jaemtigabelas

Sikap Jeffry akhir-akhir ini sempat membuat Anne pusing tujuh keliling. Layaknya air yang mengalir tenang tiba-tiba beku karena terkena suhu udara yang sangat dingin. Dari kemarin Anne tidak bisa tidur tenang. Selalu terbangun tengah malam dan mendapati tempat di samping tempat tidurnya itu kosong. Tidak ada kehadiran Jeffry disana.

“Ann.”

Anne sontak menegakkan kepalanya saat suara berat sang ayah membuyarkan lamunannya. Kini mereka sedang makan siang bersama di cafe dekat taman kota. Hanya sekedar memesan roti kering dan Americano, sudah membuat Anne kenyang. Entah, akhir-akhir ini ia kehilangan selera makannya.

Wanita dengan kemeja yang selaras dengan warna rambutnya itu sedari tadi hanya memandangi roti yang ada di depannya tanpa menjamah sedikitpun. Berbanding terbalik dengan Pak Josh yang saat ini tengah memakan lahap paha ayam yang ia beli di toko cepat saji di samping cafe tempat mereka duduk saat ini. Mungkin karena menu cafe tidak sepadan dengan daya tampung perutnya.

“Kok malah bengong. Kamu mikirin apa?” Tanya Pak Josh dengan mulut yang hampir penuh dengan daging ayam. Saking penuhnya beliau lalu mengambil minuman coca cola yang ada disampingnya untuk melancarkan makanan yang beliau kunyah agar bisa masuk ke dalam perutnya dengan lancar.

Anne tersenyum kecut. Ayahnya tidak tahu menahu tentang apa yang dialaminya selama ini. Punya suami yang ternyata mempunyai jiwa psikopat, penuh dendam, rumah tangga yang hampir retak. Ayahnya itu tidak pernah tahu kalau sang putri saat ini sedang membutuhkan pertolongan.

“Dad ... I wanna ask you something,” Tanya Anne dengan aksen britishnya.

“Iya tanya apa? Kamu dari tadi bilang mau tanya terus tapi nggak tanya tanya ke ayah.” Heran Pak Josh dengan sikap Anne yang sedikit aneh belakangan ini.

Anne mengulum bibirnya sejenak. Mulutnya tiba-tiba merasa sangat pahit untuk berbicara. Anne sedikit ragu apakah ayahnya ingin mendengar pertanyaan ini atau tidak. Tapi mau bagaimana lagi? Anne harus cepat-cepat menemukan titik terang supaya Jeffry tidak menelan korban lagi dan tidak memiliki dendam kepada sang ayah.

“Ini soal Pak Rudy,”

Mendengar nama yang tidak asing di telinga, membuat senyuman Pak Josh perlahan memudar. Sorot mata yang awalnya ceria berubah menjadi sendu dan sangat serius. Sudah Anne duga.

“Sahabat ayah yang dihukum mati beberapa tahun yang lalu karena kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap artis papan atas.” Imbuh Anne dengan pandangan yang seolah menuntut sebuah penjelasan.

Detik selanjutnya bukannya menjawab, Pak Josh malah terkekeh pelan mendengar pertanyaan dari putri semata wayangnya itu, “Kok tiba-tiba banget? Orangnya udah nggak ada, Ann. Apa yang mau ditanyain coba?”

“Ayah inget nggak, Anne pernah cerita soal mimpi Anne?” Wanita berparas cantik itu mengalihkan pandangannya sejenak. Kedua mata Anne terpejam sambil berdo'a supaya sang ayah kali ini percaya, “Mimpi itu benar-benar nyata, yah.”

Dahi Pak Josh seketika berkerut bingung. Pelan-pelan mencoba mengingat kapan dan dimana Anne cerita tentang mimpi buruknya. Bukannya tidak ingat kronologinya, hanya saja Pak Josh mengira kalau Anne saat itu hanya sekedar mimpi yang tidak memiliki arti apa-apa di dalamnya.

“Mimpi apa kamu emangnya?” Tanya Pak Josh yang sedikit terdengar seolah-olah ia belum bisa percaya dengan kalimat sang putri barusan.

“Ayah bakal percaya kalo Anne pernah mimpiin psikopat yang paling di takuti se negara ini?” Anne sedikit ragu dengan reaksi sang ayah selanjutnya saat mendengar pertanyaan tidak masuk akal ini.

Benar saja, Pak Josh kembali menunjukkan rentetan gigi putihnya dengan bahu yang naik-turun. Tertawa tanpa suara. Nampaknya Pak Josh masih belum bisa menerima semua penjelasan dari Anne. Membuat wanita yang sebentar lagi memasuki kepala tiga itu hanya bisa menghela napas pasrah.

“Ada-ada aja kamu tuh Ann, Ann.” Pak Josh lalu mengecek jam tangannya, “Udah ah, Ayah lagi banyak kerjaan. Nanti dilanjutin lewat chat aja, ya.” Katanya sebelum beranjak dari tempat duduknya.

“Anne serius, yah.” Anne sudah tidak tahu harus bagaimana supaya ayahnya percaya kalau semua mimpinya benar-benar menjadi kenyataan sekarang.

Terlihat Pak Josh kembali menghadap Anne yang tengah menatapnya dengan tatapan penuh keseriusan dan penuh kepasrahan. Entah itu karena sedikit penasaran atau hanya karena kasihan, sehingga Pak Josh lebih memilih untuk tetap stay di tempatnya.

“Waktu Anne suruh ayah buat jagain Tante Airin, itu kenapa Anne bisa tahu kalo Tante Airin dalam bahaya?” Anne menjeda kalimatnya, “Itu karena Anne pernah mimpiin kejadian itu sebelumnya, yah.”

“Kalo Anne nggak bilang ke ayah soal itu ... Tante Airin sekarang udah mati, yah. Persis sama kayak apa yang ada di dalam mimpi Anne.”

“Bentar-bentar.” Pak Josh langsung memotong kalimat Anne. Dari sorot matanya, nampaknya beliau mulai percaya. “Jadi maksud kamu, mimpi kamu benar-benar kejadian?”

Wanita bersurai hitam legam itu mengangguk pelan namun yakin. Mencoba untuk meyakinkan sang ayah kalau yang ada dipikiran lelaki beruban itu adalah benar.

“Tapi kenapa bisa-”

Kini Anne menggelengkan kepalanya pelan. Ia sendiri pun masih belum mengerti darimana asal mimpi itu? Kenapa harus dia yang menerima mimpi buruk itu? Dan yang paling yang bikin penasaran, kenapa dia yang harus menerima nasib seperti ini?

“Anne juga nggak tahu, yah. Anne udah pergi ke psikiater. Katanya Anne ngalamin Precognitive Dream dimana mimpi yang kita alamin bisa jadi kenyataan. Dan sekarang Anne ngerasain itu.”

Tubuh Pak Josh mulai terasa berat, kepalanya begitu pening saat ini. Pak Josh lalu melemaskan tubuhnya bersandar pada badan kursi. Beliau sangat bingung harus berkata apa. Karena jujur, saat ini Pak Josh antara percaya dan tidak percaya dengan semua penjelasan dari Anne. Ini sangat tidak masuk akal baginya.

“Makanya Anne sengaja ajak ayah makan siang buat tanya soal Pak Rudy. Ini ada sangkut pautnya sama psikopat yang udah menelan banyak korban, yah.”

“Iya ayah tahu.” Jawab Pak Josh singkat sambil memijat kepalanya yang sangat pening.

Anne mngernyitkan dahi, “Ayah tahu?” Tanya wanita itu sedikit ragu.

Pak Josh menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, “Selama ini ayah terus-terusan diterror sama psikopat bajingan itu, Ann. Seakan-akan ayah ini penyebab semua rekan kerja ayah mati. Dan ayah ngerasa kalo ayah ini pengecut. Sampe sekarang aja ayah masih belum bisa tangkap bajingan gila itu.” Jelas Pak Josh dengan raut wajah kesal dan geram. Geram dengan dirinya sendiri dan psikopat itu-yang tak lain adalah menantunya sendiri-.

“Kenapa ayah nggak pernah cerita?” Anne mulai frustasi. Pasalnya, sang ayah tidak pernah cerita kalau selama ini beliau diterror oleh Jeffry. Membayangkannya saja membuat Anne merinding. Pasti ayahnya tidak bisa menjalani hidup dengan tenang. Maka dari itu, wajar kalau Anne begitu kesal sekarang. Rasa bersalah memenuhi relung hatinya sekarang.

Anne semakin heran saat melihat sebuah senyuman mengembang di mulut ayahnya saat ini. Tatapannya yang tetap tenang, seakan dunia sedang berpihak padanya, membuat Anne semakin bingung. Apakah ia harus panik atau bersikap biasa saja saat melihat sorot mata ayahnya itu.

“Ayah nggak papa. Terror doang lagian. Apa yang harus ditakutin? Yang pantes ditakutin tuh cuma Tuhan. Ngapain kita takut sama manusia yang pada dasarnya sama-sama makan nasi.” Tutur Pak Josh dengan nada tenangnya.

“Ini bukan masalah sepele, yah.” Anne sontak menggenggam tangan Pak Josh, “Kita harus menemukan titik terang soal kasus ini. Sekarang ayah ceritain semua tentang hubungan ayah sama Pak Rudy. Kenapa Pak Rudy bisa dihukum mati? Jelas-jelas Pak Rudy nggak bersalah.”

Pak Josh menatap sekeliling cafe yang sedikit ramai pengunjung itu. Antara enggan untuk menjelaskan pada Anne tentang semua yang sudah terjadi, atau terlalu bingung harus memulai dari mana. Karena ini terbilang topik yang sangat rumit jika djelaskan dengan kata-kata.

“Sebenarnya ayah bingung apa yang harus ayah akui, Ann. Ayah udah lakuin yang terbaik. Ayah udah berjuang biar sahabat ayah bisa bebas dari hukuman. Tapi nggak bisa. Bukti udah benar-benar kuat menjuru ke sahabat ayah. Dan psikopat itu terus-terusan nuntut ayah untuk mengakui dosa-dosa ayah di masa lalu. Ayah bingung sebenarnya. Ayah ngerasa nggak melakukan kesalahan apa-apa.”

Anne kembali mengernyitkan dahi, “Bukti? Jadi Pak Rudy dihukum mati karena bukti udah kuat mengarah ke beliau? Bukan karena ayah yang bungkam dan nggak mau kasih kesaksian?”

Tanpa diduga, Pak Josh terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. “Semua orang berpikiran gitu tentang ayah, Ann. Tapi ayah berani bersumpah di hadapan Tuhan, kalo ayah nggak terima suap darimana pun. Rekan-rekan kerja ayah hampir semua terima dana suap itu. Tapi ayah nggak pernah sudi terima dana itu, bahkan lihat aja ayah udah jijik. Ayah nggak mungkin ngekhinatin sahabat yang udah bantuin ayah sampai ayah ada di titik ini.”

Tatapan Anne berubah kosong. Memandang jauh ke depan dengan pikiran yang bercabang kemana-mana. Kepalanya terasa mau meledak. Dadanya mulai sesak, ada orang yang setega itu untuk menjatuhkan orang lain? Sekalinya hukum bertindak, dunia hancur seketika.

“Yah,” Anne memanggil sang ayah.

“Hmm?” Sahut Pak Josh kemudian.

“Siapa dalang dibalik semua ini? Siapa yang tega bikin Pak Rudy yang nggak bersalah itu harus menanggung semuanya? Mereka nggak mikir apa, nasib istri sama anaknya gimana nanti? Lihat sekarang, keluarga Pak Rudy hancur kan yah. Istrinya bunuh diri, anaknya nggak tahu perginya kemana? Sekarang siapa yang salah, yah? Si pelaku yang sebenarnya? Si orang yang memfitnah Pak Rudy dan membuat beliau harus dihukum mati? Atau hukum yang patut disalahin juga disini, yah-”

“Besan kamu.” Potong Pak Josh tiba-tiba.

“Apa?” Anne menatap sang ayah bingung.

“Dalang dibalik semua ini Pak Adhi, Ann.”

Anne langsung menutup mulutnya yang menganga lebar. Benar-benar terkejut dengan penuturan sang ayah barusan. Ayahnya tidak sedang bercanda kan?

“Kalo kamu nggak percaya nggak papa. Ayah juga nggak punya bukti-”

“Anne percaya.” Ucap Anne penuh penekanan, “Apapun yang keluar dari mulut ayah ... Anne percaya., yah”

Pak Josh kemudian tersenyum miring, “Terima kasih sayang.”

“Tapi kenapa Pak Adhi ... Kenapa beliau?”

Pak Josh mengedikkan bahunya tidak tahu, “Ayah juga kurang tahu, Ann. Yang ayah tahu, Pak Adhi kerja sama sama anak dari pengusaha batu bara. Dia adalah pelaku pemerkosaan artis papan atas itu, Ann. Tapi entah kenapa, Pak Adhi justru memfitnah sahabat ayah ini. Sampai sekarang yang ayah belum ketemu titik terang cuma itu, Ann.”

“Sekarang dimana anak pengusaha batu bara itu yah?”

“Udah mati. Mati di apartemennya dalam keadaan telanjang penuh darah, penuh sayatan, dan tanpa kepala. Bisa dipastikan ini ulah psikopat itu.”

Lemas Anne kemudian. Seolah dirinya tidak diberi kesempatan untuk memasok udara banyak, Anne dibuat terkejut beberapa kali. Jadi selama ini Jeffry salah. Ia menganggap kalau Pak Josh ikut andil dalam dalang dihukum matinya Pak Rudy. Padahal faktanya, justru Pak Adhi lah yang membuat Pak Rudy dipenjara dan dihukum mati. Meninggalkan keluarga yang kini sudah hancur.

Bisa dibilang Jeffry salah sasaran.

“Tapi, Ann ....” Ucap Pak Josh tiba-tiba, “Kalo kamu mimpiin psikopat itu, kamu pasti tahu pawakan psikopat itu kan?”

Skak mat kamu Ann. Kamu harus jawab apa?

“Kamu bisa kasih tahu ayah siapa psikopat itu? Biar ayah bisa langsung tangkap bedebah gila itu, Ann.”

Anne menggigit bibir bawahnya. Apa yang harus ia lakukan? Jujur wanita itu kini amat sangat bingung. Apakah Anne jujur saja pada sang ayah kalau suaminya lah psikopat yang udah membunuh rekan-rekannya selama ini, sehingga beliau bisa tangkap Jeffry dan semua akan berakhir? Tapi bagaimana dengan nasib keluarga kecilnya? Anne tidak mau akhir dari mimpi buruknya benar-benar menjadi kenyataan. Bayangan detik-detik Jeffry yang akan dihukum mati. Saat lelaki itu jujur soal perasaannya untuk yang terakhir kalinya, langsung berputar mengelilingi otaknya.

Kalau boleh memilih, lebih baik Anne pergi dari cafe tersebut dan menabrakkan diri ke mobil yang sedang melintas, dari pada ia harus berada disituasi seperti ini.

Pertemuan.

“Tepatnya pukul 9 malam, seorang mayat ditemukan dalam kondisi tanpa kepala. Lagi-lagi seorang polisi yang tengah berjaga pada malam harilah yang menjadi korban kali ini. Polisi masih berusaha untuk menemukan jejak pelaku yang sampai saat ini belum ditemukan keberadaannya—”

PIIIPPP ....

