Balas Dendam
“Anne!”
“Bangun, Ann.”
“Kamu harus bangun.”
“Kamu udah janji mau renov rumah itu, kan?”
“Jangan mati dulu.”
“ANNE!!!”
Anne mengerjapkan kedua matanya perlahan saat mendengar bisikan yang datang entah dari mana. Kepalanya terasa sangat berat. Berat sekali. Sampai mengangkat kepalanya dari meja pun ia tidak sanggup.
Tunggu? Dimana ini?
Anne seketika menegakkan kepalanya, walau kepalanya masih terasa sangat pusing tujuh keliling. Ia masih di meja makan rumah Tio. Di tempat yang sama, namun ada yang berbeda.
Dimana Luna?
Gadis kecil itu sudah tidak ada di tempat duduknya. Terakhir Anne melihat Luna sedang bercanda gurau dengan Tio. Menunjukkan senyum paling bahagia yang pernah ada. Seakan melupakan ayah kandungnya yang sudah lama tidak pulang. Tapi sekarang ia menghilang.
Perasaan Anne seketika tidak enak. Wanita itu mencoba untuk beranjak dari duduknya. Akan tetapi kepalanya sangat pusing. Sekuat tenaga Anne mencoba untuk berdiri. Kenapa dirinya tiba-tiba seperti ini? Apa ini efek teh yang ia minum tadi?
Tunggu, teh?
Anne tersadar sesuatu. Tidak, tidak mungkin. Wanita itu menggeleng cepat. Berusaha menghilangkan pikiran negatif yang mengerubungi otaknya saat ini.
Tio lelaki yang baik.
Ya, Tio baik.
Dengan tertatih-tatih, Anne melangkahkan kakinya keluar dari ruang tersebut. Samar-samar terdengar suara Tio yang sedang menelepon seseorang. Dan ya, lelaki itu kini berada di dapur, berdiri membelakangi Anne.
“Thanks kak, udah pinjemin rumah buat gue.” Ucap Tio pada seseorang di seberang sana.
Anne bersandar pada pintu, diam-diam menguping pembicaraan Tio. Entah mengapa dirinya harus bertindak sangat hati-hati seperti ini. Bukankah menurut Anne kalau Tio itu adalah lelaki yang baik?
“Iya, tenang. Gue pasti bakal bunuh dia. Sekarang dia lagi masuk ke dalam perangkap gue.”
Anne semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan dua orang tersebut. Bunuh siapa?
“Kak. Lo tau sendiri kan dia yang bikin istri gue, sekaligus adik kandung lo mati? Anak gue juga diculik sama dia, kak. Sekarang Luna udah gue amanin. Tinggal gue bunuh cewek bajingan ini.”
“Iya ya, gue bakal hilangin jejak kalo udah bunuh dia. Rumah lo bakal aman kok.”
Tidak ada yang lebih hancur dari perasaan Anne saat ini. Jadi sedari tadi Tio membicarakan dirinya. Membicarakan kalau lelaki yang selama ini Anne percayai, akan membunuhnya. Pasalnya, tidak aa orang lain yang berkunjung selain Anne hari ini. Dan Luna sudah di bawa Tio entah kemana.
'Laki-laki brengsek!!' Batin Anne.
Tidak ada waktu lagi. Anne harus pergi dari rumah Tio, bukan, tepatnya rumah kakak ipar Tio. Entah apa tujuan lelaki munafik itu ingin membunuh Anne. Yang jelas, Anne masih belum mau mati. Belum saatnya ia mati. Anne masih belum membereskan masalah keluarganya. Anne tidak mau mati dengan sia-sia.
PRAANGGGG!!!
Karena kepalanya yang masih terasa pusing, Anne tidak sengaja menjatuhkan vas bunga saat dirinya hendak melangkah mundur. Hal tersebut membuat atensi Tio saat ini fokus pada suara itu.
“Kak, nanti gue telepon lagi.” Pungkas Tio dan langsung mematikan telepon dari kakak iparnya itu.
