jaemtigabelas

Chapter 1: Mantan dua tahun nya.

“Ahhh, ganggu aja lo setan,” gerutu Mahesa yang terlihat kesal saat layar ponsel nya baru saja menampakkan wajah Hisyam yang tengah tersenyum usil.

Pasal nya, lelaki berdarah Kanada itu walaupun terlihat good looking, namun ia tidak bisa menghindari takdirnya bertemu dengan lelaki sejahil Hisyam.

Sedikit cerita, Hisyam sebenarnya anak nya suka jahil, apalagi kalau bersama sahabat plus manager nya itu, hidup Mahesa pasti tidak bisa tenang. Hanya saja karena terhalang status dia sebagai aktor papan atas, dia harus bisa menjaga image di depan banyak orang yang sedang mengagumi sosok Fabian Hisyam Gazali itu. Kadang Hisyam berpikir bahwa semenjak ia memutuskan untuk menjadi aktor, Hisyam tidak bisa menjadi dirinya sendiri.

“Mana tuh cewek?” Alis Hisyam sedikit berkerut saat menyadari bahwa Mahesa sedang duduk seorang diri.

“Belum dateng. Ini napa jadi lo dah yang demen ketemu nih cewek?”

“Kagak, penasaran doang gue. Salah?”

“Iya dah lo yang paling bener di dunia ini.” Pada akhirnya Mahesa mengalah. Karena berdebat dengan Hisyam pasti tidak akan bertemu jalan keluar nya. Jadi mau tidak mau harus ada yang mengalah salah satu bukan?

Dan yang paling sering mengalah adalah Mahesa. Hisyam termasuk tipe lelaki yang sedikit keras kepala.

“Kenal dimana lo sama nih cewek?” tanya Hisyam penasaran. Meskipun wajahnya mencoba untuk tidak mengekspresikan rasa penasaran nya itu.

“Dari shopee hahahahahha.” Mahesa tertawa. Deretan gigi yang rapih itu pun terpampang jelas karena kepalanya yang ia dongak kan sedikit.

Lelaki yang berada di seberang sana hanya menatap bingung. “Shopee?” gumam Hisyam yang masih berpikir.

Beberapa detik setelah, otak nya seakan langsung tersambung. “ANJG LO. JANGAN BILANG PAS GUE MINTA LO BELIIN AMEL SCARF-“

“Kagak anjir. Gue mau cod ini, ambil scarf buat adek lo tersayang,” potong Mahesa cepat dengan sedikit penekanan di kalimat terakhir

Hisyam menggeleng pelan. Bisa-bisa nya ia tertipu. Pantas saja dirinya merasa heran sejak tadi saat Mahesa bilang ingin bertemu dengan seorang gadis. Karena selama ini Hisyam berpikir kalau manager nya itu tidak tertarik dengan gadis.

Bisa dibilang homo? Hisyam tidak tahu. Karena saat lelaki itu bertanya alasan mengapa Mahesa tidak pernah ada hilal berpacaran, manager nya itu hanya menjawab kalau ia sedang tidak tertarik. Jadi jangan salahkan Hisyam kalau ia berpikir Mahesa menyukai sesama jenis.

“Emang kalo lo bilang mau ketemuan sama cewek itu mitos ya hes. Gue pikir lo udah mulai suka sama cewek.”

“Lah, emang iya gue mau ketemuan. Cuma beda situasi aja bray. Nggak bawa perasaan.”

“Halah, ntar juga gue yakin lo bakal kepincut sama nih cewek.”

“Seberapa yakin?”

“100% yakin,” jawab Hisyam penuh keyakinan.

“Kalo gue beneran kepincut, gue dikasih apa?”

“Nggak bisa gitu lah hes. Perasaan bukan taruhan. Apalagi Ini soal cewek. Lo harus tulus lah. Kalo nggak bisa tulus jangan sok sok an mau kepincut. Gue gebuk lo kalo sampe gue lihat lo mainin cewek.”

“Hahahahaha nggak lah bray. Liat aja dah nanti. Gue juga bosen jomblo terus anjir.”

Nah, akhirnya kalimat langka itu keluar dari mulut Mahesa.

Disela Mahesa bercerita soal rutinitas nya hari ini. Mata Hisyam justru terfokus pada sosok gadis yang berdiri agak jauh di belakang sana. Dari layar ponsel tersebut terlihat jelas wajah gadis yang tidak asing di mata dan otak nya. Gadis berambut panjang dengan outfit yang pas untuk pergi ke cafe pada siang hari. Hanya memakai kaos crop top berwarna putih panjang serta celana jeans berwarna hitam. Hisyam seperti hapal dengan gaya outfit tersebut. Persis seperti outfit gadis yang pernah membawa pelangi ke dalam hidup nya.

Ya, itu Zena. Hisyam yakin itu Zena. Dari tinggi nya, paras nya, dan outfit andalan nya. Zena tidak suka apabila keluar di siang hari harus memakai jaket, atau pun kaos yang panjang, intinya baju yang menutup semua tubuh nya. Karena Zena tidak kuat dengan suhu panas. Maka dari itu saat gadis itu keluar siang-siang, Zena pasti memakai outfit yang santai, dan seperti apa yang dibilang Dava sebelumnya kalau baju yang dipakai Zena selalu bisa mengundang zina mata.

Hisyam menjadi bertanya-tanya, apa tujuan Zena ke sini? Apakah ini memang takdir mereka untuk bertemu walau disituasi yang berbeda? Hisyam sontak tersenyum tipis saat Zena terlihat bingung menoleh ke kanan dan ke kiri nya.

’it's good, that she's fine.’ batin Hisyam.

“Udah gila ya lo senyum senyum sendiri.” Fokus Hisyam buyar saat mendengar ejekan dari Mahesa di layar ponsel nya.

Namun Hisyam tidak menghiraukannya. Mata nya masih memandangi Zena yang wajahnya berubah menjadi panik. Melihat itu Hisyam pun juga ikut panik meski tidak tahu alasan nya apa. Dan beberapa detik selanjutnya Zena pun pergi meninggalkan cafe plus teman nya yang Hisyam tidah tahu nama nya.

“Syam. Lo kenapa sih?” Mahesa semakin dibuat bingung. Pasal nya Hisyam sedari tadi menunjukkan gerak gerik aneh.

“Nggak papa. Tadi sampe mana?”

“Sorry, lo Mahesa bukan?” Suara gadis tiba-tiba terdengar menyapa Mahesa.

“Yes. Lo yang jual scarf itu?” jawab Mahesa dengan senyum yang lebar. Kedua matanya sontak berbinar, seolah ada cahaya bintang di sana. “Ok bray, ntar lagi ya. Gue sibuk. Bye.”

Layar pun kembali menghitam. Hisyam perlahan menurun kan ponselnya seraya detak jantung nya yang ikut menurun. Ia sudah lama tidak merasakan ini. Jantung nya berdebar, salah tingkah, dan jatuh cinta lagi. Tepat nya pada satu orang yang sama. Gadis dengan bentuk dagu sedikit lancip, mata yang seperti mata kucing, dan penyuka Justin bieber garis keras. Zena tidak berubah, masih gampang panik seperti dulu kala. Namun hal itu yang sukses membuat Hisyam ingin pulang ke Indonesia dengan cepat dan bertemu dengan Zena secara langsung.

Sumpah demi apa pun, Hisyam sangat merindukan mantan dua tahun nya itu.

Quality Time with Bapak Nagara.

Ditemani oleh dinginnya malam, sepasang suami-istri itu tengah tertidur di kasur yang sama. Saling menatap dan menelusuri arti tatapan tersebut. Lebih dari dua puluh menit mereka seperti ini. Berbicara melalui insting mata yang kuat. Hanya mereka yang mengerti.

“Saya rindu, Joey.” Suara Nagara pertama yang terdengar. Dengan tatapan yang tenang, menenangkan hati Joey.

“Sama siapa?” tanya Joey yang tujuannya hanya untuk menggoda lelaki ini.

“Kamu lah. Sama siapa lagi,” jawab Nagara dengan tegas dan sigap.

Kekehan Joey terdengar manis. “Aku juga kangen sama kamu, Mas Na.”

Nagara sepertinya sangat menyukai panggilan itu. Dibandingkan dengan Bapak Nagara, Mas Na jauh lebih membuat hatinya bergejolak tidak karuan. Sudut bibirnya tertarik ke atas.

Tangannya kemudian terangkat untuk membelai poni yang hampir menutup wajah cantik istrinya. Hatinya seketika lega. Sangat lega. Sudah tidak ada lagi badai yang harus mereka terjang. Badai itu sudah berlalu. Kini tergantikan oleh pelangi yang menghiasi langit-langit kamar mereka. Kebahagiaan menyelimuti Joey maupun Nagara.

“Sebenarnya saya mau sentuh kamu malam ini. Tapi saya takut kamu hamil lagi,” ungkap Nagara secara terang-terangan. Lelaki itu sudah tidak se-kaku seperti kemarin. Urat-urat wajahnya pun sudah tidak terlihat jelas dan menegang. Nagara benar-benar terlihat santai malam ini. Semua masalah sudah terselesaikan dengan baik dan sempurna.

Kepala Joey terangkat sedikit, membenarkan kepalanya yang semakin mendekat ke kepala Nagara. ”Mas nggak mau kehadiran seorang bayi?”

Diam. Nagara mendadak bisu. Tangannya masih setia membelai surai hitam pekat itu. ”Urusan anak, saya bisa pikir nanti. Yang penting tunggu kandungan kamu sehat dulu. Saya masih bisa menghamili kamu meskipun usia saya tua, Joey.”

Kini Joey mengerti besarnya rasa cinta Nagara padanya. Rasa cinta yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Nagara yang memperdulikan keselamatan dirinya, Joey sudah menganggap bahwa lelaki itu amat sangat mencintainya. Dan Joey kini bisa merasakan itu.

“Sini kamu!” Pinta Nagara.

Lelaki berkaos putih polos itu langsung meraih pinggang Joey. Satu tangan kanannya mampu membawa gadis itu ke pelukannya. Joey melebarkan matanya. Ada yang mengalir deras di sekujur tubuhnya saat ia bersentuhan langsung dengan Nagara. Hidungnya mencium aroma minyak telon dari lelaki yang sedang memeluknya saat ini. Dan ia menatap wajah tampan nan memukau itu dalam jarak yang sangat dekat. Cukup untuk menjadi alasan, kenapa jantungnya seperti hampir lompat dari tempatnya.

“Apa?” Tanpa rasa berdosa, Nagara bertanya sambil menyunggingkan senyumnya.

“Wangi,” jawab Joey tertahan sambil menundukkan wajahnya.

“Kamu baru tahu kalo wangi suami kamu emang kayak gini, Joey?” Joey tidak bisa menjawab pertanyaan konyol Nagara. Tentu saja ia tahu. Ia tahu benar bagaimana aroma tubuh dari lelaki yang berstatus suaminya itu. tapi Joey tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.

Menyadari Joey yang masih sibuk dengan lamunannya sendiri, Nagara semakin mempererat pelukannya. Bahkan sekarang, tangan kirinya sudah ikut andil dalam mengurung tubuh mungil itu. Nagara memulai serangannya dengan meletakkan dagunya di bahu Joey. Menempelkan bibirnya untuk mengecup leher gadis itu. Tak ketinggalan hidungnya yang mancung mulai mengendus tengkuk Joey.

Joey sontak memejamkan matanya dan bibirnya mengeluarkan lenguhan kecil. Tentu saja. Itu adalah salah satu titik kelemahannya. Nagara mungkin sudah sangat ahli di bidang ini. Namun aktivitas tersebut hanya berselang lima menit. Setelah itu Nagara melepaskan tautannya dan kembali pada posisinya menghadap ke atas. Sedikit membuat istrinya kecewa, karena jujur Joey sangat ingin disentuh oleh Nagara malam ini. Ia sangat merindukan tubuh kekar itu mendekap penuh tubuh mungilnya.

“Joey,” panggil sang lelaki. Wajahnya begitu damai dengan sorot mata yang mulai berbinar.

“Iya mas?”

“Joey, istri saya.”

“Iya Mas Na?”

Bibir itu kembali mengulas senyum. Senyum yang Joey rindu-rindukan, di malam ini ia dapat melihatnya lagi. Senyum yang membutuhkan sedikit perjuangan untuk mendapatkannya. Senyum yang hanya untuknya seorang. Wanita itu semakin mempererat pelukannya pada tubuh Nagara.

“Saya penasaran. Kamu setiap sama saya pasti bawanya marah-marah terus-”

“Ya itu salah kamu nggak sih mas? Kamu tuh yang bikin aku marah-marah terus.” Joey kembali mengeluarkan jurus mengomelnya.

“Dengerin saya dulu bisa?” Nagara menatap Joey dengan penuh arti. Suara lembutnya mampu membuat gejolak hatinya menjadi tenang, Seolah dirinya berada di tengah hamparan luas yang ada banyak pepohonan rindang disana. Sejuk dan tenang.

“Iya ini aku dengerin.”

“Apa kamu pernah merasa nyaman berada di dekat saya? Saya ngerasa kalau saya selalu menyakiti perasaan kamu.”

Hati Joey sedikit mencelos saat mendengar kalimat tersebut. Nagara sadar, kalau selama mereka hidup bersama, lelaki itu hanya bisa membawa duri. Padahal jelas-jelas dari awal dirinya sudah berjanji di depan Malik dan orang tua Joey, kalau ia bisa membahagiakan Joey dengan segenap jiwa dan raganya. Namun kenyataannya, banyak lika-liku kehidupan yang harus mereka hadapi. Yang membuat hubungan mereka hampir saja kandas di tengah jalan. Akan tetapi sebelum itu terjadi, Tuhan memberi jalan untuk mereka. Mereka yang saling mencintai tapi sangat sulit untuk menyatu. Dan semenjak kejadian ini, baik Joey maupun Nagara menjadi belajar kalau hubungan tanpa keterbukaan itu akan memperburuk keadaan. Komunikasi dalam hubungan itu sangat penting, sehingga tidak ada lagi kesalahpahaman di antara mereka berdua.

Kini cinta mereka menyatu menjadi lautan samudera yang sangat luas.

Joey mengubah posisinya menjadi tengkurap menghadap Nagara. “Pernah. Malam ini contohnya.”

“Cuma itu?”

“Hmmmm …” Wanita berdarah padang itu tampak berpikir. “Ohhh aku inget. Kamu inget nggak mas waktu kita hadir di nikahannya Bu Sintia klien kita. Kalo nggak salah itu sebulan dari hari pernikahan kita.” Nagara berpikir sejenak. Pikirannya seketika melalang buana kemana-mana. Mencari memori yang sesuai dengan perkataan dari istrinya itu. Detik selanjutnya Nagara tiba-tiba ingat. Tepatnya bulan Februari, di malam minggu mereka diundang untuk menghadiri acara pernikahan klien terdekat mereka. Bu Sintia. Wanita berumur tiga puluh tahun yang gila kerja pada awalnya. Sampai pada akhirnya ia menemukan jodohnya sendiri. Lelaki tampan yang sepadan dengan Nagara.

Flashback

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Saatnya untuk Joey dan Nagara untuk berpamitan pada sang tuan rumah dan mengucapkan terima kasih atas undangan dan makanan gratis yang sudah disiapkan untuk mereka.

Joey dan Nagara keluar dari gedung ber-cat putih itu menuju parkiran mobil. Joey berjalan gontai karena tenaganya sudah benar-benar habis. Ia tidak tahu kalau berkumpul dengan orang banyak dapat membuatnya lelah. Atau mungkin ini efek dirinya terlalu sering begadang karena pekerjaannya yang menumpuk.

Kedua sejoli itu masuk ke dalam mobil HRV milik Nagara. Joey langsung menyandarkan kepalanya di kursi penumpang.

“Arggghhhh capek banget,” gerutunya yang terdengar jelas di telinga lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kalo capek tidur aja. Nanti saya bangunin kalo udah sampai,” jawab Nagara yang mengerti kalau istrinya itu butuh istirahat.

Pandangan wanita pemilik nama Joanne Josephine itu teralihkan pada suasana di luar mobil. Orang-orang dengan baju kondangan mereka berlalu lalang. Pikirannya berpetualang jauh ke sana.

“Pak.” Joey tiba-tiba memanggil Nagara. Waktu itu mereka masih canggung satu sama lain. Joey masih menggunakan panggilan ‘Pak’ pada Nagara.

“Hmmm?”

“Pasti enak ya kalo waktu itu kita ngundang banyak orang.”

Lelaki yang mengenakan jas warna hitam itu tidak menjawab. Joey tidak ada angin tiba-tiba membahas hari pernikahan mereka.

“Berbagi kebahagiaan sama orang-orang terdekat kita. Tadi gue sempet lihat ada band nya juga. Kalo kita juga ngundang band atau minimal penyanyi cafe, pasti kita bisa nyanyi bareng temen-temen kita. Orang tua kita joget bareng sambil ketawa-ketawa.” Joey menatap cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya. “Gue aja kadang lupa, kalo gue sekarang udah jadi istri orang.”