Anne langsung mematikan radio mobilnya saat suara radio tersebut mulai menyiarkan berita soal kasus pembunuhan yang tidak lain dilakukan oleh Jeffry, suaminya.

Pagi yang sangat berantakan. Dibuka dengan sarapan pagi yang hening dan sunyi. Tidak ada perbincangan seperti biasanya, semuanya bungkam layaknya masing-masing bibir mereka sudah terjahit rapat-rapat. Hanya Luna yang mengoceh pagi itu. Mengoceh tentang mimpi indahnya semalam. Luna yang tiba-tiba menjadi putri kerajaan, lalu ada seorang pangeran tampan yang selalu mendampinginya. Yaa .... Walaupun tatapan Anne kosong waktu itu, setidaknya ia masih bisa meresapi apa yang putrinya itu katakan.

Sejak kejadian semalam, membuat hubungan Anne dan Jeffry mulai merasa canggung. Ini bukan hanya firasat Anne saja. Terlihat jelas dari sikap mereka pagi ini yang enggan membuka pembicaraan. Kalau kemarin Anne dan Jeffry masih bersikap hangat layaknya suami-istri yang saling mencintai. Tapi kini berbanding terbalik. Seolah mereka hanyalah sepasang suami-istri yang tidak memiliki rasa, namun dipaksa untuk menikah atas dasar perjodohan.

Bahkan semalam, Jeffry tidak tidur disamping Anne.

Ditengah dirinya yang sedang menyetir mobil, Anne berpikir keras. Apakah tindakannya kali ini sudah benar? Apakah dengan memilih untuk bungkam semua akan baik-baik saja? Atau justru sebaliknya? Kalau nanti ketahuan, apakah Jeffry akan pergi? Dan otomatis keluarganya akan hancur?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu sontak memenuhi otak Anne saat ini. Sampai rasanya kepalanya mau meledak saking banyaknya pikiran dan beban yang Anne tanggung demi keluarga kecilnya. Jeffry dan Luna, keduanya sangat berarti bagi Anne. Persetan dengan identitas suaminya yang transgender. Anne tidak peduli. Meskipun dicap menyukai sesama jenis pun, Anne akan tetap mencintai Jeffry sebagai Jeffry. Bukan sebagai Steff.

Sebegitu besarnya rasa cinta Anne pada Jeffry. Sampai maut datang pun, Anne tidak akan menyesal pernah mencintai lelaki yang bisa membuat hidupnya bahagia dan nyaman. Tapi pedihnya, kini kebahagiaan itu perlahan menghilang dari diri wanita pemilik nama asli Elaine Khalida. Dan yang melenyapkan kebahagiaan itu justru suami tercintanya sendiri.

BRUAAAKKKK!!!

Mobil Anne tidak sengaja menabrak motor yang tengah menyebrang didepannya. Membuat motor tersebut terseret sepanjang 1 meter.

“Ya Tuhan ....” Anne mengusap wajahnya untuk menyadarkan dirinya dari lamunan. Anne merutuki dirinya sendiri karena sudah membuat paginya semakin berantakan.

Tanpa basa-basi, Anne langsung meminggirkan mobil putihnya lalu turun dan menghampiri orang yang baru saja ia tabrak tadi.

“Mas ... Mas nggak papa?” Tanya Anne khawatir.

Nampak sosok lelaki tinggi dengan jaket denimnya yang sedang berusaha membangunkan motornya.

“Nggak papa kok bu. Cuma keseleo aja kaki saya.” Ucap lelaki itu dengan nada enteng.

“Haduuhhh mas saya minta maaf ya. Tadi saya nggak lihat kalo mas mau nyeberang. Saya anter ke rumah sakit ya?” Tanya Anne dengan perasaan bersalah memenuhi hatinya saat ini.

“Nggak usah bu. Ibu ini mau berangkat kerja kan? Nanti kalo ibu nganter saya ke rumah sakit, ibu jadi telat meetingnya.” Tutur lelaki yang sampai sekarang identitasnya belum diketahui.

Anne seketika mengernyitkan dahinya, “Kok mas tahu kalo saya abis ini ada meeting?”

Lelaki tersebut justru tertawa pelan, “Cuma nebak aja kok bu.”

Anne menghela napas panjangnya. Baru kali ini ia ketemu orang yang ditabrak tapi orangnya tidak marah atau memaki dirinya. “Tapi saya nggak bisa ninggalin mas tanpa kasih imbalan apa-apa. Disini saya yang salah. Saya harus tanggung jawab atas kesalahan saya mas.”

Lelaki itu nampak berpikir sejenak. Terik matahari yang mulai membakar kulit, membuat Anne kehabisan kesabaran hanya menunggu jawaban dari lelaki yang tidak ia kenal ini. Oh ayolah, jangan membuat Anne ingin menjemput bulan yang tengah tertidur. Anne sangat ingin cepat-cepat menyambut malam, sehingga ia bisa tidur dan melupakan hari yang sangat tidak mengenakkan ini.

“Yaudah gini aja bu. Ibu kasih saya uang buat beli bensin aja. Kebetulan bensin saya tinggal dikit.” Pada akhirnya lelaki yang masih mengenakan helm full face itu bersuara.

“Ok kalo itu mau mas. Tapi saya nggak punya cash. Jadi nanti saya suruh sekretaris saya buat transfer ke rekening mas ya.” Kata Anne yang mengiyakan permintaan lelaki tersebut tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin segera pergi dari sini, karena 15 menit lagi meeting paginya akan dilaksanakan.

“Bisa diatur bu.”

“Saya boleh minta nomor rekening sama nomor handphone mas.”

Lelaki itu hanya menurut. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menyebutkan beberapa nomor yang diminta oleh Anne tadi.

“Ok udah saya simpan ya mas. Oh ya, mas namanya siapa?” Tanya Anne untuk memastikan.

Lelaki tersebut kemudian melepaskan helmnya. Saat helm full face itu terlepas, kini Anne bisa melihat secara jelas wajah lelaki yang ditabraknya tadi. Persis seperti wajah seorang pangeran diceritakan oleh putrinya. Tampan. Dengan alis yang tebal dan tajam, wajah yang kecil, serta dagu yang sedikit runcing. Definisi dari wajah tampan yang sempurna.

“Tio ... Nama saya Tio.” Ujar lelaki bernama lengkap Prasetyo Hariska itu dengan senyuman yang merekah dibibirnya.

—To Be Continued—
jaemtigabelas

Mememilih Bungkam.

Derasnya hujan membasahi sudut kota. Seluruh jalanan malam menjadi basah akibat rintikan air hujan yang sangat deras. Suara petir yang menggelegar, membuat suasana malam tersebut semakin mencengkam.

Jeffry baru saja turun dari mobil merahnya yang terparkir di halaman rumah. Berlari pelan menuju depan rumahnya lalu membuka pintu. Lelaki jangkung itu kemudian melepaskan sepatu kerjanya. Sambil melangkah masuk, ia membuka tudung jas hujan yang dipakainya. Tak mempedulikan bau anyir darah yang menempel di jas hujan plastik itu. Toh tidak ada yang bakal menciumnya selain dirinya sendiri. Entah, Jeffry semakin terobsesi dengan aktivitas malamnya ini.

Sampai ia tidak sadar. Bahwa saat ini, ada sosok yang sedang menunggunya di ruang tamu.

Jeffry lalu menyalakan lampu ruang tamu. Ia nampak sangat terkejut saat mendapati Anne tengah duduk tegak di sofa sambil menyilangkan kedua tangannya. Sorot matanya sangat menyeramkan. Berbeda dengan Anne seperti biasanya. Seperti ada sosok iblis yang sedang merasukinya saat ini.

“Udah pulang?” Tanya Anne memecahkan keheningan. Meskipun nada Anne terdengar biasa, tapi Jeffry bisa merasakan bahwa istrinya itu memang sengaja menunggunya pulang untuk menuntut sebuah penjelasan.

“Kenapa nggak tidur?” Bukannya menjawab, Jeffry melemparkan pertanyaan kepada Anne.

“Kamu pasti berpikir kalau aku sekarang lagi tidur nyenyak di atas kasur kan? Terus nggak tahu menahu soal kamu yang pulang dengan aroma darah yang nempel di jas hujan warna biru yang kamu pakai itu.” Anne menatap ajam Jeffry yang berdiri kaku di hadapannya, “Jas hujan yang dipakai pelaku buat membunuh Tante Airin waktu itu.”

“Kamu masih belum jawab pertanyaan aku, Ann. Kenapa kamu bisa nggak tidur?”

Anne kemudian menyandarkan punggungnya pada sofa, “Karena memang aku nggak minum susu buatan kamu, Jeff.”

“Aku lihat jelas tadi kamu minum susu buatan aku. Kamu minum sampai habis ya, Ann.” Jeffry memicingkan kedua matanya. Seolah baru mengerti niat licik yang sudah Anne lakukan. “Apa yang udah kamu lakukan?”

“Aku dari awal udah punya firasat nggak enak soal susu yang kamu bikin setiap malam. Dengan alasan biar aku lebih nyenyak tidurnya dan lebih relaks. Tapi bukan itu maksud kamu kan. Kamu sengaja masukin obat tidur di susu itu biar aku tidur, terus nggak gampang bangun meskipun ada bom sekalipun. Terus kamu bisa lakuin rencana bejad kamu itu dengan lancar, tanpa sepengetahuan aku. Gitu kan Jeff?”

Jeffry terkekeh pelan lalu melepaskan jas hujan yang dipakainya. Selama ini jas hujan itulah yang Jeffry gunakan setiap ingin 'berburu' mangsanya. Bersama dengan kapak yang ia sembunyikan di bagasi mobilnya. Jeffry tidak menyangka kalau secepat ini Anne menyadari soal perbuatan liciknya.

“Kalau iya emang kenapa? Kamu mau apa?” Tanya Jeffry dengan raut wajah tenang dan menantang. Kini, tidak ada Jeffry yang polos dan lembut seperti biasanya. Justru Jeffry dengan sosok iblisnya yang sangat menyeramkan. Raut wajah tanpa ampun yang biasa dimiliki oleh seorang psikopat kejam.

Anne nampak frustasi mendengar pertanyaan Jeffry barusan, Hatinya langsung hancur berkeping-keping. Pertanyaan suaminya seolah mengiyakan pikiran negatifnya yang selama ini menghantuinya. Awalnya Anne sangat berharap bahwa mimpi buruknya itu hanyalah mimpi yang lewat begitu saja. Tapi ternyata, mimpi buruk itu justru membuat Anne harus menelan kenyataan pahit yang amat sangat pahit. Mimpi buruk yang mengantarnya ke dalam lingkaran hitam dan tidak akan bisa keluar begitu saja. Apa yang harus Anne lakukan setelah ini?

“Kalau begitu ....” Mata Anne mulai berkaca-kaca, “Benar kamu yang membunuh mereka? Termasuk kedua orang tua kamu sendiri?”

Jeffry awalnya diam dan tidak bereaksi apa-apa. Namun detik selanjutnya ia mengangguk pelan. Mengiyakan pertanyaan dari wanita yang kini duduk di hadapannya.

Karena perasaannya yang tiba-tiba gugup, Anne lalu menggigit jarinya untuk menghilangkan rasa gugup yang datang menghampirinya. “Aku tadi siang menemukan sesuatu di meja kerja kamu.”

Mendengar itu, Jeffry nampak sangat marah. Ia mengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit-langit rumahnya sambil berkecak pinggang. “Aku kan udah bilang berkali-kali, Jangan sentuh meja kerja aku sejentik saja. Tapi kenapa kamu tetap langgar hah?” Suara Jeffry mulai meninggi. Kini ia tidak kuasa menahan amarahnya lagi. Jeffry terlihat sangat marah pada Anne yang lancang mengutak-atik meja kerjanya.

“Apa yang kamu temukan?” Tanya Jeffry kemudian.

“Surat pernyataan operasi kelamin kamu. Kalau kamu adalah Steffi Gabriella. Bukan Jeffry Nathanael.” Jawan Anne enteng. Seolah ia tidak lagi terkejut dengan fakta tersebut.

Dengan dibalut amarah yang memuncak, jeffry langsung berjalan mendekat dan langsung mencengkeram rahang Anne dengan kuat, “Lancang sekali kamu buka-buka laci meja kerja aku hah?”

Anne langsung menepis tangan kekar Jeffry dari rahangnya tanpa kenal takut. Wanita itu lalu berdiri sejajar dengan suami yang selama ini ia idam-idamkan itu. Menatapnya dengan sorot mata tak kalah tajamnya dari Jeffry. Anne juga sangat marah saat ini. Keduanya saling memendam amarah satu sama lain. “Emang kenapa kalau aku lancang? Aku ini istri kamu, Jeff. Aku berhak buat masuk ke ruangan kerja suami aku. Aku berhak tahu semua rahasia yang suami aku pendam selama ini. Dan aku berhak buat marah sekarang.”

“Emang kamu pikir aku nggak tersiksa, hah?” Anne mulai memukul dadanya yang terasa sangat sesak itu, “Aku tersiksa, Jeff. Berkali-kali aku berusaha buat singkirin pikiran negatif soal kamu. Berkali-kali aku coba buat anggap mimpi buruk aku itu cuma sekedar mimpi. Tapi justru aku makin kesiksa batin cuma gara-gara mikirin kamu, Jeffry.”

“Terus sekarang kalau udah begini aku harus ngapain, Jeff?” Anne mulai terisak, “Hati aku hancur banget lihat kamu pulang dalam keadaan gini. Habis bunuh orang yang nggak ada salah sama kita.”

“Sekarang aku bingung, Jeff. Kamu tahu, di mimpi buruk aku kamu bakal dihukum mati.” Lanjut Anne dengan nada frustasinya.

“Aku tahu.” Jawaban tiba-tiba Jeffry, membuat Anne bungkam. “Aku tahu akhir hidup bakal seperti apa, Ann. Dihukum mati? Jelas. Tapi aku nggak mau mati dengan sia-sia sampai ayah kamu benar-benar ngaku kalau dia juga ada sangkut pautnya dengan masa lalu aku.”

“Terus kamu nggak ada sedikitpun mikirin perasaan aku? Perasaan anak kamu yang bakal kehilangan ayah yang udah dia anggap sebagai super hero, sebagai cinta pertamanya. Kamu nggak mikirin itu, Jeff?”

“Apa yang kamu harapin dari perempuan yang penuh dendam ini, Ann?” Suara Jeffry meninggi. “Aku ini perempuan. Aku ini Steff seperti apa yang kamu bilang tadi. Bukan Jeffry. Dan aku nggak bisa suka sama sesama jenis. Bahkan lawan jenis pun aku nggak tertarik. Hati aku udah mati. Alasan aku masih hidup sampai sekarang cuma rasa dendam yang harus aku luapksan pada seseorang. Orang itu adalah ayah kamu. Ngerti kamu?”

Ponsel Anne tiba-tiba berdering. Menampakkan nama kontak sang ayah pada layar ponselnya.

“Dan pada akhirnya kamu mau ungkapin semuanya ke ayah kamu?” Jeffry tertawa pelan seketika. “Ungkapin kalau itu mau kamu. Aku juga udah muak kalau harus terus-terusan sembunyi dibalik topeng polos ku selama ini.” Jeffry mendekatkan wajahnya sedikit dan berbisik. “Tapi kamu harus terima konsekuensinya sayang. Nyawa kalian berdua, bakal aku lenyapkan setelah ini.”

