jaemtigabelas

Don’t Go.

Angkasa setengah berlari dari rumah menuju taman yang terletak di tengah-tengah komplek perumahan. Setelah mendapatkan lokasi Galuh saat ini melalui GPS, mengantarkan Angkasa ke arah taman yang sudah diterangi oleh lampu taman tersebut.

Awalnya Angkasa sedang membaca buku ’Sharelock Holmes’ kesukaannya. Membaca dengan menyeruput teh panas dan lampu kamar yang senantiasa menemani aktivitasnya itu. Namun saat ia mendapat pesan dari Galuh, Angkasa terpaksa menjeda membacanya itu pada halaman 150 dan bergegas pergi dari rumahnya.

Galuh memang gadis yang sangat merepotkan.

Dan disinilah ia sekarang. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok gadis yang sudah memenuhi pikirannya saat ini. Dan akhirnya ketemu. Disana, tepat di tempat duduk taman yang disampingnya terdapat dua tong sampah berwaran kuning dan hijau. Ya, Galuh sedang duduk termenung disana. Angkasa segera menghampirinya.

Rupanya Galuh menyadari langkahan Angkasa yang sedang menghampirinya.

”Ngapain ke sini? Katanya nggak mau keluar,” Cuek Galuh yang sibuk mengulum permen kaki.

”Gua kesini mau jemput lu pulang.”

”Kenapa sih selalu maksa gue pulang terus?”

”Disini nggak aman buat lu Galuh.”

”Emang dengan adanya gue di rumah, gue udah ngerasa aman, gitu? Nggak. Lo lupa kalo gue masih satu atap sama papa gue?”

Angkasa diam. Menatap Galuh dengan ekspresi datarnya. Kalau Galuh sudah berbicara tentang papanya, Angkasa tidak berani menjawab. Karena Angkasa sendiri beranggapan bahwa itu adalah permasalahan yang tidak bisa ditembus oleh siapapun. Dan Angkasa tidak berhak untuk ikut campur. Maka dari itu, ia memilih diam daripada menjawab perkataan Galuh. Terlalu takut untuk menyakiti perasaan gadis berkuncir itu.

”Lo masih inget nggak sama tempat ini?” Galuh kembali bersuara.

”Inget.” Datar Angkasa.

”Serius? Lo inget?” Galuh sedikit membulatkan matanya.

Angkasa menganggukkan kepalanya. Responnya membuat Galuh sedikit terkejut, karena ia pikir Angkasa akan melupakan tempat dimana pertama kali mereka bertemu.

”Lu masih kecil waktu itu. Cuma pake piyama tidur bergambar hello kitty, rambut acak-acakkan, nggak pake sandal lagi. Udah kayak anak hilang tau nggak lu,” Angkasa sedikit tertawa hanya dengan menyebutkan ciri-ciri Galuh pada saat awal mereka bertemu. Sungguh memalukan jika ingat keadaan Galuh waktu itu.

”Itu gue abis disiksa sama papa, gegara ketahuan coret-coretin buku kak Shiren,” Gumam Galuh yang masih terdengat di telinga Angkasa. Lagi-lagi pria itu hanya diam.

”Sa, gue mau tanya deh sama lo,” Imbuhnya.

Angkasa kini duduk disamping Galuh. ”Tanya apa?”

”Tapi janji lo jawab jujur sejujur-jujurnya sama gue. Janji?” Galuh mengarahkan jari kelingkingnya ke depan Angkasa, mengajaknya untuk janji kelingking.

Dengan wajah yang tak acuh, Angkasa masih tetap menautkan jari kelingkingnya dengan malas. ”Janji.”

”Lo dari kecil tinggal dimana sih? Karena jujur, asal-usul lo nggak jelas banget sa. Dan sekarang gue mau tahu segala tentang kehidupan lo selama ini. Mulai dari lo lahir dimana? Orang tua lo siapa?”

Baru saja Angkasa membuka mulutnya untuk menjawab, Galuh memotong kalimatnya.

”Kalo lo jawab bukan urusan lo lagi, gue lempar tong sampah ini ke muka lo,” Sarkasnya.

Angkasa kemudian terkekeh. *”Emang lu sekepo apa sih sama hidup gue? Hidup gue nggak se special lu gal. Kalo dibandingin nih ya, tong sampah itu kehidupan lu, sedangkan kehidupan gue cuma serpihan sampah kecil yang bahkan nggak terlihat,” jawab Angkasa sambil menunjuk tong sampah yang berada di samping kanan Galuh.

”Ya emang salah kalo gue kepo tentang kehidupan lo yang kayak serpihan sampah itu?”

Lagi-lagi Angkasa tergelak, menunjukkan deretan gigi putihnya yang memberikan aksen manis pada sang wajah, kemudian tubuhnya ia sandarkan pada kepala kursi taman.

”Lu yakin mau tahu latar belakang kehidupan gua kayak apa?”

Tanpa babibu lagi, Galuh menganggukkan kepalanya.

”Gua dari bayi emang udah dibuang sama orang tua gua di panti asuhan. Jadi ya, kehidupan gua nggak jauh dari kehidupan anak panti asuhan. Anak yang tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tua, anak yang tumbuh secara mandiri.”

Galuh masih menyimak.

”Tapi seumur hidup, gua nggak pernah nyalahin mereka yang udah buang gua ke panti asuhan itu. Karena gua yakin, mereka pasti punya alasan kenapa buang gua. Mungkin karena masalah ekonomi, atau ya emang kehadiran gua nggak pernah diharapkan sama mereka. Justru gua bersyukur banget bisa hidup di panti asuhan itu, karena gua belajar arti sesungguhnya sebuah kesederhanaan.”

Angkasa, pria tangguh yang ternyata asal-usulnya dari anak yang tidak diharapkan kehadirannya oleh siapapun, termasuk kedua orang tuanya sendiri. Bahkan sampai sekarang pun, Angkasa tidak tahu siapa orang tuanya dan dimana orang tuanya berada. Karena baginya, cukup hidup dalam kesederhaan seperti ini, Angkasa sudah merasa bahagia dan bersyukur karena bisa bernapas sampai sekarang.

”Sepi sih emang. Hidup gua nggak jauh dari baca buku, bersih-bersih rumah, dan nyiapin makanan buat adik-adik gua disana. Dan pada saat itu lah, gua ketemu lu disini. Ketemu sama anak seumuran gua yang hidupnya ternyata jauh lebih berantakan dari gua.”

Galuh mendecih, ”Tahu juga lo ternyata.”

Angkasa ikut tertawa kecil. Setiap mengingat kejadian itu, entah mengapa membuat perutnya geli sendiri.

”Tapi gua salut sama lu gal. Ditengah kehidupan lu yang selalu disiksa sama bokap lu itu, lu masih bisa senyum kayak anak kecil pada umumnya. Dan gua bisa belajar itu semua dari lu. Sekejam-kejamnya dunia, mau nggak mau kita harus tetap tersenyum hanya untuk menguatkan diri kita sendiri bukan?”

Galuh sejenak menundukkan kepalanya. Jadi inilah asal-usul kehidupan Angkasa yang belum pernah ia ketahui, yang cukup mengiris relung hatinya walau sedikit. Perih rasanya, meskipun bukan dia yang mengalaminya.

”Terus lo kemana waktu itu sa?”

”Hmm?”

”Waktu itu, pas lo janji ke gue buat lihat langit biru bersama, tapi lo malah nggak dateng... Lo kemana?”

Angkasa diam sejenak. Obsidiannya seketika melebar dan memberikan tatapan penuh arti pada Galuh. Tangannya kemudian terangkat hanya untuk membelai surai hitam sang gadis. Cukup membuat Galuh tercekat melihat perlakuan Angkasa padanya.

”Maaf, gua harus pergi ke suatu tempat waktu itu,” ujar Angkasa dengan nada yang damai.

”Iya dimana sa? Lo pergi kemana sampe harus pergi ninggalin gue selama lima tahun.”

Bukannya menjawab, Angkasa justru tersenyum. Ia tidak mungkin menjawab jujur bahwa saat itu dirinya pergi atas ancaman papanya Galuh, karena beliau tidak menyukai anak miskin yang mencoba untuk mendekati anaknya. Angkasa tidak mungkin menjawab begitu karena ia tidak mau Galuh semakin membenci papanya.

”Udah cukup lu tahu kehidupan gua. Untuk alasan kenapa gua pergi waktu itu, lu nggak perlu tahu gal.”

Galuh kemudian memutar bola matanya. Jawaban khasnya Angkasa kembali keluar. Seprivasi itu kah sampai-sampai dirinya tidak boleh tahu secara lengkap tentang pria yang tengah duduk disampingnya ini.

Lalu Galuh kembali menundukkan kepalanya dan menggigit bibir bawahnya. Seketika rasa takutnya datang entah dari mana. Galuh sudah terlalu nyaman dengan keberadaan Angkasa disampingnya, membuat Galuh masuk ke kehidupan aslinya. Karena saking nyamannya, sampai ia takut dengan kata kehilangan.

