Dreams Come True.
Dua tahun kemudian.
“Selamat siang semuanya. Terima kasih yang sudah berkenan untuk menghadiri acara meet and greet bersama penulis buku 'Love but Psycho' ini. Tenang saja, bagi kalian yang sudah menghadiri acara ini akan mendapatkan tanda tangan gratis, lansung dari penulisnya sendiri. Pada senang kan? Kapan lagi coba ketemu dan dapat tanda tangan langsung dari penulis 'Love but Psycho' yang ceritanya sudah dibaca hampir 10 juta kali di wattpad? Ok ... daripada kita menunggu terlalu lama lagi, mari kita panggil penulis buku kita ... Elaine Khalida.”
Suara tepuk tangan para pengunjung seketika bergemuruh memenuhi aula. Anne yang sedari tadi hanya berdiri di belakang panggung pun langsung berjalan menaiki kotak persegi berukuran kecil yang sudah disediakan sebelumnya. Senyumannya masih mengembang tipis, walau keringat dingin sudah mengalir ke seluruh tubuhnya saat ini.
“Waaahh ... cantik sekali kakaknya ya ternyata.” Puji sang audience diiringi dengan senyum manisnya. “Ok baik ka Anne. Gimana nih perasaannya setelah mendengar kabar kalau cerita kaka yang berjudul 'Love but Psycho' ini sudah menembus hampir 10 juta pembaca?”
Anne mengarahkan microphone yang ia genggam ke depan bibirnya. “Yang jelas saya sangat senang dan bersyukur. Dari awal saya tidak pernah berekspektasi kalau cerita saya disukai oleh banyak orang. Jadi mendengar kabar baik tersebut ... Saya masih tidak menyangka.” Anne pun tertawa.
“Sebelumnya aku mau nanya nih. Ka Anne kan dulu pernah berprofesi sebagai CEO fashion baju terkenal se Jakarta. Apa alasan Ka Anne tiba-tiba pensiun dari profesi tersebut dan berpindah menjadi penulis?”
Anne berpikir sejenak sebelum kembali mendekatkan microphone nya ke bibir, “Sebenarnya saya tidak mempunyai alasan yang spesifik. Saya hanya ingin mencurahkan apa yang ada diotak saja. Tapi entah kenapa, lama-lama saya jadi ketagihan buat nulis lagi dan nulis lagi. Ini semacam tantangan buat saya. Mulai dari mikir alur ceritanya, sifat dari masing-masing karakter yang ada cerita tersebut. Apalagi ini genrenya tentang thriller dan misteri. Jadi ya, ini menjadi tantangan buat saya dan saya suka menulis.”
Audience itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya perlahan tanda mengerti dengan penjelasan panjang lebar dari Anne. Audience itu berjenis kelamin laki-laki. Nampaknya lelaki tersebut sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Anne. Sedari tadi bibir lelaki tersebut menyunggingkan sebuah senyuman yang lebar dan manis. Dan tak lupa kedua netra itu belum juga bisa lepas menikmati paras cantik pada wajah wanita yang sedang duduk didepannya itu.
Siapa yang tidak jatuh hati pada sosok wanita bernama lengkap Elaine Khalida ini. Wanita sempurna dengan watak yang lembut dan sopan. Sebenarnya banyak lelaki bujangan diluar sana yang mengantri untuk mendapatkan perhatian dari wanita yang sudah lama memegang status janda itu. Akan tetapi, sampai sekarang Anne belum bisa menghapus bayangan Jeffry-mantan suaminya yang sudah tiada dua tahun yang lalu- dari kedua matanya.
Anne akui, melupakan Jeffry adalah ketidak sanggupan yang nyata. Walau diterjang oleh ombak besar pun, sosok mantan suaminya itu tidak pernah sirna dari pikirannya. Seolah terbelenggu di dalam relung hati Anne yang paling dalam. Ini lah alasan mengapa Anne masih setia dengan status jandanya sampai sekarang.
“Ka, mau nanya dong!” Tanya seorang pengunjung di ujung sana sambil mengangkat tangan kanannya ke udara.
“Iya silahkan mau nanya apa?”
“Katanya ini cerita based on true story dari kakanya sendiri. Apa benar ka kalau pelaku pembunuhan berantai yang sudah tertangkap dan dihukum mati dua tahun yang lalu itu suami kaka?”