Sang lawan bicara masih diam. Tangannya meremas setir mobil. Nagara juga ikut merasakan kesedihan itu. Wanita mana yang tidak memimpikan hari penting yang hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Setidaknya pernikahan yang indah untuk dikenang. Joey pasti juga menginginkannya, walau pernikahan mereka didasari dengan perjodohan.

Baru saja Nagara membuka mulut untuk membalas kalimat Joey, istrinya itu sudah memejamkan matanya. Kepalanya masih setia mengarah ke kaca mobil. Membuat lelaki itu mengurungkan niat untuk berbicara karena tidak ingin membangunkan wanitanya.

Nagara menyalakan mobilnya, lalu membawanya keluar dari halaman parkir menuju apartemennya. Selama perjalanan ia hanya ditemani oleh kesunyian. Kalau boleh jujur matanya sudah tinggal berapa watt lagi sebenarnya. Nagara mulai merasa ngantuk. Ia segera menyalakan radio mobilnya untuk memutar lagu yang selalu ia dengarkan di dalam mobil, agar rasa kantuknya menghilang.

Music: BTS – Make It Right (feat. Lauv) ~Yeah, I was lost, I was tryna find the answer in the world around me. ~Yeah, I was going crazy, all day, all night. ~You’re the only one who understood me, and all that I was going through. ~Yeah. I just gotta tell you, oh baby, I

Lantunan musik itu membias memenuhi mobil. Dengan tinggi volume sepuluh, musik tersebut sangat pas menemani kesunyian mereka. Lagu yang akhir-akhir ini Nagara suka. Siapa yang tahu kalau lelaki yang dikenal kaku se-kaku kanebo ini sering mendengarkan musik dikala waktu senggangnya.

Wanita yang tengah tertidur itu mulai terusik. Namun ia tetap diam. Matanya perlahan terbuka. Ikut menelisik lagu yang sedang diputar Nagara saat ini. Kepalanya pun kini menoleh menghadap Nagara. Lelaki itu tidak sadar, karena terlalu sibuk menikmati lagu ini.

“You were there for me through all the time I cried. I was there for you but then I lost my mind. I know that I messed up but I promise, I. Oh oh~ I can make it right.”

Joey tiba-tiba terpaku mendengar suara Nagara bernyanyi. Suara lelaki itu tidak terlalu buruk. Deep voice yang dimilikinya mampu membuat bulu kuduk nya berdiri. Joey tidak tahu kalau Nagara memiliki suara yang bagus saat menyanyi. Seketika hatinya yang sempat gunda, terasa sangat nyaman. Baru kali ini Joey merasakan suasana nyaman pada hatinya saat berada disamping Nagara. Benar-benar nyaman layaknya seorang anak yang sedang dinyanyikan lagu tidur oleh ibunya.

Senyuman Joey tersimpul saat jari Nagara perlahan bergerak mengetuk setir mobil sesuai dengan beat lagu. Nagara sangat berbeda malam ini. Seperti bukan Nagara yang sering Joey temui. Sosok lelaki remaja yang sering nongkrong bersama teman-temannya, ada pada diri Nagara sekarang. Bukannya lelaki kaku yang terlalu serius menjalani hidup. Kali ini lelaki itu terlihat sangat santai. Kedua mata itu sontak terpejam saat sang empu menyadari sesuatu. Nagara tiba-tiba menoleh ke arah Joey yang masih terlelap, menurutnya. Entah ada bisikan dari mana, tangannya terangkat dengan sendirinya lalu mengusap puncak kepala Joey. Membelainya perlahan sambil sesekali pandangannya masih fokus pada jalanan. Joey yang masih dalam kondisi sadar itu merasakan detakan jantungnya berpacu sangat cepat. Aliran darahnya berdesir. Andai ia memiliki kemampuan menghentikan waktu, Joey akan menghentikan waktu ini, di malam ini. Karena untuk pertama kalinya, Joey mencintai Nagara yang seperti ini.

Flashback END.

“Saya pikir kamu tidur waktu itu.” Nagara sedikit terkejut saat mengetahui ternyata waktu itu Joey mendengarkannya menyanyi. Ia sedikit malu. Karena bukan hanya satu lagi saja, ada kurang lebih tiga sampai empat lagu yang terputar di malam itu. Dan hampir Nagara nyanyikan semuanya.

“Gimana bisa tidur kalo kamu nya berisik.” Ekspresi Joey terlihat kesal. Akan tetapi mampu membuat Nagara tertawa gemas. Otot-otot wajahnya tidak tegang seperti sedia kala. Memang seharusnya mereke sering mengadakan sesi deep talk dan quality time berdua seperti ini. Sungguh ampun melepas penat dan masalah yang ada di dada.

“Mas. Habis ini kita mulai kehidupan baru ya. Nggak ada lagi kata gengsi, nggak ada lagi rahasia-rahasiaan, dan nggak ada lagi kesalahpahaman. Itu yang bikin kita sering berantem mas kalo kamu sadar. Jadi sebisa mungkin kita mulai terbuka satu sama lain ya. Apapun itu. Sekecil masalah, harus kita selesaikan pake kepala dingin, okay. Disini bukan kamu aja kok yang berjuang, tapi aku juga. Kita berjuang bareng-bareng. Janji?” Joey mengarahkan jari kelingkingnya di depan sang suami.

Tidak perlu menunggu lama, Nagara langsung membalas kelingking Joey. “Janji. Saya juga janji akan berusaha bahagiain kamu. Itu tujuan utama saya.”

Joey tersipu malu. Kepalanya menunduk sambil tersenyum sangat manis. Ia marasa, kalau mereka seperti ini layaknya ABG yang lagi menikmati masa cinta monyet mereka. Dunia terasa milik berdua yang tidak bisa diganggu oleh siapapun. Bahkan cicak yang menempel di dinding sekalipun.

“Saya boleh cium kamu?” tanya Nagara kemudian. Meminta izin pada istrinya untuk menjamahi bibir ranum yang Nagara sudah idamkan sejak tadi.

Tanpa menjawab, Joey segera memejamkan kedua matanya. Memberi izin pada suaminya untuk menjamahi bibirnya malam ini. Karena sudah diberi lampu hijau, Nagara kemudian menangkup rahang Joey dan mengecup bibir rasa cherry itu. Mengecupnya, menikmatinya dengan lumatan-lumatan yang diciptakan oleh lelaki yang rambutnya sudah mulai memanjang itu. Meskipun Nagara adalah lelaki yang hampir tidak pernah berciuman, namun ia ternyata lihai dalam urusan seperti ini.

Akhir cerita.

Dari dulu Luna dibuat penasaran oleh pertanyaan bagaimana rasanya bisa disambut ibu setiap pulang sekolah? Bagaimana rasanya dibuatkan bekal oleh ibu menggunakan tempat yang super lucu dan bisa pamer ke teman-teman sekolah? Bagaimana rasanya dicium keningnya oleh ibu sebelum tidur? Luna tidak bisa mendekripsikan nya.

Selama sepuluh tahun ini, Luna hidup bersama dengan kakek nya. Ayah dari sang bunda yang sangat menyayangi nya. Setiap Luna pulang sekolah, sang kakek selalu menyambutnya dengan pelukan hangatnya. Dan kakek nya lah yang menyiapkan bekal sebelum gadis tujuh belas tahun itu berangkat sekolah.

Ada rasa iri ketika teman-teman nya dengan terang-terangan menceritakan kisah ibu mereka di depan Luna. Alhasil gadis remaja itu hanya bisa menyembunyikan kesedihan nya. Tidak ada yang tahu soal sang bunda yang sudah lama mendekam di rumah sakit jiwa.

“Kakek tunggu disini ya.” Ujar Pak Josh yang walau sudah beruban dan kulitnya mulai menunjukkan keriput, tapi masih terlihat gagah dan tampan.

“Loh katanya mau ketemu bunda. Kok Luna malah masuk sendiri.” Gerutu Luna dengan raut wajah kesal namun masih terlihat menggemaskan di mata sang kakek.

“Gantian. Nanti kakek masuk kalo kamu udah selesai.”

Kakek nya itu kadang susah ditebak. Yang dari awal ngajak jenguk siapa, tapi justru dirinya yang disuruh masuk sendiri. “Yaudah.”

Luna kemudian menggeser pintu bangsal yang ada di depannya itu. Menampakkan wanita dengan baju rumah sakit jiwa pada umumnya, duduk di atas kasur menghadap jendela. Sudah sebulan Luna tidak menjenguk sang bunda. Bukan apa-apa, hanya saja peraturan rumah sakit jiwa yang mewajibkan hanya bisa menjenguk sebulan sekali.

“Bunda. Luna datang.” Sapa Luna pada Anne-bundanya-.

Wanita itu tidak menyahut. Hanya menatap kosong ke depan dengan tatapan nya yang sayu. Tubuhnya semakin kurus tidak terawat. Rambutnya yang sudah mulai memutih itu sangat berantakan. Luna seketika melirik gelas beriisi susu yang pecah di lantai, bisa dipastikan kalau bundanya habis meraung tidak jelas. Kedua tangan Anne dipasang rantai yang dikaitkan di tiang kasur supaya wanita itu tidak melakukan hal buruk yang mengancam nyawanya sendiri.

Luna menengadahkan kepalanya sejenak. Sebisa mungkin air matanya tidak jatuh. Melihat kondisi bundanya yang tidak ada kemajuan, hati Luna seakan ditusuk pedang seratus kali.

“Luna kangen bun. Bunda gimana kabarnya?” Bodohnya Luna. Sudah jelas-jelas bundanya tidak baik-baik saja.

Gadis berparas cantik seperti bundanya itu seolah berbicara seorang diri. Pasalnya, sampai sekarang Anne masih membisu. Seakan bibirnya dijahit sangat rapat. Tapi Luna tidak menyerah untuk mendapatkan perhatian Anne, gadis itu lalu menggenggam tangan sang bunda.

“Inget nggak bun, dulu bunda selalu marah-marah tiap Luna telat bangun buat sekolah? Sekarang Luna udah nggak telat bangun lagi bun. Ayahnya bunda itu galak banget. Lebih galak dari bunda. Kalo Luna ketahuan begadang terus bangun siang nih, siap-siap sapu melayang ke badan Luna. Nggak kayak bunda yang bangunin Luna pake cium. Jadi kangen deh.” Luna tersenyum kecut. Ini bukan pertama kami ia mengatakannya pada sang bunda. Setiap kali berkunjung, Luna pasti akan membuka percakapan menggunakan template kalimat seperti ini. Niatnya berusaha agar bundanya bisa menjadi seperti dulu. Bunda yang selalu menjaganya.

“Bun. Luna nggak nuntut bunda buat sembuh sekarang juga. Luna bakal tetap disini sampai bunda sembuh. Ayah ... pasti juga merindukan bunda di atas sana persis seperti Luna merindukan bunda.”

Anne tetap tidak berkutik. Ingin rasanya Luna menyerah, berkali-kali Luna dibohongi oleh harapannya sendiri. Namun, setiap malam pasti gadis itu akan merindukan orang tuanya. Bunda Anne, Ayah Jeffry, Luna masih mengingat semua momen kebersamaan mereka waktu mereka masih menjadi keluarga yang utuh. Dan Luna sangat ingin kembali ke momen itu.

“Cepet sembuh ya bun. Biar kita bisa ketemu ayah bareng. Ayah sedih banget loh tiap Luna dateng sendiri ke makam nya.” Gadis itu tersenyum lirih menatap sang bunda dengan nanar. Begitu hebatnya Luna sampai sekarang ia tidak mengeluarkan air matanya sedikitpun. Padahal di dalam hatinya ia ingin menjerit.

Beginilah kehidupan Luna yang terbilang jauh dari kebahagiaan. Ayah kandungnya di penjara, ayah angkatnya sudah tiada, dan bunda angkatnya yang berakhir menjadi gila. Tidak ada yang lebih hancur dari perasaan gadis yang beberapa hari yang lalu baru menginjak tujuh belas tahun itu. Disaat teman-temannya sibuk mengatur waktu untuk berlibur bersama ibu serta ayah mereka, tapi tidak dengan Luna. Disaat libur musim panas, Luna pasti menyempatkan diri untuk pergi ke penjara, makam, dan rumah sakit jiwa. Tempat yang tidak disukai oleh semua orang.

“Yaudah Luna mau pulang dulu ya bun. Bulan depan Luna ke sini lagi. Pokoknya waktu Luna ke sini nanti, bunda harus udah gendut ya.” Ancam Luna yang terdengar seperti anak kecil yang kesal karena tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya.

Tangan mungil itu terangkat untuk membawa surai sang bunda ke belakang daun telinganya, supaya dirinya bisa jelas melihat kecantikan bundanya yang tidak sirna sedikitpun. Bundanya akan selalu cantik seperti bidadari tanpa sayap.

Cup .... Luna mengecup pipi sang bunda dengan sayang, begitu lama, seolah ini adalah saat terakhir ia bertemu dengan Anne. Air matanya terjatuh bebas menyentuh permukaan kulit Anne. Merasa kedua matanya mulai basah, Luna menjauhkan bibirnya dari pipi sang bunda.

“I Love you, bunda.” Bisik Luna parau.

Gadis itu beranjak dari duduknya dan melangkah pergi. Dadanya terasa semakin sesak. Padahal sudah sering Luna berkunjung menemui Anne, tapi hatinya masih merasakan sakit yang teramat dalam.

Saat ia keluar dari ruangan gelap itu, tangisan Luna tidak terbendung lagi. Tepat di depan sang kakek yang tengah berdiri di hadapannya itu, Luna menangis sejadi-jadinya. Pak Josh langsung memeluk daksa cucu kesayangannya lalu menepuk pelan punggung gadis itu. Luna meluapkan semua yang mengganjal di dadanya melalui tangisan itu. Di pelukan sang kakek, Luna berubah menjadi rapuh.

“Udah berhenti nangis nya?” Tanya Pak Josh ketika tangisan Luna mulai mereda.

Gadis cantik itu melepaskan pelukan kakeknya. Ia hanya mengangguk pelan sambil menghapus jejak air matanya.

“Yaudah, kamu sekarang ke mobil dulu ya. Nanti kakek nyusul.”

“Kakek mau kemana?” Tanya Luna dengan sedikit sesegukan.

“Kakek mau ketemu bunda kamu dulu.”

Luna setengah berbalik menatap sang bunda yang masih setia pada posisinya itu, lalu kembali menatap sang kakek. “Kakek yakin mau ketemu bunda?”

“Tadi yang ngomelin kakek gara-gara nggak mau masuk siapa?”

“Ya Luna sih. Tapi pas terakhir kali Kakek jenguk bunda, Luna masih inget, bunda kayak orang kesurupan kek.”

Pak Josh seketika tersenyum lebar. Kalimat tersebut bukanlah lelucon belaka, cucunya itu berkata jujur. “Udah setahun kakek nggak jenguk bunda kamu. Kakek nggak mau dicap jadi ayah durhaka, nak.” Jawab beliau diiringi tangannya yang mengusap surai halus sang cucu.

Pada akhirnya Luna hanya menurut. Gadis itu berjalan meninggalkan kakeknya seorang diri dan menuju parkiran mobil. Setelah kepergian Luna, Pak Josh meraih kenop pintu. Lelaki gagah itu menghela napas sejenak, menyiapkan hatinya untuk bertemu dengan putri semata wayangnya itu. Kalau kalian ingin tahu, ketika Pak Josh membuka pintu ini, seakan dirinya membuka gerbang menuju neraka.

Pak Josh mulai masuk ke dalam. Ruangan tersebut sepi dan sedikit gelap. Hanya ada satu lemari, satu meja, dan satu kasur di dalam ruangan satu petak itu. Jika dulu kamar sang anak didominasi oleh warna pink dan di dekor dengan begitu cantik, kini kamar yang harus Anne singgahi justru berbanding terbalik.

“Ann ....” Panggil Pak Josh sedikit ragu. Beliau tidak yakin, jika setelah ini putrinya akan memeluknya sambil menunjukkan senyum sumringahnya.

Kali ini, Anne merespon. Wanita itu hanya melirik tajam ke arah sang ayah, seperti melirik musuhnya sendiri. Raut wajah yang awalnya datar, perlahan berubah menjadi amarah yang menggebu-gebu.

“PERGI!!!!” Jerit Anne mendorong keras tubuh ayahnya.

Beberapa pukulan Pak Josh dapatkan dari Anne, bukan pukulan sayang, melainkan pukulan kebencian. Sakit, tapi lelaki berusia lima puluh itu tidak goyah. Beliau masih tetap berdiri tegak dengan menahan tangisannya.

“NGAPAIN KALIAN KE SINI, HAH? DIMANA JEFFRY?!!!” Dengan racauan tidak jelas itu, Anne berdiri dan langsung mencengkram kerah baju Pak Josh. Seperti menantang ayahnya sendiri. “JAWAABBBB!!! DIMANA SUAMI SAYAAAAA???!!!”