“Pergi ke kamar mandi sekarang.” Ungkap Anne tak derduga.

Jeffry memandang Anne dengan tatapan bingung. Kenapa tiba-tiba ....

“Aku bilang pergi ke kamar mandi sekarang. Bersihin tubuh kamu, jangan sampai ada jejak yang nempel di tubuh kamu. Biar aku yang beresin sisanya.”

“Ann ....”

“MANDI SEKARANG JEFF!!! SEBELUM AYAH AKU DATANG KESINI BUAT TANGKAP KAMU!!!”

Jeffry yang awalnya bingung dengan kelakuan aneh Anne, pada akhirnya ia hanya menurut. Jeffry melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sepeninggalan Jeffry, Anne langsung terduduk lemas. Ia menjambak rambutnya frustasi. Menundukkan kepalanya yangs sangat berat dan pening. Dan pada akhirnya, Anne memilih untuk menyembunyikan kejahatan yang sudah Jeffry lakukan selama ini. Menyembunyikannya seolah tidak terjadi apa-apa. Anne tahu kalau tindakannya ini salah. Tapi disisi lain, dirinya tidak ingin kehilangan keluarganya. Keluarga yang susah payah ia bangun selama bertahun-tahun, tidak akan hancur kalau Anne bisa merahasiakan ini semua dengan baik bukan?

Ya, Anne hanya harus merahasiakan semuanya dari semua orang. Termasuk ayahnya sendiri. Meskipun Dihadang dengan kematian, apapun itu akan Anne lakukan. Asal keluarganya bisa tetap utuh dan tidak hancur begitu saja.

—To Be Continued—
jaemtigabelas

Dreams Come True.

Dua tahun kemudian.

“Selamat siang semuanya. Terima kasih yang sudah berkenan untuk menghadiri acara meet and greet bersama penulis buku 'Love but Psycho' ini. Tenang saja, bagi kalian yang sudah menghadiri acara ini akan mendapatkan tanda tangan gratis, lansung dari penulisnya sendiri. Pada senang kan? Kapan lagi coba ketemu dan dapat tanda tangan langsung dari penulis 'Love but Psycho' yang ceritanya sudah dibaca hampir 10 juta kali di wattpad? Ok ... daripada kita menunggu terlalu lama lagi, mari kita panggil penulis buku kita ... Elaine Khalida.”

Suara tepuk tangan para pengunjung seketika bergemuruh memenuhi aula. Anne yang sedari tadi hanya berdiri di belakang panggung pun langsung berjalan menaiki kotak persegi berukuran kecil yang sudah disediakan sebelumnya. Senyumannya masih mengembang tipis, walau keringat dingin sudah mengalir ke seluruh tubuhnya saat ini.

“Waaahh ... cantik sekali kakaknya ya ternyata.” Puji sang audience diiringi dengan senyum manisnya. “Ok baik ka Anne. Gimana nih perasaannya setelah mendengar kabar kalau cerita kaka yang berjudul 'Love but Psycho' ini sudah menembus hampir 10 juta pembaca?”

Anne mengarahkan microphone yang ia genggam ke depan bibirnya. “Yang jelas saya sangat senang dan bersyukur. Dari awal saya tidak pernah berekspektasi kalau cerita saya disukai oleh banyak orang. Jadi mendengar kabar baik tersebut ... Saya masih tidak menyangka.” Anne pun tertawa.

“Sebelumnya aku mau nanya nih. Ka Anne kan dulu pernah berprofesi sebagai CEO fashion baju terkenal se Jakarta. Apa alasan Ka Anne tiba-tiba pensiun dari profesi tersebut dan berpindah menjadi penulis?”

Anne berpikir sejenak sebelum kembali mendekatkan microphone nya ke bibir, “Sebenarnya saya tidak mempunyai alasan yang spesifik. Saya hanya ingin mencurahkan apa yang ada diotak saja. Tapi entah kenapa, lama-lama saya jadi ketagihan buat nulis lagi dan nulis lagi. Ini semacam tantangan buat saya. Mulai dari mikir alur ceritanya, sifat dari masing-masing karakter yang ada cerita tersebut. Apalagi ini genrenya tentang thriller dan misteri. Jadi ya, ini menjadi tantangan buat saya dan saya suka menulis.”

Audience itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya perlahan tanda mengerti dengan penjelasan panjang lebar dari Anne. Audience itu berjenis kelamin laki-laki. Nampaknya lelaki tersebut sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Anne. Sedari tadi bibir lelaki tersebut menyunggingkan sebuah senyuman yang lebar dan manis. Dan tak lupa kedua netra itu belum juga bisa lepas menikmati paras cantik pada wajah wanita yang sedang duduk didepannya itu.

Siapa yang tidak jatuh hati pada sosok wanita bernama lengkap Elaine Khalida ini. Wanita sempurna dengan watak yang lembut dan sopan. Sebenarnya banyak lelaki bujangan diluar sana yang mengantri untuk mendapatkan perhatian dari wanita yang sudah lama memegang status janda itu. Akan tetapi, sampai sekarang Anne belum bisa menghapus bayangan Jeffry-mantan suaminya yang sudah tiada dua tahun yang lalu- dari kedua matanya.

Anne akui, melupakan Jeffry adalah ketidak sanggupan yang nyata. Walau diterjang oleh ombak besar pun, sosok mantan suaminya itu tidak pernah sirna dari pikirannya. Seolah terbelenggu di dalam relung hati Anne yang paling dalam. Ini lah alasan mengapa Anne masih setia dengan status jandanya sampai sekarang.

“Ka, mau nanya dong!” Tanya seorang pengunjung di ujung sana sambil mengangkat tangan kanannya ke udara.

“Iya silahkan mau nanya apa?”

“Katanya ini cerita based on true story dari kakanya sendiri. Apa benar ka kalau pelaku pembunuhan berantai yang sudah tertangkap dan dihukum mati dua tahun yang lalu itu suami kaka?”

Suasana tiba-tiba hening. Seluruh penjuru kini terfokus pada Anne. Raut wajah pengunjung yang awalnya senang dan gembira karena akhirnya bisa bertemu penulis favorit mereka, kini berubah menjadi raut wajah yang diam tidak menyangka. Sorot mata menjijikan itu, semuanya tertuju pada Anne saat ini.

Anne mulai gugup dan takut. Ia tahu bahwa hal ini pasti akan terjadi. Ketika seseorang menanyai identitas suaminya yang sudah Anne sembunyikan dengan rapih. Maka dari itu, Anne memberanikan diri untuk menjawab dengan hati yang lapang.

“Iya. Dia suami saya.”

Alangkah terkejutnya semua orang yang ada di aula tersebut. Bukan hanya yang menghadiri acara meet and greet tersebut. Beberapa staff dan audience itu juga sama terkejutnya mendengar pengakuan dari Anne.

“Saya tidak membenarkan perbuatan suami saya yang sudah membunuh banyak nyawa di muka bumi ini. Saya akui memang suami saya pendosa. Saya terima jika harus melihat suami saya dieksekusi mati didepan mata kepala saya sendiri. Saya terima itu. Itu adalah balasan yang pantas suami saya dapatkan atas perbuatan kejinya di masa lalu. Tapi ....” Bulir air mata Anne mulai jatuh ke permukaan. Suaranya bergetar lirih. “Se dosa apapun dia dan se keji apapun perbuatannya. Dia tetap suami saya. Ayah dari anak saya. Dan kepala keluarga dari keluarga kecil saya. Terlepas dari dia yang sudah membunuh banyak orang ... Dia adalah suami yang baik buat saya. Suami yang sempurna, dan ayah yang bertanggung jawab untuk anak saya.”

Anne kemudian beranjak dari duduknya. Berdiri tegak didepan seluruh pengunjung yang saat ini sedang menatapnya dengan sorot mata yang penuh kebencian.

“Maka dari itu. Teruntuk semua keluarga yang merasa kehilangan ....” Anne semakin gugup, namun dirinya mencoba untuk terlihat kuat dan tegar. “Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas dosa yang suami saya perbuat di masa lalu. Saya tahu kalau permohonan maaf saya ini tidak sebanding dengan nyawa para korban. Tapi, suami saya sudah menerima balasannya. Tuhan sudah memberinya karma yang pantas untuk dia dapatkan. Saya mohon, ampunilah dia. Maafkan semua kesalahannya. Saya tidak ingin dia disiksa lebih sakit lagi karena dosa yang belum termaafkan oleh kalian. Sekali lagi, saya minta maaf.”

Anne kemudian membungkuk 180 derajat di depan semua pengunjung yang menghadiri acara tersebut.


“Halo. ayah udah sampai?” Anne mengangkat telepon dari sang ayah tercintanya sambil berjalan keluar dari museum.

“Sebentar lagi ayah sampai. Tunggu disana ya. Jangan kemana-mana. Ayah lagi bawa Luna jadi nggak bisa ngebut.”

Anne tersenyum tipis. “Yaudah. Hati-hati yah. Anne tunggu di lobby ya.”

Piippp. Sambungan terputus.

Sungguh lucu ketika melihat sang ayah masih memperlakukan Anne seperti anak kecil. Semenjak kejadian Anne disekap oleh Jeffry sampai sekarang, Pak Josh jauh lebih perhatian dan overprotektif terhadap putri semata wayangnya itu. Iya Anne tahu ini adalah wujud rasa sayang seorang ayah kepada anaknya karena tidak ingin anaknya kenapa-napa. Tapi Anne merasa bahwa ayahnya itu terlalu berlebihan.

Seperti tadi pagi. Anne harus bercekcok mulut dulu sebelum datang ke museum ini hanya karena Pak Josh yang memaksa untuk mengantar jemput Anne kemana pun wanita itu pergi. Padahal Anne sudah bilang berkali-kali kalau dirinya bisa pergi sendiri. Toh museumnya juga dekat dari rumah.

Tapi ya namanya juga Pak Josh. Keras kepalanya selalu membuat Anne hanya bisa bernapas pasrah.

Wanita dengan dress bermotif bunga selutut serta cardigan warna cokelat itu senantiasa berdiri di lobby utama museum. Seperti anak SD yang menunggu jemputan sepulang sekolah. Lalu detik selanjutnya ada dua orang perempuan yang berdiri tidak jauh darinya. Mulanya memang biasa saja. Akan tetapi, bisikan yang terdengar dari mulut kedua perempuan itu membuat Anne ingin segera pergi dari tempatnya berada.

“Lihat noh istri psikopat. Sok suci banget. Najis.”

“Sok-sok an minta maaf sambil nangis lagi. Gue yakin dia mah akting doang.”

“Ya gue do'ain aja deh. Semoga hidupnya nggak tenang selamanya. Masa suaminya jelas-jelas pembunuh dibela. Gila emang.”

Mendengar kalimat demi kalimat sarkas itu, Anne hanya bisa memejamkan kedua matanya seraya menghela napas panjang. Membiarkan hembusan angin sepoi-sepoi itu menghapus semua kalimat menyakitkan yang ia dengar barusan. Tidak apa-apa, Anne merasa bahwa dirinya memang pantas mendapatkan ini. Wanita itu mencoba untuk tetap tegar disaat bumi sedang tidak bersahabat dengannya.

Secepat itu kah? Bahkan baru lima belas menit dirinya merasa sangat senang bisa bertemu dengan para pembacanya setelah hanya bertemu via komentar di wattpad. Roda akan terus berputar karena roda itu bulat. Bumi juga bulat. Mungkin bumi sedang berputar sangat cepat saat ini. Dari Anne yang dibuat terbang ke langit ke tujuh. Lalu lima belas menit kemudian ia langsung jatuh sejatuh jatuhnya ke dalam jurang yang dalam. Sakit, tapi Anne dituntut untuk menjadi wanita yang kuat.

Tiinnn ... Tiiinnn ....

Anne menegakkan kepalanya. Ia sedikit terkejut saat mobil sang ayah sudah terparkir didepannya. Di dalam mobil, terlihat Pak Josh yang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arah Anne. Dengan memakai kacamata hitam favoritnya itu. Anne kemudian terkekeh pelan. Setidaknya, masih ada satu orang yang sangat menyayanginya saat ini. Yaitu ayah kandungnya sendiri.


“Akhirnya udah sampai.” Ujar Pak Josh setelah memarkirkan mobilnya ke garasi apartemen Anne.

“Makasih yah. Mulai besok jangan antar jemput Anne lagi ya.”

“Husshhh ... Nggak usah ngomong aneh-aneh. Ayah tetap mau antar jemput kamu titik.” Jawab Pak Josh dengan penuh penekanan.

“Dad ... Udah dua tahun semenjak Jeffry nggak ada. Ini udah cukup buat Anne. Anne bisa sendiri ayah. Anne nggak papa kok.” Anne mencoba untuk meyakini sang ayah.

“Yaudah. Tapi kalau ada apa-apa langsung bilang ayah loh ya.”

Anne menganggukkan kepalanya angkuh. Lalu ia mengecek kursi belakang mobil. Terlihat Luna dengan masih memakai seragamnya sekolahnya sedang tertidur sangat pulas di kursi belakang.

“Ann ....” Panggil Pak Josh. Kali ini nada bicaranya mulai serius.

“Hmmm?” Sahut Anne kemudian.

“Kapan kamu mau jujur ke Luna?”

“Soal apa yah?”

“Kalau dia bukan anak kandung kamu.”

Anne tercekat. Mengapa ayahnya itu tiba-tiba bertanya hal yang membuat hatinya kembali bimbang. Wanita itu menggigit bibirnya ragu.

“Secepatnya, yah.”

“Mau nggak mau kamu harus bilang ke Luna dari awal, Ann. Jangan tunggu anak ini udah gede dulu baru kamu bilang jujur. Mumpung dia masih kecil. Dia pasti terima kejujuran kamu.”

“Iya ayah. Anne bakal jujur ke Luna. Tapi nggak sekarang. Anne belum siap.”

Pak Josh mengusap wajahnya pelan. Terlalu pusing untuk mengurusi kehidupan putrinya yang ternyata sangat rumit ini. Mulai dari suaminya yang psikopat, ditembak mati, sampai Luna yang ternyata bukan anak kandung Anne. Pak Josh seketika merasa gagal menjadi seorang ayah.

“Tapi gimana bisa kamu selama ini bohongin ayah sama Jeffry soal Luna, Ann? Ayah masih nggak ngerti. Kehamilan kamu yang palsu. Sama persalinan yang direncanakan. Kamu kenapa bisa sampai bertindak sejauh itu hah?” Pak Josh terlihat kesal melihat Anne yang memilih untuk membohinginya selama ini.

“Hnggggghhh ....” Luna menggeliat pelan dengan alis yang berkerut. Hampir saja Luna terbangun karena suara Pak Josh yang lumayan keras tadi.

“Ayah, jangan berisik. Nanti kalau Luna bangun gimana?”

Pak Josh lalu terdiam. Menunggu sampai Anne mau menceritakan semua tentang rahasia yang sudah wanita itu sembunyikan.

“Ok. Anne jelasin sekarang.” Anne lalu menghembuskan napasnya panjang. Mungkin saat ayahnya mendengar penjelasan ini, beliau tidak mau menganggap Anne sebagai anak lagi.

“Ayah ingat nggak, dulu Anne sempat nggak bisa hamil selama setahun lebih?”

“Iya, ingat.” Jawab Pak Josh singkat.