Suasana tiba-tiba hening. Seluruh penjuru kini terfokus pada Anne. Raut wajah pengunjung yang awalnya senang dan gembira karena akhirnya bisa bertemu penulis favorit mereka, kini berubah menjadi raut wajah yang diam tidak menyangka. Sorot mata menjijikan itu, semuanya tertuju pada Anne saat ini.
Anne mulai gugup dan takut. Ia tahu bahwa hal ini pasti akan terjadi. Ketika seseorang menanyai identitas suaminya yang sudah Anne sembunyikan dengan rapih. Maka dari itu, Anne memberanikan diri untuk menjawab dengan hati yang lapang.
“Iya. Dia suami saya.”
Alangkah terkejutnya semua orang yang ada di aula tersebut. Bukan hanya yang menghadiri acara meet and greet tersebut. Beberapa staff dan audience itu juga sama terkejutnya mendengar pengakuan dari Anne.
“Saya tidak membenarkan perbuatan suami saya yang sudah membunuh banyak nyawa di muka bumi ini. Saya akui memang suami saya pendosa. Saya terima jika harus melihat suami saya dieksekusi mati didepan mata kepala saya sendiri. Saya terima itu. Itu adalah balasan yang pantas suami saya dapatkan atas perbuatan kejinya di masa lalu. Tapi ....” Bulir air mata Anne mulai jatuh ke permukaan. Suaranya bergetar lirih. “Se dosa apapun dia dan se keji apapun perbuatannya. Dia tetap suami saya. Ayah dari anak saya. Dan kepala keluarga dari keluarga kecil saya. Terlepas dari dia yang sudah membunuh banyak orang ... Dia adalah suami yang baik buat saya. Suami yang sempurna, dan ayah yang bertanggung jawab untuk anak saya.”
Anne kemudian beranjak dari duduknya. Berdiri tegak didepan seluruh pengunjung yang saat ini sedang menatapnya dengan sorot mata yang penuh kebencian.
“Maka dari itu. Teruntuk semua keluarga yang merasa kehilangan ....” Anne semakin gugup, namun dirinya mencoba untuk terlihat kuat dan tegar. “Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas dosa yang suami saya perbuat di masa lalu. Saya tahu kalau permohonan maaf saya ini tidak sebanding dengan nyawa para korban. Tapi, suami saya sudah menerima balasannya. Tuhan sudah memberinya karma yang pantas untuk dia dapatkan. Saya mohon, ampunilah dia. Maafkan semua kesalahannya. Saya tidak ingin dia disiksa lebih sakit lagi karena dosa yang belum termaafkan oleh kalian. Sekali lagi, saya minta maaf.”
Anne kemudian membungkuk 180 derajat di depan semua pengunjung yang menghadiri acara tersebut.
“Halo. ayah udah sampai?” Anne mengangkat telepon dari sang ayah tercintanya sambil berjalan keluar dari museum.
“Sebentar lagi ayah sampai. Tunggu disana ya. Jangan kemana-mana. Ayah lagi bawa Luna jadi nggak bisa ngebut.”
Anne tersenyum tipis. “Yaudah. Hati-hati yah. Anne tunggu di lobby ya.”
Piippp. Sambungan terputus.
Sungguh lucu ketika melihat sang ayah masih memperlakukan Anne seperti anak kecil. Semenjak kejadian Anne disekap oleh Jeffry sampai sekarang, Pak Josh jauh lebih perhatian dan overprotektif terhadap putri semata wayangnya itu. Iya Anne tahu ini adalah wujud rasa sayang seorang ayah kepada anaknya karena tidak ingin anaknya kenapa-napa. Tapi Anne merasa bahwa ayahnya itu terlalu berlebihan.
Seperti tadi pagi. Anne harus bercekcok mulut dulu sebelum datang ke museum ini hanya karena Pak Josh yang memaksa untuk mengantar jemput Anne kemana pun wanita itu pergi. Padahal Anne sudah bilang berkali-kali kalau dirinya bisa pergi sendiri. Toh museumnya juga dekat dari rumah.
Tapi ya namanya juga Pak Josh. Keras kepalanya selalu membuat Anne hanya bisa bernapas pasrah.
