Menggali luka lama

Galuh melangkahkan kakinya menuju halaman rumahnya dengan langkah yang sedikit terseok-seok. Tubuhnya seperti dihujam batang kayu jati sebanyak tiga kali, remuk dan tak berdaya. Namun hal ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pulang dari pertarungan sengit antar sekolah lain.

Tio brengsek. Kalau saja pria berdarah minang itu tidak mencari masalah dengan Nathan, pasti Galuh bisa pulang dengan tubuh yang masih sehat bugar. Mengingat tadi pria tidak berperikemanusiaan itu menendang punggungnya berkali-kali sampai Galuh merasa tulang rusuknya sedikit retak. Menjambak rambutnya hingga beberapa helaian sudah tanggal dari tempatnya.

Dan bisa dipastikan bahwa keadaan Galuh saat ini tidak baik-baik saja. Rambut yang tidak karuan, seragam sekolah yang acak-acakan, serta dasi dan sabuk tidak pada tempatnya. Persis seperti korban pemerkosaan. Untung saja sang papa selalu pulang larut malam. Coba bayangkan kalau papanya melihat sang anak pulang dalam keadaan babak belur seperti ini, bisa-bisa Galuh akan dimaki habis-habisan. Dan tak lupa selalu dibanding-bandingkan dengan almarhum kakaknya itu.

Saat sampai di depan pintu rumah, obsidian Galuh menangkap sebuah motor gede yang terparkir di halaman rumahnya. Bisa dipastikan itu adalah motor Angkasa. Galuh tak habis pikir dengan pria abstrak itu, sudah jelas dirinya melarang Angkasa untuk mengurusi kehidupannya yang sudah kacau ini. Tapi bagai angin yang berlalu begitu saja, semua kalimat yang diucapkan Galuh seakan-akan tidak didengar oleh Angkasa.

tok... tok... tok... “Angkasa. Gue tau lo di dalam sekarang, bukain pintu.” Ujar Galuh dengan nada yang sedikit lemah.

Tak lama kemudian, pintu berkayu itupun terbuka. Manampakkan sosok pria jangkung dengan tatapan mematikannya.

”Lo kalo mau marah jangan sekarang. Gue masuk dulu, capek banget.” Gerutu Galuh lalu menyingkirkan tubuh Angkasa yang menghalangi jalannya dan masuk ke dalam rumah.

Angkasa sejenak menghela napas berat. Ia tak menyangka bahwa Galuh, gadis periang yang selalu menunjukkan senyuman manisnya disetiap saat itu berubah menjadi gadis yang menyeramkan. Tidak ada senyuman, melainkan hanya ada tatapan dingin sedingin es di kutub utara.

Angkasa kemudian menarik lengan mungil Galuh, menyeretnya ke arah sofa ruang tamu, dan mendudukan gadis dengan muka lebam itu di sofa.

”Sa... sakiitttt....” Rintih Galuh yang semakin kesakitan karena Angkasa tak sengaja menggenggam lengannya sangat kasar.

”Tunggu disini.” Pinta Angkasa kemudian pergi hanya untuk mengambil obat P3K yang letaknya berada di dekat dapur.

Setelah mendapatkan P3K yang dimaksud, Angkasa kembali duduk di samping Galuh. Membuka kotak kecil berwarna putih itu dan mengambil kapas serta betadine. Tanpa basa-basi, Angkasa lalu mengarahkan kapas yang sudah dikasih betadine itu ke arah luka yang terletak di dekat bibir tipis Galuh.

”Awww...” Ringis gadis pendek itu.

Angkasa masih tidak mengatakan apapun. Ia masih sibuk mengobati satu per satu luka pada wajah cantik Galuh.

”Nggak ada yang mau lu omongin ke gua?” Ujar Angkasa tiba-tiba.

”Ngomong apa?”

”Minta maaf.”

”Lahh ngapain gue minta maaf? Kan gue nggak salah apa-apa.” Galuh sedikit menjauhkan wajahnya hanya untuk menatap heran Angkasa.

Pria dengan wangi minyak telon itu kembali mendekatkan wajah Galuh. ”Lu udah bikin gua nunggu sampe lumutan disini ya gal.”

”Ya siapa suruh lo nungguin gue? Kan gue udah bilang kalo gue mau nyelesaiin masalah teman gue dulu.”

”Emang dengan tawuran, semua masalah langsung selesai gitu aja?” suara serak yang diciptakan Angkasa mampu membuat Galuh kesusahan menelan salivanya sendiri.

”Ya nggak... Awww lo bisa pelan-pelan nggak sih Angkasa Biru.” Galuh segera menepis tangan kekar Angkasa yang baru saja menempelkan kapas berbetadine itu pada luka yang ada di dahinya dengan kasar.

Mendengar itu, Angkasa lalu menurunkan tangannya dan membuang kapas yang dipakainya untuk mengobati luka Galuh ke sembarang tempat. Ia sudah tidak tahan lagi. Jujur, saat melihat Galuh pulang dengan penuh luka yang mampir pada wajah cantiknya itu, membuat hati Angkasa teriris-iris. Sakit, tapi tidak berdarah. Itulah yang Angkasa rasakan saat ini.

”Mulai sekarang, lu jauhin Jendra sama antek-anteknya itu.” Pinta Angkasa yang sangat tidak masuk akal di otak Galuh.

Galuh mengernyitkan dahinya lalu mendecih pelan. ”Lo nggak berhak sa ngatur-ngatur gue.”

Galuh menegakkan tubuhnya. ”Jangan mentang-mengang kita temenan dari kecil, lo sok-sok an jadi tuan yang nuntut gue ini dan itu. Gue muak sa digituin.”

”Gua berhak...” Potong Angkasa dengan tegas. ”Sebagai orang yang sayang sama lu, gua berhak Galuh.”

Galuh tergelak remeh. ”Tahu apa lo soal rasa sayang hah?”

Keduanya seketika diam. Saling menyelisik arti tatapan masing-masing. Seperti air terjun yang sangat deras menghujam tanah bumi. Sesak, dan sakit. Itu lah yang dirasakan keduanya. Galuh maupun Angkasa.

”Lo nggak berhak ngomong seperti itu didepan anak yang seumur hidupnya nggak pernah merasakan kasih sayang Angkasa.” Obsidian Galuh mulai berbinar, seolah mengatakan bahwa dirinya cukup muak dengan semua ini.

Situasi seperti ini, secara tidak langsung mengantarkan dirinya kembali menggali luka lama. Luka yang Galuh sembunyikan dengan susah payah, kembali muncul hanya karena pria yang tidak tahu persis apa yang dia rasakan. Sakit, sakitnya melebihi ditoyor oleh petinju ratusan kali.

”Mending lo pergi deh dari rumah gue.” Pinta Galuh dengan nada pasrah. Gadis berponi itu sudah tidak tahu harus menanggapi Angkasa bagaimana lagi.

”Gal, gue cuma mau...”

”Gue bilang pergi.” Potong Galuh dengan mata yang terpejam.

Angkasa tak berkutik, pria bersurai coklat itu hanya menatap Galuh penuh arti yang mendalam. Kekhawatiran serta ketakutan campur menjadi satu disana. Angkasa tidak berpikir bahwa kalimatnya bisa menyakiti perasaan gadis keras kepala ini. Padahal apa yang ia lakukan, semua ini hanya demi kebaikan gadis itu.

—sarah