Jeritan itu mampu membuat perasaan Pak Josh hancur. Tidak bisa didefinisikan, tapi kalian bisa bayangkan seorang ayah dibentak putrinya seperti orang yang tidak saling kenal.

“Anne-” Pak Josh mencoba untuk memeluk Anne, namun wanita itu menolak mentah-mentah.

“KALIAN ITU SETAN TAHU NGGAK?!! KALIAN ITU ANJING! POLISI SAMPAH!! PERGI DARI SINI!!!” Anne semakin menjadi-jadi. Ia meninju dada Pak Josh berkali-kali dan ritmenya sangat cepat. Sungguh, Anne tidak sadar kalau yang dipukulnya ini adalah ayah kandungnya sendiri.

Tugas seorang ayah adalah selamanya ada disisi anaknya sampai ajal memisahkan, walau situasinya seberat apapun. Melihat Anne yang amat sangat membencinya, Pak Josh ingin menangis. Ia merindukan putrinya yang manja kepadanya, yang merengek meminta dibelikan ice cream, yang menangis saat terjatuh. Pak Josh merindukan sosok Anne yang dulu.

Semenjak Jeffry ditembak mati oleh para polisi, membuat mental Anne menjadi sangat terganggu. Awalnya hanya berhalusinasi kalau Jeffry masih hidup, tapi semakin lama, ia tiba-tiba menjerit sendiri, menangis sendiri, dan tertawa sendiri. Parahnya lagi, setiap Anne bertemu dengan polisi, ia tidak segan-segan mengambil benda tajam yang ada di dekatnya lalu melukai polisi tersebut. Termasuk ayahnya sendiri.

Dan inilah alasan Pak Josh mau tidak mau harus memasukkan Anne ke rumah sakit jiwa.

Dikala Anne yang masih memukuli dadanya, Pak Josh memaksakan diri untuk memeluk sang putri. Walau wanita itu meronta habis-habisan karena tidak mau dipeluk, Pak Josh masih tetap memeluk Anne dengan sangat erat.

Mendengar suara jeritan yang sangat keras, para suster yang berjaga disana datang untuk menenangkan Anne. Namun saat suster tersebut baru masuk, Pak Josh mengangkat tangannya, menandakan jangan mendekat dulu. Beliau bisa atasi ini semua.

“Sayang, ini ayah ... Ini ayah, sayang.” Ucap Pak Josh seraya mengusap kepala sang anak. “Ini ayah, nak.”

Sepertinya kalimat tersebut sangat ampuh, dilihat Anne yang perlahan mulai tenang. Sebenci apapun seorang anak, dan se enggak kenalnya seorang anak, ia pasti memiliki ikatan batin dengan orang tuanya. Anne merasakan itu. Ada gejolak yang menyuruhnya untuk tenang. Suara ayahnya yang parau itu, Anne tidak akan bisa lupa.

Kedua bahu Pak Josh bergerak naik turun. Ya, lelaki tua itu menangis. Persetan dengan harga dirinya sebagai lelaki. Karena tidak ada yang mengerti betapa hancurnya ia sebagai seorang ayah. Tidak ada yang bisa Pak Josh lakukan selain menangis untuk saat ini.

“Ayah ....”

Pak Josh terpaku seketika. Beliau tidak berhalusinasi, Anne benar-benar memanggilnya ayah untuk pertama kalinya.

“Ayah, itu ada Jeffry di belakang ayah. Coba deh ayah balik. Anne malu, masa kita peluk-pelukan gini di depan suami Anne.”

Pak Josh semakin mempererat pelukannya. Putrinya mulai berbicara yang tidak jelas lagi.

“Jeff ... sini deketan, mau peluk. Aku kangen.” Ujar Anne sambil merentangkan kedua tangannya.

Pak Josh sangat yakin kalau dibelakangnya kini tidak ada siapa-siapa. Namun beliau bingung harus menjawab apa. Sudah sering Anne seperti ini, berbicara sendiri seolah ada Jeffry disampingnya. Padahal kenyataannya, di samping Anne hanya ada tempat kosong yang tidak pernah disinggahi oleh siapa pun. Wanita itu selalu sendiri.

“Ayah sayang sama kamu, nak. Maafin ayah, udah bikin hidup kamu menderita.” Hanya sepatah kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Pak Josh.

Tidak ada jawaban, Anne masih tersenyum dan tertawa dengan dunianya sendiri. Pak Josh hanya bisa memaklumi itu.

Dan inilah akhir dari sebuah cerita yang begitu menyedihkan. Soal harapan yang gagal untuk tercapai. Dan masa depan yang dihancurkan oleh takdir. Kadang Anne bertanya-tanya, kalau misal dirinya tidak mimpi buruk, apakah hidupnya tidak akan berakhir seperti ini?

SELESAI

Jawaban yang tidak diharapkan.

Anne baru saja bertemu dengan Jeffry asli di dalam mimpinya. Lelaki itu nampak sangat bahagia, amat sangat bahagia daripada kemarin. Sambil mengucapkan kata-kata terima kasih pada wanita cantik itu. Terima kasih karena berkat Anne, kini Jeffry yang asli bisa pergi dengan tenang. Akan tetapi, justru Anne yang menjadi sangat khawatir akan kedepannya seperti apa nantinya? Karena sekarang, identitas Jeffry sudah terkuak. Membuat posisi suaminya itu terancam.

Di tengah tidur lelapnya, Anne tiba-tiba terbangun saat mendengar suara gedoran begitu keras pada pintu rumahnya. Ia melirik jam yang menunjukkan pukul sebelas malam. Siapa yang datang ke rumahnya selarut ini? Apakah mungkin itu Jeffry yang sudah memutuskan untuk pulang? Tanpa basa-basi lagi, Anne langsung beranjak dari tempat tidurnya, lalu berjalan untuk membuka pintu rumahnya.

Saat Anne membuka pintunya, alangkah terkejut dan terharunya ia mendapati sosok Jeffry sedang berdiri di depan rumah. Namun, kondisi lelaki itu membuat hati Anne teriris-iris. Bagaimana tidak, wajahnya yang sangat pucat serta keringat yang memenuhi wajah tampan itu dan tangannya sedang memegang perut sebelah kanan yang bercucuran darah, bisa dipastikan itu luka tusukan Tio saat Jeffry datang untuk menyelamatkan Anne waktu itu.

“Astaga Jeff.” Anne langsung memeluk leher Jeffry dengan sangat erat. Mendekap tubuh kekar itu dengan tangisan yang seketika pecah. Sekian lamanya Anne menunggu, akhirnya Jeffry mau menampakkan dirinya di depannya lagi.

Pelukan mereka terlepas, “Kamu kemana aja sih? Aku nggak bisa tenang gara-gara mikirin kamu.” Racau Anne pada suaminya itu.

Hanya senyuman tipis yang tersungging di bibir lelakinya yang Anne dapatkan. Senyuman yang akan selamanya Anne rindukan. “Syukurlah kamu nggak papa.”

Melihat Jeffry yang semakin kesakitan akibat luka pada perutnya itu, membuat Anne mengerutkan dahinya khawatir, “Iya aku nggak papa. Tapi kamu yang kenapa-napa, Jeff. Masuk yuk, aku obatin luka kamu.” Anne menarik tangan Jeffry, menyuruh lelaki itu untuk masuk ke dalam. Namun Jeffry justru menahannya.

Anne berbalik, menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. Perlahan Jeffry melepaskan tautan tangan Anne pada tangannya. Bibirnya masih terlukis sebuah senyuman. Walau ekspresinya tidak bisa bohong, kalau lelaki jangkung itu sedang menahan rasa sakit yang luar biasa pada perutnya.

“Semua udah berakhir, Ann.” Ucap Jeffry sambil menatap Anne begitu dalam. Kedua matanya berbinar.

“Maksud kamu? Apanya yang berakhir, Jeff?”

Dikala kebingungan Anne, di depan rumahnya tiba-tiba beberapa mobil polisi, dengan lampu sirine mulai berdatangan untuk mengepung rumah Anne dan Jeffry.

“Jeff, kenapa mereka kesini?” Anne semakin bingung dibuatnya.

“ANGKAT TANGAN!!!” Teriak para polisi tersebut sambil menodong pistol yang mereka genggam.

Jeffry mengangkat kedua tangannya setinggi daun telinganya. Matanya masih menatap nanar Anne yang terlihat syok dengan situasi saat ini. Wanita itu butuh penjelasan.

“Aku menyerahkan diri, Ann.”

“Nggak. Nggak ....” Potong Anne cepat dan langsung mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya itu, tangannya menyentuh tengkuk tegas Jeffry. “Ini belum berakhir, Jeff. Aku punya rencana. Aku sembuhin luka kamu, kita kabur ke luar negeri, dan mulai kehidupan baru. Kehidupan untuk kita bertiga, ya. Aku, kamu, sama Luna.” Bisik Anne sambil mencoba untuk tersenyum. Padahal kalau boleh jujur, dadanya sudah mulai sesak. Sangat takut apabila ketakutannya selama ini akan terjadi.

Namun Jeffry menggeleng pelan, menyadarkan Anne yang sebentar lagi akan dihancurkan oleh ekspektasinya sendiri. “Nggak bisa, Ann. Aku harus lakuin ini. Demi kebahagiaan kamu.”

“Kamu kebahagiaan aku, Jeff ... Kamu kebahagiaan aku. Please don't leave me!” Tangisan Anne pecah. Ia kembali memeluk Jeffry sangat erat. Seolah tidak mengizinkan suaminya itu pergi barang sejengkal pun.

Disisi lain, Pak Josh berjalan cepat lalu berdiri di tengah-tengah kerumunan polisi, “TURUNIN PISTOL KALIAN SEKARANG!”

Tidak ada yang menggubris. Semua masih menodongkan pistol ke arah Jeffry yang kini dipeluk oleh Anne. Pak Josh berbalik menatap anak dan menantunya itu dengan perasaan campur aduk. Tidak tega jika harus menembak mati menantunya di depan sang putri.

Kepala polisi yang kebetulan juga ikut dalam penyergapan pun turun dari mobil lalu menghampiri Pak Josh dengan wajah sombongnya itu. Pak Josh membalas tatapan lelaki tua itu tak kalah tajam.

“Minggir Josh. Ini urusan saya. Kamu nggak berhak ikut campur!” Usir kepala polisi tersebut, namanya Pak Yudis.

“Ini bisa dibicarakn dengan baik-baik, pak. Ok, emang kita harus menghukum berat psikopat itu. Tapi jangan ditembak mati di depan anak saya juga.” Pinta Pak Josh yang sepertinya tidak didengar. Hanya masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Pak Yudis masih bertahan pada keputusannya.

Lelaki tua itu maju selangkah, semakin mendekat ke arah bawahannya yang tidak tahu diri menghalangi pekerjaannya. “Saya tidak peduli, Josh. Mau di depan presiden pun, saya tetap akan menembak mati menantu kamu sekarang juga. Dia psikopat yang sudah menghantui kota ini bertahun-tahun, Pembunuh keji yang tidak kenal ampun. Dia pantas ditembak mati.”

Pak Josh menggeleng cepat dengan raut wajah yang memelas, “Pak saya mohon. Kali ini saja, saya akan urus semuanya. Saya pastikan dia dapat hukuman yang berat seperti apa yang orang-orang mau-”

“Orang-orang mau?” Potong Pak Yudis cepat, lelaki itu tertawa dengan nada seraknya, “Josh, Josh. Kamu itu terlalu naif atau gimana, hah? Orang-orang mau dia ditembak mati sekarang juga. Ngerti kamu?”

Pak Josh masih mematung disana. Menatap Pak Yudis sangat memohon. Berharap atasannya itu mau mendengarkannya sekali saja.

“Jadi sekarang kamu minggir, atau saya pecat kamu, Josh.”

Sekali lagi Pak Josh menggelengkan kepalanya pelan. Sebisa mungkin ia membujuk Pak Yudis untuk tidak menembak mati Jeffry. Sebenarnya Pak Josh setuju apabila Jeffry akan dihukum berat atas perbuatan kejinya. Akan tetapi, tidak ditembak mati sekarang juga. Itu akan melukai perasaan sang putri. “Pak, saya mohon.”

Karena Pak Josh yang tak kunjung berpindah tempat, membuat Pak Yudis geram. Lelaki beruban itu berbalik untuk merebut pistol salah satu polisi yang berdiri di belakangnya, dan langsung menembak punggung Jeffry begitu saja.

“JANGAAANNN!!!!”

“DORRR!!!”

“DORRR!!!”

“DORRR!!!”

Tiga peluru berhasil mengenai Jeffry. Semua orang langsung tertegun saat itu juga. Termasuk Anne yang posisinya masih memeluk Jeffry. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat tubuh Jeffry ambruk di pelukannya.

“Jefff ....”

Waktu seolah berhenti sejenak. Wanita berpiyama itu nampak menahan tangis. Tangan mulusnya menyentuh pipi Jeffry, mengusapnya dengan diiringi air mata yang entah sejak kapan jatuh ke permukaan.

“Ann ....” Rintih Jeffry yang masih menatap Anne lekat, walau saat ini ia sedang sekarat. Lelaki itu mulai terbatuk-batuk, mengeluarkan cairan darah dari mulutnya. Tangannya terangkat untuk menghapus jejak air mata sang istri. “Jangan nangis.”

“Jangan pergi. Aku mohon jangan pergiiiii!!” Jerit Anne frustasi.

“Terima kasih ya, Ann. Udah cinta sama aku. Kemarin, selama aku pergi, aku mulai sadar, kalau aku juga cinta sama kamu. Kamu berarti buat aku. Hanya keselamatan kamu yang aku pentingin ... Terima kasih, udah kasih warna dihidup aku, dan udah mau terima apa adanya aku. Kamu harus bahagia ya.”

“Nggak! aku nggak bisa bahagia kalo nggak ada kamu. Sebentar aku panggilin ambulan dulu ya buat kamu. Bertahan, Jeff.”

Jeffry menggeleng. Napasnya terdengar parau. Sedikit demi sedikit lelaki itu kehilangan kesadarannya. Namun, Jeffry masih berusaha untuk tersenyum supaya Anne bisa tenang dan berhenti menangis. “Tuhan benar-benar nggak ngizinin kita bersatu, Ann. Aku ini terlalu jahat buat kamu. Tuhan sayang sama kamu, makanya dia ambil aku biar kamu bisa hidup bahagia.”

“Jangan bilang gitu, Jeff. Aku mohon ... Demi aku sama Luna, ya.”

“Anne ....” Suara Jeffry memelan. Napasnya semakin hilang. “I love you.”

Detik selanjutnya, Jeffry menghembuskan napas terakhirnya. Dia pergi di dekapan sang istri. Anne yang melihat itu seketika menjerit.

“JEEEFFFF!! JANGAN PERGIIII!!” Teriak Anne sambil mendekap erat daksa tak bernyawa suaminya. Tangisan nya semakin menajadi-jadi. Semua rencananya akan memulai kehidupan baru bersama Jeffry hancur seketika.

Para polisi datang menghampiri kemudian mengangkat paksa mayat Jeffry dari pelukan Anne. Wanita itu semakin menjerit. Tangisannya terdengar pilu dan menyakitkan. Tangisan seseorang yang sangat kehilangan.

Pak Josh yang tak kuasa melihat sang putri menangis, langsung memeluknya.

“Kenapa kalian ambil Jeffry dari Anne? Anne cuma mau keluarga Anne utuh, yah. Anne cuma mau hidup bahagia bersama orang yang Anne cintai seperti dulu. Apa itu salah?” Tanya Anne melepaskan tautan sang ayah dan menatapnya sambil sesegukan. Layaknya balita yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya.

Karena tak sanggup untuk menjawab, Pak Josh memilih untuk memeluk Anne. Namun nampaknya sang putri menolak pelukan hangatnya. Wanita itu meronta dan menangis sejadi-jadinya.

“AKU MAU JEFFRY. JEFFRY JANGAN PERGIIIII!!! ARRGHHHHH!!!” Anne menjerit seperti kesetanan.

Sosok Jeffry seolah adalah peran utama dalam dunianya. Tidak ada yang bisa merebut Jeffry dari tempat itu. Karena apabila peran utamanya diambil, maka dunia Anne tidak ada apa-apanya. Kosong dan tandus. Dunia Anne hancur. Setelah perjuangannya untuk mengembalikan keluarganya utuh, apakah ini jawabannya? Jawaban yang sangat tidak Anne harapkan. Semua terasa sia-sia.

Lalu, untuk siapa Anne harus hidup, kalau tujuan hidupnya saja sudah tiada?

To be continued

Buku dan Flashdisk

Suara berisik dari orang yang sedang memukul dinding itu tidak mampu membuyarkan saripati Anne pada rumah mewah ini. Ia menatap sekeliling, sambil berkutat dengan pikirannya sendiri. Mengapa lelaki yang mengaku Jeffry memaksa Anne untuk merenovasi rumah ini?