”Sa....” Panggilnya lagi.

Angkasa menoleh ke arah Galuh.

”Jangan pergi lagi ya.”

Senyuman Angkasa mulai melenyap.

”Gue udah nyaman sama lo. Jadi, jangan pergi secara tiba-tiba lagi ya. Entah kenapa, gue jadi takut kehilangan lo.”

—sarah

Lantas.

Suara jentikan jari yang sedikit mendominasi ruangan berkaca itu. Lelaki jangkung berumur dua puluh enam itu tengah menunggu sang pujaan hati datang dengan senyum merekahnya. Sosok gadis yang sudah membuat hari-harinya menjadi lebih berwarna. Tenggara, lelaki itu sudah mencintai Nayla sejak duduk dibangku SMA.

Namun naasnya, perasaan lelaki yang biasa dipanggil Ten itu tidak pernah terbalaskan. Beberapa kali dirinya harus menelan rasa pahit percintaannya sendiri karena ketidakpekaan Nayla pada dirinya.

Melihat Nayla yang sering bergonta-ganti pacar adalah bumbu pahit yang harus Ten telan berkali-kali. Mulai dari pacaran dengan kapten basket, kapten futsal, sampai pacaran dengan ketua BEM fakultas bernama Ajun Perwira.

Mungkin Ten bisa senang saat ini, karena dirinya baru mendengar beberapa minggu yang lalu, Nayla resmi memutuskan hubungannya dengan Ajun—si ketua BEM yang diidam-idamkan kaum hawa—. Dengan alasan karena pria bertengkuk tegas itu super sibuk dan jarang memberikan waktu untuk Nayla.

Senyuman Tenggara seketika mengembang tipis. Sambil menatap bucket bunga tulip berwarna putih yang sudah ia siapkan sejak tadi, Ten berharap bahwa kali ini ia bisa mengutarakan perasaannya yang sempat terpendam selama enam tahun lamanya.

Lama bukan? Namun lantas kenapa Ten masih bertahan dengan perasaan semu tersebut?

Jawabannya adalah cinta. Kalau tidak cinta, tidak mungkin pria berdarah thailand itu setia menunggu gadis selama enam tahun tanpa ada kejelasan apa-apa. Sesimple itu kadang, hanya saja perjuangan untuk mendapatkan perhatian Nayla yang tidak simple.

Detik selanjutnya, yang ditunggu pun datang juga. Nayla, dengan dress sederhana namun masih nampak elegan berwarna kuning mentari, serta senyumannya yang selalu indah mengalahkan desir pantai sekali pun. Gadis itu, tidak ada hentinya membuat jantung Ten berpacu sangat cepat hanya dengan menatap senyuman manis itu.

Melihat kedatangan Nayla, Ten lalu segera menyembunyikan bucket bunga tulipnua dibelakang punggung. Berniat untuk memberi kejutan pada gadis manis itu.

”Nay gue mau...”

”Ten... ten... lo tahu nggak sih? Ajun kemarin tiba-tiba datang ke rumah gue. Dan lo tahu tujuan dia datang ke rumah tuh apa?” Potong Nayla dengan nada yang super excited.

”Ap... apa?” Tanya Ten ragu. Please untuk kali ini saja takdir berpihak padanya.

”Ajun mau ngelamar gue.”

Seolah ada petir yang menyambar Ten saat ini, pria bersurai hitam itu tidak tahu harus berekspresi apa. Senyuman yang ia pasang lebar sejak tadi, kini perlahan luntur akibat dikecewakan oleh ekspektasinya sendiri.

”Lo pasti bisa bayangin betapa bahagianya gue kemarin waktu Ajun datang sambil bawain bucket bunga tulip warna putih ke rumah? Ahhhh sumpah gue pikir gue bakal pisah beneran sama dia. Tapi ternyata Ajun cowok yang se so sweet itu ya?”

Ten hanya bisa tersenyum pahit setelah itu. ”Hehhehe iya nay. Congrats ya buat lo, gue ikut seneng.”

Dan tanpa Nayla sadari, dari belakang Ten sedang meremas bucket bunganya begitu kuat. Menumpahkan rasa sakit dan kecewanya pada bunga tak bersalah itu. Apakah takdir benar-benar membencinya? Kenapa dirinya tidak diizinkan untuk merasakan kebahagiaan sedikitpun?


Hari terasa ramai untuk hari sabtu. Ini sudah hari ke sembilan semenjak Nayla mengumumkan bahwa ia akan menikah dengan calon suaminya nanti pada Tenggara. Ya, pada akhirnya mereka akan menikah. Mengabaikan perasaan hancur yang sudah Ten alami beberapa hari kemarin.

Dan sekarang, Nayla meminta tolong Ten menemaninya food testing untuk catering pernikahannya nanti. Karena sebelum ini, Nayla ditimpa drama yang begitu memusingkan. Catering makanan yang sudah Nayla sewa untuk resepsi hilang tanpa kabar. Untungnya, ada catering lain yang menyanggupi membuat makanan untuk 400 orang dengan deadline semepet ini.

”Makasih ya Ten, udah mau nemenin gue. Sorry ngerepotin.” Kata Nayla saat masuk ke kursi mobil samping Ten.

”Kapan sih lo nggak ngerepotin gue.” Jawab Tenggara dengan nada bercandanya.

”Gue pulang naik grab kok. Janji cuma nganterin doang, gue tahu lo pasti sibuk.”

Ten hanya bisa tersenyum miris saat itu.

”Bener-bener ya, tinggal tiga hari lagi nikah ada aja dramanya.” Kesal Nayla sambil menyandarkan kepalanya pada kepala kursi mobil dengan mata yang terpejam.

Nayla memang sengaja mengajak Ten untuk menemaninya food testing. Selain Ajun yang sedang ’dipingit’, calon suaminya itu sedang berada di luar kota untuk menyelesaikan urusan disana.

Ada yang berbeda dengan mobil milik Tenggara. Mobilnya sunyi, tidak ada suara yang biasanya menemani perjalanan mereka berdua. Nayla lalu menyalakan radio mobil, dan seketika alunan musik pop terdengar disana. Namun nampaknya Ten tidak nyaman dengan itu. Pria yang sedang memegang setir itu tiba-tiba mengecilkan volume radio dan berkata,

”Gue lagi pusing nih. Suaranya kecilin aja ya.” Kemudian Ten kembali menatap jalanan.


Di ruang food testing, satu per satu makanan ditampilkan ke atas meja yang sudah diduduki oleh Nayla dan Tenggara. Ditengah-tengah mencoba kambing guling, Nayla merasakan aura aneh yang terpancar pada diri sahabatnya itu. Ten berulang kali menghela napas beratnya dan wajahnya masih terlihat murung. Ada yang aneh, maka dari itu Nayla memberanikan diri untuk bertanya.

”Ten, lo kenapa sih kok beda banget hari ini?”

Bukannya menjawab, Ten malah mendekatkan dirinya dan berbisik pelan di telinga Nayla. ”Mau tahu aja apa mau tahu banget?”

Dengan ekspresi geram, Nayla menjawab, ”Lo bercanda lagi gue siram ya.”

Tenggara sedikit tergelak saat itu, menjahili Nayla sudah menjadi hobby nya setiap hari.

”Yaudah... beneran ya lo mau tahu kenapa gue tiba-tiba begini.”

Iya bener. Cepetan ngomong lama banget deh.” Ujar Nayla sambil meneguk es jeruk digelasnya itu.

”Gue sayang sama lo nay.”

”UHUUUKKK... UHUUUKKK... UHUUKKK...” Nayla tersedak. Bulir es jeruk nyangkut ditenggorokan

”Kok sampai keselek sih? Nih air putih.” Kata Ten sambil menyodorkan air putih miliknya yang belum ia jamah sedikitpun.

Nayla kemudian melotot ke arah Ten yang sedang menatapnya santai. Apa dia tidak tahu bahwa kalimatnya barusan bisa membuat jantungnya hampir mau copot?

”Lo bercanda kan Ten?” Bisik Nayla.

”Nggak, gue serius.” Jawab Ten singkat.

Gadis bercardigan coklat itu semakin melotot ke arah Ten. ”Hah? Lo sayang sama gue? Lo bego apa gimana sih?”

Ten masih tak berkutik. Ia menatap obsidian Nayla dengan sangat lekat dan penuh arti.

”Kita kan udah bahas ini lima tahun yang lalu Ten. Kita udah janji bakal best friend forever. Tapi kenapa lo tiba-tiba kayak gini?”

”Ya kan itu lima tahun yang lalu Nay.”

”Terus?”

”Terus gue begini sekarang.” Ujar Ten sambil mengedikkan kedua bahunya.