“Dan ayah pasti tahu betapa frustsinya Anne setiap lihat testpack yang selalu nunjukin satu garis doang.” Wanita itu berdecih pelan. “Anne nggak tahu lagi harus gimana biar bisa hamil. Segala cara udah Anne lakuin, yah. Mulai dari minum herbal yang katanya bisa bikin hamil cepat, sampai ikut sistem bayi tabung. Tapi hasilnya tetap nihil.”

Pak Josh masih setia mendengarkan. Namun raut wajahnya sedikit berbeda seperti tadi. Kini Pak Josh nampak tidak tega mendengar cerita putrinya lebih lanjut. Ingatan yang begitu menyakitkan ketika melihat Anne yang selalu berteriak tidak jelas, menangis sendirian karena saking frustasinya tidak bisa mempunyai anak. Dan tanpa sadar luka lama yang sudah Anne pendam dan hilangkan sejak dulu kembali muncul. Tapi mau tidak mau, Anne harus berkata jujur sekarang. Soal rahasia terbesarnya yang tidak semua orang tahu selama ini.

“Anne hampir gila yah. Anne selalu berpikir, apa yang salah didiri Anne? Apa karena Anne mandul? Atau apa? Anne selalu salahin diri Anne sendiri, yah. Sampai mau gila rasanya. Nggak ada pikiran sama sekali kalau kesalahan itu mungkin ada di Jeffry. Nggak ada, yah.” Jelas Anne dengan sedikit berlinang air mata. Bibirnya bergetar, dan wajahnya mulai memerah. Emosi dan kesedihan seolah tercampur disana.

“Ayah tahu kan kalau Anne amat sangat mencintai Jeffry? Jadi segala cara Anne lakuin biar Jeffry bahagia dan merasa beruntung memiliki Anne, yah. Anne nggak mau kehilangan Jeffry hanya karena Anne nggak bisa punya anak. Memang Jeffry nggak pernah nuntut Anne buat punya anak cepat-cepat. Tapi sebagai seorang istri, yah. Anne nggak mau kecewain suami Anne sendiri. Maka dari itu, Anne putusin buat memalsukan kehamilan Anne sendiri.”

“Waktu itu kebetulan Jeffry lagi menempuh S2 nya di Eropa. Jadi sebelum kita berdua melakukan video call, Anne selalu memasang sesuatu yang bisa bikin perut Anne kelihatan besar, yah. Biar Jeffry percaya kalau Anne hamil. Setelah itu, hampa sudah. Nggak ada janin di dalam perut Anne. Melainkan bantal atau guling yang sering Anne pakai buat mengelabui Jeffry. Dan untungnya Jeffry percaya waktu itu.”

Wanita rapuh itu menundukkan kepalanya sejenak. Begitu berat beban yang sedang ia tanggung sendirian. Tidak ada yang bisa Anne curahkan isi hatinya. Anne terlalu takut jika semua orang malah menyalahkan dirinya soal rencana gila yang sudah Anne mantapkan sejak dulu. Anne tidak ingin ada yang menghalangi rencananya.

“Terus waktu persalinan terjadi. Sebulan sebelum Anne dinyatakan bisa melahirkan, Anne sudah menyewa dokter buat membantu Anne dalam persalinan, yah. Dengan bejadnya Anne menyuruh dokter itu buat cari gadis yang miskin, gila uang, atau yang hamil di luar nikah buat di jual anaknya.”

“Apa? Jadi waktu ayah nemenin kamu persalinan itu ....”

“Ya ....” Anne menggantungkan kalimatnya, “Suara teriakan kesakitan itu bukan suara Anne, yah. Tapi suara ibu kandungnya Luna.”

“Ya ampun Anne.” Pak Josh menatap Anne tidak menyangka. Bisa-bisanya Anne membodohi dan membohongi ayah kandungnya sendiri. Pak Josh sangat kecewa mendengar pernyataan itu.

Anne memejamkan kedua matanya, dan seketika buliran air matanya jatuh, menciptakan jejak garis bening memenuhi pipi Anne saat ini. Jujur, sakit jika harus melanjutkan cerita ini. Seperti ditusuk pedang berkali kali sakitnya. Tapi, Anne masih tetap ingin mengungkapkan seluruh isi hati dan pikirannya. Biar semuanya jelas.

“Gadis itu mantan pelacur. Dia lebih muda dari Anne. Belum menikah dan keterbatasan ekonomi. Makanya dia rela menjual anaknya hanya demi uang 500 juta yang Anne kasih. Anne awalnya tidak tahu dimana keberadaan gadis itu. Tapi kemarin, Anne dapat kabar kalau gadis itu mati karena penyakit HIV/AIDS yang dideritanya selama bertahun-tahun.”

Anne tersenyum gusar, “Dan untung saja, Jeffry waktu itu datangnya telat. Jadi waktu Luna sudah lahir dan dibawa ke ruang bayi untuk dirawat, Jeffry baru datang ke rumah sakit. Anne sengaja nggak kasih tahu Jeffry kapan Anne bisa melakukan persalinan. Biar Jeffry nggak berencana buat datang jauh hari sebelum ibu kandung Luna melahirkan yah. Kalau itu beneran terjadi, rencana Anne otomatis gagal total.”

“Semenjak itu. Semua berjalan normal. Luna, Anne anggap sebagai anak kandung Anne sendiri, yah. Luna adalah darah daging Anne. Anne nggak mau kehilangan Jeffry dan Luna. Mereka berdua sangat berarti buat Anne. Maka dari itu, Anne memutuskan buat menjalani kehidupan penuh kepalsuan ini. Dari pada harus kehilangan dua orang yang paling Anne cintai.”

Tidak ada yang bisa Pak Josh lakukan selain bernapas pasrah sambil menumpukan kepalanya pada setir mobil. Anne tahu, pasti sekarang ayahnya sangat kecewa padanya. Hal yang sangat ditakuti Anne mungkin saja terjadi setelah ini. Ayahnya tidak ingin menganggapnya sebagai anak lagi, dan selalu menatap Anne dengan raut wajah penuh kecewa dan menjijikkan.

Ya, Anne merasa bahwa dirinya adalah wanita paling menjijikkan di dunia.

“Maaf, ayah.” Tangisan Anne pecah. Namun wanita itu tetap berusaha menangis tanpa suara agar Luna tidak terbangun dari tidurnya. Dadanya sangat sesak. Ingin rasanya ia berteriak sekencang mungkin. Melepaskan hasrat dan beban yang sudah Anne pendam selama bertahun-tahun. Tapi apa daya, ia masih berada di dalam mobil kecil yang berisikan tiga orang disini. Anne tidak bisa melakukan itu.

“Yaudah nggak papa. Ayah maafin. Sekarang kamu bangun ya, nak.”

Anne menghentikan tangisannya dan menatap ayahnya bingung. “Bangun? Dad, what are you talking about?”

“Kamu udah berjuang sejauh ini, Ann. Kamu pasti capek kan kalau harus menanggung beban ini sendirian. Makanya, kamu sekarang bangun ya.”

“Yah ... Aku udah bangun, aku nggak tidur. Tapi kenapa ayah— Akhhhh.”

NGGUUNNGGGG Tiba-tiba Anne merasa kepalanya sangat pusing tujuh keliling. Telinganya berdengung seketika. Saking kerasnya dengungan itu sampai membuat gendang telinganya mau pecah. Astaga, apa yang baru saja terjadi? Dengungan ini tidak bisa berhenti. Bahkan Pak Josh berulang kali berkata ...

“Bangun, Ann.”

“Bangun, Ann.”

“Bangun, Ann.”


Kedua mata Anne perlahan terbuka karena sinar matahari yang menembus melalui jendela mengenai kulit wajahnya. Matanya terperjap kemudian.

Dimana ini?

Anne bangun dari tidurnya. Dan seketika Anne menyadari bahwa dirinya berada di kamarnya sendiri. Tertidur pulas di atas tempat tidur yang didominasikan oleh warna biru laut itu. Anne lalu menatap ke sekililing ruangan untuk memastikan bahwa dirinya benar-benar berada di kamar sekarang.

Jadi semua itu hanya mimpi?

Jeffry yang psikopat, Jeffry yang dihukum mati. Itu semua hanya mimpi Anne belaka?

Karena penasaran, Anne segera beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju ruang tamu. Kalau benar itu hanya mimpi, Anne akan sangat bersyukur.

“Ann.”

Satu kalimat itu mampu membuat Anne langsung tertegun sepersekian detik. Suara berat dan serak khas suaminya itu barusan memanggil namanya. Anne masih belum bisa membalikkan badannya. Ia terlalu takut kalau ini hanyalah khayalannya saja.

“Udah bangun?”

Suara itu terdengar sangat nyata. Benar-benar seperti Jeffry yang sedang berbicara pada Anne saat ini. Ok, setelah memantapkan hatinya. Anne pun membalikkan badannya.

Jeffry ada disana. Suaminya yang dua tahun lalu pergi meninggalkan dunia, saat ini sedang berdiri tegak di depan mata Anne. Entah ini hanya halusinasi Anne atau bukan. Tapi yang jelas, ini terasa amat nyata.

“Akhirnya kamu bangun. Kamu tadi tidur lama—“

Belum sempat Jeffry menyelesaikan kalimatnya, Anne langsung memeluk daksa kekar itu tanpa permisi. Memeluknya dengan sangat erat. Kemudian menangis di bahu suami tercintanya itu.

“Kamu masih hidup, Jeff. Kamu masih hidup.” Anne semakin mempererat pelukannya. Seolah tidak mengizinkan Jeffry untuk bergerak barang sejengkal pun.

Jeffry yang masih nampak bingung itu berusaha melepaskan pelukan istrinya. Bukan apa-apa, hanya saja dadanya terasa sesak karena Anne memeluknya dengan sangat kencang.

“Iya aku masih hidup, Ann. Kamu kenapa kok tiba-tiba nangis hm?” Jeffry membelai pipi Anne dengan sayang.

Sambil masih sesegukan, Anne menjawab, “Aku mimpi buruk barusan.”

“Mimpi buruk?” Jeffry mengerutkan kedua alisnya. “Mimpi buruk gimana?”

“Aku mimpi kalau kamu itu psikopat. Terus ... kamu sekap aku di ruang rahasia yang ada di tempat kerja kamu. Abis itu ... kamu ditangkap polisi dan ... kamu dihukum mati.”

“Astaga.” Jeffry lalu memeluk Anne seiring tangisan Anne yang semakin kencang. “Itu kan cuma mimpi, Ann. Udah husshh jangan nangis lagi ya.”

“Tapi itu kayak nyata banget, Jeff. Aku takut kehilangan kamu.”

Jeffry hanya tersenyum tipis mendengar ocehan dari istri tercintanya itu. Tangannya kemudian terangkat, berniat untuk menghapus jejak air mata yang menyelimut kedua pipi mulus Anne.

“Aku nggak kemana-mana, Ann. I’m here. Aku masih hidup, dan kamu masih bisa lihat aku kan?”

Anne menganggukkan kepalanya perlahan sambil masih sesegukan akibat tangisannya yang tak kunjung berhenti. Dalam hati wanita itu terus mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, karena Tuhan tidak berniat untuk mengambil nyawa suaminya. Dan itu juga berarti kalau Jeffry bukanlah seorang psikopat.

Syukurlah itu hanya mimpi.

“Oh ya, mesin cuci kamu dari tadi udah berhenti. Aku tadi mau bangunin kamu, tapi nggak tega. Makanya aku biarin.”

Anne kemudian menghapus air matanya. Ia baru ingat kalau sebelum ia tertidur dan mengalami mimpi buruk yang sangat luar biasa itu. Anne sibuk membersihkan rumah bersama Jeffry dan Luna. Karena mumpung weekend, kapan lagi mereka bisa menghabiskan waktu bersama sambil membersihkan rumah mereka sendiri. Mulai dari menyapu, mengepel lantai, mencuci piring, berkebun, dan terakhir yang Anne ingat adalah kalau dirinya sedang mencuci pakaian. Tapi karena terlalu lelah untuk melakukan 4 pekerjaan rumah sekaligus dalam sehari, membuat energinya terkuras habis dan berakhir tertidur di tempat tidurnya sendiri.

Dan saat itulah, mimpi buruknya datang menghampiri.

Anne langsung menggelengkan kepalanya. Mengusir serpihan demi serpihan mimpi buruk itu dari kepalanya.

“Luna dimana sekarang?” Tanya Anne pada Jeffry.

“Dia lagi di ruang tamu. Lagi nonton kartun sama aku tadi.”

“Yaudah, kamu temenin Luna aja ya. Aku mau ngurusin cucian dulu.”

“Ok sayang.” Jeffry mencium pucuk kepala Anne supaya Anne benar-benar merasa tenang sekarang.

Dan detik selanjutnya Anne berjalan menuju ruang cucinya. Wanita itu berkacak pinggang saat melihat tumpukan cucian yang ada didepannya itu. Ternyata masih banyak baju yang harus ia cuci setelah ini.

Tanpa berbasa-basi lagi, Anne langsung membuka penutup mesin cuci tersebut lalu mengeluarkan semua baju yang sudah selesai dicuci dan menggantinya dengan beberapa baju yang kotor. Namun, saat Anne ingin memasukkan kemeja kerja Jeffry yang berwarna biru langit itu ke dalam mesin cuci. Betapa terkejutnya Anne melihat bercak darah yang menempel di kemeja tersebut.

Anne semakin mengerutkan dahinya. Ia sangat yakin ini adalah darah manusia. Tapi, darah siapa?

“Ann.”

Anne terkejut saat Jeffry memanggilnya dari ruang tamu.

“Aku udah masakin nasi goreng buat kamu. Kita makan siang dulu yuk.”

Anne tidak tahu harus berbuat apa? Ia sangat bingung sekarang. Kalau tadi hanya mimpi buruk, lalu ini apa? Kenapa ada bercak darah di kemeja Jeffry? Bercak darah tersebut sangat banyak. Hampir memenuhi bagian kiri kemeja itu.

“Ann.”

Anne langsung berdiri tegak menghadap Jeffry dan menyembunyikan kemeja Jeffry di belakang punggungnya.

“Are you okay?” Tanya Jeffry khawatir saat menatap raut wajah Anne yang sedang ketakutan.

“I’m okay.” Anne berusaha untuk terlihat seperti tidak mengetahui apa-apa.

“Are you sure?”

Saat Jeffry maju selangkah untuk memastikan keadaan Anne, wanita itu justru memilih untuk mundur. Jangan sampai Jeffry tahu tentang apa yang baru saja Anne lihat. Anne kemudian tersenyum.

“Aku nggak papa, Jeff. Kamu makan duluan aja. Nanti aku nyusul.” Anne mengusap pelan rahang Jeffry. Setidaknya, wajah curiga itu berubah menjadi wajah yang tenang.

“Yaudah. Aku tunggu dibawah ya.”

Dan detik selanjutnya, Jeffry pun menghilang dari pandangan Anne. Anne langsung bernapas lega. Hampir saja ketahuan. Anne kembali menatap kemeja itu. Menatapnya dengan teliti sambil berpikir, dari mana darah ini berasal? Apakah mimpi buruk yang datang menghampiri Anne barusan adalah kenyataan? Kenyataan kalau Jeffry seorang psikopat? Jeffry yang membunuh semua polisi tidak bersalah itu?