Ngomong-ngomong soal mimpi, bagaimana Anne bisa tahu bahwa yang ada di mimpinya itu bukan Jeffry suaminya? Awalnya Anne berpikir, selama ini ia memimpikan Jeffry karena efek kerinduan nya yang semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Ia membutuhkan Jeffry, ia menginginkan Jeffry, ia merindukan Jeffry, sampai-sampai terbawa mimpi. Akan tetapi, semakin lama Anne semakin sadar, kalau ia memimpikan orang asing. Bukan orang asing lebih tepatnya, tetapi Anne memimpikan Jeffry yang asli.

Dimimpi Anne, Jeffry selalu mengenakan setelan serba putih, dengan wajah yang sayu dan pucat, serta rambut yang berantakan. Perawakannya persis seperti Jeffry suaminya. Akan tetapi ada yang membedakan mereka kedua.

Tanda lahir pada pelipis sebelah kanan, suaminya tidak memiliki itu.

Anne semakin yakin bahwa dirinya memimpikan Jeffry asli, saat dirinya tidak sengaja melihat foto keluarga Pak Adhi di foto album yang disita sang ayah. Foto Pak Adhi dengan mengenakan seragam kepala polisi nya, tengah duduk di tengah-tengah istri dan anaknya. Terlihat seperti keluarga bahagia. Dan saat itu Anne menyadari sesuatu, bahwa Jeffry yang asli, memiliki tanda lahir yang kecil di pelipis kanannya.

Tapi apa tujuan lelaki itu datang ke mimpi Anne dan memaksnya untuk merenovasi rumah ini? Dan dimana makam Jeffry berada? Bodohnya Anne baru sadar sekarang.

“Mbak ....”

Anne menoleh ke belakang saat seseorang memanggilnya, “Iya pak?”

“Ini, saya temuin buku di bawah lantai kamar Pak Adhi.”

“Di bawah lantai?” Anne nampak bingung.

“Iya mbak. Kan kamar Pak Adhi lantainya terbuat dari kayu, tadi saya sempat kesandung, terus lantai kayunya kayak kebuka sedikit. Waktu saya benerin, saya malah temuin buku ini.” Ungkap orang yang Anne sewa untuk merenovasi rumah ini, sembari menyodorkan buku berwarna hitam padanya.

“Ohhh, terima kasih ya pak.” Anne yang masih bingung kenapa orang itu memberikannya buka pribadi yang entah milik siapa itu. Mau tidak mau Anne menerimanya. Dan orang itu berlalu pergi.

Sebenarnya Anne selalu menjaga privasi orang. Jika Anne dititipkan barang oleh orang lain, Anne tidak akan lancang untuk membuka atau menggunakan barang orang tersebut, termasuk orang terdekatnya. Karena Anne pikir bahwa ia tidak memiliki hak untuk itu. Tapi entah mengapa, buku ini seolah menghipnotis Anne untuk membukanya. Hanya melihat covernya yang berwarna hitam polos itu, membuat Anne penasaran dengan isi buku ini.

Karena ia paling benci dibuat penasaran, Anne membuka buku tersebut. Toh, orangnya juga udah tidak ada kan?

Halaman pertama, memperlihatkan coretan tulisan Pak Adhi yang penuh dengan huruf latin. Sepertinya ini adalah buku diary lelaki tua itu. Karena mayoritas bukunya berisi aktivitas sehari-hari Pak Adhi. Anne membuka lembaran demi lembaran, sampai pada lembaran tengah buku itu, terdapat sebuah flashdisk berukuran kecil berwarna abu-abu. Alis Anne berkerut, flashdisk apa ini?

Kembali lagi, karena Anne paling benci dengan rasa penasaran, Anne melangkah keluar dari rumah itu menuju mobilnya. Kebetulan ia membawa laptop yang ia simpan di kursi belakang mobilnya.

Saat sampai di dalam mobil, Anne mengambil laptopnya, menyalakan benda ramping itu, lalu menancapkan flashdisk yang ia pegang pada laptop miliknya.

Tidak ada apa-apa, hanya ada satu video berjudul 'malam itu'. Sejenak Anne menggigit ibu jarinya. Apakah perbuatannya ini benar? Atau justru salah dan jadi boomerang buatnya nanti? Akan tetapi, rasa penasarannya sudah memuncak.

Setelah satu menit ia habiskan untuk berpikir, Anne memutuskan untuk membuka video tersebut. Video berdurasi lima menit yang direkam dengan kamera handphone. Ditengah ruangan yang sedikit gelap karena minimnya lampu pencahayaan, terdapat dua orang yang sedang bercekcok. Anne sedikit memicingkan matanya, sangat serius menonton video tersebut. Dan Anne baru sadar kalau dua orang yang sedang bercekcok itu adalah Pak Adhi dan Jeffry. Entah mereka sedang mempermasalahkan apa? Tapi samar-samar Anne mendengar kalau Pak Adhi sangat menentang tujuan hidup putranya itu.

Yang awalnya ekspresi Anne nampak biasa, semakin lama ekspresi itu berubah menjadi sangat serius. Atensi Anne sudah terpaku pada video tersebut. Sampai pada akhirnya Anne dibuat terkejut bukan main. Ia menutup mulutnya dan kedua mata yang hampir keluar dari tempatnya. Terdengar suara pukulan berkali-kali pada video itu, membuat wanita pemilik nama Elaine Khalida itu merasa kalau tidak seharusnya ia membuka video ini.

Dan video itu berakhir. Anne masih terduduk kaku di dalam mobilnya. tangannya perlahan turun dari mulutnya, kini menuju jantungnya yang berdetak sangat kencang. Dengan masih sedikit syok, Anne kembali membuka buku tersebut. membuka lembaran-lembaran kusam itu, siapa tahu Pak Adhi menuliskan sesuatu soal kejadian di dalam video tersebut.

Benar saja, pada halaman terakhir, Pak Adhi menulis,

'Aku menyayangi putra ku. Hanya dia satu-satunya putra yang aku punya. Aku memintanya untuk sekolah polisi, supaya dia bisa menjadi penerus ku nantinya. Tapi aku sangat marah, waktu dia dengan bersikeras tidak mau menjadi polisi seperti ayahnya. Dia bilang 'Polisi itu sampah, bisanya malakin duit orang aja tapi nggak bisa menegakkan keadilan.' Dia malah mau jadi anak band yang aku tahu sekali pasti suatu saat nanti, masa depan anak ku pasti tidak jelas. Tapi dia masih memaksa aku untuk mendukung tujuan hidupnya, membuat aku sangat marah dan mau menghukumnya. Ditengah aku menendang perutnya, aku tidak sadar kalau tangan ini tiba-tiba mengambil asbak yang ada di meja kerja ku, lalu aku memukul kepala anak ku berkali-kali sampai dia tidak bernapas lagi. Aku bingung harus bagaimana? Aku tidak ingin kehilangan pekerjaan ku karena dicap sebagai pembunuh anak ku sendiri. Istri ku yang melihatnya, menyarankan aku untuk menyembunyikan mayat anak ku. Aku menurutinya.

Nak, bukannya ayah jahat sama kamu. Maafkan ayah, ayah cuma mau yang terbaik buat kamu. Tapi karena kamu menentangnya, jangan salahkan ayah atas perbuatan ini. Semoga kamu tenang disana.'

Anne menutup buku tersebut. Air matanya terjatuh. Sangat sakit waktu membaca deretan kalimat yang ditulis oleh Pak Adhi. Ayah paling kejam yang pernah ada di dunia ini. Ayah mana yang tega membunuh anaknya, dan menyembunyikan anak biologisnya sendiri?

Setelah menonton video tadi, Anne semakin yakin akan alasan mengapa Pak Rudy dijadikan kambing hitam oleh Pak Adhi. Karena Pak Rudy memegang bukti kuat saat Pak Adhi membunuh Jeffry, lalu menyembunyikan mayat Jeffry di balik dinding rumahnya sendiri.

To be continued...

Balas Dendam

“Anne!”

“Bangun, Ann.”

“Kamu harus bangun.”

“Kamu udah janji mau renov rumah itu, kan?”

“Jangan mati dulu.”

“ANNE!!!”

Anne mengerjapkan kedua matanya perlahan saat mendengar bisikan yang datang entah dari mana. Kepalanya terasa sangat berat. Berat sekali. Sampai mengangkat kepalanya dari meja pun ia tidak sanggup.

Tunggu? Dimana ini?

Anne seketika menegakkan kepalanya, walau kepalanya masih terasa sangat pusing tujuh keliling. Ia masih di meja makan rumah Tio. Di tempat yang sama, namun ada yang berbeda.

Dimana Luna?

Gadis kecil itu sudah tidak ada di tempat duduknya. Terakhir Anne melihat Luna sedang bercanda gurau dengan Tio. Menunjukkan senyum paling bahagia yang pernah ada. Seakan melupakan ayah kandungnya yang sudah lama tidak pulang. Tapi sekarang ia menghilang.

Perasaan Anne seketika tidak enak. Wanita itu mencoba untuk beranjak dari duduknya. Akan tetapi kepalanya sangat pusing. Sekuat tenaga Anne mencoba untuk berdiri. Kenapa dirinya tiba-tiba seperti ini? Apa ini efek teh yang ia minum tadi?

Tunggu, teh?

Anne tersadar sesuatu. Tidak, tidak mungkin. Wanita itu menggeleng cepat. Berusaha menghilangkan pikiran negatif yang mengerubungi otaknya saat ini.

Tio lelaki yang baik.

Ya, Tio baik.

Dengan tertatih-tatih, Anne melangkahkan kakinya keluar dari ruang tersebut. Samar-samar terdengar suara Tio yang sedang menelepon seseorang. Dan ya, lelaki itu kini berada di dapur, berdiri membelakangi Anne.

“Thanks kak, udah pinjemin rumah buat gue.” Ucap Tio pada seseorang di seberang sana.

Anne bersandar pada pintu, diam-diam menguping pembicaraan Tio. Entah mengapa dirinya harus bertindak sangat hati-hati seperti ini. Bukankah menurut Anne kalau Tio itu adalah lelaki yang baik?

“Iya, tenang. Gue pasti bakal bunuh dia. Sekarang dia lagi masuk ke dalam perangkap gue.”

Anne semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan dua orang tersebut. Bunuh siapa?

“Kak. Lo tau sendiri kan dia yang bikin istri gue, sekaligus adik kandung lo mati? Anak gue juga diculik sama dia, kak. Sekarang Luna udah gue amanin. Tinggal gue bunuh cewek bajingan ini.”

“Iya ya, gue bakal hilangin jejak kalo udah bunuh dia. Rumah lo bakal aman kok.”

Tidak ada yang lebih hancur dari perasaan Anne saat ini. Jadi sedari tadi Tio membicarakan dirinya. Membicarakan kalau lelaki yang selama ini Anne percayai, akan membunuhnya. Pasalnya, tidak aa orang lain yang berkunjung selain Anne hari ini. Dan Luna sudah di bawa Tio entah kemana.

'Laki-laki brengsek!!' Batin Anne.

Tidak ada waktu lagi. Anne harus pergi dari rumah Tio, bukan, tepatnya rumah kakak ipar Tio. Entah apa tujuan lelaki munafik itu ingin membunuh Anne. Yang jelas, Anne masih belum mau mati. Belum saatnya ia mati. Anne masih belum membereskan masalah keluarganya. Anne tidak mau mati dengan sia-sia.

PRAANGGGG!!!

Karena kepalanya yang masih terasa pusing, Anne tidak sengaja menjatuhkan vas bunga saat dirinya hendak melangkah mundur. Hal tersebut membuat atensi Tio saat ini fokus pada suara itu.

“Kak, nanti gue telepon lagi.” Pungkas Tio dan langsung mematikan telepon dari kakak iparnya itu.

Detak jantung Anne semakin berpacu dengan cepat. Sebisa mungkin dirinya berusaha untuk fokus walau matanya masih terasa berat. Ini efek obat tidur dari teh pemberian Tio yang tadi Anne minum. Persis seperti Jeffry dulu. Tidak seharusnya Anne meminum teh itu.

Dan tidak seharusnya Anne percaya pada lelaki bermuka dua ini.

Tidak ada waktu yang tersisa lagi. Derap langkahan Tio terdengar semakin mendekat. Anne menoleh ke kanan dan ke kiri. Setidaknya ada tempat yang bisa dirinya tempati untuk bersembunyi. Wanita bersurai hitam legam itu diam-diam keluar dari ruang makan dan naik ke lantai dua. Dengan keringat dingin yang membanjiri seluruh tubuhnya itu, Anne masih berjalan dengan sempoyongan. Sekali-kali ia menoleh ke belakang, memastikan lelaki keji itu tidak berada dibelakangnya.

Setelah sampai di lantai dua, Anne menemukan suatu ruangan-seperti kamar pribadi yang cukup luas-. Tanpa basa-basi lagi, Anne langsung masuk ke dalam ruangan tersebut menuju lemari yang berukuran setinggi badan manusia. Dan Anne langsung masuk ke dalam sana. Bersembunyi di balik beberapa baju yang tergantung bebas di atasnya.

Semuanya sunyi seketika. Tidak ada suara yang terdengar selain deru napas Anne yang terdengar cepat dan memburu. Jantungnya semakin berdetak cepat, seakan sebentar lagi mau lepas dari tempatnya. Disini begitu gelap dan pengap. Anne hanya mendapatkan udara dan cahaya lewat sela-sela lemari yang terbuka sedikit. Sungguh tidak ada ruang lagi.

Tubuh Anne mulai bergetar. Sudah berapa kali Anne menggigit kukunya untuk menghilangkan rasa takut yang luar biasa pada dirinya, namun tidak berhasil. Bolehkah Anne berharap kalau Jeffry tiba-tiba datang ke sini, membuka pintu lemari itu lalu memeluknya dengan erat? Walaupun lelaki itu sudah pergi meninggalkannya, namun Anne masih tetap membutuhkan kehadiranJeffry. Hanya nama lelaki itu yang sedari tadi memenuhi otaknya disaat Anne sedang dalam bahaya.

“Jeff ... takut ....” Bisik Anne dengan nada lirih. Sepertinya Anne akan ambruk sebentar lagi.

BRUUAAKKK!!!

Bunyi dobrakan keras itu membuat Anne terjengat. Dadanya terasa semakin sesak, saat lelaki yang mengincarnya kini masuk ke dalam kamar tempat dimana Anne sedang bersembunyi. Dibalik sela lemari, Anne melihat Tio berjalan dengan angkuh, jauh berbeda dari Tio yang kemarin Anne kenal. Atensi Anne kini berpindah pada pisau dapur yang digenggam Tio. Pisau yang terlihat masih baru.

“GUE TAHU LO DISINI, ANN. KELUAR NGGAK!!!” Teriak Tio dengan lantang. Nampak begitu yakin jika mangsanya sedang bersembunyi disini.

Anne semakin meringkuk. Sekuat tenaga menenangkan deru napasnya yang memburu. Bisa-bisa Tio bisa mendengar suara napasnya, saking sepinya tempat ini. Seperti bom waktu, yang bisa meledak kapan saja. Sekalinya Anne bersuara, nyawanya bisa dipastikan akan melayang.

Tio masih sibuk mencari keberadaan Anne. Lelaki berkaos oblong hitam itu menoleh ke kanan dan ke kiri, mengelilingi ruang putih ini dengan sangat teliti. Anne masih berusaha untuk tenang. Ia hanya butuh berdiam diri saja sampai Tio benar-benar pergi dari sini, kemudian dirinya akan kabur melalui jendela kaca yang berada di seberangnya.

“Kalo lo ketangkep basah sama gue, lo bakal mati di tangan gue, Ann.” Ancam Tio kemudian. Lelaki itu benar-benar murka. Karena ia pikir rencananya akan berjalan dengan lancar. Hanya dengan memberi obat tidur di minuman Anne dan Luna. Menculik Luna dan membawanya ke rumah asli Tio, lalu membunuh wanita yang membuat dirinya kehilangan segalanya. Akan tetapi, entah karena Anne yang terlalu cerdik, atau Tuhan benar-benar berpihak pada wanita itu, semuanya menjadi gagal. Dan saat ini, Tio ingin membereskan semuanya. Sehingga ia bisa hidup bahagia bersama putri semata wayangnya itu.

Anne langsung menutup mulut dengan tangannya rapat-rapat, saat posisi Tio tepat berada di depan lemari ini. Berdiri tegak dan tidak bergerak sama sekali. Jangan sampai lelaki itu tahu kalau mangsanya ada disini. Hanya selang 2 menit, akhirnya Tio beranjak dari tempatnya berdiri. Terlihat Tio ingin meninggalkan kamar tersebut, membuat Anne bisa bernapas dengan lega.

Akan tetapi, baru sampai di ambang pintu langkahan Tio terhenti. Merasa seperti ada yang janggal dengan lemari putih itu. Ia lalu berbalik. Dan benar saja, dirinya melihat sehelai gaun yang dipakai Anne tadi terjepit di sela-sela pintu lemari. Tio seketika tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya ia bisa menemukan wanita itu.

Detik kemudian Tio duduk di atas kasur yang terletak tak jauh dari sana. Duduk menghadap lemari dengan kedua tangan yang sedikit melebar kebelakang untuk menumpukan tubuhnya.