Nayla lalu meletakkan garpu serta sendok yang sedari tadi bertengger dijemarinya. ”Kenapa lo jadi sayang sama gue Ten? Kok bisa-bisanya lo begitu?”

”Nay...” Ten mengatur letak duduknya agar lebih leluasa berbicara empat mata dengan sang lawan bicara. ”Gue nggak bisa ngatur hati gue maunya gimana. Dia maunya lo nay, gimana dong?”

”Gimana dong?” Tanya Nayla dengan dahi yang sedikit mengernyit.

”Iya, gimana dong?”

Nayla memejamkan matanya sejenak. Mencoba mengatur napas yang mulai memburu keluar dari rongga hidungnya. ”Tenggara, kenapa ini jadi tanggung jawab gue? Ini kan perasaan lo, lo urus sendiri lah.”

”Ya makanya ini gue bilang ke lo.”

”Ya nggak di food testing nikahan gue juga dong.” Nayla semakin kesal dibuatnya.

Gadis dengan rambut bergelombang sempurna itu tak habis pikir dengan cara berpikir Ten saat ini. Apa maksudnya dia berkata jujur tentang perasaan sukanya pada Nayla? Kalau misal ini hanya prank, bisa dipastikan bahwa Nayla akan mengamuk pada Ten selama berbulan-bulan, atau mungkin bertahun-tahun.

”Kita keluar aja.” Kata Nayla kepada Tenggara.


Nayla dan Tenggara berdiri berhadapan di depan mobil pria thailand itu. Nayla masih tidak menduga Ten mengatakan hal seperti itu padanya.

”Mending lo balik deh sekarang. Beneran.” Ujar Nayla pasrah dengan sikap Ten yang tak kunjung memberi jawaban. Kepalanya terlalu pening hanya untuk memikirkan perasaan sahabatnya itu.

”Lo maunya apa? Dengan ngomong kayak gitu lo mau apa Tenggara?” Imbuh Nayla dengan nada frustasi.

”Gue cuma mau lo tahu.” Ten akhirnya bersuara, ”Itu doang kok.

Nayla lalu menggaruk kepalanya frustasi. ”Sejak kapan?”

Ten memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya dan bersandar pada pintu mobil. ”Dari lama. Dari awal masuk SMA. Setiap pulang sekolah, lo yang selalu duduk di belakang jok motor gue. Bersenda gurau bareng, ketawa bareng. Gue anter lo pulang, lo turun dari motor gue. Gue ngeliat punggung lo buka pintu terus masuk ke dalam rumah. Dan gue ngerasa... ada yang hilang.”

Ten menatap Nayla sangat dalam dan penuh arti. Memperlihatkan bahwa semua kalimatnya yang ditujukan pada sang pujaan hati, itu adalah tulus. Tulus dari lubuk hatinya yang begitu dalam.

”Gila lo ya Ten.” Nayla mengusap wajahnya, sekali lagi karena frustasi. ”Terus lo mau apa ngomong kayak gini ke gue? Lo mau gue ninggalin Ajun? Nggak mungkin lah. Ini bukan kayak drama korea yang berakhir happy ending Ten. Ini kehidupan nyata. Lo punya perasaan, bisa jadi nggak disambut.”

”Iya, gue ngerti.” Ungkap Tenggara sambil menundukkan kepalanya menatap ke bawah. Menatap kaki kanannya yang bergerak ke depan lalu ke belakang.

”Terpaksa gue kasih ending lo Ten. Gue bisa pastiin kalo gue nggak bisa sayang sama lo lebih dari sahabat.” Tegas Nayla. Ia merasa harus melakukan ini untuk kebaikan mereka berdua.

Tenggara diam membisu. Nayla kini bingung harus berbuat apa. Detik setelahnya, pria berjaket denim itu tersenyum tipis lalu menghampiri Nayla yang sedang memunggunginya.

”Gue yang salah kok jadi kepleset gini. Gue cuma nggak mau aja kalau nanti... nanti, suatu saat gue nikah sama cewek lain, siapa lah ntah gue kenal dari tinder, Atau apapun itu. Terus kita ketemu lagi disuatu hari. Kita ngobrol, mungkin cuma nanya hari lo gimana, atau anak lo udah bisa apa. Gue nggak mau kalau itu terjadi, gue nyesel nggak pernah ngomong ini sama lo. Gue nggak mau menua sambil bertanya-tanya, ‘apa yang terjadi kalau gue ungkapin perasaan gue ke Nayla, ya?.”

Nayla berbalik menghadap Ten. Matanya sedikit berair, entah karena frustasi atau merasa bersalah karena telah mematahkan hati sahabat dekatnya itu.

”Ten...” Panggilnya dengan suara lirih. Sejenak Nayla menunduk hanya untuk memasok udara banyak-banyak, lalu kembali menatap pria yang berdiri dihadapannya dengan senyuman yang masih terpampang disana.

”Gue udah punya pasangan yang baaiikkkk banget sama gue. Pasangan yang selama ini gue cari, yang bisa bikin gue nyaman. Ini nggak adil buat dia kalau sampai tahu sahabat ceweknya ternyata selama ini diem-diem naksir. Ten, kalau Ajun tahu gimana? Lo udah mikir sampai sana nggak sih?”

”Dia udah tahu.” Ungkap Tenggara, datar.

”Hah?”

”Ajun udah tahu dari seminggu yang lalu. Gue bilang sama dia. Waktu rapat fakultas berdua.”

Tenggara dan Ajun memang sudah akrab sejak lama. Pertemuan awal mereka saat Ajun yang selalu mampir di tempat foto copy tempat dimana Tenggara kerja sampingan disana. Karena sering bertemu, Ajun mengajak Ten untuk jadi anggota BEM bersama dia. Dan seperti itulah kisah persahabatan mereka. Maka dari itu Nayla sampai sekarang masih syok, bisa-bisanya Ten melakukan ini padanya dan Ajun.

”Terus dia gimana?” Tanya Nayla.

”Dia nanya, ‘Nayla tahu nggak?’ Ya gue jawab ‘nggak tahu’. Ajun bilang ke gue, ‘lo tahu kan Ten, kalau ini nggak sehat?’. Gue bilang ke Ajun, ‘iya gue tahu, gue bakal cepet-cepet pergi dari hidup kalian kok’.”

Nayla semakin frustasi dibuatnya. ”Kenapa lo bilang ke dia?”

”Karena gue nggak kuat. Beneran gue udah nggak kuat.” Ten lalu menunjuk dada bidangnya. ”Gue Nay. Gue yang terlalu bodoh buat sayang sama lo.”

Ponsel Nayla berdering. Menampilkan nama kontak yang bertuliskan ‘pacar’ dengan emoticon love merah disampingnya. Sekali lagi, Nayla mengusap wajahnya dan menghela napas panjang, berniat untuk tetap tenang walau pikiran sedang kacau sekarang. ”Lo pulang aja deh ya Ten. Tapi, lo tetep nanyi di nikahan gue kan?”

Ten mengangguk, ”Iya, disitu pertemuan terakhir kita.”

”Kenapa?”

”Ajun tahu perasaan gue. Yang paling adil buat dia adalah gue pergi menjauh dari lo, dari kalian. Lebih baik gue kehilangan sahabat gue, daripada lo kehilangan kebahagiaan lo Nay.”

Nayla melangkah ke arah Ten lalu melewatinya. Tenggara tertegun. Nayla lalu membalikkan badannya, menatap Ten tepat ke matanya dan berkata. ”Maaf ya Ten. Semoga lo dapet apa yang lo mau. Tapi yang jelas, itu bukan dari gue.”

Dan itu adalah kalimat terakhir yang Nayla ucapkan pada Tenggara, sebelum akhirnya ia benar-benar pergi dari pandangan pria yang saat ini tengah berusaha untuk mengikhlaskan suatu kepergian serta kehilangan.

—sarah

Menggali luka lama

Galuh melangkahkan kakinya menuju halaman rumahnya dengan langkah yang sedikit terseok-seok. Tubuhnya seperti dihujam batang kayu jati sebanyak tiga kali, remuk dan tak berdaya. Namun hal ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pulang dari pertarungan sengit antar sekolah lain.

Tio brengsek. Kalau saja pria berdarah minang itu tidak mencari masalah dengan Nathan, pasti Galuh bisa pulang dengan tubuh yang masih sehat bugar. Mengingat tadi pria tidak berperikemanusiaan itu menendang punggungnya berkali-kali sampai Galuh merasa tulang rusuknya sedikit retak. Menjambak rambutnya hingga beberapa helaian sudah tanggal dari tempatnya.

Dan bisa dipastikan bahwa keadaan Galuh saat ini tidak baik-baik saja. Rambut yang tidak karuan, seragam sekolah yang acak-acakan, serta dasi dan sabuk tidak pada tempatnya. Persis seperti korban pemerkosaan. Untung saja sang papa selalu pulang larut malam. Coba bayangkan kalau papanya melihat sang anak pulang dalam keadaan babak belur seperti ini, bisa-bisa Galuh akan dimaki habis-habisan. Dan tak lupa selalu dibanding-bandingkan dengan almarhum kakaknya itu.

