Don’t Go.
Angkasa setengah berlari dari rumah menuju taman yang terletak di tengah-tengah komplek perumahan. Setelah mendapatkan lokasi Galuh saat ini melalui GPS, mengantarkan Angkasa ke arah taman yang sudah diterangi oleh lampu taman tersebut.
Awalnya Angkasa sedang membaca buku ’Sharelock Holmes’ kesukaannya. Membaca dengan menyeruput teh panas dan lampu kamar yang senantiasa menemani aktivitasnya itu. Namun saat ia mendapat pesan dari Galuh, Angkasa terpaksa menjeda membacanya itu pada halaman 150 dan bergegas pergi dari rumahnya.
Galuh memang gadis yang sangat merepotkan.
Dan disinilah ia sekarang. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok gadis yang sudah memenuhi pikirannya saat ini. Dan akhirnya ketemu. Disana, tepat di tempat duduk taman yang disampingnya terdapat dua tong sampah berwaran kuning dan hijau. Ya, Galuh sedang duduk termenung disana. Angkasa segera menghampirinya.
Rupanya Galuh menyadari langkahan Angkasa yang sedang menghampirinya.
”Ngapain ke sini? Katanya nggak mau keluar,” Cuek Galuh yang sibuk mengulum permen kaki.
”Gua kesini mau jemput lu pulang.”
”Kenapa sih selalu maksa gue pulang terus?”
”Disini nggak aman buat lu Galuh.”
”Emang dengan adanya gue di rumah, gue udah ngerasa aman, gitu? Nggak. Lo lupa kalo gue masih satu atap sama papa gue?”
Angkasa diam. Menatap Galuh dengan ekspresi datarnya. Kalau Galuh sudah berbicara tentang papanya, Angkasa tidak berani menjawab. Karena Angkasa sendiri beranggapan bahwa itu adalah permasalahan yang tidak bisa ditembus oleh siapapun. Dan Angkasa tidak berhak untuk ikut campur. Maka dari itu, ia memilih diam daripada menjawab perkataan Galuh. Terlalu takut untuk menyakiti perasaan gadis berkuncir itu.
”Lo masih inget nggak sama tempat ini?” Galuh kembali bersuara.
”Inget.” Datar Angkasa.
”Serius? Lo inget?” Galuh sedikit membulatkan matanya.
Angkasa menganggukkan kepalanya. Responnya membuat Galuh sedikit terkejut, karena ia pikir Angkasa akan melupakan tempat dimana pertama kali mereka bertemu.
”Lu masih kecil waktu itu. Cuma pake piyama tidur bergambar hello kitty, rambut acak-acakkan, nggak pake sandal lagi. Udah kayak anak hilang tau nggak lu,” Angkasa sedikit tertawa hanya dengan menyebutkan ciri-ciri Galuh pada saat awal mereka bertemu. Sungguh memalukan jika ingat keadaan Galuh waktu itu.
”Itu gue abis disiksa sama papa, gegara ketahuan coret-coretin buku kak Shiren,” Gumam Galuh yang masih terdengat di telinga Angkasa. Lagi-lagi pria itu hanya diam.
”Sa, gue mau tanya deh sama lo,” Imbuhnya.
Angkasa kini duduk disamping Galuh. ”Tanya apa?”
”Tapi janji lo jawab jujur sejujur-jujurnya sama gue. Janji?” Galuh mengarahkan jari kelingkingnya ke depan Angkasa, mengajaknya untuk janji kelingking.
Dengan wajah yang tak acuh, Angkasa masih tetap menautkan jari kelingkingnya dengan malas. ”Janji.”
”Lo dari kecil tinggal dimana sih? Karena jujur, asal-usul lo nggak jelas banget sa. Dan sekarang gue mau tahu segala tentang kehidupan lo selama ini. Mulai dari lo lahir dimana? Orang tua lo siapa?”
Baru saja Angkasa membuka mulutnya untuk menjawab, Galuh memotong kalimatnya.
”Kalo lo jawab bukan urusan lo lagi, gue lempar tong sampah ini ke muka lo,” Sarkasnya.
Angkasa kemudian terkekeh. *”Emang lu sekepo apa sih sama hidup gue? Hidup gue nggak se special lu gal. Kalo dibandingin nih ya, tong sampah itu kehidupan lu, sedangkan kehidupan gue cuma serpihan sampah kecil yang bahkan nggak terlihat,” jawab Angkasa sambil menunjuk tong sampah yang berada di samping kanan Galuh.
”Ya emang salah kalo gue kepo tentang kehidupan lo yang kayak serpihan sampah itu?”
Lagi-lagi Angkasa tergelak, menunjukkan deretan gigi putihnya yang memberikan aksen manis pada sang wajah, kemudian tubuhnya ia sandarkan pada kepala kursi taman.
