menyalakan radio mobil, dan seketika alunan musik pop terdengar disana. Namun nampaknya Ten tidak nyaman dengan itu. Pria yang sedang memegang setir itu tiba-tiba mengecilkan volume radio dan berkata,

”Gue lagi pusing nih. Suaranya kecilin aja ya.” Kemudian Ten kembali menatap jalanan.


Di ruang food testing, satu per satu makanan ditampilkan ke atas meja yang sudah diduduki oleh Nayla dan Tenggara. Ditengah-tengah mencoba kambing guling, Nayla merasakan aura aneh yang terpancar pada diri sahabatnya itu. Ten berulang kali menghela napas beratnya dan wajahnya masih terlihat murung. Ada yang aneh, maka dari itu Nayla memberanikan diri untuk bertanya.

”Ten, lo kenapa sih kok beda banget hari ini?”

Bukannya menjawab, Ten malah mendekatkan dirinya dan berbisik pelan di telinga Nayla. ”Mau tahu aja apa mau tahu banget?”

Dengan ekspresi geram, Nayla menjawab, ”Lo bercanda lagi gue siram ya.”

Tenggara sedikit tergelak saat itu, menjahili Nayla sudah menjadi hobby nya setiap hari.

”Yaudah... beneran ya lo mau tahu kenapa gue tiba-tiba begini.”

Iya bener. Cepetan ngomong lama banget deh.” Ujar Nayla sambil meneguk es jeruk digelasnya itu.

”Gue sayang sama lo nay.”

”UHUUUKKK... UHUUUKKK... UHUUKKK...” Nayla tersedak. Bulir es jeruk nyangkut ditenggorokan

”Kok sampai keselek sih? Nih air putih.” Kata Ten sambil menyodorkan air putih miliknya yang belum ia jamah sedikitpun.

Nayla kemudian melotot ke arah Ten yang sedang menatapnya santai. Apa dia tidak tahu bahwa kalimatnya barusan bisa membuat jantungnya hampir mau copot?

”Lo bercanda kan Ten?” Bisik Nayla.

”Nggak, gue serius.” Jawab Ten singkat.

Gadis bercardigan coklat itu semakin melotot ke arah Ten. ”Hah? Lo sayang sama gue? Lo bego apa gimana sih?”

Ten masih tak berkutik. Ia menatap obsidian Nayla dengan sangat lekat dan penuh arti.

”Kita kan udah bahas ini lima tahun yang lalu Ten. Kita udah janji bakal best friend forever. Tapi kenapa lo tiba-tiba kayak gini?”

”Ya kan itu lima tahun yang lalu Nay.”

”Terus?”

”Terus gue begini sekarang.” Ujar Ten sambil mengedikkan kedua bahunya.

Nayla lalu meletakkan garpu serta sendok yang sedari tadi bertengger dijemarinya. ”Kenapa lo jadi sayang sama gue Ten? Kok bisa-bisanya lo begitu?”

”Nay...” Ten mengatur letak duduknya agar lebih leluasa berbicara empat mata dengan sang lawan bicara. ”Gue nggak bisa ngatur hati gue maunya gimana. Dia maunya lo nay, gimana dong?”

”Gimana dong?” Tanya Nayla dengan dahi yang sedikit mengernyit.

”Iya, gimana dong?”

Nayla memejamkan matanya sejenak. Mencoba mengatur napas yang mulai memburu keluar dari rongga hidungnya. ”Tenggara, kenapa ini jadi tanggung jawab gue? Ini kan perasaan lo, lo urus sendiri lah.”

”Ya makanya ini gue bilang ke lo.”

”Ya nggak di food testing nikahan gue juga dong.” Nayla semakin kesal dibuatnya.

Gadis dengan rambut bergelombang sempurna itu tak habis pikir dengan cara berpikir Ten saat ini. Apa maksudnya dia berkata jujur tentang perasaan sukanya pada Nayla? Kalau misal ini hanya prank, bisa dipastikan bahwa Nayla akan mengamuk pada Ten selama berbulan-bulan, atau mungkin bertahun-tahun.

”Kita keluar aja.” Kata Nayla kepada Tenggara.


Nayla dan Tenggara berdiri berhadapan di depan mobil pria thailand itu. Nayla masih tidak menduga Ten mengatakan hal seperti itu padanya.

”Mending lo balik deh sekarang. Beneran.” Ujar Nayla pasrah dengan sikap Ten yang tak kunjung memberi jawaban. Kepalanya terlalu pening hanya untuk memikirkan perasaan sahabatnya itu.

”Lo maunya apa? Dengan ngomong kayak gitu lo mau apa Tenggara?” Imbuh Nayla dengan nada frustasi.

”Gue cuma mau lo tahu.” Ten akhirnya bersuara, ”Itu doang kok.

Nayla lalu menggaruk kepalanya frustasi. ”Sejak kapan?”

Ten memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya dan bersandar pada pintu mobil. ”Dari lama. Dari awal masuk SMA. Setiap pulang sekolah, lo yang selalu duduk di belakang jok motor gue. Bersenda gurau bareng, ketawa bareng. Gue anter lo pulang, lo turun dari motor gue. Gue ngeliat punggung lo buka pintu terus masuk ke dalam rumah. Dan gue ngerasa... ada yang hilang.”