Detak jantung Anne semakin berpacu dengan cepat. Sebisa mungkin dirinya berusaha untuk fokus walau matanya masih terasa berat. Ini efek obat tidur dari teh pemberian Tio yang tadi Anne minum. Persis seperti Jeffry dulu. Tidak seharusnya Anne meminum teh itu.
Dan tidak seharusnya Anne percaya pada lelaki bermuka dua ini.
Tidak ada waktu yang tersisa lagi. Derap langkahan Tio terdengar semakin mendekat. Anne menoleh ke kanan dan ke kiri. Setidaknya ada tempat yang bisa dirinya tempati untuk bersembunyi. Wanita bersurai hitam legam itu diam-diam keluar dari ruang makan dan naik ke lantai dua. Dengan keringat dingin yang membanjiri seluruh tubuhnya itu, Anne masih berjalan dengan sempoyongan. Sekali-kali ia menoleh ke belakang, memastikan lelaki keji itu tidak berada dibelakangnya.
Setelah sampai di lantai dua, Anne menemukan suatu ruangan-seperti kamar pribadi yang cukup luas-. Tanpa basa-basi lagi, Anne langsung masuk ke dalam ruangan tersebut menuju lemari yang berukuran setinggi badan manusia. Dan Anne langsung masuk ke dalam sana. Bersembunyi di balik beberapa baju yang tergantung bebas di atasnya.
Semuanya sunyi seketika. Tidak ada suara yang terdengar selain deru napas Anne yang terdengar cepat dan memburu. Jantungnya semakin berdetak cepat, seakan sebentar lagi mau lepas dari tempatnya. Disini begitu gelap dan pengap. Anne hanya mendapatkan udara dan cahaya lewat sela-sela lemari yang terbuka sedikit. Sungguh tidak ada ruang lagi.
Tubuh Anne mulai bergetar. Sudah berapa kali Anne menggigit kukunya untuk menghilangkan rasa takut yang luar biasa pada dirinya, namun tidak berhasil. Bolehkah Anne berharap kalau Jeffry tiba-tiba datang ke sini, membuka pintu lemari itu lalu memeluknya dengan erat? Walaupun lelaki itu sudah pergi meninggalkannya, namun Anne masih tetap membutuhkan kehadiranJeffry. Hanya nama lelaki itu yang sedari tadi memenuhi otaknya disaat Anne sedang dalam bahaya.
“Jeff ... takut ....” Bisik Anne dengan nada lirih. Sepertinya Anne akan ambruk sebentar lagi.
BRUUAAKKK!!!
Bunyi dobrakan keras itu membuat Anne terjengat. Dadanya terasa semakin sesak, saat lelaki yang mengincarnya kini masuk ke dalam kamar tempat dimana Anne sedang bersembunyi. Dibalik sela lemari, Anne melihat Tio berjalan dengan angkuh, jauh berbeda dari Tio yang kemarin Anne kenal. Atensi Anne kini berpindah pada pisau dapur yang digenggam Tio. Pisau yang terlihat masih baru.
“GUE TAHU LO DISINI, ANN. KELUAR NGGAK!!!” Teriak Tio dengan lantang. Nampak begitu yakin jika mangsanya sedang bersembunyi disini.
Anne semakin meringkuk. Sekuat tenaga menenangkan deru napasnya yang memburu. Bisa-bisa Tio bisa mendengar suara napasnya, saking sepinya tempat ini. Seperti bom waktu, yang bisa meledak kapan saja. Sekalinya Anne bersuara, nyawanya bisa dipastikan akan melayang.
Tio masih sibuk mencari keberadaan Anne. Lelaki berkaos oblong hitam itu menoleh ke kanan dan ke kiri, mengelilingi ruang putih ini dengan sangat teliti. Anne masih berusaha untuk tenang. Ia hanya butuh berdiam diri saja sampai Tio benar-benar pergi dari sini, kemudian dirinya akan kabur melalui jendela kaca yang berada di seberangnya.