Wanita dengan dress bermotif bunga selutut serta cardigan warna cokelat itu senantiasa berdiri di lobby utama museum. Seperti anak SD yang menunggu jemputan sepulang sekolah. Lalu detik selanjutnya ada dua orang perempuan yang berdiri tidak jauh darinya. Mulanya memang biasa saja. Akan tetapi, bisikan yang terdengar dari mulut kedua perempuan itu membuat Anne ingin segera pergi dari tempatnya berada.
“Lihat noh istri psikopat. Sok suci banget. Najis.”
“Sok-sok an minta maaf sambil nangis lagi. Gue yakin dia mah akting doang.”
“Ya gue do'ain aja deh. Semoga hidupnya nggak tenang selamanya. Masa suaminya jelas-jelas pembunuh dibela. Gila emang.”
Mendengar kalimat demi kalimat sarkas itu, Anne hanya bisa memejamkan kedua matanya seraya menghela napas panjang. Membiarkan hembusan angin sepoi-sepoi itu menghapus semua kalimat menyakitkan yang ia dengar barusan. Tidak apa-apa, Anne merasa bahwa dirinya memang pantas mendapatkan ini. Wanita itu mencoba untuk tetap tegar disaat bumi sedang tidak bersahabat dengannya.
Secepat itu kah? Bahkan baru lima belas menit dirinya merasa sangat senang bisa bertemu dengan para pembacanya setelah hanya bertemu via komentar di wattpad. Roda akan terus berputar karena roda itu bulat. Bumi juga bulat. Mungkin bumi sedang berputar sangat cepat saat ini. Dari Anne yang dibuat terbang ke langit ke tujuh. Lalu lima belas menit kemudian ia langsung jatuh sejatuh jatuhnya ke dalam jurang yang dalam. Sakit, tapi Anne dituntut untuk menjadi wanita yang kuat.
Tiinnn ... Tiiinnn ....
Anne menegakkan kepalanya. Ia sedikit terkejut saat mobil sang ayah sudah terparkir didepannya. Di dalam mobil, terlihat Pak Josh yang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arah Anne. Dengan memakai kacamata hitam favoritnya itu. Anne kemudian terkekeh pelan. Setidaknya, masih ada satu orang yang sangat menyayanginya saat ini. Yaitu ayah kandungnya sendiri.
“Akhirnya udah sampai.” Ujar Pak Josh setelah memarkirkan mobilnya ke garasi apartemen Anne.
“Makasih yah. Mulai besok jangan antar jemput Anne lagi ya.”
“Husshhh ... Nggak usah ngomong aneh-aneh. Ayah tetap mau antar jemput kamu titik.” Jawab Pak Josh dengan penuh penekanan.
“Dad ... Udah dua tahun semenjak Jeffry nggak ada. Ini udah cukup buat Anne. Anne bisa sendiri ayah. Anne nggak papa kok.” Anne mencoba untuk meyakini sang ayah.
“Yaudah. Tapi kalau ada apa-apa langsung bilang ayah loh ya.”
Anne menganggukkan kepalanya angkuh. Lalu ia mengecek kursi belakang mobil. Terlihat Luna dengan masih memakai seragamnya sekolahnya sedang tertidur sangat pulas di kursi belakang.
“Ann ....” Panggil Pak Josh. Kali ini nada bicaranya mulai serius.
“Hmmm?” Sahut Anne kemudian.
“Kapan kamu mau jujur ke Luna?”
“Soal apa yah?”
“Kalau dia bukan anak kandung kamu.”
Anne tercekat. Mengapa ayahnya itu tiba-tiba bertanya hal yang membuat hatinya kembali bimbang. Wanita itu menggigit bibirnya ragu.
“Secepatnya, yah.”
“Mau nggak mau kamu harus bilang ke Luna dari awal, Ann. Jangan tunggu anak ini udah gede dulu baru kamu bilang jujur. Mumpung dia masih kecil. Dia pasti terima kejujuran kamu.”
“Iya ayah. Anne bakal jujur ke Luna. Tapi nggak sekarang. Anne belum siap.”
Pak Josh mengusap wajahnya pelan. Terlalu pusing untuk mengurusi kehidupan putrinya yang ternyata sangat rumit ini. Mulai dari suaminya yang psikopat, ditembak mati, sampai Luna yang ternyata bukan anak kandung Anne. Pak Josh seketika merasa gagal menjadi seorang ayah.