Saat sampai di depan pintu rumah, obsidian Galuh menangkap sebuah motor gede yang terparkir di halaman rumahnya. Bisa dipastikan itu adalah motor Angkasa. Galuh tak habis pikir dengan pria abstrak itu, sudah jelas dirinya melarang Angkasa untuk mengurusi kehidupannya yang sudah kacau ini. Tapi bagai angin yang berlalu begitu saja, semua kalimat yang diucapkan Galuh seakan-akan tidak didengar oleh Angkasa.

tok... tok... tok... “Angkasa. Gue tau lo di dalam sekarang, bukain pintu.” Ujar Galuh dengan nada yang sedikit lemah.

Tak lama kemudian, pintu berkayu itupun terbuka. Manampakkan sosok pria jangkung dengan tatapan mematikannya.

”Lo kalo mau marah jangan sekarang. Gue masuk dulu, capek banget.” Gerutu Galuh lalu menyingkirkan tubuh Angkasa yang menghalangi jalannya dan masuk ke dalam rumah.

Angkasa sejenak menghela napas berat. Ia tak menyangka bahwa Galuh, gadis periang yang selalu menunjukkan senyuman manisnya disetiap saat itu berubah menjadi gadis yang menyeramkan. Tidak ada senyuman, melainkan hanya ada tatapan dingin sedingin es di kutub utara.

Angkasa kemudian menarik lengan mungil Galuh, menyeretnya ke arah sofa ruang tamu, dan mendudukan gadis dengan muka lebam itu di sofa.

”Sa... sakiitttt....” Rintih Galuh yang semakin kesakitan karena Angkasa tak sengaja menggenggam lengannya sangat kasar.

”Tunggu disini.” Pinta Angkasa kemudian pergi hanya untuk mengambil obat P3K yang letaknya berada di dekat dapur.

Setelah mendapatkan P3K yang dimaksud, Angkasa kembali duduk di samping Galuh. Membuka kotak kecil berwarna putih itu dan mengambil kapas serta betadine. Tanpa basa-basi, Angkasa lalu mengarahkan kapas yang sudah dikasih betadine itu ke arah luka yang terletak di dekat bibir tipis Galuh.

”Awww...” Ringis gadis pendek itu.

Angkasa masih tidak mengatakan apapun. Ia masih sibuk mengobati satu per satu luka pada wajah cantik Galuh.

”Nggak ada yang mau lu omongin ke gua?” Ujar Angkasa tiba-tiba.

”Ngomong apa?”

”Minta maaf.”

”Lahh ngapain gue minta maaf? Kan gue nggak salah apa-apa.” Galuh sedikit menjauhkan wajahnya hanya untuk menatap heran Angkasa.

Pria dengan wangi minyak telon itu kembali mendekatkan wajah Galuh. ”Lu udah bikin gua nunggu sampe lumutan disini ya gal.”

”Ya siapa suruh lo nungguin gue? Kan gue udah bilang kalo gue mau nyelesaiin masalah teman gue dulu.”

”Emang dengan tawuran, semua masalah langsung selesai gitu aja?” suara serak yang diciptakan Angkasa mampu membuat Galuh kesusahan menelan salivanya sendiri.

”Ya nggak... Awww lo bisa pelan-pelan nggak sih Angkasa Biru.” Galuh segera menepis tangan kekar Angkasa yang baru saja menempelkan kapas berbetadine itu pada luka yang ada di dahinya dengan kasar.

Mendengar itu, Angkasa lalu menurunkan tangannya dan membuang kapas yang dipakainya untuk mengobati luka Galuh ke sembarang tempat. Ia sudah tidak tahan lagi. Jujur, saat melihat Galuh pulang dengan penuh luka yang mampir pada wajah cantiknya itu, membuat hati Angkasa teriris-iris. Sakit, tapi tidak berdarah. Itulah yang Angkasa rasakan saat ini.

”Mulai sekarang, lu jauhin Jendra sama antek-anteknya itu.” Pinta Angkasa yang sangat tidak masuk akal di otak Galuh.

Galuh mengernyitkan dahinya lalu mendecih pelan. ”Lo nggak berhak sa ngatur-ngatur gue.”

Galuh menegakkan tubuhnya. ”Jangan mentang-mengang kita temenan dari kecil, lo sok-sok an jadi tuan yang nuntut gue ini dan itu. Gue muak sa digituin.”

”Gua berhak...” Potong Angkasa dengan tegas. ”Sebagai orang yang sayang sama lu, gua berhak Galuh.”

Galuh tergelak remeh. ”Tahu apa lo soal rasa sayang hah?”

Keduanya seketika diam. Saling menyelisik arti tatapan masing-masing. Seperti air terjun yang sangat deras menghujam tanah bumi. Sesak, dan sakit. Itu lah yang dirasakan keduanya. Galuh maupun Angkasa.

”Lo nggak berhak ngomong seperti itu didepan anak yang seumur hidupnya nggak pernah merasakan kasih sayang Angkasa.” Obsidian Galuh mulai berbinar, seolah mengatakan bahwa dirinya cukup muak dengan semua ini.

Situasi seperti ini, secara tidak langsung mengantarkan dirinya kembali menggali luka lama. Luka yang Galuh sembunyikan dengan susah payah, kembali muncul hanya karena pria yang tidak tahu persis apa yang dia rasakan. Sakit, sakitnya melebihi ditoyor oleh petinju ratusan kali.

”Mending lo pergi deh dari rumah gue.” Pinta Galuh dengan nada pasrah. Gadis berponi itu sudah tidak tahu harus menanggapi Angkasa bagaimana lagi.

”Gal, gue cuma mau...”

”Gue bilang pergi.” Potong Galuh dengan mata yang terpejam.

Angkasa tak berkutik, pria bersurai coklat itu hanya menatap Galuh penuh arti yang mendalam. Kekhawatiran serta ketakutan campur menjadi satu disana. Angkasa tidak berpikir bahwa kalimatnya bisa menyakiti perasaan gadis keras kepala ini. Padahal apa yang ia lakukan, semua ini hanya demi kebaikan gadis itu.

—sarah

Hari Bahagia.

Helaan napas berat beberapa kali keluar dari lubang hidung lelaki yang kini tengah duduk di tengah-tengah aula gedung bernuansa putih dan merah muda itu. Jantungnya semakin berpacu sangat cepat seiring banyaknya tamu yang datang. Lelaki itu sangat gugup karena hari ini adalah hari dimana ia akan resmi menyandang status sebagai kepala keluarga.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan menikah secepat ini. Bertemu dengan Dinda adalah tahap awal dirinya akan memikul tanggung jawab yang sangat besar. Namun itu tidak menjadi masalah baginya, tanggung jawab yang besar itu pasti akan terasa ringan, asal hidup bersama Adinda. Perempuan cantik jelita dengan dibalut jilbab warna-warni yang mampu membuat lelaki berdimple itu terpana sampai mati.

“Ssstt Jepri...” Bisik Ibu Desi tepat di belakang Jepri.

Merasa terpanggil, lelaki jangkung itu menoleh ke belakang menghadap sang ibu yang sudah cantik menawan dengan rambut yang disanggul ke bawah serta kebaya berwarna merah gelap.

“Jangan gugup, biasa aja.” Pinta sang ibu dengan nada merendah.

Jepri menganggukkan kepalanya pelan lalu kembali menatap depan. Kursi seberang dan samping nya masih kosong. Dimana kursi tersebut akan diisi oleh dua orang yang ikut andil pada hari bersejarah ini.

Helaan napas kembali terdengar sangat pelan namun berat. Jepri berusaha untuk tetap tenang walau darahnya mengalir sangat deras dan keringat dingin sudah mulai bercucuran ke seluruh tubuhnya. Ia dari tadi pagi belum bertemu dengan Dinda. Seketika Jepri menoleh ke arah ruang yang terletak tak jauh dari tempatnya berada, ruangan yang pintunya tertutup dengan rapat, seolah tidak ada yang boleh masuk ke dalam sana selain keluarga atau kerabat.

Membayangkan bagaimana Dinda dengan anggunnya keluar dari ruangan itu dengan gaun beradat jawa berwarna putih? Bagaimana kecantikan seorang Adinda yang akan terpancar sehingga semua tamu beranggapan bahwa Jepri sangat beruntung memiliki Dinda dalam hidupnya? Senyuman Jepri seketika mengembang, hanya membayangkannya seperti itu saja bisa membuat hati Jepri dikelilingi oleh bunga bermekaran.

Seorang penghulu lalu duduk tepat di depan Jepri, membuat lelaki berkulit susu itu langsung menegakkan duduknya. Yang awalnya Jepri sangat gugup, namun mengingat ia akan meminang seorang gadis yang dicintainya, Jepri langsung bersemangat 45.

