Melamar.
“Mas.” Panggil Dinda seraya menahan lengan Jepri, mengisyaratkan lelaki jangkung itu untuk berhenti melangkah.
Sorot mata Dinda nampak ragu untuk masuk ke dalam rumah kecil dan sederhana yang berada di depan matanya saat ini. Bukannya tidak mau, hanya saja dirinya sangat gugup sekarang. Bagaimana tidak, baru tadi pagi Jepri berkunjung ke rumah Dinda dan mengajak gadis tersebut untuk bertamu ke rumahnya. Selama perjalanan, Dinda tak hentinya mencoba untuk menetralkan detak jantungnya, karena gadis itu datang dengan tidak membawa apa-apa. Gadis kalem tersebut tidak menyangka bahwa Jepri akan mengenalkan dirinya ke ibundanya secepat ini. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
“Kenapa Adinda?” Nada lembut Jepri keluar dan masuk ke gendang telinga Dinda.
Lelaki berkulit susu itu sebenarnya juga tahu bahwa gadis yang ia bawa sedang gugup sekarang. Padahal Jepri sudah mengucapkan beribu kata penenang untuk Dinda, namun nampaknya hal tersebut tidak berhasil membuat gadis yang ia cintai itu kembali tenang.
“Kita pulang yuk mas.”
“Loh kenapa? Neng nggak suka ya sama rumah saya?” Tanya Jepri dengan nada sedikit memelas.
Mendengar itu, Dinda langsung menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak mas, bukan itu. Cuma...”
Dinda menatap rumah yang didominasikan warna hijau terang itu dengan tatapan ragu, kemudian ia menghela napas panjang dan kembali menatap lelaki yang sedang berdiri dihadapannya saat ini.
“Saya takut sama ibu nya mas Jepri.”
Mendengar jawaban Dinda dengan sedikit malu itu, membuat Jepri tergelak sambil menunjukkan deretan gigi putihnya yang nampak sempurna. “Ah elah neng, nggak usah takut. Emang ibu saya kuntilanak apa sampe ditakuti.”
Dinda hanya bisa memanyunkan bibirnya sambil menunduk. Begitu malu melihat reaksi Jepri barusan. Mungkin saat ini lelaki itu berpikiran bahwa Dinda adalah gadis penakut. Nada bicaranya yang seakan-akan terlihat seperti anak gadis yang merengek ke orang tuanya karena takut dengan badut. Dinda sangat malu sekarang.
Detik selanjutnya, Dinda merasa ada sentuhan lembut di tangan kanannya. Ia kemudian mendongakkan kepalanya dan mendapati Jepri yang saat ini sedang malu-malu kucing menggenggam tangan Dinda.
“Udah waktunya ibu saya tahu siapa gadis yang membuat anak satu-satunya ini semangat bekerja dari pagi sampai petang neng.” Ungkap Jepri sambil tersenyum manis ke arah gadis berjilbab merah muda itu, sepadan dengan warna lipstik gadis itu saat ini.
“Dan hari ini adalah waktu yang tepat saya membawa neng Dinda ke sini, soalnya ibu saya lagi masak banyak.” Lanjutnya.
“Ehhhh Dinda udah datang.” Suara nyaring yang terdengar dari dalam rumah membuyarkan momen romantis kedua sejoli tersebut. Dan ternyata itu adalah suara ibunda Jepri yang saat ini tengah berjalan menghampiri Dinda dengan hanya memakai daster panjang bermotif batik.
“Ihhh mam kenapa nggak ganti baju sih?” Protes Jepri saat melihat ibunya menghampiri Dinda dengan tak tahu malunya.
“Ishhh biarin...” Jawab Ibu Desi dengan nada sedikit sarkas ke arah anak satu-satunya itu.
“Assalamualaikum tante.” Dinda kemudian menyalimi tangan ibunda Jepri dan mencoba untuk tersenyum manis, walau saat ini jantungnya sedang berdetak tidak karuan.
“Waalaikumsalam, aduhhh neng ayu, masuk yuk. Ibu udah masak banyak buat kamu.” Balas Ibu Desi diikuti senyuman lebar yang hampir mirip seperti senyuman Jepri.
Ibunda Jepri lalu memeluk bahu Dinda dan menuntun gadis itu masuk ke dalam rumah. Jepri yang melihat itu hanya bisa memutar bola matanya.
‘Katanya mau diinterogasi dulu, tapi baru dateng aja udah langsung suka. Dasar ibu-ibu.’ Batinnya.
Tanpa basa-basi lagi, Jepri langsung masuk ke dalam rumahnya tersebut sambil mengikuti ibunda dan Dinda pergi. Dan disinilah sekarang, di tempat makan yang mejanya berbentuk bulat dan terdapat empat kursi yang mengelilingi meja tersebut.