“Kalo lo ketangkep basah sama gue, lo bakal mati di tangan gue, Ann.” Ancam Tio kemudian. Lelaki itu benar-benar murka. Karena ia pikir rencananya akan berjalan dengan lancar. Hanya dengan memberi obat tidur di minuman Anne dan Luna. Menculik Luna dan membawanya ke rumah asli Tio, lalu membunuh wanita yang membuat dirinya kehilangan segalanya. Akan tetapi, entah karena Anne yang terlalu cerdik, atau Tuhan benar-benar berpihak pada wanita itu, semuanya menjadi gagal. Dan saat ini, Tio ingin membereskan semuanya. Sehingga ia bisa hidup bahagia bersama putri semata wayangnya itu.
Anne langsung menutup mulut dengan tangannya rapat-rapat, saat posisi Tio tepat berada di depan lemari ini. Berdiri tegak dan tidak bergerak sama sekali. Jangan sampai lelaki itu tahu kalau mangsanya ada disini. Hanya selang 2 menit, akhirnya Tio beranjak dari tempatnya berdiri. Terlihat Tio ingin meninggalkan kamar tersebut, membuat Anne bisa bernapas dengan lega.
Akan tetapi, baru sampai di ambang pintu langkahan Tio terhenti. Merasa seperti ada yang janggal dengan lemari putih itu. Ia lalu berbalik. Dan benar saja, dirinya melihat sehelai gaun yang dipakai Anne tadi terjepit di sela-sela pintu lemari. Tio seketika tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya ia bisa menemukan wanita itu.
Detik kemudian Tio duduk di atas kasur yang terletak tak jauh dari sana. Duduk menghadap lemari dengan kedua tangan yang sedikit melebar kebelakang untuk menumpukan tubuhnya.
“Anne ... Anne ....” Tio menggeleng pelan. Ia memajukan tubuhnya sedikit. “Mau mendengarkan sebuah cerita?”
Tentu saja Anne tidak menjawab. Anne hanya diam di balik lemari tersebut. Diam seperti patung yang bernapas.
“Istri gue ... lo pasti penasarankan apa yang terjadi sama istri gue sampai dia mati secara mengenaskan?” Tio bermonolog.
Lelaki itu memainkan pisau nya, memutar benda tajam itu berkali-kali dengan ke lima jarinya. “Oh ya, lo belum tahu ya namanya siapa? Tapi kalo gue sebutin, lo pasti langsung inget dosa-dosa lo di masa lalu.”
Anne mulai merasa bingung. Dosa apa? ia tidak paham dengan perkataan Tio yang terdengar ngelantur itu.
“Denada Parmadita Gantari. Lo pasti nggak asing sama nama itu, bukan?” Tio mulai menunjukkan smirk jahatnya.
Anne terkejut bukan main. Begitu akurat dugaan Tio, Anne sangat mengenali nama itu. Nada, wanita yang sempat dekat dengannya dulu. Teman seperjuangan yang sering berbagi keluh kesah bersama, walau hanya sementara. Pertemuan pertama mereka di rumah sakit. Tepatnya saat Anne ingin berkonsultasi soal kehamilannya yang tak kunjung terjadi. Ia tidak sengaja bertemu dengan Nada dalam kondisi hamil tua saat itu. Membuat Anne iri padanya. Tapi tak disangka, bahwa Nada adalah istri yang diceritakan Tio.
Bisa dibilang, Luna adalah anak biologis dari Tio dan Nada.
“Dulu, waktu gue masih jalanin masa tahanan gue, ekonomi keluarga gue lagi terpuruk. Gue nggak bisa nafkahin istri gue, istri gue nggak bisa cek kehamilan, nggak bisa beli susu hamil, padahal posisi dia lagi hamil tua. Dia udah capek-capek keliling buat jualan kue, tapi tetep aja penghasilannya cuma cukup buat dia makan doang. Suami macam apa gue? cuma bisa diem di penjara, sedangkan istri gue berjuang sendiri di luar sana. Orang tua nggak ada yang bisa bantu. Lo bisa bayangin jadi gue pusingnya gimana, Ann.”