“Tapi gimana bisa kamu selama ini bohongin ayah sama Jeffry soal Luna, Ann? Ayah masih nggak ngerti. Kehamilan kamu yang palsu. Sama persalinan yang direncanakan. Kamu kenapa bisa sampai bertindak sejauh itu hah?” Pak Josh terlihat kesal melihat Anne yang memilih untuk membohinginya selama ini.
“Hnggggghhh ....” Luna menggeliat pelan dengan alis yang berkerut. Hampir saja Luna terbangun karena suara Pak Josh yang lumayan keras tadi.
“Ayah, jangan berisik. Nanti kalau Luna bangun gimana?”
Pak Josh lalu terdiam. Menunggu sampai Anne mau menceritakan semua tentang rahasia yang sudah wanita itu sembunyikan.
“Ok. Anne jelasin sekarang.” Anne lalu menghembuskan napasnya panjang. Mungkin saat ayahnya mendengar penjelasan ini, beliau tidak mau menganggap Anne sebagai anak lagi.
“Ayah ingat nggak, dulu Anne sempat nggak bisa hamil selama setahun lebih?”
“Iya, ingat.” Jawab Pak Josh singkat.
“Dan ayah pasti tahu betapa frustsinya Anne setiap lihat testpack yang selalu nunjukin satu garis doang.” Wanita itu berdecih pelan. “Anne nggak tahu lagi harus gimana biar bisa hamil. Segala cara udah Anne lakuin, yah. Mulai dari minum herbal yang katanya bisa bikin hamil cepat, sampai ikut sistem bayi tabung. Tapi hasilnya tetap nihil.”
Pak Josh masih setia mendengarkan. Namun raut wajahnya sedikit berbeda seperti tadi. Kini Pak Josh nampak tidak tega mendengar cerita putrinya lebih lanjut. Ingatan yang begitu menyakitkan ketika melihat Anne yang selalu berteriak tidak jelas, menangis sendirian karena saking frustasinya tidak bisa mempunyai anak. Dan tanpa sadar luka lama yang sudah Anne pendam dan hilangkan sejak dulu kembali muncul. Tapi mau tidak mau, Anne harus berkata jujur sekarang. Soal rahasia terbesarnya yang tidak semua orang tahu selama ini.
“Anne hampir gila yah. Anne selalu berpikir, apa yang salah didiri Anne? Apa karena Anne mandul? Atau apa? Anne selalu salahin diri Anne sendiri, yah. Sampai mau gila rasanya. Nggak ada pikiran sama sekali kalau kesalahan itu mungkin ada di Jeffry. Nggak ada, yah.” Jelas Anne dengan sedikit berlinang air mata. Bibirnya bergetar, dan wajahnya mulai memerah. Emosi dan kesedihan seolah tercampur disana.
“Ayah tahu kan kalau Anne amat sangat mencintai Jeffry? Jadi segala cara Anne lakuin biar Jeffry bahagia dan merasa beruntung memiliki Anne, yah. Anne nggak mau kehilangan Jeffry hanya karena Anne nggak bisa punya anak. Memang Jeffry nggak pernah nuntut Anne buat punya anak cepat-cepat. Tapi sebagai seorang istri, yah. Anne nggak mau kecewain suami Anne sendiri. Maka dari itu, Anne putusin buat memalsukan kehamilan Anne sendiri.”
“Waktu itu kebetulan Jeffry lagi menempuh S2 nya di Eropa. Jadi sebelum kita berdua melakukan video call, Anne selalu memasang sesuatu yang bisa bikin perut Anne kelihatan besar, yah. Biar Jeffry percaya kalau Anne hamil. Setelah itu, hampa sudah. Nggak ada janin di dalam perut Anne. Melainkan bantal atau guling yang sering Anne pakai buat mengelabui Jeffry. Dan untungnya Jeffry percaya waktu itu.”
Wanita rapuh itu menundukkan kepalanya sejenak. Begitu berat beban yang sedang ia tanggung sendirian. Tidak ada yang bisa Anne curahkan isi hatinya. Anne terlalu takut jika semua orang malah menyalahkan dirinya soal rencana gila yang sudah Anne mantapkan sejak dulu. Anne tidak ingin ada yang menghalangi rencananya.
“Terus waktu persalinan terjadi. Sebulan sebelum Anne dinyatakan bisa melahirkan, Anne sudah menyewa dokter buat membantu Anne dalam persalinan, yah. Dengan bejadnya Anne menyuruh dokter itu buat cari gadis yang miskin, gila uang, atau yang hamil di luar nikah buat di jual anaknya.”