“Anne ... Anne ....” Tio menggeleng pelan. Ia memajukan tubuhnya sedikit. “Mau mendengarkan sebuah cerita?”

Tentu saja Anne tidak menjawab. Anne hanya diam di balik lemari tersebut. Diam seperti patung yang bernapas.

“Istri gue ... lo pasti penasarankan apa yang terjadi sama istri gue sampai dia mati secara mengenaskan?” Tio bermonolog.

Lelaki itu memainkan pisau nya, memutar benda tajam itu berkali-kali dengan ke lima jarinya. “Oh ya, lo belum tahu ya namanya siapa? Tapi kalo gue sebutin, lo pasti langsung inget dosa-dosa lo di masa lalu.”

Anne mulai merasa bingung. Dosa apa? ia tidak paham dengan perkataan Tio yang terdengar ngelantur itu.

“Denada Parmadita Gantari. Lo pasti nggak asing sama nama itu, bukan?” Tio mulai menunjukkan smirk jahatnya.

Anne terkejut bukan main. Begitu akurat dugaan Tio, Anne sangat mengenali nama itu. Nada, wanita yang sempat dekat dengannya dulu. Teman seperjuangan yang sering berbagi keluh kesah bersama, walau hanya sementara. Pertemuan pertama mereka di rumah sakit. Tepatnya saat Anne ingin berkonsultasi soal kehamilannya yang tak kunjung terjadi. Ia tidak sengaja bertemu dengan Nada dalam kondisi hamil tua saat itu. Membuat Anne iri padanya. Tapi tak disangka, bahwa Nada adalah istri yang diceritakan Tio.

Bisa dibilang, Luna adalah anak biologis dari Tio dan Nada.

“Dulu, waktu gue masih jalanin masa tahanan gue, ekonomi keluarga gue lagi terpuruk. Gue nggak bisa nafkahin istri gue, istri gue nggak bisa cek kehamilan, nggak bisa beli susu hamil, padahal posisi dia lagi hamil tua. Dia udah capek-capek keliling buat jualan kue, tapi tetep aja penghasilannya cuma cukup buat dia makan doang. Suami macam apa gue? cuma bisa diem di penjara, sedangkan istri gue berjuang sendiri di luar sana. Orang tua nggak ada yang bisa bantu. Lo bisa bayangin jadi gue pusingnya gimana, Ann.”

“Sampai suatu hari, Nada mampir ngunjungin gue. Dia cerita, kalo dia baru aja ketemu lo di rumah sakit. Dan gue dengerin cerita dia tentang lo yang nggak bisa hamil. Tapi lo pernah mikir nggak sih, betapa bejadnya lo malah nawarin dia buat ambil anak gue dan ganti pake duit yang lo sebut ratusan juta itu?” Tio tertawa remeh. Merasa dirinya berada di puncak komedi.

“Gue marah, Ann. Gue sampe mikir nih cewek titisan iblis atau apa? Tapi, gue makin marah waktu Nada bilang buat mempertimbangkan tawaran lo. Nada tiba-tiba nyalahin gue, dia bilang ini semua karena gue. Gara-gara gue, dia hidupnya sengsara. Dijauhi sama semua orang karena gue. Gue hampir gila rasanya. Begitu begonya, dengan rasa bersalah gue, gue malah nge iyain apa mau dia. Gue cuma mau Nada bahagia, dapet apa yang dia mau. Gue udah nggak mikirin nasib anak gue gimana nantinya. Toh, dia bakal hidup bahagia sama keluarga barunya.”

Tio bangun dari duduknya. Dengan amarah yang sudah memuncak, ia berjalan menuju lemari yang berada di depannya itu. Ia begitu yakin bahwa Anne pasti ada di dalam sana.

“TAPI KENAPA LO MALAH BUNUH DIA BANGSAT!!!”

Tio membuka paksa lemari tersebut dan langsung menjambak rambut Anne. Menarik tubuh mungil itu untuk keluar dari dalam lemari.

“TIOO!!” Pekik Anne kesakitan.

Tio menghempaskan tubuh Anne dengan kasar. Layaknya membuang sampah. Anne yang tidak memiliki tenaga yang kuat, terhuyung ke lantai.

“Kenapa lo bunuh istri gue? Biar lo bisa ambil anak gue dengan seutuhnya tanpa gangguan istri gue, IYYAA?!!!!” Tio mulai geram. Tidak ada rasa ampun di raut wajah itu. Tidak terlalu peduli dengan ekpresi kesakitan Anne. Yang ada dipikirannya kini hanya ingin menghabiskan atasannya ini.

“Padahal Nada cuma mau liat anaknya, Ann. Anak yang dia kandung 9 bulan, anak yang dia lahirkan dengan penuh perjuangan, sendirian. Lo tuh iblis, lo pembunuh!!!” Tuduh Tio dengan penuh penekanan. Melihat Tio yang mulai mendekatinya, Anne mundur perlahan dengan tertatih.

“Dan sekarang, lo harus bayar semuanya. Nyawa ... diganti sama nyawa!” Tio semakin mendekat sambil sedikit mengangkat tangannya. Seperti sudah siap untuk menghujami dada Anne dengan pisau ini. Persis seperti yang ia lakukan pada ayah mertuanya itu.

“Tio ... tunggu. Aku bisa jelasin-”

“Udah terlambat, Ann. Gue nggak butuh penjelasan lo. Penjelasan lo nggak bisa bikin Nada hidup lagi!” Lelaki jangkung itu mulai menangis. Menangis dengan diiringi isakan yang pedih. Merasa kehilangan yang amat terdalam. Bertahun-tahun Tio hidup seorang diri. Ditemani oleh bayangan sang istri, dan hanya bisa memantau sang anak dari jauh. Hanya itu aktivitas Tio selama bebas dari penjara. Waktu itu dirinya belum memiliki keberanian dan kekuasaan untuk merebut Luna begitu saja. Maka dari itu, Tio memilih untuk mendekam di rumahnya, sedikit demi sedikit ia mengatur rencana yang licik supaya Luna bisa kembali ke pelukannya.

“Lo yang bikin keluarga gue hancur berantakan. Gue kehilangan istri gue, anak gue, kebahagiaan gue. Lo renggut semuanya!”

Amarah menguasai tubuh Tio saat ini. Amarah yang tidak dapat terbendung lagi. Melihat Anne yang tidak ada inisiatif untuk meminta maaf apalagi mengingat kesalahannya, membuat Tio semakin marah. Kini, niatnya untuk membunuh Anne sudah memuncak.

“Sekarang lo harus ganti, Ann. Gue nggak mau tahu, lo harus ganti nyawa istri gue!”

Kali ini Anne sudah pasrah. Ia memejamkan kedua matanya sambil mengucapkan selamat tinggal untuk sang suami dan anaknya yang entah dimana.

Sudah kurang lebih 15 detik Anne memejamkan matanya, tapi Tio tak kunjung menusuknya. Saat Anne membuka matanya, ia terkejut saat ada punggung seorang lelaki yang berdiri membelakangi nya. Lelaki itu memakai hoodie hitamnya, dengan kepala yang tertutup dengan topi hoodie. Punggungnya kekar dan lebar. Mengingatkan Anne akan punggung milik ....

“Jeff ....” Panggil Anne dengan ragu. Berharap besar bahwa itu memang lelakinya.

Tidak ada jawaban. Anne melirik tangan lelaki itu, tangan itu sedang memegang pisau yang mengarah tepat di depan dadanya. Menggenggam bilah pisau itu dengan kedua tangannya, seolah menahan pisau itu untuk melukai Anne.

“Ann ....” Dan benar saja, suara berat ala Jeffry terdengar kemudian. Anne semakin yakin bahwa yang sedang menghalanginya saat ini adalah suaminya. “Kamu lari sekarang. Biar aku yang urus semua ini.”

Jeffry terdengar kesakitan. Bagaimana tidak, bilah pisau itu masih sangat tajam. Dan ia berusaha keras menggenggam nya dan menghalangi Tio untuk menjalankan rencana licik nya. Kedua lelaki itu saling menatap sangat tajam, melebihi tajam nya pisau yang sedang mereka genggam.

“Ann, jangan bengong. Lari!!”

“Tapi. Aku nggak bisa tinggalin kamu.”

“Luna ada di luar.” Potong Jeffry dengan cepat.

“Luna?”

“Dia nunggu kamu. Dia cari kamu, Ann. Temui dia. Biar aku yang habisin laki-laki gila ini.” Suara Jeffry terdengar ngos-ngosan.

Anne semakin bingung. Disisi lain ia tidak bisa meninggalkan Jeffry yang menantang maut sendirian. Tapi disisi lain juga, Luna ada di luar, Anne sangat ingin mengecek keadaan putiri semata wayang nya itu. Melihat Tio yang seperti dirasuki oleh iblis, membuat Anne semakin overthingking. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana kalau Tio bekerja sama dengan kakak iparnya untuk menculik Luna lagi.

Anne lalu melirik tangan Jeffry yang mulai meneteskan darah. Darah segarnya jatuh ke permukaan. Menandakan kalau pisau itu memang sangatlah tajam.

“Ann ....” Sekali lagi Jeffry memanggil nama Anne, namun dengan tatapan lekatnya tertuju pada istrinya, “Aku mohon, pergi dari sini sekarang. Aku nggak papa, hm.” Ucap Jeffry menenangkan Anne, tak lupa diiringi senyum yang menenangkan itu. Pertama kali Jeffry tersenyum seperti ini setelah pertikaian yang terjadi diantara mereka berdua.

Mau tidak mau, Anne hanya mengangguk menurut. Tangisannya seketika pecah. Sejahat apapun Jeffry padanya, akan tetapi lelaki itu sebenarnya masih peduli. Tidak memikirkan rasa benci yang masih tersisa di relung hatinya sampai saat ini, tapi kalau bersama Anne, entah kenapa Jeffry tidak bisa sedikitpun menyakiti wanita itu.

Karena tidak ingin darah Jeffry mengalir lebih deras, Anne akhirnya pergi dari sana. Meninggalkan kedua lelaki itu untuk bertarung. Lari secepat mungkin, walau dengan kondisi masih sempoyongan. Dalam hati Anne berdo'a untuk keselamatan suami tercintanya.

Saat sampai di pintu utama, Anne sibuk mencari kunci. Jangan bilang kuncinya dibawa sama Tio. Setelah Anne mencari mulai dari di atas meja dekat pintu, rak sepatu, beberapa pot tanaman, hasilnya nihil. Anne tidak menemukan kunci itu.

Anne akhirnya menuju ruang tamu. mencari benda yang setidaknya bisa membuka pintu rumah ini. Dan matanya menemukan pemukul baseball yang terletak di ujung ruangan. Tanpa berbasa-basi lagi, Anne langsung mengambil tongkat tersebut lalu memukul ganggang pintu dengan sangat kencang. Memukulnya berkali-kali sampai ada tanda-tanda pintu tersebut terbuka.

Dengan menggunakan tenaga yang tersisa, Anne akhirnya berhasil membuka pintu. Ia langsung keluar dan berlari. Mencari keberadaan Luna yang tak kunjung ia temukan. Rumah kakak ipar Tio ini halamannya sangat luas. Anne harus berjalan 3 meter lagi untuk menuju gerbang. Dengan kaki yang telanjang, Anne masih ingin melangkah. Yang ada diotaknyas aat ini hanyalah keselamatan keluarganya. Jeffry dan Luna, semoga mereka tidak kenapa-napa.

Terderngar suara gerbang terbuka. Terlihat banyak polisi yang berjaga di luar gerbang tersebut, serta ayahnya, Pak Josh yang entah keluar dari rumah sakit dari kapan, kini sedang menggendong Luna. Kondisi anak itu sama lemasnya seperti Anne.

“Bundaaaa ....” Teriak lirih sang putri di gendongan sang ayah. Tangisan Anne seketika pecah. Begitu takutnya Anne kalau tidak bisa bertemu dengan Luna lagi. Dan begitu traumanya dirinya saat ini. Entah, untuk percaya pada siapapun Anne sudah sangat takut.

Anne menghampiri Luna dan Pak Josh, disaat para polisi berlari menuju dalam rumah. Menggerebek rumah minimalis nan modern itu. Anne lalu mengusap rambut sang anak, kemudian menempelkan dahinya ke dahi Luna. Mereka menangis bersama. Hatinya kini lega, tapi belum sangat lega karena Jeffry masih ada di dalam. Hatinya tidak bisa tenang kalau Jeffry belum keluar dalam kondisi selamat.

“Jeffry ada di dalam yah. Selamatin dia.” Ucap Anne memohon pada ayahnya.

“Yaudah kamu gendong Luna dulu. Ayah ke dalam, ya.” Jawab Pak Josh sambil memindahkan gendongannya ke Anne.

Sudah 15 menit berlalu, Beberapa polisi masih berkutat di dalam rumah, dan polisi lainnya sedang berada di luar. Anne dan Luna saat ini sedang diamankan. Duduk di dekat ambulan dengan selimut yang membalut bahu mereka sambil memegang segelas teh hangat pemberian petugas ambulan tersebut. Anne hanya memegangnya, tidak meminumnya. Setelah susu, kini Anne takut untuk meminum teh.

Beberapa detik selanjutnya, Pak Josh menghampiri Anne. Di belakangnya terlihat Tio yang sudah dibekuk oleh dua polisi dan digiring menuju mobil yang sudah terparkir di depan gerbang.

“Dimana Jeffry yah?” Tanya Anne dengan raut wajah tidak tenang.

“Ayah tidak menemukan Jeffry, Ann. Suami kamu hilang.”

“Apa? hilang?” Tanya Anne tidak percaya. “Jelas-jelas tadi Jeffry datang buat nyelametin Anne yah. Nggak mungkin dia hilang.”

“Iya ayah tahu. Tapi ayah cuma temuin banyak bercak darah di lantai. Dilihat kondisi kamu sama Tio yang nggak terluka sama sekali, bisa dipastikan itu darah suami kamu.”

Tubuh Anne langsung melemas. Pikirannya semakin kacau. Kemana Jeffry? Lelaki itu pasti terluka. Mungkin saat ini, Anne tidak diizinkan untuk hidup tenang sedikitpun.

To Be Continued

Balas Dendam

“Anne!”

“Bangun, Ann.”

“Kamu harus bangun.”

“Kamu udah janji mau renov rumah itu, kan?”

“Jangan mati dulu.”

“ANNE!!!”

Anne mengerjapkan kedua matanya perlahan saat mendengar bisikan yang datang entah dari mana. Kepalanya terasa sangat berat. Berat sekali. Sampai mengangkat kepalanya dari meja pun ia tidak sanggup.

Tunggu? Dimana ini?

Anne seketika menegakkan kepalanya, walau kepalanya masih terasa sangat pusing tujuh keliling. Ia masih di meja makan rumah Tio. Di tempat yang sama, namun ada yang berbeda.

Dimana Luna?

Gadis kecil itu sudah tidak ada di tempat duduknya. Terakhir Anne melihat Luna sedang bercanda gurau dengan Tio. Menunjukkan senyum paling bahagia yang pernah ada. Seakan melupakan ayah kandungnya yang sudah lama tidak pulang. Tapi sekarang ia menghilang.

Perasaan Anne seketika tidak enak. Wanita itu mencoba untuk beranjak dari duduknya. Akan tetapi kepalanya sangat pusing. Sekuat tenaga Anne mencoba untuk berdiri. Kenapa dirinya tiba-tiba seperti ini? Apa ini efek teh yang ia minum tadi?

Tunggu, teh?

Anne tersadar sesuatu. Tidak, tidak mungkin. Wanita itu menggeleng cepat. Berusaha menghilangkan pikiran negatif yang mengerubungi otaknya saat ini.

Tio lelaki yang baik.

Ya, Tio baik.

Dengan tertatih-tatih, Anne melangkahkan kakinya keluar dari ruang tersebut. Samar-samar terdengar suara Tio yang sedang menelepon seseorang. Dan ya, lelaki itu kini berada di dapur, berdiri membelakangi Anne.

“Thanks kak, udah pinjemin rumah buat gue.” Ucap Tio pada seseorang di seberang sana.

Anne bersandar pada pintu, diam-diam menguping pembicaraan Tio. Entah mengapa dirinya harus bertindak sangat hati-hati seperti ini. Bukankah menurut Anne kalau Tio itu adalah lelaki yang baik?

“Iya, tenang. Gue pasti bakal bunuh dia. Sekarang dia lagi masuk ke dalam perangkap gue.”

Anne semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan dua orang tersebut. Bunuh siapa?

“Kak. Lo tau sendiri kan dia yang bikin istri gue, sekaligus adik kandung lo mati? Anak gue juga diculik sama dia, kak. Sekarang Luna udah gue amanin. Tinggal gue bunuh cewek bajingan ini.”

“Iya ya, gue bakal hilangin jejak kalo udah bunuh dia. Rumah lo bakal aman kok.”