”Lu yakin mau tahu latar belakang kehidupan gua kayak apa?”
Tanpa babibu lagi, Galuh menganggukkan kepalanya.
”Gua dari bayi emang udah dibuang sama orang tua gua di panti asuhan. Jadi ya, kehidupan gua nggak jauh dari kehidupan anak panti asuhan. Anak yang tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tua, anak yang tumbuh secara mandiri.”
Galuh masih menyimak.
”Tapi seumur hidup, gua nggak pernah nyalahin mereka yang udah buang gua ke panti asuhan itu. Karena gua yakin, mereka pasti punya alasan kenapa buang gua. Mungkin karena masalah ekonomi, atau ya emang kehadiran gua nggak pernah diharapkan sama mereka. Justru gua bersyukur banget bisa hidup di panti asuhan itu, karena gua belajar arti sesungguhnya sebuah kesederhanaan.”
Angkasa, pria tangguh yang ternyata asal-usulnya dari anak yang tidak diharapkan kehadirannya oleh siapapun, termasuk kedua orang tuanya sendiri. Bahkan sampai sekarang pun, Angkasa tidak tahu siapa orang tuanya dan dimana orang tuanya berada. Karena baginya, cukup hidup dalam kesederhaan seperti ini, Angkasa sudah merasa bahagia dan bersyukur karena bisa bernapas sampai sekarang.
”Sepi sih emang. Hidup gua nggak jauh dari baca buku, bersih-bersih rumah, dan nyiapin makanan buat adik-adik gua disana. Dan pada saat itu lah, gua ketemu lu disini. Ketemu sama anak seumuran gua yang hidupnya ternyata jauh lebih berantakan dari gua.”
Galuh mendecih, ”Tahu juga lo ternyata.”
Angkasa ikut tertawa kecil. Setiap mengingat kejadian itu, entah mengapa membuat perutnya geli sendiri.
”Tapi gua salut sama lu gal. Ditengah kehidupan lu yang selalu disiksa sama bokap lu itu, lu masih bisa senyum kayak anak kecil pada umumnya. Dan gua bisa belajar itu semua dari lu. Sekejam-kejamnya dunia, mau nggak mau kita harus tetap tersenyum hanya untuk menguatkan diri kita sendiri bukan?”
Galuh sejenak menundukkan kepalanya. Jadi inilah asal-usul kehidupan Angkasa yang belum pernah ia ketahui, yang cukup mengiris relung hatinya walau sedikit. Perih rasanya, meskipun bukan dia yang mengalaminya.
”Terus lo kemana waktu itu sa?”
”Hmm?”
”Waktu itu, pas lo janji ke gue buat lihat langit biru bersama, tapi lo malah nggak dateng... Lo kemana?”
Angkasa diam sejenak. Obsidiannya seketika melebar dan memberikan tatapan penuh arti pada Galuh. Tangannya kemudian terangkat hanya untuk membelai surai hitam sang gadis. Cukup membuat Galuh tercekat melihat perlakuan Angkasa padanya.
”Maaf, gua harus pergi ke suatu tempat waktu itu,” ujar Angkasa dengan nada yang damai.
”Iya dimana sa? Lo pergi kemana sampe harus pergi ninggalin gue selama lima tahun.”
Bukannya menjawab, Angkasa justru tersenyum. Ia tidak mungkin menjawab jujur bahwa saat itu dirinya pergi atas ancaman papanya Galuh, karena beliau tidak menyukai anak miskin yang mencoba untuk mendekati anaknya. Angkasa tidak mungkin menjawab begitu karena ia tidak mau Galuh semakin membenci papanya.
”Udah cukup lu tahu kehidupan gua. Untuk alasan kenapa gua pergi waktu itu, lu nggak perlu tahu gal.”
Galuh kemudian memutar bola matanya. Jawaban khasnya Angkasa kembali keluar. Seprivasi itu kah sampai-sampai dirinya tidak boleh tahu secara lengkap tentang pria yang tengah duduk disampingnya ini.
Lalu Galuh kembali menundukkan kepalanya dan menggigit bibir bawahnya. Seketika rasa takutnya datang entah dari mana. Galuh sudah terlalu nyaman dengan keberadaan Angkasa disampingnya, membuat Galuh masuk ke kehidupan aslinya. Karena saking nyamannya, sampai ia takut dengan kata kehilangan.
”Sa....” Panggilnya lagi.
Angkasa menoleh ke arah Galuh.
”Jangan pergi lagi ya.”
Senyuman Angkasa mulai melenyap.
”Gue udah nyaman sama lo. Jadi, jangan pergi secara tiba-tiba lagi ya. Entah kenapa, gue jadi takut kehilangan lo.”
—sarah