“Apa? Jadi waktu ayah nemenin kamu persalinan itu ....”
“Ya ....” Anne menggantungkan kalimatnya, “Suara teriakan kesakitan itu bukan suara Anne, yah. Tapi suara ibu kandungnya Luna.”
“Ya ampun Anne.” Pak Josh menatap Anne tidak menyangka. Bisa-bisanya Anne membodohi dan membohongi ayah kandungnya sendiri. Pak Josh sangat kecewa mendengar pernyataan itu.
Anne memejamkan kedua matanya, dan seketika buliran air matanya jatuh, menciptakan jejak garis bening memenuhi pipi Anne saat ini. Jujur, sakit jika harus melanjutkan cerita ini. Seperti ditusuk pedang berkali kali sakitnya. Tapi, Anne masih tetap ingin mengungkapkan seluruh isi hati dan pikirannya. Biar semuanya jelas.
“Gadis itu mantan pelacur. Dia lebih muda dari Anne. Belum menikah dan keterbatasan ekonomi. Makanya dia rela menjual anaknya hanya demi uang 500 juta yang Anne kasih. Anne awalnya tidak tahu dimana keberadaan gadis itu. Tapi kemarin, Anne dapat kabar kalau gadis itu mati karena penyakit HIV/AIDS yang dideritanya selama bertahun-tahun.”
Anne tersenyum gusar, “Dan untung saja, Jeffry waktu itu datangnya telat. Jadi waktu Luna sudah lahir dan dibawa ke ruang bayi untuk dirawat, Jeffry baru datang ke rumah sakit. Anne sengaja nggak kasih tahu Jeffry kapan Anne bisa melakukan persalinan. Biar Jeffry nggak berencana buat datang jauh hari sebelum ibu kandung Luna melahirkan yah. Kalau itu beneran terjadi, rencana Anne otomatis gagal total.”
“Semenjak itu. Semua berjalan normal. Luna, Anne anggap sebagai anak kandung Anne sendiri, yah. Luna adalah darah daging Anne. Anne nggak mau kehilangan Jeffry dan Luna. Mereka berdua sangat berarti buat Anne. Maka dari itu, Anne memutuskan buat menjalani kehidupan penuh kepalsuan ini. Dari pada harus kehilangan dua orang yang paling Anne cintai.”
Tidak ada yang bisa Pak Josh lakukan selain bernapas pasrah sambil menumpukan kepalanya pada setir mobil. Anne tahu, pasti sekarang ayahnya sangat kecewa padanya. Hal yang sangat ditakuti Anne mungkin saja terjadi setelah ini. Ayahnya tidak ingin menganggapnya sebagai anak lagi, dan selalu menatap Anne dengan raut wajah penuh kecewa dan menjijikkan.
Ya, Anne merasa bahwa dirinya adalah wanita paling menjijikkan di dunia.
“Maaf, ayah.” Tangisan Anne pecah. Namun wanita itu tetap berusaha menangis tanpa suara agar Luna tidak terbangun dari tidurnya. Dadanya sangat sesak. Ingin rasanya ia berteriak sekencang mungkin. Melepaskan hasrat dan beban yang sudah Anne pendam selama bertahun-tahun. Tapi apa daya, ia masih berada di dalam mobil kecil yang berisikan tiga orang disini. Anne tidak bisa melakukan itu.
“Yaudah nggak papa. Ayah maafin. Sekarang kamu bangun ya, nak.”
Anne menghentikan tangisannya dan menatap ayahnya bingung. “Bangun? Dad, what are you talking about?”
“Kamu udah berjuang sejauh ini, Ann. Kamu pasti capek kan kalau harus menanggung beban ini sendirian. Makanya, kamu sekarang bangun ya.”
“Yah ... Aku udah bangun, aku nggak tidur. Tapi kenapa ayah— Akhhhh.”
NGGUUNNGGGG
Tiba-tiba Anne merasa kepalanya sangat pusing tujuh keliling. Telinganya berdengung seketika. Saking kerasnya dengungan itu sampai membuat gendang telinganya mau pecah. Astaga, apa yang baru saja terjadi? Dengungan ini tidak bisa berhenti. Bahkan Pak Josh berulang kali berkata ...
“Bangun, Ann.”
“Bangun, Ann.”
“Bangun, Ann.”