“Ok Bapak Ipung Jepri Gunawan... Disini akan menikah dengan Ibu Adinda Kamila Azzahra ya?” Ujar bapak penghulu yang sibuk dengan beberapa berkas yang digenggamnya.

“Iya bapak.” Setelah menjawab pertanyaan bapak penghulu, Jepri lalu menoleh ke arah samping kanannya. Menatap ayah Dinda yang masih duduk disana dengan nyaman. Ayah Dinda tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan. Mengisyaratkan pada calon menantunya itu bahwa beliau sudah setuju kalau anak perawannya akan diambil setelah ini.

“Ok Bapak Jepri, genggam tangan saya.” Pinta bapak penghulu. Jepri langsung menjabat tangan beliau dengan tangan kanannya yang basah akibat keringat.

“Latihan dulu ya pak. Nggak usah grogi, santai aja. Cuma nyebutin ijab qabul aja kok, nggak sampe dipenggal kepalanya.” Lanjut beliau.

Jepri hanya cengengesan sebagai jawaban, namun dalam hatinya ia sudah berkali-kali mengumpat karena ia tak kunjung bisa membuat jantungnya berpacu dengan normal.

“Saya nikahkan engkau ananda Ipung Jepri Gunawan bin Gunawan, dengan Adinda Kamila Azzahra bin Iskandar dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Bapak penghulu lalu menggoyangkan genggaman tangan Jepri.

“S... saya nikahkan...”

“Lohhh kok saya nikahkan?”

Gelak tawa seketika menggema ke seluruh aula gedung. Jepri terlihat sangat malu saat itu. Ia sangat gugup sampai-sampai mengucap ijab qabul saja salah.

“Haduuuhhh kok jadi saya yang dinikahin.” Sahut bapak penghulu dengan nada sedikit bercanda.

“Maapin atuh pak, kan baru pertama kali.” Ujar Jepri tak mau kalah.

“Yaudah sekali lagi ya. Serius loh ini jangan dibuat bercanda.”

'Lahhh siapa yang bercanda dah? Ngaco ini aki-aki.' Batin Jepri.

Jepri kemudian kembali menjabat tangan bapak penghulu.

“Saya nikahkan engkau ananda Ipung Jepri Gunawan bin Gunawan, dengan Adinda Kamila Azzahra bin Iskandar dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

“Saya terima nikahnya Adinda Kamila Azzahra bin Iskandar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Ucap Jepri tanpa melepaskan kontak mata dengan bapak penghulu.

“Nahhh gitu, jangan nikahin saya lagi ya pak. Istri saya udah lima di rumah.”

Jepri langung mendelik mendengar penuturan bapak penghulu barusan. Terkejut karena bapak penghulunya itu sangat jujur tentang jumlah istri yang dimilikinya. Persis seperti jumlah ayam milik Ibu Desi di rumah.

“Kali ini serius ya pak. Pelan-pelan aja, jangan buru-buru. Tarik napas dulu biar nggak grogi.”

Jepri pun menurut. Sekali lagi ia hembuskan napasnya pelan sebelum ia kembali menjawab tangan bapak penghulu untuk ke tiga kalinya.

“Saya nikahkan engkau ananda Ipung Jepri Gunawan bin Gunawan, dengan Adinda Kamila Azzahra bin Iskandar dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

“Saya terima nikahnya Adinda Kamila Azzahra bin Iskandar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

“Sah?”

“Sah.”

“Alhamdulillah.”

Setelah selesai mengucapkan kalimat ijab qabul, Jepri serta semua tamu yang ada di aula tersebut langsung memanjatkan sebuah do'a. Air matanya lalu jatuh tanpa permisi. Tak disangka, dengan hanya menyebutkan beberapa kalimat ia sudah resmi menjadi seorang suami. Dan Dinda, gadis yang sudah dari dulua Jepri idam-idamkan kini sudah menjadi istrinya, seorang ratu didalam hati dan rumahnya. Jepri tidak bisa mengungkapkan sebahagia apa ia saat ini.

Detik selanjutnya, pintu ruangan yang tadi sempat tertutup rapat, kini terbuka lebar. Memperlihatkan mempelai wanita yang sangat cantik rupawan keluar dari ruangan tersebut, dengan diikuti beberapa orang dibelakangnya, menuntun Dinda berjalan menghampiri Jepri yang sedari tadi memasang wajah bengongnya. Terlalu terpanah akan kecantikan Dinda pagi hari ini.

Senyum semanis buah cherry itu mengembang sempurna di bibir gadis berpipi tembam itu. Dan yang dipasti senyuman itu hanya tertuju pada Jepri seorang. Setelah ini, Jepri tidak perlu datang jauh-jauh hanya untuk melihat senyuman ini. Tidak perlu menunggu giliran mengirim paket dulu untuk bertemu dengan Dinda. Karena ia sudah bisa menikmati anugerah Tuhan itu dengan sepuasnya.

Sekali lagi, Jepri menangis terharu mendengar kalimat itu.

Setelah sampai di tempat duduk tepat di sampng Jepri. Kedua mempelai itu lalu kembali duduk hanya untuk menautkan cincin ke jari masing-masing.

Sesudah menautkan cincin ke jari masing-masing. Dinda kemudian menyalimi tangan Jepri, menandakan bahwa lelaki itu sudah resmi menjadi imamnya. Dengan perasaan terharu Jepri mengecup dahi Dinda dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa suara tepuk tangan dari para tamu terdengar harmonis menemani moment bahagia tersebut.

Pandangan mereka saling bertemu. Memutar kembali memori saat mereka awal bertemu lewat netra hitam pekat itu. Jepri yang selalu mengantar paket Dinda, sampai ia hapal alamat rumah dan cat rumah Dinda yang didominasikan warna coklat dan kuning. Dinda yang baru putus dari mantannya, menjadikan kesempatan untuk Jepri mendekati Dinda dan menyentuh hati gadis kalem itu. Meskipun banyak rintangan, tapi Tuhan seolah sudah menggariskan bahw Jepri dan Dinda akan berjodoh kelak.

Senyum mereka tak kunjung melenyap. Dinda maupun Jepri sangat amat beruntung bisa sampai dititik dimana mereka berdua akan berbagi tanggung jawab bersama sebagai suami dan istri. Jepri sangat mencintai Dinda karena perilaku manis yang dibuat gadis itu padanya. Dinda pun sama, ia sangat mencintai Jepri karena Jepri bisa membuatnya bahagia, tidak menuntutnya apa-apa, dan yang terpenting ia bisa menjadi imam yang baik untuk Dinda.

Dan hari ini, menjadi hari yang paling tidak terlupakan bagi Jepri dan Dinda. Setelah ini, mereka akan mengatur rencana untuk masa depan mereka berdua. Termasuk rencana yang sudah Jepri atur sejak dulu, yaitu bermain congklak di kamar bersama sang istri tercinta.

-fin

Melamar.

“Mas.” Panggil Dinda seraya menahan lengan Jepri, mengisyaratkan lelaki jangkung itu untuk berhenti melangkah.

Sorot mata Dinda nampak ragu untuk masuk ke dalam rumah kecil dan sederhana yang berada di depan matanya saat ini. Bukannya tidak mau, hanya saja dirinya sangat gugup sekarang. Bagaimana tidak, baru tadi pagi Jepri berkunjung ke rumah Dinda dan mengajak gadis tersebut untuk bertamu ke rumahnya. Selama perjalanan, Dinda tak hentinya mencoba untuk menetralkan detak jantungnya, karena gadis itu datang dengan tidak membawa apa-apa. Gadis kalem tersebut tidak menyangka bahwa Jepri akan mengenalkan dirinya ke ibundanya secepat ini. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

“Kenapa Adinda?” Nada lembut Jepri keluar dan masuk ke gendang telinga Dinda.

Lelaki berkulit susu itu sebenarnya juga tahu bahwa gadis yang ia bawa sedang gugup sekarang. Padahal Jepri sudah mengucapkan beribu kata penenang untuk Dinda, namun nampaknya hal tersebut tidak berhasil membuat gadis yang ia cintai itu kembali tenang.

“Kita pulang yuk mas.”

“Loh kenapa? Neng nggak suka ya sama rumah saya?” Tanya Jepri dengan nada sedikit memelas.

Mendengar itu, Dinda langsung menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak mas, bukan itu. Cuma...”

Dinda menatap rumah yang didominasikan warna hijau terang itu dengan tatapan ragu, kemudian ia menghela napas panjang dan kembali menatap lelaki yang sedang berdiri dihadapannya saat ini.

“Saya takut sama ibu nya mas Jepri.”

Mendengar jawaban Dinda dengan sedikit malu itu, membuat Jepri tergelak sambil menunjukkan deretan gigi putihnya yang nampak sempurna. “Ah elah neng, nggak usah takut. Emang ibu saya kuntilanak apa sampe ditakuti.”