“Sampai suatu hari, Nada mampir ngunjungin gue. Dia cerita, kalo dia baru aja ketemu lo di rumah sakit. Dan gue dengerin cerita dia tentang lo yang nggak bisa hamil. Tapi lo pernah mikir nggak sih, betapa bejadnya lo malah nawarin dia buat ambil anak gue dan ganti pake duit yang lo sebut ratusan juta itu?” Tio tertawa remeh. Merasa dirinya berada di puncak komedi.
“Gue marah, Ann. Gue sampe mikir nih cewek titisan iblis atau apa? Tapi, gue makin marah waktu Nada bilang buat mempertimbangkan tawaran lo. Nada tiba-tiba nyalahin gue, dia bilang ini semua karena gue. Gara-gara gue, dia hidupnya sengsara. Dijauhi sama semua orang karena gue. Gue hampir gila rasanya. Begitu begonya, dengan rasa bersalah gue, gue malah nge iyain apa mau dia. Gue cuma mau Nada bahagia, dapet apa yang dia mau. Gue udah nggak mikirin nasib anak gue gimana nantinya. Toh, dia bakal hidup bahagia sama keluarga barunya.”
Tio bangun dari duduknya. Dengan amarah yang sudah memuncak, ia berjalan menuju lemari yang berada di depannya itu. Ia begitu yakin bahwa Anne pasti ada di dalam sana.
“TAPI KENAPA LO MALAH BUNUH DIA BANGSAT!!!”
Tio membuka paksa lemari tersebut dan langsung menjambak rambut Anne. Menarik tubuh mungil itu untuk keluar dari dalam lemari.
“TIOO!!” Pekik Anne kesakitan.
Tio menghempaskan tubuh Anne dengan kasar. Layaknya membuang sampah. Anne yang tidak memiliki tenaga yang kuat, terhuyung ke lantai.
“Kenapa lo bunuh istri gue? Biar lo bisa ambil anak gue dengan seutuhnya tanpa gangguan istri gue, IYYAA?!!!!” Tio mulai geram. Tidak ada rasa ampun di raut wajah itu. Tidak terlalu peduli dengan ekpresi kesakitan Anne. Yang ada dipikirannya kini hanya ingin menghabiskan atasannya ini.
“Padahal Nada cuma mau liat anaknya, Ann. Anak yang dia kandung 9 bulan, anak yang dia lahirkan dengan penuh perjuangan, sendirian. Lo tuh iblis, lo pembunuh!!!” Tuduh Tio dengan penuh penekanan. Melihat Tio yang mulai mendekatinya, Anne mundur perlahan dengan tertatih.
“Dan sekarang, lo harus bayar semuanya. Nyawa ... diganti sama nyawa!” Tio semakin mendekat sambil sedikit mengangkat tangannya. Seperti sudah siap untuk menghujami dada Anne dengan pisau ini. Persis seperti yang ia lakukan pada ayah mertuanya itu.
“Tio ... tunggu. Aku bisa jelasin-”
“Udah terlambat, Ann. Gue nggak butuh penjelasan lo. Penjelasan lo nggak bisa bikin Nada hidup lagi!” Lelaki jangkung itu mulai menangis. Menangis dengan diiringi isakan yang pedih. Merasa kehilangan yang amat terdalam. Bertahun-tahun Tio hidup seorang diri. Ditemani oleh bayangan sang istri, dan hanya bisa memantau sang anak dari jauh. Hanya itu aktivitas Tio selama bebas dari penjara. Waktu itu dirinya belum memiliki keberanian dan kekuasaan untuk merebut Luna begitu saja. Maka dari itu, Tio memilih untuk mendekam di rumahnya, sedikit demi sedikit ia mengatur rencana yang licik supaya Luna bisa kembali ke pelukannya.
“Lo yang bikin keluarga gue hancur berantakan. Gue kehilangan istri gue, anak gue, kebahagiaan gue. Lo renggut semuanya!”
Amarah menguasai tubuh Tio saat ini. Amarah yang tidak dapat terbendung lagi. Melihat Anne yang tidak ada inisiatif untuk meminta maaf apalagi mengingat kesalahannya, membuat Tio semakin marah. Kini, niatnya untuk membunuh Anne sudah memuncak.