Tidak ada yang lebih hancur dari perasaan Anne saat ini. Jadi sedari tadi Tio membicarakan dirinya. Membicarakan kalau lelaki yang selama ini Anne percayai, akan membunuhnya. Pasalnya, tidak aa orang lain yang berkunjung selain Anne hari ini. Dan Luna sudah di bawa Tio entah kemana.

'Laki-laki brengsek!!' Batin Anne.

Tidak ada waktu lagi. Anne harus pergi dari rumah Tio, bukan, tepatnya rumah kakak ipar Tio. Entah apa tujuan lelaki munafik itu ingin membunuh Anne. Yang jelas, Anne masih belum mau mati. Belum saatnya ia mati. Anne masih belum membereskan masalah keluarganya. Anne tidak mau mati dengan sia-sia.

PRAANGGGG!!!

Karena kepalanya yang masih terasa pusing, Anne tidak sengaja menjatuhkan vas bunga saat dirinya hendak melangkah mundur. Hal tersebut membuat atensi Tio saat ini fokus pada suara itu.

“Kak, nanti gue telepon lagi.” Pungkas Tio dan langsung mematikan telepon dari kakak iparnya itu.

Detak jantung Anne semakin berpacu dengan cepat. Sebisa mungkin dirinya berusaha untuk fokus walau matanya masih terasa berat. Ini efek obat tidur dari teh pemberian Tio yang tadi Anne minum. Persis seperti Jeffry dulu. Tidak seharusnya Anne meminum teh itu.

Dan tidak seharusnya Anne percaya pada lelaki bermuka dua ini.

Tidak ada waktu yang tersisa lagi. Derap langkahan Tio terdengar semakin mendekat. Anne menoleh ke kanan dan ke kiri. Setidaknya ada tempat yang bisa dirinya tempati untuk bersembunyi. Wanita bersurai hitam legam itu diam-diam keluar dari ruang makan dan naik ke lantai dua. Dengan keringat dingin yang membanjiri seluruh tubuhnya itu, Anne masih berjalan dengan sempoyongan. Sekali-kali ia menoleh ke belakang, memastikan lelaki keji itu tidak berada dibelakangnya.

Setelah sampai di lantai dua, Anne menemukan suatu ruangan-seperti kamar pribadi yang cukup luas-. Tanpa basa-basi lagi, Anne langsung masuk ke dalam ruangan tersebut menuju lemari yang berukuran setinggi badan manusia. Dan Anne langsung masuk ke dalam sana. Bersembunyi di balik beberapa baju yang tergantung bebas di atasnya.

Semuanya sunyi seketika. Tidak ada suara yang terdengar selain deru napas Anne yang terdengar cepat dan memburu. Jantungnya semakin berdetak cepat, seakan sebentar lagi mau lepas dari tempatnya. Disini begitu gelap dan pengap. Anne hanya mendapatkan udara dan cahaya lewat sela-sela lemari yang terbuka sedikit. Sungguh tidak ada ruang lagi.

Tubuh Anne mulai bergetar. Sudah berapa kali Anne menggigit kukunya untuk menghilangkan rasa takut yang luar biasa pada dirinya, namun tidak berhasil. Bolehkah Anne berharap kalau Jeffry tiba-tiba datang ke sini, membuka pintu lemari itu lalu memeluknya dengan erat? Walaupun lelaki itu sudah pergi meninggalkannya, namun Anne masih tetap membutuhkan kehadiranJeffry. Hanya nama lelaki itu yang sedari tadi memenuhi otaknya disaat Anne sedang dalam bahaya.

“Jeff ... takut ....” Bisik Anne dengan nada lirih. Sepertinya Anne akan ambruk sebentar lagi.

BRUUAAKKK!!!

Bunyi dobrakan keras itu membuat Anne terjengat. Dadanya terasa semakin sesak, saat lelaki yang mengincarnya kini masuk ke dalam kamar tempat dimana Anne sedang bersembunyi. Dibalik sela lemari, Anne melihat Tio berjalan dengan angkuh, jauh berbeda dari Tio yang kemarin Anne kenal. Atensi Anne kini berpindah pada pisau dapur yang digenggam Tio. Pisau yang terlihat masih baru.

“GUE TAHU LO DISINI, ANN. KELUAR NGGAK!!!” Teriak Tio dengan lantang. Nampak begitu yakin jika mangsanya sedang bersembunyi disini.

Anne semakin meringkuk. Sekuat tenaga menenangkan deru napasnya yang memburu. Bisa-bisa Tio bisa mendengar suara napasnya, saking sepinya tempat ini. Seperti bom waktu, yang bisa meledak kapan saja. Sekalinya Anne bersuara, nyawanya bisa dipastikan akan melayang.

Tio masih sibuk mencari keberadaan Anne. Lelaki berkaos oblong hitam itu menoleh ke kanan dan ke kiri, mengelilingi ruang putih ini dengan sangat teliti. Anne masih berusaha untuk tenang. Ia hanya butuh berdiam diri saja sampai Tio benar-benar pergi dari sini, kemudian dirinya akan kabur melalui jendela kaca yang berada di seberangnya.

“Kalo lo ketangkep basah sama gue, lo bakal mati di tangan gue, Ann.” Ancam Tio kemudian. Lelaki itu benar-benar murka. Karena ia pikir rencananya akan berjalan dengan lancar. Hanya dengan memberi obat tidur di minuman Anne dan Luna. Menculik Luna dan membawanya ke rumah asli Tio, lalu membunuh wanita yang membuat dirinya kehilangan segalanya. Akan tetapi, entah karena Anne yang terlalu cerdik, atau Tuhan benar-benar berpihak pada wanita itu, semuanya menjadi gagal. Dan saat ini, Tio ingin membereskan semuanya. Sehingga ia bisa hidup bahagia bersama putri semata wayangnya itu.

Anne langsung menutup mulut dengan tangannya rapat-rapat, saat posisi Tio tepat berada di depan lemari ini. Berdiri tegak dan tidak bergerak sama sekali. Jangan sampai lelaki itu tahu kalau mangsanya ada disini. Hanya selang 2 menit, akhirnya Tio beranjak dari tempatnya berdiri. Terlihat Tio ingin meninggalkan kamar tersebut, membuat Anne bisa bernapas dengan lega.

Akan tetapi, baru sampai di ambang pintu langkahan Tio terhenti. Merasa seperti ada yang janggal dengan lemari putih itu. Ia lalu berbalik. Dan benar saja, dirinya melihat sehelai gaun yang dipakai Anne tadi terjepit di sela-sela pintu lemari. Tio seketika tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya ia bisa menemukan wanita itu.

Detik kemudian Tio duduk di atas kasur yang terletak tak jauh dari sana. Duduk menghadap lemari dengan kedua tangan yang sedikit melebar kebelakang untuk menumpukan tubuhnya.

“Anne ... Anne ....” Tio menggeleng pelan. Ia memajukan tubuhnya sedikit. “Mau mendengarkan sebuah cerita?”

Tentu saja Anne tidak menjawab. Anne hanya diam di balik lemari tersebut. Diam seperti patung yang bernapas.

“Istri gue ... lo pasti penasarankan apa yang terjadi sama istri gue sampai dia mati secara mengenaskan?” Tio bermonolog.

Lelaki itu memainkan pisau nya, memutar benda tajam itu berkali-kali dengan ke lima jarinya. “Oh ya, lo belum tahu ya namanya siapa? Tapi kalo gue sebutin, lo pasti langsung inget dosa-dosa lo di masa lalu.”

Anne mulai merasa bingung. Dosa apa? ia tidak paham dengan perkataan Tio yang terdengar ngelantur itu.

“Denada Parmadita Gantari. Lo pasti nggak asing sama nama itu, bukan?” Tio mulai menunjukkan smirk jahatnya.

Anne terkejut bukan main. Begitu akurat dugaan Tio, Anne sangat mengenali nama itu. Nada, wanita yang sempat dekat dengannya dulu. Teman seperjuangan yang sering berbagi keluh kesah bersama, walau hanya sementara. Pertemuan pertama mereka di rumah sakit. Tepatnya saat Anne ingin berkonsultasi soal kehamilannya yang tak kunjung terjadi. Ia tidak sengaja bertemu dengan Nada dalam kondisi hamil tua saat itu. Membuat Anne iri padanya. Tapi tak disangka, bahwa Nada adalah istri yang diceritakan Tio.

Bisa dibilang, Luna adalah anak biologis dari Tio dan Nada.

“Dulu, waktu gue masih jalanin masa tahanan gue, ekonomi keluarga gue lagi terpuruk. Gue nggak bisa nafkahin istri gue, istri gue nggak bisa cek kehamilan, nggak bisa beli susu hamil, padahal posisi dia lagi hamil tua. Dia udah capek-capek keliling buat jualan kue, tapi tetep aja penghasilannya cuma cukup buat dia makan doang. Suami macam apa gue? cuma bisa diem di penjara, sedangkan istri gue berjuang sendiri di luar sana. Orang tua nggak ada yang bisa bantu. Lo bisa bayangin jadi gue pusingnya gimana, Ann.”

“Sampai suatu hari, Nada mampir ngunjungin gue. Dia cerita, kalo dia baru aja ketemu lo di rumah sakit. Dan gue dengerin cerita dia tentang lo yang nggak bisa hamil. Tapi lo pernah mikir nggak sih, betapa bejadnya lo malah nawarin dia buat ambil anak gue dan ganti pake duit yang lo sebut ratusan juta itu?” Tio tertawa remeh. Merasa dirinya berada di puncak komedi.

“Gue marah, Ann. Gue sampe mikir nih cewek titisan iblis atau apa? Tapi, gue makin marah waktu Nada bilang buat mempertimbangkan tawaran lo. Nada tiba-tiba nyalahin gue, dia bilang ini semua karena gue. Gara-gara gue, dia hidupnya sengsara. Dijauhi sama semua orang karena gue. Gue hampir gila rasanya. Begitu begonya, dengan rasa bersalah gue, gue malah nge iyain apa mau dia. Gue cuma mau Nada bahagia, dapet apa yang dia mau. Gue udah nggak mikirin nasib anak gue gimana nantinya. Toh, dia bakal hidup bahagia sama keluarga barunya.”

Tio bangun dari duduknya. Dengan amarah yang sudah memuncak, ia berjalan menuju lemari yang berada di depannya itu. Ia begitu yakin bahwa Anne pasti ada di dalam sana.

“TAPI KENAPA LO MALAH BUNUH DIA BANGSAT!!!”

Tio membuka paksa lemari tersebut dan langsung menjambak rambut Anne. Menarik tubuh mungil itu untuk keluar dari dalam lemari.

“TIOO!!” Pekik Anne kesakitan.

Tio menghempaskan tubuh Anne dengan kasar. Layaknya membuang sampah. Anne yang tidak memiliki tenaga yang kuat, terhuyung ke lantai.

“Kenapa lo bunuh istri gue? Biar lo bisa ambil anak gue dengan seutuhnya tanpa gangguan istri gue, IYYAA?!!!!” Tio mulai geram. Tidak ada rasa ampun di raut wajah itu. Tidak terlalu peduli dengan ekpresi kesakitan Anne. Yang ada dipikirannya kini hanya ingin menghabiskan atasannya ini.

“Padahal Nada cuma mau liat anaknya, Ann. Anak yang dia kandung 9 bulan, anak yang dia lahirkan dengan penuh perjuangan, sendirian. Lo tuh iblis, lo pembunuh!!!” Tuduh Tio dengan penuh penekanan. Melihat Tio yang mulai mendekatinya, Anne mundur perlahan dengan tertatih.

“Dan sekarang, lo harus bayar semuanya. Nyawa ... diganti sama nyawa!” Tio semakin mendekat sambil sedikit mengangkat tangannya. Seperti sudah siap untuk menghujami dada Anne dengan pisau ini. Persis seperti yang ia lakukan pada ayah mertuanya itu.

“Tio ... tunggu. Aku bisa jelasin-”

“Udah terlambat, Ann. Gue nggak butuh penjelasan lo. Penjelasan lo nggak bisa bikin Nada hidup lagi!” Lelaki jangkung itu mulai menangis. Menangis dengan diiringi isakan yang pedih. Merasa kehilangan yang amat terdalam. Bertahun-tahun Tio hidup seorang diri. Ditemani oleh bayangan sang istri, dan hanya bisa memantau sang anak dari jauh. Hanya itu aktivitas Tio selama bebas dari penjara. Waktu itu dirinya belum memiliki keberanian dan kekuasaan untuk merebut Luna begitu saja. Maka dari itu, Tio memilih untuk mendekam di rumahnya, sedikit demi sedikit ia mengatur rencana yang licik supaya Luna bisa kembali ke pelukannya.

“Lo yang bikin keluarga gue hancur berantakan. Gue kehilangan istri gue, anak gue, kebahagiaan gue. Lo renggut semuanya!”

Amarah menguasai tubuh Tio saat ini. Amarah yang tidak dapat terbendung lagi. Melihat Anne yang tidak ada inisiatif untuk meminta maaf apalagi mengingat kesalahannya, membuat Tio semakin marah. Kini, niatnya untuk membunuh Anne sudah memuncak.

“Sekarang lo harus ganti, Ann. Gue nggak mau tahu, lo harus ganti nyawa istri gue!”

Kali ini Anne sudah pasrah. Ia memejamkan kedua matanya sambil mengucapkan selamat tinggal untuk sang suami dan anaknya yang entah dimana.

Sudah kurang lebih 15 detik Anne memejamkan matanya, tapi Tio tak kunjung menusuknya. Saat Anne membuka matanya, ia terkejut saat ada punggung seorang lelaki yang berdiri membelakangi nya. Lelaki itu memakai hoodie hitamnya, dengan kepala yang tertutup dengan topi hoodie. Punggungnya kekar dan lebar. Mengingatkan Anne akan punggung milik ....

“Jeff ....” Panggil Anne dengan ragu. Berharap besar bahwa itu memang lelakinya.

Tidak ada jawaban. Anne melirik tangan lelaki itu, tangan itu sedang memegang pisau yang mengarah tepat di depan dadanya. Menggenggam bilah pisau itu dengan kedua tangannya, seolah menahan pisau itu untuk melukai Anne.

“Ann ....” Dan benar saja, suara berat ala Jeffry terdengar kemudian. Anne semakin yakin bahwa yang sedang menghalanginya saat ini adalah suaminya. “Kamu lari sekarang. Biar aku yang urus semua ini.”

Jeffry terdengar kesakitan. Bagaimana tidak, bilah pisau itu masih sangat tajam. Dan ia berusaha keras menggenggam nya dan menghalangi Tio untuk menjalankan rencana licik nya. Kedua lelaki itu saling menatap sangat tajam, melebihi tajam nya pisau yang sedang mereka genggam.

“Ann, jangan bengong. Lari!!”

“Tapi. Aku nggak bisa tinggalin kamu.”

“Luna ada di luar.” Potong Jeffry dengan cepat.

“Luna?”

“Dia nunggu kamu. Dia cari kamu, Ann. Temui dia. Biar aku yang habisin laki-laki gila ini.” Suara Jeffry terdengar ngos-ngosan.

Anne semakin bingung. Disisi lain ia tidak bisa meninggalkan Jeffry yang menantang maut sendirian. Tapi disisi lain juga, Luna ada di luar, Anne sangat ingin mengecek keadaan putiri semata wayang nya itu. Melihat Tio yang seperti dirasuki oleh iblis, membuat Anne semakin overthingking. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana kalau Tio bekerja sama dengan kakak iparnya untuk menculik Luna lagi.

Anne lalu melirik tangan Jeffry yang mulai meneteskan darah. Darah segarnya jatuh ke permukaan. Menandakan kalau pisau itu memang sangatlah tajam.

“Ann ....” Sekali lagi Jeffry memanggil nama Anne, namun dengan tatapan lekatnya tertuju pada istrinya, “Aku mohon, pergi dari sini sekarang. Aku nggak papa, hm.” Ucap Jeffry menenangkan Anne, tak lupa diiringi senyum yang menenangkan itu. Pertama kali Jeffry tersenyum seperti ini setelah pertikaian yang terjadi diantara mereka berdua.

Mau tidak mau, Anne hanya mengangguk menurut. Tangisannya seketika pecah. Sejahat apapun Jeffry padanya, akan tetapi lelaki itu sebenarnya masih peduli. Tidak memikirkan rasa benci yang masih tersisa di relung hatinya sampai saat ini, tapi kalau bersama Anne, entah kenapa Jeffry tidak bisa sedikitpun menyakiti wanita itu.

Karena tidak ingin darah Jeffry mengalir lebih deras, Anne akhirnya pergi dari sana. Meninggalkan kedua lelaki itu untuk bertarung. Lari secepat mungkin, walau dengan kondisi masih sempoyongan. Dalam hati Anne berdo'a untuk keselamatan suami tercintanya.

Saat sampai di pintu utama, Anne sibuk mencari kunci. Jangan bilang kuncinya dibawa sama Tio. Setelah Anne mencari mulai dari di atas meja dekat pintu, rak sepatu, beberapa pot tanaman, hasilnya nihil. Anne tidak menemukan kunci itu.