Dinda hanya bisa memanyunkan bibirnya sambil menunduk. Begitu malu melihat reaksi Jepri barusan. Mungkin saat ini lelaki itu berpikiran bahwa Dinda adalah gadis penakut. Nada bicaranya yang seakan-akan terlihat seperti anak gadis yang merengek ke orang tuanya karena takut dengan badut. Dinda sangat malu sekarang.

Detik selanjutnya, Dinda merasa ada sentuhan lembut di tangan kanannya. Ia kemudian mendongakkan kepalanya dan mendapati Jepri yang saat ini sedang malu-malu kucing menggenggam tangan Dinda.

“Udah waktunya ibu saya tahu siapa gadis yang membuat anak satu-satunya ini semangat bekerja dari pagi sampai petang neng.” Ungkap Jepri sambil tersenyum manis ke arah gadis berjilbab merah muda itu, sepadan dengan warna lipstik gadis itu saat ini.

“Dan hari ini adalah waktu yang tepat saya membawa neng Dinda ke sini, soalnya ibu saya lagi masak banyak.” Lanjutnya.

“Ehhhh Dinda udah datang.” Suara nyaring yang terdengar dari dalam rumah membuyarkan momen romantis kedua sejoli tersebut. Dan ternyata itu adalah suara ibunda Jepri yang saat ini tengah berjalan menghampiri Dinda dengan hanya memakai daster panjang bermotif batik.

“Ihhh mam kenapa nggak ganti baju sih?” Protes Jepri saat melihat ibunya menghampiri Dinda dengan tak tahu malunya.

“Ishhh biarin...” Jawab Ibu Desi dengan nada sedikit sarkas ke arah anak satu-satunya itu.

“Assalamualaikum tante.” Dinda kemudian menyalimi tangan ibunda Jepri dan mencoba untuk tersenyum manis, walau saat ini jantungnya sedang berdetak tidak karuan.

“Waalaikumsalam, aduhhh neng ayu, masuk yuk. Ibu udah masak banyak buat kamu.” Balas Ibu Desi diikuti senyuman lebar yang hampir mirip seperti senyuman Jepri.

Ibunda Jepri lalu memeluk bahu Dinda dan menuntun gadis itu masuk ke dalam rumah. Jepri yang melihat itu hanya bisa memutar bola matanya.

‘Katanya mau diinterogasi dulu, tapi baru dateng aja udah langsung suka. Dasar ibu-ibu.’ Batinnya.

Tanpa basa-basi lagi, Jepri langsung masuk ke dalam rumahnya tersebut sambil mengikuti ibunda dan Dinda pergi. Dan disinilah sekarang, di tempat makan yang mejanya berbentuk bulat dan terdapat empat kursi yang mengelilingi meja tersebut.

“Nih neng Dinda, ibu udah masak opor ayam, cah kangkung, penyet lele, sama rendang nih. Khusus buat neng Dinda seorang.”

“Aduh ibu, nggak usah repot-repot. Saya jadi nggak enak datang kesini nggak bawa apa-apa.”

“Hushhh nggak papa. Yaudah duduk yuk masa berdiri terus. Duduk duduk.” Suruh ibu Desi pada Dinda dan Jepri.

Dinda sejenak menatap Jepri yang kini berada di sampingnya, kemudian duduk ditempat yang sudah disediakan.

“Neng Dinda harus nyobain masakan ibu yang enaaakkkkk banget. Ngalahin warung makan bintang lima loh ini.” Tutur Ibunda Jepri sambil menyendok nasi yang akan diberikan untuk Dinda.

Dinda hanya bisa tersenyum karena bingung harus menjawab apa dan bagaimana. Tapi jujur, semenjak dirinya disambut ibunda Jepri dengan ramah, kini Dinda bisa bernapas lega. Karena bayangan ibu mertua yang jahat sudah menghilang dari otaknya.

“Neng ayu mau makan apa?” Tanya Ibu Desi pada Dinda.

“Hmmm saya mau opor ayam ibu, kayaknya enak hehehe.” Jawab Dinda dengan nada sedikit malu.

Tanpa basa-basi lagi Ibu Desi langsung mengambil opor ayam dan mengarahkannya ke atas piring yang sudah disediakan. Kemudian beliau menaruh piring yang sudah berisi nasi, cah kangkung, dan opor ayam tersebut ke arah Dinda.

“Dihabisin ya neng.”

“Terima kasih ibu.” Jawab Dinda seraya senyumannya yang semakin melebar ke arah ibunda Jepri yang kini sedang tersenyum juga.

Dinda kemudian mengambil sesendok nasi dan opor ayam itu dan memakannya secara perlahan.

“Gimana? Enak to?” Tanya ibunda Jepri yang sedari tadi memandangi Dinda makan seperti sedang mengawasi anaknya yang baru belajar makan sendiri.

Gadis berpipi tembam itu pun menganggukkan kepalanya. “Iya ibu, ini enak.”

“Hahhh bagus deh kalo gitu.” Ibu Desi menghela napasnya lega mendengar pujian yang keluar dari mulut Dinda.

Ditengah sibuk dengan anak orang, Jepri mengangkat tangan kanannya mencoba untuk meraih semangkuk rendang yang berada di sampng ibundanya.

PLAAAKKKK...

“Awww mam sakit.” Ringis Jepri yang baru saja mendapati tangannya dipukul oleh sang ibu.

“Ini itu buat Dinda, bukan buat kamu Jepri.” Cetus Ibu Desi dengan nada yang sedikit meninggi.

“Jahat banget sih mam.” Gumam Jepri yang sebenarnya masih terdengar di telinga ibunya dan Dinda.

“Dinda... Asal kamu tahu ya, Jepri itu sering banget nyebutin nama kamu. Nggak pas tidur, nggak pas nyuci piring, nggak pas nonton TV, bahkan ngupil aja nama kamu yang disebut sama dia. Ibu sampai bosan dengarnya.”

Dinda lalu terkekeh pelan dan langsung menatap Jepri yang kini sedang mendelik ke arah ibundanya.

“Kamu tahu kan ayam yang ada di depan rumah tadi? Diganti namanya jadi Dinda.”

“Mam...” Rengek Jepri seolah meminta sang ibu untuk berhenti membuatnya malu.

“Tapi, bukannya ayamnya jantan ya ibu?” Tanya Dinda ragu.

“Nah itu yang bikin ibu heran sampai sekarang.” Kini Ibu Desi beralih menatap Jepri yang sedang menunduk. Mungkin karena harga dirinya sudah terlanjur diinjak-injak oleh ibu kandungnya sendiri.

“Mam... mam... tadi katanya masih ragu sama gadis pilihan Jepri. Tapi lihat, malah mama yang kayaknya lebih suka ke Dinda ketimbang Jepri.” Protes Jepri.

“Mama bukannya ragu sama gadis pilihan kamu. Tapi mama tuh ragu sama cara kamu dapetin gadis secantik dan sebaik Dinda ini. Neng, kamu nggak dipelet kan sama anak saya?”

Dinda yang ditanya seperti itu sedikit terkejut. Pasalnya, Dinda sangat tahu bahwa pelet adalah tindakan yang sangat tidak dianjurkan oleh agama Islam. Ayahnya sering mengatakan itu setiap hari. Namun melihat pawakan Jepri yang sangat polos ini, Dinda rasa sangat mustahil kalau Jepri berbuat sampai sejauh itu hanya untuk memikat hatinya.

“Hussss mam, apaan sih pertanyaannya. Dari tadi bukannya muji-muji anaknya. Ini malah jatuhin harga diri anaknya. Mama aneh banget dah.” Kata Jepri dengan nada protes sambil memanyunkan bibirnya ke depan.

Melihat itu, Dinda serta Ibu Desi hanya bisa terkekeh pelan.

“Yaudah ibu mau mandi dulu ya neng, nggak enak ini masih bau rendang.” Ibunda Jepri berdiri seraya mengendus bau badannya yang sudah tercampur oleh bau masakannya tadi pagi.

“Mam, jadi ya...”

“Jadi apa?”

“Restuin.” Kedua alis Jepri terangkat beberapa kali sembari tersenyum nakal ke arah ibunda tercintanya.

Ibu Desi hanya mendengus ke arah anak semata wayangnya itu lalu berlalu pergi dari pandangan Dinda dan Jepri. Memberikan waktu untuk kedua sejoli tersebut.

“Neng.” Jepri kini mengarahkan kursinya ke arah Dinda.

“Iya mas?” Merasa dipanggil, Dinda lalu menatap Jepri.

“Anu... perihal buku yang saya kasih kemarin...”

“Ohhhh itu bukunya bagus banget mas. Saya sampai tersentuh loh bacanya. Mas beli buku itu dimana?” Potong Dinda.

Jepri seketika diam sambil menggarukkan leher belakangnya yang tidak terasa gatal itu. Pasalnya, gadis yang tengah menatapnya saat ini tidak mengerti maksud dengan kode yang sudah Jepri berikan pada Dinda kemarin. Kode bahwa Jepri ingin mengajak Dinda untuk berumah tangga.