Ten menatap Nayla sangat dalam dan penuh arti. Memperlihatkan bahwa semua kalimatnya yang ditujukan pada sang pujaan hati, itu adalah tulus. Tulus dari lubuk hatinya yang begitu dalam.

”Gila lo ya Ten.” Nayla mengusap wajahnya, sekali lagi karena frustasi. ”Terus lo mau apa ngomong kayak gini ke gue? Lo mau gue ninggalin Ajun? Nggak mungkin lah. Ini bukan kayak drama korea yang berakhir happy ending Ten. Ini kehidupan nyata. Lo punya perasaan, bisa jadi nggak disambut.”

”Iya, gue ngerti.” Ungkap Tenggara sambil menundukkan kepalanya menatap ke bawah. Menatap kaki kanannya yang bergerak ke depan lalu ke belakang.

”Terpaksa gue kasih ending lo Ten. Gue bisa pastiin kalo gue nggak bisa sayang sama lo lebih dari sahabat.” Tegas Nayla. Ia merasa harus melakukan ini untuk kebaikan mereka berdua.

Tenggara diam membisu. Nayla kini bingung harus berbuat apa. Detik setelahnya, pria berjaket denim itu tersenyum tipis lalu menghampiri Nayla yang sedang memunggunginya.

”Gue yang salah kok jadi kepleset gini. Gue cuma nggak mau aja kalau nanti... nanti, suatu saat gue nikah sama cewek lain, siapa lah ntah gue kenal dari tinder, Atau apapun itu. Terus kita ketemu lagi disuatu hari. Kita ngobrol, mungkin cuma nanya hari lo gimana, atau anak lo udah bisa apa. Gue nggak mau kalau itu terjadi, gue nyesel nggak pernah ngomong ini sama lo. Gue nggak mau menua sambil bertanya-tanya, ‘apa yang terjadi kalau gue ungkapin perasaan gue ke Nayla, ya?.”

Nayla berbalik menghadap Ten. Matanya sedikit berair, entah karena frustasi atau merasa bersalah karena telah mematahkan hati sahabat dekatnya itu.

”Ten...” Panggilnya dengan suara lirih. Sejenak Nayla menunduk hanya untuk memasok udara banyak-banyak, lalu kembali menatap pria yang berdiri dihadapannya dengan senyuman yang masih terpampang disana.

”Gue udah punya pasangan yang baaiikkkk banget sama gue. Pasangan yang selama ini gue cari, yang bisa bikin gue nyaman. Ini nggak adil buat dia kalau sampai tahu sahabat ceweknya ternyata selama ini diem-diem naksir. Ten, kalau Ajun tahu gimana? Lo udah mikir sampai sana nggak sih?”

”Dia udah tahu.” Ungkap Tenggara, datar.

”Hah?”

”Ajun udah tahu dari seminggu yang lalu. Gue bilang sama dia. Waktu rapat fakultas berdua.”

Tenggara dan Ajun memang sudah akrab sejak lama. Pertemuan awal mereka saat Ajun yang selalu mampir di tempat foto copy tempat dimana Tenggara kerja sampingan disana. Karena sering bertemu, Ajun mengajak Ten untuk jadi anggota BEM bersama dia. Dan seperti itulah kisah persahabatan mereka. Maka dari itu Nayla sampai sekarang masih syok, bisa-bisanya Ten melakukan ini padanya dan Ajun.

”Terus dia gimana?” Tanya Nayla.

”Dia nanya, ‘Nayla tahu nggak?’ Ya gue jawab ‘nggak tahu’. Ajun bilang ke gue, ‘lo tahu kan Ten, kalau ini nggak sehat?’. Gue bilang ke Ajun, ‘iya gue tahu, gue bakal cepet-cepet pergi dari hidup kalian kok’.”

Nayla semakin frustasi dibuatnya. ”Kenapa lo bilang ke dia?”

”Karena gue nggak kuat. Beneran gue udah nggak kuat.” Ten lalu menunjuk dada bidangnya. ”Gue Nay. Gue yang terlalu bodoh buat sayang sama lo.”

Ponsel Nayla berdering. Menampilkan nama kontak yang bertuliskan ‘pacar’ dengan emoticon love merah disampingnya. Sekali lagi, Nayla mengusap wajahnya dan menghela napas panjang, berniat untuk tetap tenang walau pikiran sedang kacau sekarang. ”Lo pulang aja deh ya Ten. Tapi, lo tetep nanyi di nikahan gue kan?”

Ten mengangguk, ”Iya, disitu pertemuan terakhir kita.”

”Kenapa?”

”Ajun tahu perasaan gue. Yang paling adil buat dia adalah gue pergi menjauh dari lo, dari kalian. Lebih baik gue kehilangan sahabat gue, daripada lo kehilangan kebahagiaan lo Nay.”

Nayla melangkah ke arah Ten lalu melewatinya. Tenggara tertegun. Nayla lalu membalikkan badannya, menatap Ten tepat ke matanya dan berkata. ”Maaf ya Ten. Semoga lo dapet apa yang lo mau. Tapi yang jelas, itu bukan dari gue.”

Dan itu adalah kalimat terakhir yang Nayla ucapkan pada Tenggara, sebelum akhirnya ia benar-benar pergi dari pandangan pria yang saat ini tengah berusaha untuk mengikhlaskan suatu kepergian serta kehilangan.

—sarah