Kedua mata Anne perlahan terbuka karena sinar matahari yang menembus melalui jendela mengenai kulit wajahnya. Matanya terperjap kemudian.
Dimana ini?
Anne bangun dari tidurnya. Dan seketika Anne menyadari bahwa dirinya berada di kamarnya sendiri. Tertidur pulas di atas tempat tidur yang didominasikan oleh warna biru laut itu. Anne lalu menatap ke sekililing ruangan untuk memastikan bahwa dirinya benar-benar berada di kamar sekarang.
Jadi semua itu hanya mimpi?
Jeffry yang psikopat, Jeffry yang dihukum mati. Itu semua hanya mimpi Anne belaka?
Karena penasaran, Anne segera beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju ruang tamu. Kalau benar itu hanya mimpi, Anne akan sangat bersyukur.
“Ann.”
Satu kalimat itu mampu membuat Anne langsung tertegun sepersekian detik. Suara berat dan serak khas suaminya itu barusan memanggil namanya. Anne masih belum bisa membalikkan badannya. Ia terlalu takut kalau ini hanyalah khayalannya saja.
“Udah bangun?”
Suara itu terdengar sangat nyata. Benar-benar seperti Jeffry yang sedang berbicara pada Anne saat ini. Ok, setelah memantapkan hatinya. Anne pun membalikkan badannya.
Jeffry ada disana. Suaminya yang dua tahun lalu pergi meninggalkan dunia, saat ini sedang berdiri tegak di depan mata Anne. Entah ini hanya halusinasi Anne atau bukan. Tapi yang jelas, ini terasa amat nyata.
“Akhirnya kamu bangun. Kamu tadi tidur lama—“
Belum sempat Jeffry menyelesaikan kalimatnya, Anne langsung memeluk daksa kekar itu tanpa permisi. Memeluknya dengan sangat erat. Kemudian menangis di bahu suami tercintanya itu.
“Kamu masih hidup, Jeff. Kamu masih hidup.” Anne semakin mempererat pelukannya. Seolah tidak mengizinkan Jeffry untuk bergerak barang sejengkal pun.
Jeffry yang masih nampak bingung itu berusaha melepaskan pelukan istrinya. Bukan apa-apa, hanya saja dadanya terasa sesak karena Anne memeluknya dengan sangat kencang.
“Iya aku masih hidup, Ann. Kamu kenapa kok tiba-tiba nangis hm?” Jeffry membelai pipi Anne dengan sayang.
Sambil masih sesegukan, Anne menjawab, “Aku mimpi buruk barusan.”
“Mimpi buruk?” Jeffry mengerutkan kedua alisnya. “Mimpi buruk gimana?”
“Aku mimpi kalau kamu itu psikopat. Terus ... kamu sekap aku di ruang rahasia yang ada di tempat kerja kamu. Abis itu ... kamu ditangkap polisi dan ... kamu dihukum mati.”
“Astaga.” Jeffry lalu memeluk Anne seiring tangisan Anne yang semakin kencang. “Itu kan cuma mimpi, Ann. Udah husshh jangan nangis lagi ya.”
“Tapi itu kayak nyata banget, Jeff. Aku takut kehilangan kamu.”
Jeffry hanya tersenyum tipis mendengar ocehan dari istri tercintanya itu. Tangannya kemudian terangkat, berniat untuk menghapus jejak air mata yang menyelimut kedua pipi mulus Anne.
“Aku nggak kemana-mana, Ann. I’m here. Aku masih hidup, dan kamu masih bisa lihat aku kan?”
Anne menganggukkan kepalanya perlahan sambil masih sesegukan akibat tangisannya yang tak kunjung berhenti. Dalam hati wanita itu terus mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, karena Tuhan tidak berniat untuk mengambil nyawa suaminya. Dan itu juga berarti kalau Jeffry bukanlah seorang psikopat.
Syukurlah itu hanya mimpi.
“Oh ya, mesin cuci kamu dari tadi udah berhenti. Aku tadi mau bangunin kamu, tapi nggak tega. Makanya aku biarin.”