“Nih neng Dinda, ibu udah masak opor ayam, cah kangkung, penyet lele, sama rendang nih. Khusus buat neng Dinda seorang.”
“Aduh ibu, nggak usah repot-repot. Saya jadi nggak enak datang kesini nggak bawa apa-apa.”
“Hushhh nggak papa. Yaudah duduk yuk masa berdiri terus. Duduk duduk.” Suruh ibu Desi pada Dinda dan Jepri.
Dinda sejenak menatap Jepri yang kini berada di sampingnya, kemudian duduk ditempat yang sudah disediakan.
“Neng Dinda harus nyobain masakan ibu yang enaaakkkkk banget. Ngalahin warung makan bintang lima loh ini.” Tutur Ibunda Jepri sambil menyendok nasi yang akan diberikan untuk Dinda.
Dinda hanya bisa tersenyum karena bingung harus menjawab apa dan bagaimana. Tapi jujur, semenjak dirinya disambut ibunda Jepri dengan ramah, kini Dinda bisa bernapas lega. Karena bayangan ibu mertua yang jahat sudah menghilang dari otaknya.
“Neng ayu mau makan apa?” Tanya Ibu Desi pada Dinda.
“Hmmm saya mau opor ayam ibu, kayaknya enak hehehe.” Jawab Dinda dengan nada sedikit malu.
Tanpa basa-basi lagi Ibu Desi langsung mengambil opor ayam dan mengarahkannya ke atas piring yang sudah disediakan. Kemudian beliau menaruh piring yang sudah berisi nasi, cah kangkung, dan opor ayam tersebut ke arah Dinda.
“Dihabisin ya neng.”
“Terima kasih ibu.” Jawab Dinda seraya senyumannya yang semakin melebar ke arah ibunda Jepri yang kini sedang tersenyum juga.
Dinda kemudian mengambil sesendok nasi dan opor ayam itu dan memakannya secara perlahan.
“Gimana? Enak to?” Tanya ibunda Jepri yang sedari tadi memandangi Dinda makan seperti sedang mengawasi anaknya yang baru belajar makan sendiri.
Gadis berpipi tembam itu pun menganggukkan kepalanya. “Iya ibu, ini enak.”
“Hahhh bagus deh kalo gitu.” Ibu Desi menghela napasnya lega mendengar pujian yang keluar dari mulut Dinda.
Ditengah sibuk dengan anak orang, Jepri mengangkat tangan kanannya mencoba untuk meraih semangkuk rendang yang berada di sampng ibundanya.
PLAAAKKKK...
“Awww mam sakit.” Ringis Jepri yang baru saja mendapati tangannya dipukul oleh sang ibu.
“Ini itu buat Dinda, bukan buat kamu Jepri.” Cetus Ibu Desi dengan nada yang sedikit meninggi.
“Jahat banget sih mam.” Gumam Jepri yang sebenarnya masih terdengar di telinga ibunya dan Dinda.
“Dinda... Asal kamu tahu ya, Jepri itu sering banget nyebutin nama kamu. Nggak pas tidur, nggak pas nyuci piring, nggak pas nonton TV, bahkan ngupil aja nama kamu yang disebut sama dia. Ibu sampai bosan dengarnya.”
Dinda lalu terkekeh pelan dan langsung menatap Jepri yang kini sedang mendelik ke arah ibundanya.
“Kamu tahu kan ayam yang ada di depan rumah tadi? Diganti namanya jadi Dinda.”
“Mam...” Rengek Jepri seolah meminta sang ibu untuk berhenti membuatnya malu.
“Tapi, bukannya ayamnya jantan ya ibu?” Tanya Dinda ragu.
“Nah itu yang bikin ibu heran sampai sekarang.” Kini Ibu Desi beralih menatap Jepri yang sedang menunduk. Mungkin karena harga dirinya sudah terlanjur diinjak-injak oleh ibu kandungnya sendiri.
“Mam... mam... tadi katanya masih ragu sama gadis pilihan Jepri. Tapi lihat, malah mama yang kayaknya lebih suka ke Dinda ketimbang Jepri.” Protes Jepri.
“Mama bukannya ragu sama gadis pilihan kamu. Tapi mama tuh ragu sama cara kamu dapetin gadis secantik dan sebaik Dinda ini. Neng, kamu nggak dipelet kan sama anak saya?”
Dinda yang ditanya seperti itu sedikit terkejut. Pasalnya, Dinda sangat tahu bahwa pelet adalah tindakan yang sangat tidak dianjurkan oleh agama Islam. Ayahnya sering mengatakan itu setiap hari. Namun melihat pawakan Jepri yang sangat polos ini, Dinda rasa sangat mustahil kalau Jepri berbuat sampai sejauh itu hanya untuk memikat hatinya.
“Hussss mam, apaan sih pertanyaannya. Dari tadi bukannya muji-muji anaknya. Ini malah jatuhin harga diri anaknya. Mama aneh banget dah.” Kata Jepri dengan nada protes sambil memanyunkan bibirnya ke depan.