“Neng dengerin dulu kalimat saya ok? Jangan dipotong dulu ya.” Jepri lalu membenarkan duduknya agar lebih leluasa berbicara empat mata dengan Dinda.

“Neng tahu kan judul buku itu apa?” Tanya nya sekali lagi, berharap agar Dinda peka kali ini.

Dinda kemudian mengangguk sebagai jawaban.

“Terus, neng tahu nggak tujuan saya bawa neng ke rumah saya itu apa?”

Dinda diam sejenak dan nampak berpikir. Hanya berselang lima menit, Dinda langsung menutup mulutnya tidak percaya. Kini dia mengerti apa maksud sebenarnya Jepri memberikan buku berisikan 100 halaman itu pada Dinda kemarin.

“Menikahlah dengan saya, Adinda.” Ujar Jepri lalu seraya menggenggam kedua tangan Dinda yang sedikit bergetar.

“Mas... saya... saya nggak tahu kalau dari kemarin mas ngajakin saya nikah. Aduhhh maaf banget ya mas, saya jadi malu.”

“Nggak papa neng. Yang penting sekarang neng tahu kan betapa cintanya saya sama neng cantik ini.”

Penuturan Jepri sukses membuat Dinda malu sekaligus bahagia. Meskipun hanya sederhana, tidak dilengkapi oleh bucket bunga, dan tidak di restoran berbintang lima, seperti apa yang dilakukan Tama dulu. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perasaan Dinda sangat senang hari ini. Setidaknya ia bisa melihat tanda keseriusan dari sorot mata seorang Jepri. Lelaki yang ia kenal melalui paket syopi yang sering Dinda beli.

Takdir memang selucu itu bukan?

“Ahhh bentar... bentar....” Jepri kemudian merogoh saku jaketnya satu persatu. Mencari sesuatu yang sudah ia siapkan sejak dulu.

“Nahhh ketemu.” Ujar Jepri sambil saat menemukan sesuatu yang dicarinya.

Dan itu adalah sebuah cincin perak dengan liontin yang bersinar terang di tengah-tengahnya. Sederhana namun sangat elegan dipandang. Tanpa berbasa-basi lagi, Jepri langsung menautkan cincin tersebut ke jari manis milik Dinda. Menandakan bahwa gadis itu kini sudah menjadi miliknya.

“Ini cincin punya ibu saya neng. Special katanya buat calon mantunya yang cantik jelita ini.” Jepri tersenyum lalu mengusap pelan pipi tembam Dinda yang sedikit memerah akibat memendam perasaan malunya.

“Neng mau kan menikah sama saya? Ya meskipun saya ini nggak sekaya mantannya eneng, tapi ya bisalah. Kan saya ganteng, ngalahin justin bieber malah.”

Dinda kembali terkekeh mendengar kalimat percaya dirinya lelaki yang baru saja menautkan cincin ke jari manisnya tadi. Namun Dinda juga sangat tersentuh dengan kegigihan Jepri untuk menikahinya. Disaat lelaki lain minder dengan jati dirinya yang tidak sebagus lelaki kaya raya lainnya, namun Jepri tetap berani melamarnya disaat ekonominya juga pas-pasan.

Hal itu lah yang membuat Dinda enggan untuk berkata tidak. Ia merasa, Jepri adalah lelaki yang baik untuknya.

—sarah

Melamar.

“Mas.” Panggil Dinda seraya menahan lengan Jepri, mengisyaratkan lelaki jangkung itu untuk berhenti melangkah.

Sorot mata Dinda nampak ragu untuk masuk ke dalam rumah kecil dan sederhana yang berada di depan matanya saat ini. Bukannya tidak mau, hanya saja dirinya sangat gugup sekarang. Bagaimana tidak, baru tadi pagi Jepri berkunjung ke rumah Dinda dan mengajak gadis tersebut untuk bertamu ke rumahnya. Selama perjalanan, Dinda tak hentinya mencoba untuk menetralkan detak jantungnya, karena gadis itu datang dengan tidak membawa apa-apa. Gadis kalem tersebut tidak menyangka bahwa Jepri akan mengenalkan dirinya ke ibundanya secepat ini. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

“Kenapa Adinda?” Nada lembut Jepri keluar dan masuk ke gendang telinga Dinda.

Lelaki berkulit susu itu sebenarnya juga tahu bahwa gadis yang ia bawa sedang gugup sekarang. Padahal Jepri sudah mengucapkan beribu kata penenang untuk Dinda, namun nampaknya hal tersebut tidak berhasil membuat gadis yang ia cintai itu kembali tenang.

“Kita pulang yuk mas.”

“Loh kenapa? Neng nggak suka ya sama rumah saya?” Tanya Jepri dengan nada sedikit memelas.

Mendengar itu, Dinda langsung menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak mas, bukan itu. Cuma...”

Dinda menatap rumah yang didominasikan warna hijau terang itu dengan tatapan ragu, kemudian ia menghela napas panjang dan kembali menatap lelaki yang sedang berdiri dihadapannya saat ini.

“Saya takut sama ibu nya mas Jepri.”

Mendengar jawaban Dinda dengan sedikit malu itu, membuat Jepri tergelak sambil menunjukkan deretan gigi putihnya yang nampak sempurna. “Ah elah neng, nggak usah takut. Emang ibu saya kuntilanak apa sampe ditakuti.”

Dinda hanya bisa memanyunkan bibirnya sambil menunduk. Begitu malu melihat reaksi Jepri barusan. Mungkin saat ini lelaki itu berpikiran bahwa Dinda adalah gadis penakut. Nada bicaranya yang seakan-akan terlihat seperti anak gadis yang merengek ke orang tuanya karena takut dengan badut. Dinda sangat malu sekarang.

Detik selanjutnya, Dinda merasa ada sentuhan lembut di tangan kanannya. Ia kemudian mendongakkan kepalanya dan mendapati Jepri yang saat ini sedang malu-malu kucing menggenggam tangan Dinda.

“Udah waktunya ibu saya tahu siapa gadis yang membuat anak satu-satunya ini semangat bekerja dari pagi sampai petang neng.” Ungkap Jepri sambil tersenyum manis ke arah gadis berjilbab merah muda itu, sepadan dengan warna lipstik gadis itu saat ini.

“Dan hari ini adalah waktu yang tepat saya membawa neng Dinda ke sini, soalnya ibu saya lagi masak banyak.” Lanjutnya.

“Ehhhh Dinda udah datang.” Suara nyaring yang terdengar dari dalam rumah membuyarkan momen romantis kedua sejoli tersebut. Dan ternyata itu adalah suara ibunda Jepri yang saat ini tengah berjalan menghampiri Dinda dengan hanya memakai daster panjang bermotif batik.

“Ihhh mam kenapa nggak ganti baju sih?” Protes Jepri saat melihat ibunya menghampiri Dinda dengan tak tahu malunya.

“Ishhh biarin...” Jawab Ibu Desi dengan nada sedikit sarkas ke arah anak satu-satunya itu.

“Assalamualaikum tante.” Dinda kemudian menyalimi tangan ibunda Jepri dan mencoba untuk tersenyum manis, walau saat ini jantungnya sedang berdetak tidak karuan.

“Waalaikumsalam, aduhhh neng ayu, masuk yuk. Ibu udah masak banyak buat kamu.” Balas Ibu Desi diikuti senyuman lebar yang hampir mirip seperti senyuman Jepri.

Ibunda Jepri lalu memeluk bahu Dinda dan menuntun gadis itu masuk ke dalam rumah. Jepri yang melihat itu hanya bisa memutar bola matanya.

‘Katanya mau diinterogasi dulu, tapi baru dateng aja udah langsung suka. Dasar ibu-ibu.’ Batinnya.

Tanpa basa-basi lagi, Jepri langsung masuk ke dalam rumahnya tersebut sambil mengikuti ibunda dan Dinda pergi. Dan disinilah sekarang, di tempat makan yang mejanya berbentuk bulat dan terdapat empat kursi yang mengelilingi meja tersebut.

“Nih neng Dinda, ibu udah masak opor ayam, cah kangkung, penyet lele, sama rendang nih. Khusus buat neng Dinda seorang.”

“Aduh ibu, nggak usah repot-repot. Saya jadi nggak enak datang kesini nggak bawa apa-apa.”

“Hushhh nggak papa. Yaudah duduk yuk masa berdiri terus. Duduk duduk.” Suruh ibu Desi pada Dinda dan Jepri.

Dinda sejenak menatap Jepri yang kini berada di sampingnya, kemudian duduk ditempat yang sudah disediakan.

“Neng Dinda harus nyobain masakan ibu yang enaaakkkkk banget. Ngalahin warung makan bintang lima loh ini.” Tutur Ibunda Jepri sambil menyendok nasi yang akan diberikan untuk Dinda.