Anne kemudian memasukkan kemeja tersebut ke dalam mesin cuci dan langsung menyalakan mesin cuci tersebut. Tidak, ini salah. Ini pasti hanya halusinasinya saja. Anne mencoba meyakini kalau Jeffry tidak mungkin melakukan perbuatan keji itu. Semua itu hanya mimpi.

“Nggak, Ann. Jeffry buka pembunuh. Itu cuma mimpi okay?”

Berulang kali Anne mengucapkan kalimat tersebut layaknya sebuah mantra, kemudian meninggalkan mesin cuci yang masih menggiling baju dan mengeluarkan air berwarna merah darah.

—bonus chapter selesai—


note: kalo masih kurang jelas, baca lagi judulnya ya :)

bagian seratus dua puluh tujuh; akhir dari kisah seorang psikopat.

Anne duduk termenung di balik bilik yang terbuat dari kaca. Kurang lebih sudah hampir sepuluh menit Anne menunggu kedatangan seseorang.

Tak lama kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Menampakkan Jeffry, dengan seragam tahanannya, serta kedua tangan yang terborgol ke depan. Membuat hati Anne perih melihatnya.

“Hai Jeff. Apa kabar?” Anne berusaha menyapa lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu, dengan diiringi senyum yang dipaksa mengembang.

“Hai. Aku baik.” Jawab Jeffry singkat dengan suara yang berat dan serak.

“Waktu kalian hanya lima belas menit.” Ujar penjaga ruangan tersebut lalu pergi meninggalkan suami-istri itu untuk menghabiskan waktu bersama.

Anne menundukkan kepalanya. Wanita itu harus terlihat tegar walau dirinya saat ini tidak sanggup menatap wajah Jeffry. Wajah itu sudah tidak terawat lagi. Rambut yang sudah mulai gondrong. Beberapa jerawat hampir memenuhi wajah tampannya. Serta bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di daerah dagunya.

Tanpa menunggu lama lagi, Anne kemudian mengambil amplop cokelat berukuran sedang dari dalam tasnya. Kemudian ia letakkan amplop tersebut di atas meja.

Anne sedikit mengulum bibirnya, “Ini surat cerai yang kamu minta, Jeff.”

Jeffry memandangi amplop cokelat itu dengan tatapan nanar. Ia membuka amplop tersebut dan membaca surat pernyataan cerai yang harus ia tanda tangani. Dan detik selanjutnya, Jeffry menanda tangani surat itu.

Ya, mereka sudah resmi bercerai hari ini.

“Sudah aku tanda tangani.” Ucap Jeffry singkat, sambil tersenyum lirih ke arah mantan istrinya.

Anne yang tidak tahu harus berkata apa, ia mengambil kertas tersebut dan membaca satu per satu huruf yang tertulis disana. Hatinya seketika hancur. Keluarga yang ia impikan sejak dulu, keluarga yang akan selamanya hidup dengan harmonis, penuh cinta dan kasih sayang. Kini, semua impian itu harus sirna. Tidak ada lagi kebahagiaan. Melainkan kehancuran rumah tangga yang membuat Anne tidak bisa berdiri dengan tegak.

Tangisan Anne seketika pecah saat itu juga. Apakah ini benar-benar sudah berakhir? Untuk dirinya dan juga Jeffry?

“Hei. Kok nangis?” Tanya Jeffry dengan nada yang melembut. Sungguh, Anne ingin sekali memeluk daksa mantan suaminya itu dengan sangat erat, sebelum lelaki itu akan melakukan eksekusi matinya dua hari ke depan.

“Aku nggak sanggup, Jeff.” Anne mulai sesegukan. “Aku nggak sanggup hidup tanpa kamu.”

“Ann, look at me.” Jeffry menyuruh Anne untuk menatapnya untuk yang terakhir kalinya. “Kamu pantas buat hidup bahagia. Dan bahagia mu adalah tanpa aku.”

Anne menggelengkan kepalanya perlahan. Merasa bahwa ucapan Jeffry barusan adalah salah, “No. aku bahagia waktu sama kamu. Kamu sumber kebahagiaan aku. Kamu suami sekaligus ayah yang bertanggung jawab, Jeff. Aku masih sayang sama kamu.”

“Jangan berharap lagi soal kita ya, Ann.” Jeffry masih berusaha untuk menunjukkan senyum terakhirnya. “Kisah kita, cukup sampai disini.”

Anne sudah tidak tahu harus berkata apa lagi. Disisi lain ia masih ingin menghabiskan waktu bersama Jeffry dalam kurun waktu yang sangat lama. Namun disisi lain juga, ini sudah menjadi balasan yang setimpal untuk Jeffry. Divonis hukuman mati, adalah balasan atas semua perbuatan keji yang telah dilakukan oleh Jeffry selama ini.

Akan tetapi, Anne masih belum rela.

“Jaga Luna dengan baik. Titip salam ku ke anak kecil itu, kalau aku sangat menyayanginya. Dia sudah ku anggap sebagai anak kandung ku sendiri.”

Anne tidak menggubris. Ia masih sibuk menangis tersedu-sedu sambil terisak.

“Dan berjanjilah, setelah ini kamu harus hidup dengan bahagia, Ann. Hapus rasa sayang itu pada diri kamu. Karena aku nggak pantas mendapatkan itu.” Imbuh Jeffry kemudian. Kalau boleh jujur, hati lelaki itu juga sama terlukanya dengan Anne.

Seperti dua sejoli yang sudah saling mencintai. Tetapi harus dipaksa berpisah oleh takdir. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari itu.

“Waktu kalian sudah habis.” Ujar penjaga ruangan itu.

Jeffry kemudian beranjak dari duduknya. Mulai melangkah menjauh dari pandangan Anne tanpa berkata apa-apa.

“Jeff.”

Sang pemilik nama pun menoleh. Anne tidak langsung melanjutkan kalimatnya. Wanita itu ingin menatap wajah Jeffry dengan sangat dalam. Merekam detail wajah itu melalui indra penglihatannya, sebelum Jeffry benar-benar pergi meninggalkan ruangan ini.

“Aku mau tanya sesuatu.”

Jeffry dibuat bingung sekaligus penasaran oleh mantan istrinya itu. “Tanya apa, Ann?”

Sejenak Anne berusaha menelan salivanya, sebelum ia melontarkan pertanyaan terakhirnya.

“Apa kamu mencintai ku sama seperti aku mencintaimu?”

Jeffry tertegun dengan pertanyaan Anne barusan. Pertanyaan soal perasaan yang selama ini Jeffry rasakan saat menghabiskan separuh hidupnya bersama wanita itu.

“Ya.” Jeffry tersenyum ikhlas, “Aku mencintai mu.”

Kini, gantian Anne yang tertegun. Sudah ia duga, Jeffry pasti merasakan perasaan yang sama dengan dirinya. Mereka berdua sudah menghabiskan waktu yang terbilang sudah cukup lama. Dan Anne sangat yakin bahwa Jeffry mencintainya juga. Walau berkali-kali lelaki itu bilang bahwa tujuan ia mendekati Anne atas dasar dendam pribadi.

“Maka dari itu. Berbahagialah. Cari lelaki yang lebih baik dari aku. Hanya itu satu pinta ku untuk mu. Aku pamit.”

Setelah mengeluarkan sepatah kalimat terakhir. Jeffry benar-benar pergi meninggalkan Anne seorang diri. Meninggalkan perasaan yang masih membekas di relung hati Anne yang terdalam.

Semua sudah hilang. Senyuman, harapan. Bahkan serbuk-serbuk kebahagiaan itu tidak lagi tersisa. Yang tersisa saat ini hanyalah kehilangan. Kehilangan menjadi saksi bisu kisah percintaan Anne dan Jeffry yang harus kandas di tengah jalan.

Dan ini lah akhir dari kisah seorang psikopat bernama Steffi Gabrielle/ Jeffry Nathanael. Tidak semua orang jahat, terlahir untuk menjadi jahat. Tapi terkadang, orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti.

—selesai—

bagian seratus dua puluh empat; rasa dendam dan kehilangan.

“STOP, STEFF!!!” Pekik Anne frustasi.

Kali ini, Jeffry mendengar pekikan dari istirnya. Tubuhnya tertegun seketika saat Anne menyebutkan nama yang sangat tidak asing baginya. Anne sudah tahu semua rahasianya selama ini.

“STEFFI GABRIELLA ... INI KAMU KAN?!”

Kedua tangan kekar itu perlahan turun dengan sendirinya. Suasana seketika semakin mencengkam dan menyeramkan, saat setelah Anne meneriaki nama Steff ke arah Jeffry.

Merasa Jeffry masih bungkam, Anne pun melanjutkan kalimatnya. “Steffi Gabriella ... Putri dari seorang penjaga supermarket. Yang beberapa tahun lalu dituduh atas kasus pembunuhan dan pemerkosaan artis papan atas. Itu kamu kan Jeff?”

Jeffry kini berbalik. Terlihat jelas raut wajah murka yang tertahan disana. “Apa maksud kamu? Jangan bicara ngelantur, Anne. Steff adik aku. Dia udah meninggal!”

“Nggak!” Anne memotong cepat ucapan Jeffry dengan nada tinggi. Ia menggelengkan kepalanya pelan, menandakan kalau semua kalimat Jeffry tidaklah benar. “Steff masih hidup sampai sekarang. Hidup dalam wujud dan rupa yang berbeda.”

“Kamu menyentuh meja kerja ku?”

Anne tidak menjawab.

“UDAH AKU BILANG, JANGAN PERNAH SENTUH MEJA KERJA KU SIALAN!” Pekik Jeffry seraya berjalan cepat menghampiri Anne dan langsung mencengkram kuat kedua rahang wanita itu.

Anne segera menepis tangan Jeffry dari rahangnya yang sudah dipastika sedikit retak itu. “Jadi semua itu benar? Surat pernyataan telah melakukan operasi kelamin yang aku temui waktu mencari sertfikat rumah kedua orang tua kamu. Itu semua benar? Iya Jeff?”

Jeffry menundukkan kepalanya sejenak. Perlahan namun pasti, Anne mendengar suara cekikikan yang sangat nyaring. Entah apa yang membuat Jeffry mengeluarkan suara tawa yang mengerikan itu. Bulu kuduk Anne semakin merinding mendengarnya.

“Iya. Steffi Gabriella ... Itu aku.” Akhirnya Jeffry mengaku.

Anne tidak terkejut karena sebelumnya ia sudah tahu bahwa suaminya ini sebenarnya adalah berjenis kelamin perempuan. Wanita pemilik nama lengkap Elaine Khalida itu hanya tidak menyangka kalau selama ini lelaki yang sudah ia percaya setengah mati itu akan memembohonginya seperti ini. Semakin retaklah hatimu Anne.

Jeffry kembali berdiri. Berjalan perlahan mengelilingi ruang gelap itu. “Apa saja yang kamu tahu, Ann?”

Anne membuang pandangannya. Disisi lain, otaknya sedang berpikir keras. Ia sudah tahu semua rahasia Jeffry yang tidak semua orang ketahui. Tapi, Anne harus memulai dari mana?

“Ok, karena kamu nggak mau jawab. Mau dengar sedikit cerita?” Tawar Jeffry pada Anne yang tidak dibalas oleh wanita itu.

“Dulu keluarga ku amat sangat bahagia. Meskipun hidup serba kekurangan, tinggal di rumah kontrakan yang kumuh, mau makan saja harus ada yang mengalah. Tapi aku, ayah ku, dan ibu ku sangat bahagia. Mereka merawatku dengan penuh kasih sayang. Mereka adalah sosok orang tua yang sangat sempurna.”

Jeffry lalu mengeluarkan jari telunjuknya mengarah ke kedua orang yang sedang terduduk pasrah di ujung sana. “Tapi semua berubah, waktu mereka berdua tiba-tiba datang menghancurkan keluarga bahagiaku. Masa depan yang sudah orang tua ku ciptakan untukku, dihancurkan sama mereka hanya dengan jentikan jari. Kamu tahu itu Anne?” Ucap Jeffry dengan nada penuh penekanan sambil menatap sangat tajam ke arah istrinya.

Anne masih membisu. Terlalu bingung untuk menjawab apa dan bagaimana?

“Lelaki brengsek itu ....” Kini jari telunjuk Jeffry mengarah ke arah lelaki yang sudah kehilangan kesadaran. “Kalau saja dia nggak datang ke supermarket tempat ayah ku bekerja ... Aku nggak mungkin bertindak sejauh ini, Ann.”

Terlihat buliran air mata mengalir jatuh dari netra Jeffry. Lelaki psikopat itu menangis tertahan. Kedua mata serta wajahnya mulai memerah. Menandakan bahwa rasa sakit, marah, dendam, dan kecewa sudah tercampur di dalam benak lelaki itu.

“Wanita tua itu, dengan enaknya menuduh ayah ku atas perbuatan keji anaknya yang nggak mau bertanggung jawab. Mereka berdua yang membuat keluarga ku hancur, Ann. Mereka pantas mendapatkan ini.”

Kini, Anne memberanikan diri menatap tajam Jeffry. “Tapi kamu nggak berhak buat menghakimi mereka, Jeff. Dengan kamu menjadi psikopat seperti ini, membunuh para polisi yang tidak bersalah itu. Apa bedanya kamu sama mereka?”

Bukannya menjawab, Jeffry malah mengeluarkan pistol yang ia sembunyikan di saku belakang celananya. Dan ...

DOOORRRRRR!!!

“AAAAAAAAA!!!” Pekik Anne sambil menutup matanya. Ia sangat terkejut bukan main saat Jeffry tiba-tiba menembak kepala wanita tidak berdaya itu.

“JEFFRY! UDAH GILA YA KAMU?!”

Jeffry lalu mengarahkan pistol yang masih mengepulkan asap itu ke arah Anne. Tepatnya di kepala wanita itu. Tampat favoritnya. “Jangan sok-sok an merasa kalau dirimu paling benar dan paling suci sejagat raya ini, Ann. Atau aku bakal tembak kamu sekarang juga.”

Anne seketika menahan napasnya. Dadanya sesak. Apalagi saat pistol itu sudah menempel didahi mulusnya. Jantungnya seolah sudah berhenti berdetak.

“Kamu nggak tahu penderitaan yang sudah aku alami sejak ayah dan ibu ku pergi. Penderitaan yang tidak ada habisnya. Aku dimaki, aku dilecehkan, aku diperlakukan seperti binatang. Kamu nggak tahu rasanya hidup di dunia, tapi seperti hidup di neraka.”

Jeffry perlahan menjauhkan pistol tersebut dari dahi Anne. Membuat wanita itu bisa bernapas sedikit lega.

“Nggak ada yang lindungin aku, nggak ada yang percaya sama aku. Yang ada hanya pukulan, kata-kata kasar, tendangan, dan diabaikan. Kamu lihat luka ini.” Jeffry menunjukkan bekas jahitan yang ada dipinggang sebelah kirinya. “Ini bekas operasi pengangkatan ginjal. Ginjal aku rusak parah karena sering ditendang. Kamu tahu apa yang aku pikirkan waktu itu, Ann?”

Anne masih bungkam. Ia sengaja membiarkan Jeffry bercerita panjang lebar soal masa lalunya. Karena Jeffry tidak tahu, bahwa sedari tadi Anne telah memasang alat perekam yang ia sembunyikan di saku celananya.

“Yang aku pikirkan waktu itu sama seperti mereka berdua. Mati, aku mau mati.”