“Sekarang lo harus ganti, Ann. Gue nggak mau tahu, lo harus ganti nyawa istri gue!”
Kali ini Anne sudah pasrah. Ia memejamkan kedua matanya sambil mengucapkan selamat tinggal untuk sang suami dan anaknya yang entah dimana.
Sudah kurang lebih 15 detik Anne memejamkan matanya, tapi Tio tak kunjung menusuknya. Saat Anne membuka matanya, ia terkejut saat ada punggung seorang lelaki yang berdiri membelakangi nya. Lelaki itu memakai hoodie hitamnya, dengan kepala yang tertutup dengan topi hoodie. Punggungnya kekar dan lebar. Mengingatkan Anne akan punggung milik ....
“Jeff ....” Panggil Anne dengan ragu. Berharap besar bahwa itu memang lelakinya.
Tidak ada jawaban. Anne melirik tangan lelaki itu, tangan itu sedang memegang pisau yang mengarah tepat di depan dadanya. Menggenggam bilah pisau itu dengan kedua tangannya, seolah menahan pisau itu untuk melukai Anne.
“Ann ....” Dan benar saja, suara berat ala Jeffry terdengar kemudian. Anne semakin yakin bahwa yang sedang menghalanginya saat ini adalah suaminya. “Kamu lari sekarang. Biar aku yang urus semua ini.”
Jeffry terdengar kesakitan. Bagaimana tidak, bilah pisau itu masih sangat tajam. Dan ia berusaha keras menggenggam nya dan menghalangi Tio untuk menjalankan rencana licik nya. Kedua lelaki itu saling menatap sangat tajam, melebihi tajam nya pisau yang sedang mereka genggam.
“Ann, jangan bengong. Lari!!”
“Tapi. Aku nggak bisa tinggalin kamu.”
“Luna ada di luar.” Potong Jeffry dengan cepat.
“Luna?”
“Dia nunggu kamu. Dia cari kamu, Ann. Temui dia. Biar aku yang habisin laki-laki gila ini.” Suara Jeffry terdengar ngos-ngosan.
Anne semakin bingung. Disisi lain ia tidak bisa meninggalkan Jeffry yang menantang maut sendirian. Tapi disisi lain juga, Luna ada di luar, Anne sangat ingin mengecek keadaan putiri semata wayang nya itu. Melihat Tio yang seperti dirasuki oleh iblis, membuat Anne semakin overthingking. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana kalau Tio bekerja sama dengan kakak iparnya untuk menculik Luna lagi.
Anne lalu melirik tangan Jeffry yang mulai meneteskan darah. Darah segarnya jatuh ke permukaan. Menandakan kalau pisau itu memang sangatlah tajam.
“Ann ....” Sekali lagi Jeffry memanggil nama Anne, namun dengan tatapan lekatnya tertuju pada istrinya, “Aku mohon, pergi dari sini sekarang. Aku nggak papa, hm.” Ucap Jeffry menenangkan Anne, tak lupa diiringi senyum yang menenangkan itu. Pertama kali Jeffry tersenyum seperti ini setelah pertikaian yang terjadi diantara mereka berdua.
Mau tidak mau, Anne hanya mengangguk menurut. Tangisannya seketika pecah. Sejahat apapun Jeffry padanya, akan tetapi lelaki itu sebenarnya masih peduli. Tidak memikirkan rasa benci yang masih tersisa di relung hatinya sampai saat ini, tapi kalau bersama Anne, entah kenapa Jeffry tidak bisa sedikitpun menyakiti wanita itu.
Karena tidak ingin darah Jeffry mengalir lebih deras, Anne akhirnya pergi dari sana. Meninggalkan kedua lelaki itu untuk bertarung. Lari secepat mungkin, walau dengan kondisi masih sempoyongan. Dalam hati Anne berdo'a untuk keselamatan suami tercintanya.