Dinda hanya bisa tersenyum karena bingung harus menjawab apa dan bagaimana. Tapi jujur, semenjak dirinya disambut ibunda Jepri dengan ramah, kini Dinda bisa bernapas lega. Karena bayangan ibu mertua yang jahat sudah menghilang dari otaknya.

“Neng ayu mau makan apa?” Tanya Ibu Desi pada Dinda.

“Hmmm saya mau opor ayam ibu, kayaknya enak hehehe.” Jawab Dinda dengan nada sedikit malu.

Tanpa basa-basi lagi Ibu Desi langsung mengambil opor ayam dan mengarahkannya ke atas piring yang sudah disediakan. Kemudian beliau menaruh piring yang sudah berisi nasi, cah kangkung, dan opor ayam tersebut ke arah Dinda.

“Dihabisin ya neng.”

“Terima kasih ibu.” Jawab Dinda seraya senyumannya yang semakin melebar ke arah ibunda Jepri yang kini sedang tersenyum juga.

Dinda kemudian mengambil sesendok nasi dan opor ayam itu dan memakannya secara perlahan.

“Gimana? Enak to?” Tanya ibunda Jepri yang sedari tadi memandangi Dinda makan seperti sedang mengawasi anaknya yang baru belajar makan sendiri.

Gadis berpipi tembam itu pun menganggukkan kepalanya. “Iya ibu, ini enak.”

“Hahhh bagus deh kalo gitu.” Ibu Desi menghela napasnya lega mendengar pujian yang keluar dari mulut Dinda.

Ditengah sibuk dengan anak orang, Jepri mengangkat tangan kanannya mencoba untuk meraih semangkuk rendang yang berada di sampng ibundanya.

PLAAAKKKK...

“Awww mam sakit.” Ringis Jepri yang baru saja mendapati tangannya dipukul oleh sang ibu.

“Ini itu buat Dinda, bukan buat kamu Jepri.” Cetus Ibu Desi dengan nada yang sedikit meninggi.

“Jahat banget sih mam.” Gumam Jepri yang sebenarnya masih terdengar di telinga ibunya dan Dinda.

“Dinda... Asal kamu tahu ya, Jepri itu sering banget nyebutin nama kamu. Nggak pas tidur, nggak pas nyuci piring, nggak pas nonton TV, bahkan ngupil aja nama kamu yang disebut sama dia. Ibu sampai bosan dengarnya.”

Dinda lalu terkekeh pelan dan langsung menatap Jepri yang kini sedang mendelik ke arah ibundanya.

“Kamu tahu kan ayam yang ada di depan rumah tadi? Diganti namanya jadi Dinda.”

“Mam...” Rengek Jepri seolah meminta sang ibu untuk berhenti membuatnya malu.

“Tapi, bukannya ayamnya jantan ya ibu?” Tanya Dinda ragu.

“Nah itu yang bikin ibu heran sampai sekarang.” Kini Ibu Desi beralih menatap Jepri yang sedang menunduk. Mungkin karena harga dirinya sudah terlanjur diinjak-injak oleh ibu kandungnya sendiri.

“Mam... mam... tadi katanya masih ragu sama gadis pilihan Jepri. Tapi lihat, malah mama yang kayaknya lebih suka ke Dinda ketimbang Jepri.” Protes Jepri.

“Mama bukannya ragu sama gadis pilihan kamu. Tapi mama tuh ragu sama cara kamu dapetin gadis secantik dan sebaik Dinda ini. Neng, kamu nggak dipelet kan sama anak saya?”

Dinda yang ditanya seperti itu sedikit terkejut. Pasalnya, Dinda sangat tahu bahwa pelet adalah tindakan yang sangat tidak dianjurkan oleh agama Islam. Ayahnya sering mengatakan itu setiap hari. Namun melihat pawakan Jepri yang sangat polos ini, Dinda rasa sangat mustahil kalau Jepri berbuat sampai sejauh itu hanya untuk memikat hatinya.

“Hussss mam, apaan sih pertanyaannya. Dari tadi bukannya muji-muji anaknya. Ini malah jatuhin harga diri anaknya. Mama aneh banget dah.” Kata Jepri dengan nada protes sambil memanyunkan bibirnya ke depan.

Melihat itu, Dinda serta Ibu Desi hanya bisa terkekeh pelan.

“Yaudah ibu mau mandi dulu ya neng, nggak enak ini masih bau rendang.” Ibunda Jepri berdiri seraya mengendus bau badannya yang sudah tercampur oleh bau masakannya tadi pagi.

“Mam, jadi ya...”

“Jadi apa?”

“Restuin.” Kedua alis Jepri terangkat beberapa kali sembari tersenyum nakal ke arah ibunda tercintanya.

Ibu Desi hanya mendengus ke arah anak semata wayangnya itu lalu berlalu pergi dari pandangan Dinda dan Jepri. Memberikan waktu untuk kedua sejoli tersebut.

“Neng.” Jepri kini mengarahkan kursinya ke arah Dinda.

“Iya mas?” Merasa dipanggil, Dinda lalu menatap Jepri.

“Anu... perihal buku yang saya kasih kemarin...”

“Ohhhh itu bukunya bagus banget mas. Saya sampai tersentuh loh bacanya. Mas beli buku itu dimana?” Potong Dinda.

Jepri seketika diam sambil menggarukkan leher belakangnya yang tidak terasa gatal itu. Pasalnya, gadis yang tengah menatapnya saat ini tidak mengerti maksud dengan kode yang sudah Jepri berikan pada Dinda kemarin. Kode bahwa Jepri ingin mengajak Dinda untuk berumah tangga.

“Neng dengerin dulu kalimat saya ok? Jangan dipotong dulu ya.” Jepri lalu membenarkan duduknya agar lebih leluasa berbicara empat mata dengan Dinda.

“Neng tahu kan judul buku itu apa?” Tanya nya sekali lagi, berharap agar Dinda peka kali ini.

Dinda kemudian mengangguk sebagai jawaban.

“Terus, neng tahu nggak tujuan saya bawa neng ke rumah saya itu apa?”

Dinda diam sejenak dan nampak berpikir. Hanya berselang lima menit, Dinda langsung menutup mulutnya tidak percaya. Kini dia mengerti apa maksud sebenarnya Jepri memberikan buku berisikan 100 halaman itu pada Dinda kemarin.

“Menikahlah dengan saya, Adinda.” Ujar Jepri lalu seraya menggenggam kedua tangan Dinda yang sedikit bergetar.

“Mas... saya... saya nggak tahu kalau dari kemarin mas ngajakin saya nikah. Aduhhh maaf banget ya mas, saya jadi malu.”

“Nggak papa neng. Yang penting sekarang neng tahu kan betapa cintanya saya sama neng cantik ini.”

Penuturan Jepri sukses membuat Dinda malu sekaligus bahagia. Meskipun hanya sederhana, tidak dilengkapi oleh bucket bunga, dan tidak di restoran berbintang lima, seperti apa yang dilakukan Tama dulu. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perasaan Dinda sangat senang hari ini. Setidaknya ia bisa melihat tanda keseriusan dari sorot mata seorang Jepri. Lelaki yang ia kenal melalui paket syopi yang sering Dinda beli.

Takdir memang selucu itu bukan?

“Ahhh bentar... bentar....” Jepri kemudian merogoh saku jaketnya satu persatu. Mencari sesuatu yang sudah ia siapkan sejak dulu.

“Nahhh ketemu.” Ujar Jepri sambil saat menemukan sesuatu yang dicarinya.

Dan itu adalah sebuah cincin perak dengan liontin yang bersinar terang di tengah-tengahnya. Sederhana namun sangat elegan dipandang. Tanpa berbasa-basi lagi, Jepri langsung menautkan cincin tersebut ke jari manis milik Dinda. Menandakan bahwa gadis itu kini sudah menjadi miliknya.

“Ini cincin punya ibu saya neng. Special katanya buat calon mantunya yang cantik jelita ini.” Jepri tersenyum lalu mengusap pelan pipi tembam Dinda yang sedikit memerah akibat memendam perasaan malunya.

“Neng mau kan menikah sama saya? Ya meskipun saya ini nggak sekaya mantannya eneng, tapi ya bisalah. Kan saya ganteng, ngalahin justin bieber malah.”

Dinda kembali terkekeh mendengar kalimat percaya dirinya lelaki yang baru saja menautkan cincin ke jari manisnya tadi. Namun Dinda juga sangat tersentuh dengan kegigihan Jepri untuk menikahinya. Disaat lelaki lain minder dengan jati dirinya yang tidak sebagus lelaki kaya raya lainnya, namun Jepri tetap berani melamarnya disaat ekonominya juga pas-pasan.

Hal itu lah yang membuat Dinda enggan untuk berkata tidak. Ia merasa, Jepri adalah lelaki yang baik untuknya.

—sarah