Sebenarnya Anne sedikit merasa kasihan. Steff, anak gadis yang masih kecil. Harus menanggung beban yang begitu berat agar dirinya bisa bertahan dari kejamnya dunia. Anne tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya yang dirasakan Steff dulu. Steff, hanya butuh hidup yang tenang. Layaknya seperti anak kecil pada umumnya.

“Tapi aku sempat mengurung niat ku untuk bunuh diri, saat tiba-tiba ada satu keluarga yang mau mengadopsiku. Mereka adalah Briptu Adhiyatma dan istrinya. Ketua pantiku bilang, kalau mereka terpaksa mengadopsiku hanya karena kasihan melihat kondisiku yang jauh dari kata normal.” Jeffry mendecih pelan. “Aku nggak tahu apakah itu benar, atau dia hanya mau membuatku semakin merasa tidak pantas untuk hidup. Tapi aku nggak peduli. Yang penting aku bisa keluar dari tempat neraka itu.”

“Sebulan setelah Briptu Adhiyatma mengadopsiku. Dia dan istrinya tiba-tiba memaksa ku untuk menjalani operasi kelamin. Anak tunggal mereka yang bernama Jeffry Nathanael baru saja meninggal setelah seminggu yang lalu menjadi korban perampokan. Dan mereka memintaku untuk menggantikan anak semata wayangnya itu dengan dalih 'Kalau bukan karena kami. Kamu tidak akan bisa hidup sampai sekarang'. Sungguh lucu bukan?” Lanjut Jeffry dengan seringai jahatnya.

“Dan aku nurut. Aku mau menuruti permintaan mereka, karena aku merasa harus berhutang budi pada mereka. Semenjak itu, Tidak ada lagi Steffi Gabrielle lagi, anak dari penjaga supermarket yang dituduh pembunuh dan pemerkosa. Tapi Jeffry Nathanael, anak dari pengusaha kaya yang sempat mau diangkat menjadi Briptu. Steff sudah mati.”

“Terus apa hubungannya sama aku? Kenapa kamu tega melakukan ini kepadaku Jeff?” Tanya Anne yang sudah sangat frustasi. Ia tidak tahu dengan benar apa motif Jeffry yang sengaja mendekatinya dan membuatnya jatuh cinta pada lelaki psikopat ini.

“Kesalahan kamu. Kamu adalah alasan kenapa ayah kamu sampai tega mengkhianati ayah ku, Ann. Ayah kamu yang membuat ayah ku dihukum mati.” Jawab Jeffry dengan penuh penekanan.

Anne menggeleng kepalanya cepat. “Nggak. Itu semua hoax, Jeff.”

“Hoax?” Jeffry terkekeh pelan. “Asal kamu tahu ya, Ann. Ayah kamu menerima suap dari mereka berdua. Mereka membayar ayah kamu untuk bungkam dan berakting seolah nggak tahu apa-apa. Alhasil, yang awalnya ayah ku bisa bebas dari tuduhan, malah dijatuhi hukuman mati atas perbuatan yang sama sekali beliau tidak lakukan.”

“Nggak. Ayah ku nggak mungkin sejahat itu, Jeff.” Anne masih bersi kukuh kalau Pak Josh-ayahnya tidak mungkin berkhianat.

Jeffry kembali berjongkok di depan Anne. Mendorong dahi Anne beberapa kali menggunakan ujung pistol yang ia genggam, “Ann, sadar dong. Dulu ibu kamu penyakitan. Ayah kamu nggak punya biaya buat operasi ibu kamu waktu itu. Dan kamu masih ngelak kalau ayah kamu nggak menerima suap dari mereka berdua?”

Anne seketika diam. Wanita itu bingung, apakah ia harus percaya perkataan Jeffry, atau ia harus percaya pada dirinya sendiri. Pak Josh memang tidak pernah menceritakan hal tersebut pada Anne. Tapi sebagai anak, apakah ia salah membela ayah kandungnya sendiri?

“Tapi sayang sekali. Uang hasil suap itu, tidak berpengaruh apa-apa buat ibu kamu, Ann.”

“Maksud kamu?” Anne mengernyitkan dahinya.

“Maksud ku ....” Jeffry mendekatkan kepalanya, “Ibu kamu pantas mati.”

*CUUIIHHH ...

Anne langsung meludahi wajah Jeffry dengan sengaja. Kalau tadi Anne masih bisa sabar menghadapi kelakuan iblis dari suaminya itu. Tapi tidak saat Jeffry menjadikan kematian ibunya sebagai karma atas dosa yang sudah diperbuat oleh ayahnya dulu. Anne sangat marah mendengar itu.

“DASAR CEWEK NGGAK TAHU DIRI!”

BUGGHHHH ....

Jeffry meninju rahang Anne sangat keras. Tidak peduli lagi yang ia pukul adalah istrinya sendiri. Lelaki itu kemudian bangkit dan mulai menjauh dari Anne yang mulai melemah.

“Jeff.” Panggil Anne dengan suara yang sangat lemah, tapi masih bisa didengar oleh Jeffry. “Aku pernah ada diposisi kamu. Aku pernah merasakan kehilangan seseorang yang sangat berarti dihidup ku.”

Jeffry tidak menjawab. Ia masih fokus menatap foto sang ayah yang sedang tersenyum memeluk sang ibu. Foto berukuran 6R yang ia tancapkan ke dinding menggunakan paku.

“Kita sama-sama merasa kehilangan, Jeff. Aku sama seperti kamu. Rasanya mau mati. Tidak ada lagi sosok yang menguatkan kita, yang menemani kita, yang menampung keluh kesah kita. Tapi Jeff. Apa kamu tahu arti sebenarnya dari kata kehilangan?” Tanya Anne sedikit terisak.

Karena merasa Jeffry tidak ada niatan untuk menjawab, Anne melanjutkan kalimatnya lagi. “Kehilangan menuntut kita untuk menjadi sosok yang kuat. Bukan menuntut kita untuk menjadi sosok yang jahat. Bukan hak kita untuk menghakimi seseoroang dengan cara membunuh, Jeff. Biar Tuhan yang membalas dosa yang sudah mereka perbuat ke kamu.”

“Tuhan?” Jeffry menengadahkan kepalanya ke atas, “Mau sampai kapan aku harus menunggu Tuhan membalas dosa-dosa mereka hah? Setiap mereka hidup dengan tenang dan bahagia diatas penderitaan orang lain. Aku nggak rela, Ann.”

“Iya aku tahu. Aku tahu mereka salah. Tapi semua ada waktunya, Jeff. Aku yakin, ayah kamu nggak pernah mau melihat anak gadisnya tumbuh besar sebagai seorang pembunuh. Yang beliau mau hanyalah melihat bahwa anak gadisnya ini tumbuh dengan bahagia, menjadi gadis yang cantik, anggun, dan baik hatinya.”

“Diam kamu!” Tangan Jeffry terkepal kuat. “Kamu nggak tahu apa-apa, Ann. Justru mereka berdua pasti bangga karena aku sudah membalaskan dendam mereka.”

Anne menggeleng pelan, “Nggak, Jeff. Aku sangat tahu watak ayah kamu. Aku nggak sengaja membaca buku catatan ayah ku. Ayah ku menulis semua hal tentang ayah kamu di buku itu. Ayah kamu baik, Jeff. Sangat baik.” Anne menjeda kalimatnya. Ia semakin terisak, “Beliau adalah sosok malaikat tak bersayap yang sebenarnya. Sehari sebelum ayah kamu dihukum mati. Ayah ku mendatangi beliau untuk meminta maaf karena sudah terlanjur berkhianat. Tapi, apa kamu tahu jawaban ayah kamu waktu itu Jeff?”

“Aku suruh kamu diam Anne!” Jeffry menutup kedua telinganya sambil menggelengkan kepalanya cepat. Ia tidak mau mendengarkan kalimat Anne setelah ini. Jeffry merasa bahwa dirinya sudah melakukan yang terbaik untuk dirinya beserta keluarganya.

“Ayah kamu memaafkan ayah ku.” Tangisan Anne langsung pecah. “Beliau malah memaklumi perbuatan ayah ku, Jeff. Ayah kamu baik. Beliau tidak mungkin mau punya anak pembunuh seperti kamu.”

BRAAAKKKKK Jeffry memukul keras meja dihadapannya.

“Nggak. Nggak mungkin.” Sekali lagi Jeffry menggelengkan kepalanya. “Jelas-jelas ayahku menyuruh ku untuk membalaskan dendam dia.”

Anne menatap nanar ke arah suaminya, “Itu semua hanya hayalan kamu semata, Jeff. Atas dasar dendam kamu sendiri. Kamu mengira bahwa ayah kamu benar-benar menyuruh kamu untuk membunuh orang-orang yang sudah membuat keluarga kamu hancur. Tapi kenyataannya bukan begitu, Jeff. Kamu menjadi pembunuh, semua karena dendam pribadi kamu.”

“DIAAAAMMM!!” Pekik Jeffry sangat keras. Ia berbalik dan kembali menodongkan pistol ke arah Anne. “Diam atau aku bakal tembak kamu sekarang juga.”

“Jeff, perlu kamu tahu ....” Anne menatap sendu ke arah suaminya. Lelaki yang sudah ia cintai sepenuh hati dari delapan tahun yang lalu. “Aku sayang sama kamu.”

Tangan Jeffry seketika gemetar. Lelaki itu nampak menahan tangis yang ingin pecah saat itu juga. Mendengar Anne mengucapkan bahwa wanita itu menyayanginya, sukses membuat lelaki pembunuh itu berubah menjadi lelaki yang rapuh.

“Nggak peduli kamu perempuan atau laki-laki. Hati aku masih setia pada tempat yang sama, Jeff. Di hati kamu. Dan selamanya akan bertahan disitu.”

Jeffry bergeming.

“Belum terlambat untuk berubah, Jeff. Kita jalani semua dari awal bareng-bareng. Aku mohon, jangan begini lagi ya? Aku cinta sama kamu. Aku akan memandangmu sebagai Jeffry Nathanael, suami yang sudah bersedia meminang ku. Menjadikan ku ratu dihati kamu. Bukan sebagai Steffi Gabrielle. Mau ya, Jeff?” Tanya Anne diiringi dengan nada lirih namun serius. Ia tidak main-main. Semua yang Anne ucapkan barusan, murni dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Anne merasa bahwa Jeffry bisa berubah. Lelaki itu hanya perlu sosok yang membuat dirinya merasa diperhatikan, disayang, dan mau menemaninya. Karena dari kecil, Jeffry tidak pernah merasakan tumbuh dengan ditemani oleh orang-orang yang menyayanginya. Justru ia tumbuh bersama orang-orang yang menyiksanya.

“AKU BILANG DIAM!”

DOOORRRR!!

Suara tembakan terdengar. Anne tidak bisa berkata-kata lagi, saat peluru panas itu mengenai dadanya. Ya, Jeffry menembak Anne tepat di dada wanita itu.

“A ... Anne ....” Jeffry seperti sadar bahwa ia baru saja menembak Anne. Tangannya gemetar seketika, kedua matanya membulat saat menemukan Anne mulai kehilangan kesadaran. Darah mengalir memenuhi dada istrnya.

Tanpa berbasa-basi lagi, Jeffry langsung berjalan menghampiri Anne dan memeluk daksa sang istri. Ya Tuhan, apa yang sudah ia perbuat? Jeffry tidak ingin Anne mati.

“Ann. Kamu harus bertahan ya. Aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang.” Jeffry mengelus sayang pipi Anne, disaat wanita itu mulai tidak sadarkan diri.

“No! Jangan mati.” Tangisan Jeffry seketika pecah. “Jangan tinggalin aku, Ann. JANGAN PERGI!!!”

BRAAAKKKK Suara pintu terbuka.

Menampakkan Pak Josh datang bersama beberapa anak buahnya. Setelah hampir dua jam mencari keberadaan sang putri. Akhirnya Pak Josh menemukan ruangan rahasia ini. Akan tetapi, alangkah terkejutnya beliau saat mendapati Anne yang sudah dipenuhi darah dan terkapar tidak berdaya di pelukan Jeffry.

“ANNE!” Pak Josh langsung berlari menghampiri putri semata wayangnya itu.

“MINGGIR BRENGSEK!” Pak Josh mendorong Jeffry menjauh dari daksa putrinya. Dan seketika anak buah Pak Josh langsung memborgol kedua tangan Jeffry dan menyeret lelaki itu untuk keluar dari sana.

Anne sudah tidak sanggup lagi. Wajahnya sudah sangat pucat. Ditambah darah semakin mengalir deras memenuhi daerah dadanya. Telinganya berdengung. Anne tidak bisa mendengar secara jelas saat sang ayah mengajaknya berbicara dengan raut wajah yang sangat cemas. Dan diujung sana, Anne merasa bahwa ada kehadiran sang ibu. Beliau berdiri dengan sinar putih mengelilingi tubuhnya. Tersenyum manis ke arah Anne seperti sedia kala.

Dan detik selanjutnya. Anne pun tidak sadarkan diri.

bagian seratus dua puluh dua; tidak sadarkan diri.

Beberapa jam yang lalu.

“What are you doing honey?”

Suara berat itu seperti aliran listrik yang menyengat seluruh tubuh Anne saat ini. Kakinya tiba-tiba terasa kaku, tubuhnya menegang takut. Untuk menoleh sedikitpun Anne sangat ketakutan. Wanita itu tidak pernah berpikir jika Jeffry akan berdiri tepat dibelakangnya sambil menodongkan pisau lipat yang bilahnya masih berkilau ke arah lehernya saat ini.

“Lancang juga ya kamu sampai masuk ke dalam sini.” Imbuh Jeffry kemudian.

Anne tidak tahu harus berbuat apa supaya bisa terlepas dari tautan suaminya itu. Sampai tiga puluh detik berlalu, Anne memutuskan untuk menendang luka tusuk pada perut Jeffry dengan sangat keras. Hanya itu yang bisa Anne lakukan untuk bisa pergi dari sana.

“ARRRGHHHHH ....” Jeffry meringis kesakitan seraya meraba luka tusuk pada perutnya yang masih terbilang belum sembuh itu.

Melihat Jeffry yang sudah lengah. Anne langsung berlari keluar dari ruangan gelap itu. Berlari menuju ruang tamu untuk mengambil ponselnya dengan gerakan yang sangat cepat. Tangannya gemetar tidak karuan. Anne segera mencari nama kontak sang ayah dan langsung menelepon beliau.

Tidak diangkat.

Anne menoleh ke arah belakangnya. Masih aman. Jeffry belum menunjukkan batang hidungnya. Sehingga Anne masih mempunyai waktu untuk menyelamatkan diri. Tanpa berpikir panjang, Anne langsung membuka aplikasi imessage dan mengetik sesuatu disana.

'Ayah, Jeffry mau bunuh aku'

'Titip salam aku buat Luna ya yah'

'Bilang kalau sampai kapanpun, bunda sayang sama Luna'

'Kalau misal ayah nggak bisa nemu aku dimana'

'Tanya Luna ya yah'

'Dia tahu dimana aku berada'

'Anne sayang sama ayah'

Setelah mengirim beberapa bubble massage ke nomor sang ayah. Sambil sesekali ia mengecek ke arah belakang, Anne berjalan cepat menuju pintu rumahnya yang tertutup rapat.

Sial, terkunci. Jeffry pasti yang melakukannya.