Saat sampai di pintu utama, Anne sibuk mencari kunci. Jangan bilang kuncinya dibawa sama Tio. Setelah Anne mencari mulai dari di atas meja dekat pintu, rak sepatu, beberapa pot tanaman, hasilnya nihil. Anne tidak menemukan kunci itu.
Anne akhirnya menuju ruang tamu. mencari benda yang setidaknya bisa membuka pintu rumah ini. Dan matanya menemukan pemukul baseball yang terletak di ujung ruangan. Tanpa berbasa-basi lagi, Anne langsung mengambil tongkat tersebut lalu memukul ganggang pintu dengan sangat kencang. Memukulnya berkali-kali sampai ada tanda-tanda pintu tersebut terbuka.
Dengan menggunakan tenaga yang tersisa, Anne akhirnya berhasil membuka pintu. Ia langsung keluar dan berlari. Mencari keberadaan Luna yang tak kunjung ia temukan. Rumah kakak ipar Tio ini halamannya sangat luas. Anne harus berjalan 3 meter lagi untuk menuju gerbang. Dengan kaki yang telanjang, Anne masih ingin melangkah. Yang ada diotaknyas aat ini hanyalah keselamatan keluarganya. Jeffry dan Luna, semoga mereka tidak kenapa-napa.
Terderngar suara gerbang terbuka. Terlihat banyak polisi yang berjaga di luar gerbang tersebut, serta ayahnya, Pak Josh yang entah keluar dari rumah sakit dari kapan, kini sedang menggendong Luna. Kondisi anak itu sama lemasnya seperti Anne.
“Bundaaaa ....” Teriak lirih sang putri di gendongan sang ayah. Tangisan Anne seketika pecah. Begitu takutnya Anne kalau tidak bisa bertemu dengan Luna lagi. Dan begitu traumanya dirinya saat ini. Entah, untuk percaya pada siapapun Anne sudah sangat takut.
Anne menghampiri Luna dan Pak Josh, disaat para polisi berlari menuju dalam rumah. Menggerebek rumah minimalis nan modern itu. Anne lalu mengusap rambut sang anak, kemudian menempelkan dahinya ke dahi Luna. Mereka menangis bersama. Hatinya kini lega, tapi belum sangat lega karena Jeffry masih ada di dalam. Hatinya tidak bisa tenang kalau Jeffry belum keluar dalam kondisi selamat.
“Jeffry ada di dalam yah. Selamatin dia.” Ucap Anne memohon pada ayahnya.
“Yaudah kamu gendong Luna dulu. Ayah ke dalam, ya.” Jawab Pak Josh sambil memindahkan gendongannya ke Anne.
Sudah 15 menit berlalu, Beberapa polisi masih berkutat di dalam rumah, dan polisi lainnya sedang berada di luar. Anne dan Luna saat ini sedang diamankan. Duduk di dekat ambulan dengan selimut yang membalut bahu mereka sambil memegang segelas teh hangat pemberian petugas ambulan tersebut. Anne hanya memegangnya, tidak meminumnya. Setelah susu, kini Anne takut untuk meminum teh.
Beberapa detik selanjutnya, Pak Josh menghampiri Anne. Di belakangnya terlihat Tio yang sudah dibekuk oleh dua polisi dan digiring menuju mobil yang sudah terparkir di depan gerbang.
“Dimana Jeffry yah?” Tanya Anne dengan raut wajah tidak tenang.
“Ayah tidak menemukan Jeffry, Ann. Suami kamu hilang.”
“Apa? hilang?” Tanya Anne tidak percaya. “Jelas-jelas tadi Jeffry datang buat nyelametin Anne yah. Nggak mungkin dia hilang.”
“Iya ayah tahu. Tapi ayah cuma temuin banyak bercak darah di lantai. Dilihat kondisi kamu sama Tio yang nggak terluka sama sekali, bisa dipastikan itu darah suami kamu.”
Tubuh Anne langsung melemas. Pikirannya semakin kacau. Kemana Jeffry? Lelaki itu pasti terluka. Mungkin saat ini, Anne tidak diizinkan untuk hidup tenang sedikitpun.
To Be Continued