Anne akhirnya menuju ruang tamu. mencari benda yang setidaknya bisa membuka pintu rumah ini. Dan matanya menemukan pemukul baseball yang terletak di ujung ruangan. Tanpa berbasa-basi lagi, Anne langsung mengambil tongkat tersebut lalu memukul ganggang pintu dengan sangat kencang. Memukulnya berkali-kali sampai ada tanda-tanda pintu tersebut terbuka.

Dengan menggunakan tenaga yang tersisa, Anne akhirnya berhasil membuka pintu. Ia langsung keluar dan berlari. Mencari keberadaan Luna yang tak kunjung ia temukan. Rumah kakak ipar Tio ini halamannya sangat luas. Anne harus berjalan 3 meter lagi untuk menuju gerbang. Dengan kaki yang telanjang, Anne masih ingin melangkah. Yang ada diotaknyas aat ini hanyalah keselamatan keluarganya. Jeffry dan Luna, semoga mereka tidak kenapa-napa.

Terderngar suara gerbang terbuka. Terlihat banyak polisi yang berjaga di luar gerbang tersebut, serta ayahnya, Pak Josh yang entah keluar dari rumah sakit dari kapan, kini sedang menggendong Luna. Kondisi anak itu sama lemasnya seperti Anne.

“Bundaaaa ....” Teriak lirih sang putri di gendongan sang ayah. Tangisan Anne seketika pecah. Begitu takutnya Anne kalau tidak bisa bertemu dengan Luna lagi. Dan begitu traumanya dirinya saat ini. Entah, untuk percaya pada siapapun Anne sudah sangat takut.

Anne menghampiri Luna dan Pak Josh, disaat para polisi berlari menuju dalam rumah. Menggerebek rumah minimalis nan modern itu. Anne lalu mengusap rambut sang anak, kemudian menempelkan dahinya ke dahi Luna. Mereka menangis bersama. Hatinya kini lega, tapi belum sangat lega karena Jeffry masih ada di dalam. Hatinya tidak bisa tenang kalau Jeffry belum keluar dalam kondisi selamat.

“Jeffry ada di dalam yah. Selamatin dia.” Ucap Anne memohon pada ayahnya.

“Yaudah kamu gendong Luna dulu. Ayah ke dalam, ya.” Jawab Pak Josh sambil memindahkan gendongannya ke Anne.

Sudah 15 menit berlalu, Beberapa polisi masih berkutat di dalam rumah, dan polisi lainnya sedang berada di luar. Anne dan Luna saat ini sedang diamankan. Duduk di dekat ambulan dengan selimut yang membalut bahu mereka sambil memegang segelas teh hangat pemberian petugas ambulan tersebut. Anne hanya memegangnya, tidak meminumnya. Setelah susu, kini Anne takut untuk meminum teh.

Beberapa detik selanjutnya, Pak Josh menghampiri Anne. Di belakangnya terlihat Tio yang sudah dibekuk oleh dua polisi dan digiring menuju mobil yang sudah terparkir di depan gerbang.

“Dimana Jeffry yah?” Tanya Anne dengan raut wajah tidak tenang.

“Ayah tidak menemukan Jeffry, Ann. Suami kamu hilang.”

“Apa? hilang?” Tanya Anne tidak percaya. “Jelas-jelas tadi Jeffry datang buat nyelametin Anne yah. Nggak mungkin dia hilang.”

“Iya ayah tahu. Tapi ayah cuma temuin banyak bercak darah di lantai. Dilihat kondisi kamu sama Tio yang nggak terluka sama sekali, bisa dipastikan itu darah suami kamu.”

Tubuh Anne langsung melemas. Pikirannya semakin kacau. Kemana Jeffry? Lelaki itu pasti terluka. Mungkin saat ini, Anne tidak diizinkan untuk hidup tenang sedikitpun.

To Be Continued

##

Derap langkah kaki yang besar namun santai seorang lelaki itu mulai masuk ke dalam rumah kecil yang terletak di perkampungan sempit. Rumah yang gelap dan remang-remang, dinding yang mulai kusam tertutupi oleh jamur, hal itu tidak menghentikan Tio untuk masuk ke dalam rumah yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama 2 tahun silam ini, semenjak dirinya dinyatakan bebas dari penjara.

Lelaki pemilik wajah bak pangeran di negeri dongeng itu kemudian membuang bando spiderman yang ia beli tadi siang ke dalam tong sampah. Merasa jijik dengan bando tersebut. Tanpa peduli akan memori yang baru terlukis hari ini, Tio memasuki ruangan yang terletak di dekat ruang tamu. Sebelum itu, ia mengambil satu buah rokok di dalam sakunya. Satu-satunya rokok yang ia punya. Tio lalu menyalakan korek api lalu menyulutnya ke ujung batang nikotin itu, kemudian masuk ke dalam ruangan gelap yang baginya itu adalah ruangan rahasinya.

Bukan kamar atau dapur, melainkan ...

Ruangan yang penuh dengan layar cctv yang kini tengah merekam aktivitas rumah Anne. Semua yang Anne lakukan di dalam rumah, terekam disini. Sehingga Tio tahu semua gerak-gerik Anne selama ini. Bahkan saat wanita itu tengah bertengkar hebat dengan Jeffry, suaminya, Tio melihat itu dengan penuh tawa. Seolah pertengkaran Anne dan Jeffry adalah film komedi baginya.

Lelaki tampan itu lalu duduk di kursi single yang terletak di depan layar cctv. Menonton Anne yang kini sedang menidurkan Luna, sambil masih menghisap rokoknya. Tio kemudian mengambil sebuah foto. Foto dua orang yang sedang menggendong anak berumur delapan tahun, memakai bando lucu dimasing-masing kepalanya, dan dengan background komidi putar yang tengah berputar.

Tio menatap foto tersebut sedikit lama. Senyuman yang terukir di bibirnya itu adalah sebuah kebohongan. Selama ini ia hanya pintar memasang topeng. Topeng lelaki polos dan baik, tapi nyatanya ada sebuah dendam dibalik topeng polosnya itu. Dendam yang tidak bisa diganggu gugat. Dendam pribadi yang hanya Tio dan Tuhan yang tahu. Dendam kepada wanita yang sudah merebut kebahagiaannya.

Tangannya lalu mengambil sebuah gunting, Tio menggunting foto tersebut. Lebih tepatnya menggunting foto Anne seorang diri, dan hanya menyisakan foto dirinya dengan anak gadis yang sedang ia gendong. Kemudian ia menempelkan foto tersebut ke dinding yang penuh dengan foto Anne. Mungkin ada ratusan foto yang tertempel disana. Dari foto Anne saat berangkat kerja, menjemput Luna ke sekolah, makan siang bersama Pak Josh, dan lain sebagainya.

Bisa dibilang selama ini Tio adalah penguntit setia Anne. Dengan sengaja ia menabrakkan diri ke arah mobil Anne yang sedang melaju cepat saat itu, membuat Anne merasa bersalah karena sudah menabraknya dan memilih untuk bertanggung jawab. Sehingga dirinya memiliki kesempatan untuk menyelam dunia Anne samakin dalam, meskipun dengan sedikit perjuangan untuk bisa membuat wanita itu percaya padanya. Tapi itu tidak menjadi masalah, karena sekarang Anne sudah benar-benar percaya padanya. Sehingga Tio bisa melancarkan aksinya untuk membalaskan dendam yang selama ini ia pendam.

“Sabar ya nak, ayah pasti bisa rebut kamu dari perempuan licik yang udah bunuh ibu kamu.” Ucap Tio dengan penuh penekanan.

Hal yang paling ditakutkan, terjadi.

BRUAAKKK!!! bunyi dobrakan pintu yang sangat keras seketika menggema ke seluruh ruangan. Lelaki dengan setelan serba hitam itu masuk dengan langkah yang tergesa-gesa dan napas yang memburu. Matanya yang memerah menandakan kalau amarahnya sudah memuncak. Ia masuk sambil membuka masker hitam yang menghalangi wajah tampannya itu dengan kasar.

“MAKSUD KAMU APA NGIRIM VIDEO ITU HAH?!” Teriaknya sambil mencengkram keras rahang Anne yang sedari tadi tengah sibuk berkutat dengan piring kotor.

Tatapan Anne yang tenang kini beradu dengan tatapan penuh pitam dari Jeffry. Lelaki itu jelas sangat marah, ia tadi berada di rumah sakit, dan sedikit lagi Jeffry akan menghabisi Pak Josh dengan mudah. Tapi saat dirinya ingin menyuntikkan racun mematikan ke selang infus bapak mertuanya itu, Jeffry justru mendapatkan pesan dari Anne. Istrinya itu mengirim sebuah video tentang dua lelaki yang sedang berbincang serius di ruang introgasi. Namun, yang membuat Jeffry sangat marah adalah, video tersebut membuktikan kalau semua asumsinya selama ini salah. Tidak ada sebuah pengkhianatan diantara dua lelaki yang ada di video tersebut.

“KAMU SENGAJA BIKIN RENCANA KU HANCUR, HAH? IYA?!” Jeffry sudah sangat marah. Tidak peduli kalau yang ia bentak dan cengkram ini wanita yang ia pinang beberapa tahun yang lalu. Yang ada dihatinya saat ini hanyalah sebuah kemarahan yang tidak bisa ditoleransi.

Dengan penuh tenaga, Anne justru melepaskan cengkraman Jeffry dari rahangnya. Tanpa kenal takut, Anne maju selangkah dengan sorot mata yang tajam. Seperti bukan Anne, wanita yang lemah lembut, yang takut akan suatu hal buruk terjadi kedepannya. Ini jelas bukan Anne.

“Bagaimana? Video itu cukup buat kamu berpikir kalau ayah aku nggak salah? Kamu sekarang percaya, kan? Di video itu jelas-jelas ayah aku bilang kalau dia nggak terima dana suap dari Pak Adhi sama sekali. Cuma dia, Jeff. Meskipun waktu itu bunda aku lagi sakit keras dan butuh biaya buat operasi penyakitnya, tapi ayah ku nggak mungkin ngekhianatin sahabat yang udah bertahun-tahun nemenin dia.” Jelas Anne dengan suara yang sedikit bergetar. Terlihat jelas, wanita sok kuat itu tengah menahan tangisnya.

Jeffry dengan cepat menggelengkan kepalanya. Topi hitam yang menutupi hampir setengah wajahnya itu tidak dapat menyembunyikan raut wajah yang begitu panik. Keringat dingin sudah memenuhi seluruh tubuhnya.

“Nggak mungkin,” Jeffry tertawa sarkas, “Itu video pasti dimanipulasi, kan?”

“Nggak, jeff. Justru video yang kamu simpan, itu yang sengaja dimanipulasi sama Pak Adhi. Biar kamu punya dendam tersendiri sama ayah ku. Pak Adhi tahu hubungan ayah ku sama Pak Rudy, jadi dia sengaja menjadikan ayah ku kambing hitam. Maka dari itu dia kasih video palsu itu ke kamu, biar kamu sendiri yang bakal membunuh ayah ku nantinya. Semuanya sudah direncanakan dari awal sama ayah angkat kamu.”

Hancur sudah dunia Jeffry sekarang. Dendam yang selama ini ia pendam dalam-dalam, kini telah melebur dengan sendirinya. Semua perlakuan kejinya seakan sia-sia karena mentargetkan orang yang salah. Dan begitu bodohnya, dirinya malah termakan oleh omongon lelaki paling bangsat yang selama ini ia percaya. Jeffry sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Amarahnya semakin tak terkendali.

“ARRGGHHHHHH!!!”

PRAAAANGGGGG!!!

Jeffry langsung membuang semua benda yang berada di atas meja makan. Alhasil semua piring dan sendok berhamburan ke seluruh lantai dapur, membuat Anne menutup kedua telinganya. Tubuhnya mulai bergetar takut. Semua pikiran negatif seketika mengerubungi otaknya saat ini. Termasuk bayangan Jeffry yang ingin membunuhnya.

Akan tetapi entah dapat pikiran darimana, bukannya mundur Anne justru menghampiri Jeffry yang sedang dilanda emosi, lalu langsung memeluknya dari belakang. Merasa sentuhan yang tidak terduga dari Anne membuat tubuhnya sedikit menegang.

“Jeff, udah ya. Luna lagi tidur. Nanti kalau dia bangun terus lihat kamu banting-banting barang ... dia pasti takut sama kamu nanti.” Ucap Anne mencoba meredakan amarah Jeffry. Meskipun Anne ragu apakah ini berhasil atau justru tidak.

Tapi sepertinya tidak, karena sekarang Jeffry justru mengambil sebuah pisau dapur lalu menodongnya ke leher Anne. Tubuh kekar itu berhasil mengunci tubuh mungil Anne, sehingga wanita dengan rambut sebahu itu tidak bisa pergi kemana-mana. Bahkan mini kepalanya juga tidak bisa bergerak sedikitpun, karena bilah pisau yang sangat tajam itu siap untuk membelah kepala Anne apabila ia berani memberontak.

Tatapan keduanya saling beradu. Bukan menentukan siapa yang paling kuat dan tangguh, melainkan siapa yang paling menderita diantara keduanya. Dengan mata yang saling memerah dan berair, mereka utarakan semua rasa sakit yang selama ini mereka pendam melalaui tatapan itu.

“Kenapa? Kenapa kamu selalu ngehalangin rencana ku, ann? Aku cuma mau menghentikan ini semua. Karena jujur, semua dendam ini sungguh menyiksaku. Dari dulu aku mau menghentikannya, tapi setiap melihat ayah kamu tertawa, hidup dengan tenang, aku nggak bisa. Aku nggak bisa ngebiarin orang yang bikin keluarga hancur hidup dengan bahagia, sama halnya aku ngebunuh ayah angkatku sendiri. Tapi nggak tahu kenapa, waktu aku mau ngebunuh ayah kamu, rasanya berat ....”

Pisau itu lalu menjauh dari leher Anne. Jeffry membuangnya. Wanita itu seketika menghela napas lega.

“Kayak sekarang, aku bahkan nggak bisa ngebunuh kamu.” Imbuhnya seraya tersenyum lirih dengan tatapan pedih ke arah Anne. Air mata itu akhirnya jatuh dari kelopak mata penuh kemarahan.

Jeffry bisa saja membunuh Anne saat ini juga. Ini akan menjadi peluang baginya untuk menumpahkan semua dendam dam amarahnya pada wanita yang sudah menghancurkan rencananya. Toh juga tidak ada yang lihat. Luna untungnya masih di alam bawah sadarnya.

Akan tetapi, saat melihat Anne yang sangat ketakutan, menundukkan kepala dengan tubuh yang sedikit bergetar, membuat Jeffry mengurungkan niatnya. Awalnya, dengan menggunakan pisau dapur yang ia arahkan ke leher Anne, dalam otak Jeffry seolah mengatakan kalimat ‘bunuh ... bunuh ... bunuh ...’. Namun entah kenapa semuanya justru hancur.

Dan Jeffry baru sadar kalau dirinya tidak bisa membunuh, bahkan menyakiti wanita tidak bersalah ini.

“BANGSAT!!!” Pekik Jeffry dengan lentang, kemudian pergi dari pandangan Anne. Tidak peduli kemana tempat yang harus ia tuju untuk saat ini. Yang penting sekarang, dirinya hanya perlu menjauh sebelum menyakiti Anne semakin dalam.

Kepergian Jeffry membuat luka yang ada di hati Anne semakin terbuka lebar. Tubuhnya langsung ambruk ke lantai, terduduk tidak berdaya dengan penuh air mata.

Hampa, semua jadi hampa sekarang. Keluarganya hancur? Jelas sudah terwujud sekarang. Jeffry nya pergi, dan entah kenapa Anne justru tidak bisa menahan lelaki itu. Pikirannya sudah terlanjur kacau sekarang. Bahkan untuk berdiri lagi pun, Anne masih tidak kuat untuk itu.

Detik selanjutnya, Anne menangis dibalik punggung tangannya. Menangis sangat kencang dengan tangan sedikit berdarah akibat terkena goresan pisau yang Jeffry pegang tadi. Persetan dengan rasa sakit ditangannya, Justru rasa sakit yang ada di relung hatinya yang kini menyerang dirinya.

Sakit, sangat sakit. Tidak ada obat yang berhasil menyembuhkan luka tersebut.

Semua sudah Anne lakukan untuk menjaga keluarganya agar tetap utuh seperti sedia kala. Tapi seolah takdir tidak mengizinkannya untuk melakukan itu. Mungkin Tuhan marah karena keputusan Anne untuk bungkam soal kejahatan suaminya selama ini, sehingga korban yang terbunuh semakin banyak setiap bulannya.

Bisa dibilang, ini karma yang tepat untuk Anne. Hal yang paling ia takuti sekarang terjadi.

Apa yang akan ia lakukan setelah ini?

—To Be Continued—
jaemtigabelas

Fakta yang tidak dapat dipercaya.