Anne harus memikirkan cara lain. Ia langsung mengubrak-abrik beberapa benda di atas meja yang terletak di samping kirinya. Berusaha mencari kunci rumah dan segera pergi dari maut yang akan menerkamnya setelah ini.

Namun naasnya. Saat Anne sibuk mencari kunci rumah. Dari belakang, Jeffry langsung mencengkram rambut Anne dan menjambaknya dengan sangat kuat. Alhasil tubuh Anne tersungkur ke lantai karena tidak sanggup melawan kekuatan suaminya itu.

“Disini kamu ternyata. Ikut aku!” Jeffry kemudian menyeret paksa Anne supaya mau mengikutinya.

“Awww ... Sakit Jeff!” Ringis Anne yang tidak digubris oleh Jeffry. “Jeff ... Sakit ... Lepasin!” Anne meronta sekuat tenaga, meski ia tahu kalau tenaga yang ia miliki tidak sebanding dengan tenaga yang dimiliki lelaki bertubuh kekar ini.

Jeffry masih menjambak rambut Anne. Saking kencangnya, Anne merasa beberapa helaian rambutnya sudah terlepas dari kepalanya. Sakit, perih, dan takut. Anne tidak bisa berkata-kata lagi saat perasaannya campur aduk saat ini.

“Jeffry lepasin!”

“DIAM SIALAN!!” Teriak Jeffry langsung membenturkan kepala sang istri ke arah tembok yang kokoh dengan sangat keras.

DUGGHHHHH ....

Karena benturan keras pada kepalanya itu, membuat Anne jatuh terlentang tidak berdaya. Kepalanya sangat sakit. Anne merasa ada darah segar yang mengalir mengitari dahinya saat ini. Pandangannya seketika buram. Anne tidak bisa menatap wajah Jeffry dengan jelas. Semuanya buram. Ia pasrah. Jika pada akhirnya ia ditemukan dalam keadaan mati pun, Anne sudah ikhlas. Semua bukti sudah mengarah pada Jeffry. Ayahnya pasti akan segera datang kesini dan langsung menangkap suami psikopatnya itu atas kasus pembunuhan berantai.

Anne tidak sanggup lagi. Dan detik selanjutnya, semua berubah menjadi gelap gulita. Anne kehilangan kesadarannya.

—jaemtigabelas

bagian seratus sembilan belas; dua orang misterius.

Perlahan Anne membuka pintu rumahnya yang sudah dalam keadaan gelap gulita dan sunyi itu. Tidak ada seorang pun disana. Hanya hawa dingin dan mencengkam, membuat bulu kuduk Anne berdiri seketika. Ia masih ingat bahwa ini adalah rumahnya. Rumah yang sudah ia tinggal bersama keluarga kecilnya selama delapan tahun lamanya. Tapi entah mengapa, Anne merasa sangat takut saat membuka pintu rumahnya sendiri.

Wanita dengan setelan casual serba merah muda itu berjalan menuju ruang tamu. Ia menaruh coat dan tas kerjanya di atas sofa ruang tamu sambil melirik ke sekitarnya. Benar-benar tidak ada seorang pun disana. Dimana Jeffry? Apakah lelaki itu sudah masuk ke alam mimpinya?

Dengan perasaan yang amat sangat takut, jantung yang berdebar kencang serta keringat dingin yang mulai bercucuran. Anne berjalan menaiki tangga rumahnya menuju kamar utama. Bisa dipastikan suaminya itu berada disana. Karena pesan terakhir yang Anne dapat adalah Jeffry yang memaksanya untuk pulang ke rumah.

Jika kalian bertanya bagaimana perasaan Anne saat ini? Mungkin wanita itu tidak bisa menjawab selain perasaan yang campur aduk. Disisi lain Anne memiliki hasrat untuk segera menyadarkan Jeffry bahwa lelaki itu sudah melakukan dosa yang sangat besar. Namun disisi lain juga Anne merasa takut. Bahkan sampai sekarang Anne belum bisa menerima fakta bahwa suaminya yang sudah ia cintai selama hampir sembilan tahun itu ternyata adalah seorang psikopat. Psikopat yang sangat ditakuti oleh penduduk seluruh negeri ini. Fyi saja, kasus pembunuhan berantai yang mayoritas korbannya adalah para polisi jalanan itu sudah sangat terkenal sampai ke luar negeri. Kasus yang dikenal sangat sulit untuk dipecahkan.

Akan tetapi bagaimanapun, Anne harus melakukan ini. Jeffry adalah suaminya. Suami sah dimata negara. Anne sebagai istri harus bisa menghadapi suami psikopatnya itu. Meskipun dilanda rasa takut yang sangat luar biasa, Anne yakin kalau Jeffry tidak akan menyakitinya.

Anggap saja luka ditangannya ini adalah kesalahan Anne karena tidak bisa main aman pada saat itu.

Dan disinilah dirinya berada. Di depan pintu kamar utama dimana Anne dan Jeffry tidur bersama. Tangan Anne terangkat menggenggam kenop pintu. Napasnya berhembus pelan namun ada sedikit penekanan di dadanya. Tidak, hilangkan rasa takut mu itu Anne. Ini suamimu, bukan psikopat gila yang membunuh sudah hampir seratus korban jiwa.

Setelah memastikan hatinya sudah siap, akhirnya Anne sedikit membuka pintu tersebut. Menampakkan Jeffry sedang tidur pulas disana dengan posisi tengkurap. Kepalanya menghadap ke arah jendela kamar sehingga Anne hanya bisa melihat punggung polos tanpa sehelai benang milik Jeffry.

Merasa sudah pasti kalau sang harimau masih tertidur pulas. Anne kembali menutup pintu kamarnya dengan sangat pelan. Jangan sampai Jeffry bangun dan tahu kalau saat ini Anne sedang berjalan menuju ruang kerja Jeffry yang terletak di lantai satu.

Sial. Jeffry mengganti kenop pintunya menjadi kenop elektronik dimana orang harus memasukkan kode terlebih dahulu baru pintunya bisa terbuka.

'Tenang Anne. Kamu hanya perlu memasukkan kodenya dengan benar.' Batin Anne menenangkan dirinya.

Anne sedikit membungkuk. Kemudian ia mulai memasukkan kode pintu satu per satu.

Tanggal dan bulan lahir Jeffry. Salah.

Tanggal dan bulan lahir Anne. Salah.

Tanggal dan bulan lahir Luna. Salah.

Anne menggigit bibirnya. Tiga kali percobaan gagal. Kalau bukan ketiga kode itu, lalu apa kode yang sudah disetting Jeffry sebelumnya?

Tanggal dan bulan anniversary pernikahan. Salah.

Anne kembali berpikir keras. Ia hanya mempunyai satu kali kesempatan. Jika ia memasukkan kode yang salah, maka alarm pada pintu ini akan berbunyi dengan sangat kencang

Setelah berpikir keras, Anne tertegun sejenak. Hatinya antara yakin dan tidak yakin. Tapi, Anne tetap mencoba memasukkan beberapa angka yang terlintas diotaknya. Semoga berhasil.

11031997

Benar. Dan pintu tersebut terbuka.

Anne seketika bernapas dengan lega. Untung saja ia tahu tanggal, bulan, dan tahun lahir Steff. Tanpa berpikir panjang lagi, Anne langsung merangkap masuk ke dalam ruang kerja Jeffry. Sebenarnya tujuan ia nekat pulang ke rumah disaat Jeffry telah ditentukan bersalah itu adalah ingin memastikan sesuatu. Sesuatu yang selama ini mengusik pikirannya.

Langkahannya terhenti tepat di depan rak buku yang menjulang ke atas hampir memenuhi ruangan ini. Rak buku yang membuat Anne mati penasaran tentang ada apa dibalik rak buku ini. Sampai Luna sangat ketakutan jika disuruh pergi ke ruang kerja ayahnya.

Anne membuang satu per satu buka yang terjejer rapih disana. Mencari sesuatu yang bisa membuat rak ini terbuka. Sambil sekali-kali wanita berambut sebahu itu menoleh ke belakang. Meyakinkan dirinya kalau Jeffry tidak mengikutinya.

Setelah mengecek keseluruhan rak tersebut, hasilnya nihil. Anne tidak menemukan apapun disana. Padahal setengah dari rak tersebut, Anne sudah membuang semua bukunya. Apakah ia harus membawa tangga kesini untuk mengecek rak bagian atas juga?

Tunggu. Kedua mata Anne memicing seketika saat menemukan hal yang ganjal dihadapannya. Bukan apa-apa, hanya terkstur tembok yang nampak mencurigakan. Tekstur tembok yang sedikit menonjol ke depan. Tangan Anne bergerak untuk memastikan. Dan saat Anne menyentuh tekstur tembok yang menonjol itu, alangkah terkejutnya Anne saat rak buku itu tiba-tiba terbuka lebar dengan sendirinya.

Dan yang benar saja, ada ruangan rahasia dibalik rak buku ini. Ruangan gelap yang hanya diterangi oleh satu lampu kecil. Dengan perasaan yang campur aduk. Terkejut, tercengang. Anne masuk ke dalam sana. Kedua matanya menyusuri seluruh sudut ruangan ini. Ada beberapa peralatan medis disini. Yang bisa dipastikan benda ini milik suaminya. Tapi, untuk apa Jeffry membuat ruangan rahasia ini?

“Tolong.”

Anne tertegun. Gendang telinganya mendengar suara dari samping kanannya. Suara berat yang sangat lirih. Suara orang yang sudah tidak mampu lagi berbicara dengan bibirnya. Dan ternyata suara tersebut dari kedua orang yang kini duduk tidak berdaya di ujung sana. Wanita paruh baya dan seorang lelaki yang nampak lebih tua dari Jeffry. Masing-masing leher mereka dipasang kayu, layaknya orang yang sedang dipasung. Serta kedua tangan yang dirantai ke atas. Mereka melemah. Mereka sekarat. Wajah dan tubuh mereka sudah penuh luka dan lebam dimana-mana.

Siapa kedua orang ini? Dan apa yang terjadi pada mereka?

“Tolong ... Bunuh kami saja.” Ujar sang wanita paruh baya itu sambil menangis tersedu-sedu.

Anne hanya bisa terdiam ditempat. Tangan kanannya menutup mulutnya yang menganga tidak menyangka. Kedua matanya jelas menangkap kedua orang yang selama ini disekap di tempat mengerikan ini. Apakah benar ini perbuatan suaminya?

Terlihat juga ada beberapa foto korban perbuatan keji yang dilakukan oleh Jeffry. Lelaki itu sengaja memfoto para korbannya dan ia pajang di seluruh dinding ruangan ini. Anne tidak sanggup. Bahkan melirik pun Anne enggan.

Ia masih tidak menyangka. Jadi, apa yang dibilang oleh Luna semuanya benar. Karena selama ini, Anne hanya menganggap bahwa putrinya itu sedang berhalusinasi saja saat ia menceritakan ada sosok dua orang yang meronta ingin dikeluarkan dari sini.

“Bunda. Luna takut.”

“Ada orang di ruang kerja ayah, bun.”

“Orang itu minta tolong ke Luna.”

“Jangan suruh Luna pergi ke ruang kerja ayah lagi ya bun. Kalau orang itu culik Luna gimana?”

Jadi selama ini, Luna sudah tahu semua? Anak tujuh tahun itu harus melihat pemandangan mengerikan ini? Oh my God. Kepala Anne rasanya ingin pecah.

Anne melangkah mundur perlahan. Menjauh dari dua orang yang ia pun tidak tahu mereka siapa? Akan tetapi, langkahannya tiba-tiba terhenti saat punggungnya merasa menyentuh dada seseorang. Anne sampai bisa merasakan denyut jantung orang yang berdiri di belakangnya saat ini.

“What are you doing, honey?” Bisik Jeffry di telinga Anne sambil menodongkan pisau lipat ke arah leher jenjang wanita itu.

—jaemtigabelas

Bagian Tujuh puluh sembilan; seorang iblis yang bersembunyi dibalik topeng malaikat.

2 jam sebelum kejadian

“LUNA!” Pekik Jeffry yang baru saja mendobrak pintu pembatas ruangan dengan rooftop gedung.

Dengan napas yang tersenggal-senggal serta wajah yang super panik, Jeffry sedikit berlari ke arah William yang sedang menyandera Luna di ujung sana.

“Lepasin anak saya!” Tegas Jeffry dengan sorot mata yang sangat tajam. Bahkan hanya melihat ujung pistol yang sudah menempel di dahi sang anak pun, membuat rahang Jeffry mengeras.

William tersenyum miring. Ia tidak ada sedikitpun niatan untuk menjauhkan pistol miliknya dari kepala gadis ber-usia tujuh tahun itu. Terlihat Luna yang sudah menangis tersedu-sedu sambil memanggil sang ayah agar segera menyelamatkannya.

“Dimana adik saya?!” Tanya William kemudian. Perasaan tegang dan takut tersirat di raut wajahnya saat ini. Soalah ia benar-benar sudah tahu, bahwa ini adalah keputusan dimana dirinya harus bertaruh dengan nyawanya sendiri.

William sudah kehilangan kesabaran saat ia sadar bahwa adiknya sedang diculik oleh oknum yang tak lain dan tak bukan adalah Jeffry. Lelaki iblis ini hanya pintar berakting layaknya tidak tahu keberadaan adiknya saat ini. Tapi dari lubuk hati William yang paling dalam, lelaki itu sangat yakin bahwa Jeffry lah yang membawa sang adik pergi entah kemana.

“Saya tidak tahu adik kamu ada—”

“SAYA TANYA DIMANA ADIK SAYA?!!” Pekik William dengan suara beratnya. Ia semakin mendekatkan pistol ke kepala Luna. “Atau saya benar-benar akan membunuh anak anda disini.”

Mendengar ancaman dari William, membuat Jeffry tidak bisa berkata-kata lagi. Langkahannya mulai mendekat perlahan. Selangkah demi selangkah Jeffry mendekat ke posisi William berdiri saat ini sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan daun telinganya.

“JANGAN MENDEKAT!” William langsung menodongkan pistolnya ke arah Jeffry. Bermaksud untuk melarang lelaki iblis itu untuk mendekatinya. Namun Jeffry seakan tuli. Lelaki berbadan kekar itu semakin mengikis jarak. Dan langkahannya terhenti tepat di 10 cm dari jarak pistol.

Tatapan mereka bertemu. Tangan William yang sedang menggenggam sebuah pistol, gemetar seketika. Sorot mata Jeffry seolah mengisyaratkan bahwa sebentar lagi akan terjadi kiamat di dunia William. Keringat dingin mulai bercucuran, mengalir ke seluruh permukaan kulit di tubuh lelaki ber rahang tegas itu. Angin kencang yang berhembus pun tidak mampu membuat air keringat William berhenti keluar.

Selang sepuluh menit mereka saling berperang tatap. William mulai lengah dan ketakutan, Jeffry langsung mengambil pistol teresbut dengan gerakan tak kasat mata. Jeffry kemudian memelintir tangan William ke belakang punggung kekar lelaki tersebut. Membuat William meringis kesakitan.

“Ayah ....” Luna terlepas dari genggaman William yang sedang meronta ingin Jeffry melepaskan tangannya.

“Sayang, kamu lari ya. Lari seperti kancil yang ada di buku cerita kamu.”

“Tapi Luna takut, ayah.”

“Luna nggak usah takut ya sayang. Di bawah ada bunda yang nungguin Luna turun. Ayah masih mau pukul om jahat ini yang sudah berani culik Luna. Lari ya sayang.”