Melihat itu, Dinda serta Ibu Desi hanya bisa terkekeh pelan.
“Yaudah ibu mau mandi dulu ya neng, nggak enak ini masih bau rendang.” Ibunda Jepri berdiri seraya mengendus bau badannya yang sudah tercampur oleh bau masakannya tadi pagi.
“Mam, jadi ya...”
“Jadi apa?”
“Restuin.” Kedua alis Jepri terangkat beberapa kali sembari tersenyum nakal ke arah ibunda tercintanya.
Ibu Desi hanya mendengus ke arah anak semata wayangnya itu lalu berlalu pergi dari pandangan Dinda dan Jepri. Memberikan waktu untuk kedua sejoli tersebut.
“Neng.” Jepri kini mengarahkan kursinya ke arah Dinda.
“Iya mas?” Merasa dipanggil, Dinda lalu menatap Jepri.
“Anu... perihal buku yang saya kasih kemarin...”
“Ohhhh itu bukunya bagus banget mas. Saya sampai tersentuh loh bacanya. Mas beli buku itu dimana?” Potong Dinda.
Jepri seketika diam sambil menggarukkan leher belakangnya yang tidak terasa gatal itu. Pasalnya, gadis yang tengah menatapnya saat ini tidak mengerti maksud dengan kode yang sudah Jepri berikan pada Dinda kemarin. Kode bahwa Jepri ingin mengajak Dinda untuk berumah tangga.
“Neng dengerin dulu kalimat saya ok? Jangan dipotong dulu ya.” Jepri lalu membenarkan duduknya agar lebih leluasa berbicara empat mata dengan Dinda.
“Neng tahu kan judul buku itu apa?” Tanya nya sekali lagi, berharap agar Dinda peka kali ini.
Dinda kemudian mengangguk sebagai jawaban.
“Terus, neng tahu nggak tujuan saya bawa neng ke rumah saya itu apa?”
Dinda diam sejenak dan nampak berpikir. Hanya berselang lima menit, Dinda langsung menutup mulutnya tidak percaya. Kini dia mengerti apa maksud sebenarnya Jepri memberikan buku berisikan 100 halaman itu pada Dinda kemarin.
“Menikahlah dengan saya, Adinda.” Ujar Jepri lalu seraya menggenggam kedua tangan Dinda yang sedikit bergetar.
“Mas... saya... saya nggak tahu kalau dari kemarin mas ngajakin saya nikah. Aduhhh maaf banget ya mas, saya jadi malu.”
“Nggak papa neng. Yang penting sekarang neng tahu kan betapa cintanya saya sama neng cantik ini.”
Penuturan Jepri sukses membuat Dinda malu sekaligus bahagia. Meskipun hanya sederhana, tidak dilengkapi oleh bucket bunga, dan tidak di restoran berbintang lima, seperti apa yang dilakukan Tama dulu. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perasaan Dinda sangat senang hari ini. Setidaknya ia bisa melihat tanda keseriusan dari sorot mata seorang Jepri. Lelaki yang ia kenal melalui paket syopi yang sering Dinda beli.
Takdir memang selucu itu bukan?
“Ahhh bentar... bentar....” Jepri kemudian merogoh saku jaketnya satu persatu. Mencari sesuatu yang sudah ia siapkan sejak dulu.
“Nahhh ketemu.” Ujar Jepri sambil saat menemukan sesuatu yang dicarinya.
Dan itu adalah sebuah cincin perak dengan liontin yang bersinar terang di tengah-tengahnya. Sederhana namun sangat elegan dipandang. Tanpa berbasa-basi lagi, Jepri langsung menautkan cincin tersebut ke jari manis milik Dinda. Menandakan bahwa gadis itu kini sudah menjadi miliknya.
“Ini cincin punya ibu saya neng. Special katanya buat calon mantunya yang cantik jelita ini.” Jepri tersenyum lalu mengusap pelan pipi tembam Dinda yang sedikit memerah akibat memendam perasaan malunya.
“Neng mau kan menikah sama saya? Ya meskipun saya ini nggak sekaya mantannya eneng, tapi ya bisalah. Kan saya ganteng, ngalahin justin bieber malah.”
Dinda kembali terkekeh mendengar kalimat percaya dirinya lelaki yang baru saja menautkan cincin ke jari manisnya tadi. Namun Dinda juga sangat tersentuh dengan kegigihan Jepri untuk menikahinya. Disaat lelaki lain minder dengan jati dirinya yang tidak sebagus lelaki kaya raya lainnya, namun Jepri tetap berani melamarnya disaat ekonominya juga pas-pasan.
Hal itu lah yang membuat Dinda enggan untuk berkata tidak. Ia merasa, Jepri adalah lelaki yang baik untuknya.
—sarah