Sikap Jeffry akhir-akhir ini sempat membuat Anne pusing tujuh keliling. Layaknya air yang mengalir tenang tiba-tiba beku karena terkena suhu udara yang sangat dingin. Dari kemarin Anne tidak bisa tidur tenang. Selalu terbangun tengah malam dan mendapati tempat di samping tempat tidurnya itu kosong. Tidak ada kehadiran Jeffry disana.

“Ann.”

Anne sontak menegakkan kepalanya saat suara berat sang ayah membuyarkan lamunannya. Kini mereka sedang makan siang bersama di cafe dekat taman kota. Hanya sekedar memesan roti kering dan Americano, sudah membuat Anne kenyang. Entah, akhir-akhir ini ia kehilangan selera makannya.

Wanita dengan kemeja yang selaras dengan warna rambutnya itu sedari tadi hanya memandangi roti yang ada di depannya tanpa menjamah sedikitpun. Berbanding terbalik dengan Pak Josh yang saat ini tengah memakan lahap paha ayam yang ia beli di toko cepat saji di samping cafe tempat mereka duduk saat ini. Mungkin karena menu cafe tidak sepadan dengan daya tampung perutnya.

“Kok malah bengong. Kamu mikirin apa?” Tanya Pak Josh dengan mulut yang hampir penuh dengan daging ayam. Saking penuhnya beliau lalu mengambil minuman coca cola yang ada disampingnya untuk melancarkan makanan yang beliau kunyah agar bisa masuk ke dalam perutnya dengan lancar.

Anne tersenyum kecut. Ayahnya tidak tahu menahu tentang apa yang dialaminya selama ini. Punya suami yang ternyata mempunyai jiwa psikopat, penuh dendam, rumah tangga yang hampir retak. Ayahnya itu tidak pernah tahu kalau sang putri saat ini sedang membutuhkan pertolongan.

“Dad ... I wanna ask you something,” Tanya Anne dengan aksen britishnya.

“Iya tanya apa? Kamu dari tadi bilang mau tanya terus tapi nggak tanya tanya ke ayah.” Heran Pak Josh dengan sikap Anne yang sedikit aneh belakangan ini.

Anne mengulum bibirnya sejenak. Mulutnya tiba-tiba merasa sangat pahit untuk berbicara. Anne sedikit ragu apakah ayahnya ingin mendengar pertanyaan ini atau tidak. Tapi mau bagaimana lagi? Anne harus cepat-cepat menemukan titik terang supaya Jeffry tidak menelan korban lagi dan tidak memiliki dendam kepada sang ayah.

“Ini soal Pak Rudy,”

Mendengar nama yang tidak asing di telinga, membuat senyuman Pak Josh perlahan memudar. Sorot mata yang awalnya ceria berubah menjadi sendu dan sangat serius. Sudah Anne duga.

“Sahabat ayah yang dihukum mati beberapa tahun yang lalu karena kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap artis papan atas.” Imbuh Anne dengan pandangan yang seolah menuntut sebuah penjelasan.

Detik selanjutnya bukannya menjawab, Pak Josh malah terkekeh pelan mendengar pertanyaan dari putri semata wayangnya itu, “Kok tiba-tiba banget? Orangnya udah nggak ada, Ann. Apa yang mau ditanyain coba?”

“Ayah inget nggak, Anne pernah cerita soal mimpi Anne?” Wanita berparas cantik itu mengalihkan pandangannya sejenak. Kedua mata Anne terpejam sambil berdo'a supaya sang ayah kali ini percaya, “Mimpi itu benar-benar nyata, yah.”

Dahi Pak Josh seketika berkerut bingung. Pelan-pelan mencoba mengingat kapan dan dimana Anne cerita tentang mimpi buruknya. Bukannya tidak ingat kronologinya, hanya saja Pak Josh mengira kalau Anne saat itu hanya sekedar mimpi yang tidak memiliki arti apa-apa di dalamnya.

“Mimpi apa kamu emangnya?” Tanya Pak Josh yang sedikit terdengar seolah-olah ia belum bisa percaya dengan kalimat sang putri barusan.

“Ayah bakal percaya kalo Anne pernah mimpiin psikopat yang paling di takuti se negara ini?” Anne sedikit ragu dengan reaksi sang ayah selanjutnya saat mendengar pertanyaan tidak masuk akal ini.

Benar saja, Pak Josh kembali menunjukkan rentetan gigi putihnya dengan bahu yang naik-turun. Tertawa tanpa suara. Nampaknya Pak Josh masih belum bisa menerima semua penjelasan dari Anne. Membuat wanita yang sebentar lagi memasuki kepala tiga itu hanya bisa menghela napas pasrah.

“Ada-ada aja kamu tuh Ann, Ann.” Pak Josh lalu mengecek jam tangannya, “Udah ah, Ayah lagi banyak kerjaan. Nanti dilanjutin lewat chat aja, ya.” Katanya sebelum beranjak dari tempat duduknya.

“Anne serius, yah.” Anne sudah tidak tahu harus bagaimana supaya ayahnya percaya kalau semua mimpinya benar-benar menjadi kenyataan sekarang.

Terlihat Pak Josh kembali menghadap Anne yang tengah menatapnya dengan tatapan penuh keseriusan dan penuh kepasrahan. Entah itu karena sedikit penasaran atau hanya karena kasihan, sehingga Pak Josh lebih memilih untuk tetap stay di tempatnya.

“Waktu Anne suruh ayah buat jagain Tante Airin, itu kenapa Anne bisa tahu kalo Tante Airin dalam bahaya?” Anne menjeda kalimatnya, “Itu karena Anne pernah mimpiin kejadian itu sebelumnya, yah.”

“Kalo Anne nggak bilang ke ayah soal itu ... Tante Airin sekarang udah mati, yah. Persis sama kayak apa yang ada di dalam mimpi Anne.”

“Bentar-bentar.” Pak Josh langsung memotong kalimat Anne. Dari sorot matanya, nampaknya beliau mulai percaya. “Jadi maksud kamu, mimpi kamu benar-benar kejadian?”

Wanita bersurai hitam legam itu mengangguk pelan namun yakin. Mencoba untuk meyakinkan sang ayah kalau yang ada dipikiran lelaki beruban itu adalah benar.

“Tapi kenapa bisa-”

Kini Anne menggelengkan kepalanya pelan. Ia sendiri pun masih belum mengerti darimana asal mimpi itu? Kenapa harus dia yang menerima mimpi buruk itu? Dan yang paling yang bikin penasaran, kenapa dia yang harus menerima nasib seperti ini?

“Anne juga nggak tahu, yah. Anne udah pergi ke psikiater. Katanya Anne ngalamin Precognitive Dream dimana mimpi yang kita alamin bisa jadi kenyataan. Dan sekarang Anne ngerasain itu.”

Tubuh Pak Josh mulai terasa berat, kepalanya begitu pening saat ini. Pak Josh lalu melemaskan tubuhnya bersandar pada badan kursi. Beliau sangat bingung harus berkata apa. Karena jujur, saat ini Pak Josh antara percaya dan tidak percaya dengan semua penjelasan dari Anne. Ini sangat tidak masuk akal baginya.

“Makanya Anne sengaja ajak ayah makan siang buat tanya soal Pak Rudy. Ini ada sangkut pautnya sama psikopat yang udah menelan banyak korban, yah.”

“Iya ayah tahu.” Jawab Pak Josh singkat sambil memijat kepalanya yang sangat pening.

Anne mngernyitkan dahi, “Ayah tahu?” Tanya wanita itu sedikit ragu.

Pak Josh menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, “Selama ini ayah terus-terusan diterror sama psikopat bajingan itu, Ann. Seakan-akan ayah ini penyebab semua rekan kerja ayah mati. Dan ayah ngerasa kalo ayah ini pengecut. Sampe sekarang aja ayah masih belum bisa tangkap bajingan gila itu.” Jelas Pak Josh dengan raut wajah kesal dan geram. Geram dengan dirinya sendiri dan psikopat itu-yang tak lain adalah menantunya sendiri-.

“Kenapa ayah nggak pernah cerita?” Anne mulai frustasi. Pasalnya, sang ayah tidak pernah cerita kalau selama ini beliau diterror oleh Jeffry. Membayangkannya saja membuat Anne merinding. Pasti ayahnya tidak bisa menjalani hidup dengan tenang. Maka dari itu, wajar kalau Anne begitu kesal sekarang. Rasa bersalah memenuhi relung hatinya sekarang.

Anne semakin heran saat melihat sebuah senyuman mengembang di mulut ayahnya saat ini. Tatapannya yang tetap tenang, seakan dunia sedang berpihak padanya, membuat Anne semakin bingung. Apakah ia harus panik atau bersikap biasa saja saat melihat sorot mata ayahnya itu.

“Ayah nggak papa. Terror doang lagian. Apa yang harus ditakutin? Yang pantes ditakutin tuh cuma Tuhan. Ngapain kita takut sama manusia yang pada dasarnya sama-sama makan nasi.” Tutur Pak Josh dengan nada tenangnya.

“Ini bukan masalah sepele, yah.” Anne sontak menggenggam tangan Pak Josh, “Kita harus menemukan titik terang soal kasus ini. Sekarang ayah ceritain semua tentang hubungan ayah sama Pak Rudy. Kenapa Pak Rudy bisa dihukum mati? Jelas-jelas Pak Rudy nggak bersalah.”

Pak Josh menatap sekeliling cafe yang sedikit ramai pengunjung itu. Antara enggan untuk menjelaskan pada Anne tentang semua yang sudah terjadi, atau terlalu bingung harus memulai dari mana. Karena ini terbilang topik yang sangat rumit jika djelaskan dengan kata-kata.

“Sebenarnya ayah bingung apa yang harus ayah akui, Ann. Ayah udah lakuin yang terbaik. Ayah udah berjuang biar sahabat ayah bisa bebas dari hukuman. Tapi nggak bisa. Bukti udah benar-benar kuat menjuru ke sahabat ayah. Dan psikopat itu terus-terusan nuntut ayah untuk mengakui dosa-dosa ayah di masa lalu. Ayah bingung sebenarnya. Ayah ngerasa nggak melakukan kesalahan apa-apa.”

Anne kembali mengernyitkan dahi, “Bukti? Jadi Pak Rudy dihukum mati karena bukti udah kuat mengarah ke beliau? Bukan karena ayah yang bungkam dan nggak mau kasih kesaksian?”

Tanpa diduga, Pak Josh terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. “Semua orang berpikiran gitu tentang ayah, Ann. Tapi ayah berani bersumpah di hadapan Tuhan, kalo ayah nggak terima suap darimana pun. Rekan-rekan kerja ayah hampir semua terima dana suap itu. Tapi ayah nggak pernah sudi terima dana itu, bahkan lihat aja ayah udah jijik. Ayah nggak mungkin ngekhinatin sahabat yang udah bantuin ayah sampai ayah ada di titik ini.”

Tatapan Anne berubah kosong. Memandang jauh ke depan dengan pikiran yang bercabang kemana-mana. Kepalanya terasa mau meledak. Dadanya mulai sesak, ada orang yang setega itu untuk menjatuhkan orang lain? Sekalinya hukum bertindak, dunia hancur seketika.

“Yah,” Anne memanggil sang ayah.

“Hmm?” Sahut Pak Josh kemudian.

“Siapa dalang dibalik semua ini? Siapa yang tega bikin Pak Rudy yang nggak bersalah itu harus menanggung semuanya? Mereka nggak mikir apa, nasib istri sama anaknya gimana nanti? Lihat sekarang, keluarga Pak Rudy hancur kan yah. Istrinya bunuh diri, anaknya nggak tahu perginya kemana? Sekarang siapa yang salah, yah? Si pelaku yang sebenarnya? Si orang yang memfitnah Pak Rudy dan membuat beliau harus dihukum mati? Atau hukum yang patut disalahin juga disini, yah-”

“Besan kamu.” Potong Pak Josh tiba-tiba.

“Apa?” Anne menatap sang ayah bingung.

“Dalang dibalik semua ini Pak Adhi, Ann.”

Anne langsung menutup mulutnya yang menganga lebar. Benar-benar terkejut dengan penuturan sang ayah barusan. Ayahnya tidak sedang bercanda kan?

“Kalo kamu nggak percaya nggak papa. Ayah juga nggak punya bukti-”

“Anne percaya.” Ucap Anne penuh penekanan, “Apapun yang keluar dari mulut ayah ... Anne percaya., yah”

Pak Josh kemudian tersenyum miring, “Terima kasih sayang.”

“Tapi kenapa Pak Adhi ... Kenapa beliau?”

Pak Josh mengedikkan bahunya tidak tahu, “Ayah juga kurang tahu, Ann. Yang ayah tahu, Pak Adhi kerja sama sama anak dari pengusaha batu bara. Dia adalah pelaku pemerkosaan artis papan atas itu, Ann. Tapi entah kenapa, Pak Adhi justru memfitnah sahabat ayah ini. Sampai sekarang yang ayah belum ketemu titik terang cuma itu, Ann.”

“Sekarang dimana anak pengusaha batu bara itu yah?”

“Udah mati. Mati di apartemennya dalam keadaan telanjang penuh darah, penuh sayatan, dan tanpa kepala. Bisa dipastikan ini ulah psikopat itu.”

Lemas Anne kemudian. Seolah dirinya tidak diberi kesempatan untuk memasok udara banyak, Anne dibuat terkejut beberapa kali. Jadi selama ini Jeffry salah. Ia menganggap kalau Pak Josh ikut andil dalam dalang dihukum matinya Pak Rudy. Padahal faktanya, justru Pak Adhi lah yang membuat Pak Rudy dipenjara dan dihukum mati. Meninggalkan keluarga yang kini sudah hancur.

Bisa dibilang Jeffry salah sasaran.

“Tapi, Ann ....” Ucap Pak Josh tiba-tiba, “Kalo kamu mimpiin psikopat itu, kamu pasti tahu pawakan psikopat itu kan?”

Skak mat kamu Ann. Kamu harus jawab apa?

“Kamu bisa kasih tahu ayah siapa psikopat itu? Biar ayah bisa langsung tangkap bedebah gila itu, Ann.”

Anne menggigit bibir bawahnya. Apa yang harus ia lakukan? Jujur wanita itu kini amat sangat bingung. Apakah Anne jujur saja pada sang ayah kalau suaminya lah psikopat yang udah membunuh rekan-rekannya selama ini, sehingga beliau bisa tangkap Jeffry dan semua akan berakhir? Tapi bagaimana dengan nasib keluarga kecilnya? Anne tidak mau akhir dari mimpi buruknya benar-benar menjadi kenyataan. Bayangan detik-detik Jeffry yang akan dihukum mati. Saat lelaki itu jujur soal perasaannya untuk yang terakhir kalinya, langsung berputar mengelilingi otaknya.

Kalau boleh memilih, lebih baik Anne pergi dari cafe tersebut dan menabrakkan diri ke mobil yang sedang melintas, dari pada ia harus berada disituasi seperti ini.


Anne berjalan gontai masuk ke dalam gedung perusahaannya. Pandangannya kosong ke depan, seolah otaknya sudah berhenti untuk bekerja. Sampai-sampai para pegawai yang menyapanya, Anne tidak acuhkan.

Kalimat sang ayah tadi siang masih terngiang di kepalanya. Pak Adhi. Anne masih tidak menyangka bahwa besan yang selalu ia kagumi diam-diam itu, adalah seseorang yang membuat Jeffry hidup dengan penuh dendam. Pak Adhi lah yang merencanakan ini semua. Bekerja sama dengan anak pengusaha batu bara-pelaku kasus pemerkosaan dan pembunuhan sadis artis papan atas yang sebenarnya-, memenjarakan Pak Rudy yang tidak bersalah itu, dan sengaja memanipulasi bukti supaya Pak Rudy bisa dihukum mati.

Apakah manusia memang semenakutkan itu? Bulu kuduk Anne seketika merinding.

Apa hubungan Pak Adhi dan Pak Rudy sebenarnya? Yang Anne tahu, Pak Rudy adalah kaki kanan Pak Adhi. Wanita itu baru saja tahu dari sang ayah. Tapi, kalau misalkan Pak Rudy adalah kaki kanan Pak Adhi, mengapa Pak Adhi tega memfitnah Pak Rudy dan menjebloskannya ke dalam penjara? Pasti ada rahasia besar dibalik ini semua.

Langkahan Anne terhenti saat ia merasa pusing yang sangat luar biasa dibagian kepala. Tubuhnya terasa sangat ringan tiba-tiba. Suara dengungan mulai terdengar menusuk gendang telinga Anne. Wanita itu memejamkan matanya sejenak dan menututp kedua telinganya. Mungkin ini efek dirinya belum memakan nasi sedikitpun dari semalam. Atau karena beban pikiran yang harus ia pikul begitu berat?

Karena sudah tidak kuat menopang tubuhnya, Anne ingin ambruk. Namun sebelum itu, ada seseorang yang datang entah dari mana menahan tubuh mungil Anne.

“Ann, lu nggak papa?”

“Tio ....”

Dan Anne pun pingsan saat itu juga.

—To Be Continued—
jaemtigabelas