Anne kemudian menghapus air matanya. Ia baru ingat kalau sebelum ia tertidur dan mengalami mimpi buruk yang sangat luar biasa itu. Anne sibuk membersihkan rumah bersama Jeffry dan Luna. Karena mumpung weekend, kapan lagi mereka bisa menghabiskan waktu bersama sambil membersihkan rumah mereka sendiri. Mulai dari menyapu, mengepel lantai, mencuci piring, berkebun, dan terakhir yang Anne ingat adalah kalau dirinya sedang mencuci pakaian. Tapi karena terlalu lelah untuk melakukan 4 pekerjaan rumah sekaligus dalam sehari, membuat energinya terkuras habis dan berakhir tertidur di tempat tidurnya sendiri.
Dan saat itulah, mimpi buruknya datang menghampiri.
Anne langsung menggelengkan kepalanya. Mengusir serpihan demi serpihan mimpi buruk itu dari kepalanya.
“Luna dimana sekarang?” Tanya Anne pada Jeffry.
“Dia lagi di ruang tamu. Lagi nonton kartun sama aku tadi.”
“Yaudah, kamu temenin Luna aja ya. Aku mau ngurusin cucian dulu.”
“Ok sayang.” Jeffry mencium pucuk kepala Anne supaya Anne benar-benar merasa tenang sekarang.
Dan detik selanjutnya Anne berjalan menuju ruang cucinya. Wanita itu berkacak pinggang saat melihat tumpukan cucian yang ada didepannya itu. Ternyata masih banyak baju yang harus ia cuci setelah ini.
Tanpa berbasa-basi lagi, Anne langsung membuka penutup mesin cuci tersebut lalu mengeluarkan semua baju yang sudah selesai dicuci dan menggantinya dengan beberapa baju yang kotor. Namun, saat Anne ingin memasukkan kemeja kerja Jeffry yang berwarna biru langit itu ke dalam mesin cuci. Betapa terkejutnya Anne melihat bercak darah yang menempel di kemeja tersebut.
Anne semakin mengerutkan dahinya. Ia sangat yakin ini adalah darah manusia. Tapi, darah siapa?
“Ann.”
Anne terkejut saat Jeffry memanggilnya dari ruang tamu.
“Aku udah masakin nasi goreng buat kamu. Kita makan siang dulu yuk.”
Anne tidak tahu harus berbuat apa? Ia sangat bingung sekarang. Kalau tadi hanya mimpi buruk, lalu ini apa? Kenapa ada bercak darah di kemeja Jeffry? Bercak darah tersebut sangat banyak. Hampir memenuhi bagian kiri kemeja itu.
“Ann.”
Anne langsung berdiri tegak menghadap Jeffry dan menyembunyikan kemeja Jeffry di belakang punggungnya.
“Are you okay?” Tanya Jeffry khawatir saat menatap raut wajah Anne yang sedang ketakutan.
“I’m okay.” Anne berusaha untuk terlihat seperti tidak mengetahui apa-apa.
“Are you sure?”
Saat Jeffry maju selangkah untuk memastikan keadaan Anne, wanita itu justru memilih untuk mundur. Jangan sampai Jeffry tahu tentang apa yang baru saja Anne lihat. Anne kemudian tersenyum.
“Aku nggak papa, Jeff. Kamu makan duluan aja. Nanti aku nyusul.” Anne mengusap pelan rahang Jeffry. Setidaknya, wajah curiga itu berubah menjadi wajah yang tenang.
“Yaudah. Aku tunggu dibawah ya.”
Dan detik selanjutnya, Jeffry pun menghilang dari pandangan Anne. Anne langsung bernapas lega. Hampir saja ketahuan. Anne kembali menatap kemeja itu. Menatapnya dengan teliti sambil berpikir, dari mana darah ini berasal? Apakah mimpi buruk yang datang menghampiri Anne barusan adalah kenyataan? Kenyataan kalau Jeffry seorang psikopat? Jeffry yang membunuh semua polisi tidak bersalah itu?
Anne kemudian memasukkan kemeja tersebut ke dalam mesin cuci dan langsung menyalakan mesin cuci tersebut. Tidak, ini salah. Ini pasti hanya halusinasinya saja. Anne mencoba meyakini kalau Jeffry tidak mungkin melakukan perbuatan keji itu. Semua itu hanya mimpi.
“Nggak, Ann. Jeffry buka pembunuh. Itu cuma mimpi okay?”
Berulang kali Anne mengucapkan kalimat tersebut layaknya sebuah mantra, kemudian meninggalkan mesin cuci yang masih menggiling baju dan mengeluarkan air berwarna merah darah.
—bonus chapter selesai—
note: kalo masih kurang jelas, baca lagi judulnya ya :)