Luna yang notabenenya masih anak kecil, masih polos, dan tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya bisa menuruti perintah sang ayah. Anak kecil itu langsung lari terbirit-birit keluar dari gedung tersebut. Meninggalkan kedua lelaki dewasa yang akan berperang setelah ini.

Setelah yakin bahwa Luna benar-benar pergi dari sini. Jeffry kemudian melepaskan genggamannya dari tangan William, sambil sedikit mendorong tubuh lelaki jangkung itu ke arah depan. William tertegun. Kenapa Jeffry melepaskannya begitu saja? Karena yang ada dipikirannya sekarang adalah Jeffry yang akan membunuhnya setelah ini.

“BERHENTI!” Pekik William sambil menodongkan pistolnya sekali lagi ke arah Jeffry yang sedang memunggunginya. “Anda tidak boleh pergi dari sini, sebelum anda memberitahu dimana anda menculik adik saya?!”

William sudah sangat lelah jika harus disuruh untuk bersabar sedikit lagi. Ini menyangkut nyawa adik tercintanya, satu-satunya keluarga yang ia punya. Kedua orang tuanya meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan.

Jeffry berbalik. Dan siapa sangka, wajah yang tadinya super panik layaknya orang normal lainnya. Kini, wajah tersebut berubah menjadi sangat menyeramkan. Sosok iblis yang selama ini bersembunyi di benak Jeffry, sudah tersirat di wajahnya. Sorot mata yang lurus kedepan namun tajam mematikan. Mampu membuat sang lawan tidak bisa berdiri tegak. Entah apa yang sudah merasuki diri Jeffry saat ini. Seolah ada 6 iblis yang sudah menguasai tubuh lelaki yang berprofesi sebagai dokter bedah itu.

“Apa? Kamu mau tahu adik kamu sekarang ada dimana?” Tanya Jeffry dengan nada enteng. Tidak peduli jika William sudah menunjukkan rasa khawatirnya sejak tadi.

Sial. William ingin sekali menembak Jeffry saat ini. Tapi kenapa dirinya tidak bisa. Seolah ada yang menahan tangannya, entah itu apa?

Jeffry berjalan mendekat. Membuat William melangkah mundur secara perlahan. Kakinya sudah tidak bisa berdiri tegap karena tatapan Jeffry yang sangat mengintimidasi. Dan detik selanjutnya, tubuh William terjatuh ke bawah. Jeffry berjongkok di hadapan William.

“Mau tahu adik kecil kamu ada dimana, Will?” Tanya Jeffry sekali lagi sambil tersenyum miring.

William mengangguk ragu. Matanya masih kosong ke arah depan, seakan terhipnotis oleh tatapan Jeffry saat ini.

“Kebetulan ... Karena kamu sudah berani melawan saya. Saya ada hadiah buat kamu.” Jeffry merogoh saku celananya. Mengeluarkan selembar foto polaroid berwarna putih. “Tadaaaa ... Special gift for you.”

Kedua mata William seketika membulat dengan sempurna. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Dunianya langsung hancur sepersekian detik saat memandangi jasad adiknya ada di dalam foto tersebut. Adiknya yang sudah tidak bernyawa. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh darah yang menggenang. Tubuh mungil tanpa busana yang sudah disayat ratusan kali. Seperti sapi yang sengaja digorok oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab. Adik kecilnya sudah tiada.

“Bagaimana? Kali ini karya saya bagus kan?”

“ELIZAAAAAA!!!” Pekik William memanggil nama sang adik dengan nada lirih.

Kedua tangan yang gemetar itu terangkat mengambil selembar foto yang ada digenggaman Jeffry. Adik yang sudah menemaninya selama hampir sisa hidupnya. Adik yang manis, adik yang lucu, dan adik yang periang. Kini William sudah tidak bisa lagi melihat sosok periang itu.

“Kenapa anda tega melakukan ini semua? Salah saya apa? Dosa saya apa? Sampai anda tega membunuh anak kecil tidak bersalah ini?” Tanya William dengan pandangan yang kosong.

Jeffry terkekeh pelan sambil kepalanya tertunduk. Merasa senang sudah merusak mental lelaki yang berprofesi sebagai polisi itu. Detik selanjutnya, kekehannya terhenti. Kepalanya terangkat dengan raut wajah yang sangat serius. “Karena kamu sama seperti mereka.”

“Kamu itu tikus bagi saya. Pengkhianat! Semua polisi-polisi itu ... Tidak pantas untuk hidup tenang. Termasuk kamu, William.” Ucap Jeffry sambil mendorong dada William dengan jari telunjuknya.

Dunia sudah tidak berarti lagi bagi William. Melawan Jeffry pun rasanya percuma. Dia yang akan kalah nantinya. Seharusnya ia tidak memutuskan untuk berbuat sejauh ini. Menculik Luna yang justru berimbas dengan kematian adik tercintanya. Ini semua salahnya.

“Tapi saya tidak seperti apa yang anda pikirkan. Saya bukan pengkhianat. Saya selalu menuruti semua kemauan anda. Tapi, apa pantas saya mendapatkan ini semua? Bahkan saya sendiri tidak ingin berurusan dengan anda dari awal!”

Jeffry mendecih pelan lalu mengangkat bahunya tidak tahu, “Entah. Saya hanya muak melihat wajah sok benar dan sok tegas itu. Melihat kalian yang berlagak seperti orang yang paling kuat sepenjuru negeri ini. Membuat saya ingin membunuh kalian semua.”

Tangan Jeffry mengangkat dagu William. Menyuruh lelaki pengecut itu untuk membalas tatapannya. “Seharusnya kamu tidak melihat saya membunuh rekan kerja kamu, Will. Kalau di malam itu kamu memutusukan untuk kabur dan berpura-pura untuk tidak peduli. Adik kamu pasti masih hidup sekarang.”

“BRENGSEK!!!” Pekik William yang sudah dibalut oleh amarah yang memuncak. Tidak peduli lagi jika harus nyawanya yang terancam kali ini. Ia hanya ingin segera melenyapkan iblis yang sudah membunuh adik kesayangannya, adik satu-satunya.

Pukulan demi pukulan mengenai wajah tampan Jeffry secara bertubi-tubi. William seolah ikut dirasuki oleh iblis. Ia memukul Jeffry tanpa ampun. Sudah lama dirinya ingin melakukan ini. Memukul Jeffry yang sudah menggangu hidupnya, dan membunuh psikopat gila yang sudah membuat adiknya pergi dengan cara yang mengenaskan.

Rahang Jeffry patah. Namun lelaki itu masih sempat tertawa disela-sela pukulan keras William, menunjukkan deretan giginya yang sudah dipenuh oleh warna merah darah.

BUGHHHH ....

BUGHHHH ....

BUGHHHH ....

Pukulan itu tidak ada hentinya sampai William merasa puas. Namun sepertinya lelaki itu tidak akan pernah puas karena rasa dendamnya sudah memuncak. William lalu mengambil pistol miliknya dan menodongkan tepat di dahi mulus Jeffry. Jeffry yang masih sibuk tertawa lepas itu seakan tidak takut sedikitpun kalau William bisa menembaknya kapan saja. Lelaki itu tidak kenal takut dengan yang namanya kematian.

William berusaha menekan pedal pistolnya itu. Berperang dengan hati nuraninya yang tidak sejalan dengan otaknya saat ini. Otaknya seolah menyuruhnya untuk segera membunuh lelaki iblis ini. Tapi hati nuraninya justru melarang. William tidak diajarkan untuk menjadi lelaki yang jahat. Membunuh manusia, sama saja mencari masalah dengan Tuhan. Manusia adalah ciptaan murni dari Tuhan. Siapa dia yang berani merusak ciptaan-Nya itu?

“AARRRRGHHHHHHHH!!!!” Pekik William yang langsung beranjak dari tempatnya. Kedua tangannya menutup mukanya yang memerah akibat emosi yang memuncak. Pada akhirnya, ia hanya lelaki pengecut yang selalu mendengar hati nuraninya. Berbuat jahat, bukanlah keahlian William.

Lelaki dengan jaket kulit hitam itu lalu berjalan menuju samping gedung. Berdiri tegak di pembatas rooftop gedung tersebut. Yang jika William melangkah maju sedikit saja, lelaki itu pasti akan terjatuh ke bawah.

William berbalik menghadap Jeffry. Tangan kanannya terangkat hanya untuk mengarahkan pistol ke kepalanya. Lelaki jangkung itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Menyusul sang adik yang sudah lebih dulu meninggalkan dirinya di dunia kejam ini.

Jeffry bangun dari tidurnya. Penampilannya sudah tidak serapih tadi. Kemeja yang penuh bercak darah, wajah yang penuh luka dan lebam akibat pukulan keras dari William. Namun itu semua tidak mampu membuat Jeffry sadar, bahwa semua yang sudah ia lukakan termasuk dosa yang tidak dapat diampuni. Membunuh seseorang adalah dosa terkejam yang pernah ada. Seorang pembunuh kelak akan menghabiskan seumur hidupnya di dalam neraka.

Maka dari itu. Lebih baik William membunuh dirinya sendiri dari pada membunuh orang karena terselimuti oleh dendam yang telah tercipta di dalam benaknya. Ia lebih baik mati dengan tenang daripada harus hidup menjadi boneka iblis tidak tahu diri ini.

“Ohhh ... Ok kalau itu mau kamu. Saya akan bantu.” Ujar Jeffry kemudian. Tangannya terangkat membentuk sebuah pistol, lalu mengarahkannya tepat di kepala William.

Jeffry memiringkan kepalanya sedikit sambil menyipitkan matanya. Layaknya ingin menembak seseorang.

“Satu ....”

“Dua ....”

“Tiga ....”

DOOOORRRRRR!!!

William pun menembaki dirinya sendiri. Tubuhnya seketika terjatuh ke bawah. Suara pekikan seseorang terdengar dari bawah. Seseorang yang berhasil menemukan mayat William dalam keadaan yang mengenaskan.

Jeffry melangkah tertatih menuju samping rooftop. Memandang ke bawah sambil tersenyum penuh kemenangan. Detik selanjutnya, pandangannya bertemu dengan Pak Josh. Ayah mertuanya itu menatap Jeffry dengan mata yang terbakar, penuh dendam, dan penuh ambisi untuk membunuh Jeffry saat ini juga.

Saat Pak Josh memerintahkan anak buahnya untuk segera naik ke arah rooftop. Jeffry langsung mencari suatu benda yang setidaknya bisa membantunya kali ini. Dan ketemu. Sebuh pisau lipat entah punya siapa berada tidak jauh darinya. Tanpa perlu berpikir panjang, Jeffry menusuk dirinya sendiri tepat di perut sebelah kirinya. Seolah dirinya habis ditusuk oleh William. Tubuhnya pun tersungkur ke bawah.

Cerdik sekali rencana mu, Jeff.

Beberapa menit kemudian, derap langkah seseorang mulai mendekat. Salah satu anak buah Pak Josh lalu membuka pintu rooftop tersebut. Dan mereka berhasil menangkap Jeffry yang tengah sekarat dengan perut yang penuh darah. Anne ada disana, diam-diam wanita itu mengikuti ayahnya serta anak buah ayahnya pergi.

“JEFRRRYYYYY!!!” Pekik pelan Anne. Wanita tersebut langsung berlari ke arah suami tercintanya. Mengangkat kepala Jeffry dan ia letakkan di atas pahanya. “Jeff. Astaga kamu berdarah!.”

Anne menutup bekas tusukan pada perut Jeffry menggunakan tangan kanannya, supaya suaminya itu tidak mati karena kehabisan darah.

“KALIAN KENAPA DIAM AJA? PANGGIL AMBULANS!!!” Pekik Anne pada anak buah ayahnya. Wajahnya begitu panik saat mendapati Jeffry yang sudah mulai kehilangan alam sadarnya.

Pak Josh yang melihat pemandangan tersebut hanya bisa bernapas pasrah. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Melihat putrinya yang lebih percaya dengan psikopat pembunuh berantai ini, menciptakan luka yang sangat mendalam di hati Pak Josh.

Tidak disangka. Semua kebaikan dan kepolosan yang ada pada diri Jeffry, ternyata hanya kepalsuan dan tipu daya belaka. Layaknya Seorang iblis yang selama ini bersembunyi dibalik topeng malaikatnya.


—jaemtigabelas

bagian tujuh puluh delapan; kejadian tidak terduga.

Anne sudah tidak tahan lagi. Ia tidak bisa jika hanya berdiam diri di rumah sambil menunggu kabar yang tidak pasti. Ini menyangkut nyawa anaknya. Putri semata wayangnya. Dan sebagai ibu, Anne tidak bisa diam saja.

Wanita yang hanya memakai kaos berwarna merah muda polos serta cardigan berwarna abu-abu itu pun turun dari mobilnya. Setelah hampir lima belas menit ia melewati jalanan gelap dan berlumpur, Anne akhirnya sampai ke lokasi dimana Luna diculik saat ini.

“Ayah ....”

Merasa terpanggil, Pak Josh membalikkan badannya. Ia tertegun saat mendapati Anne sudah berada dihadapannya sekarang.

“Kamu ngapain disini astaga? Ayah kan sudah bilang. Jangan datang ke sini, Ann. Bahaya!” Omel Pak Josh kemudian.

Anne menggeleng pelan, “Nggak bisa yah. Aku nggak mungkin diam aja waktu anak aku diculik sama orang asing!” Tegas Anne pada sang ayah.

Matanya sudah mulai berair. Hati dan pikirannya sudah kacau. Seakan jiwanya sudah dicabut dari tubuhnya. Anne tidak bisa berpikir jernih saat ini.

“Terus kenapa ayah malah diam aja disini? Selamatin anak sama suami aku ayah!” Pekik Anne geram.

Pak Josh berusaha menenangkan Anne yang sedang kacau, “Kamu tenang dulu, Ann. Penculiknya udah pasang bom disana. Ayah juga harus cari bom itu dulu sebelum masuk.”

Anne nampak terkejut bukan main. Bom? Oh ayolah, ada dua orang yang sangat dicintainya berada disana. Dan Anne tidak ingin kehilangan keduanya.

“Yah ....” Anne mulai terisak. Nada bicaranya begitu pedih didengar. Sakit. Hatinya sangat hancur. “Ada suami sama anak aku disana.”

Pak Josh menundukkan kepalanya. Jujur, ia juga pening sekarang. “Kamu tunggu ya. Teman ayah lagi cari bomnya. Semoga bomnya cepat ketemu terus teman ayah bisa menonaktifkan bomnya. Dan ayah bisa selamatin anak sama suami kamu.”

“Bunda!!!!”

Tangisan Anne seketika berhenti. Wanita itu tertegun saat mendengar suara Luna—walau masih terdengar samar.

“Bunda!!!!”

Suara itu semakain mendekat. Dan dari kejauhan, Anne bisa menangkap seorang anak kecil dengan boneka barbie yang ia genggam, sedang berlari keluar dari gedung berlantai dua puluh itu.

“LUNAAAAA!!!!” Pekik Anne dan langsung berlari menghampiri sang putri tercintanya.

“Syukurlah nak kamu selamat.” Anne menangis bahagia saat mendapati tubuh Luna tidak terluka sedikitpun. Ia langsung memeluk daksa sang anak dengan erat.

“Ayah kamu dimana sayang? Kok nggak ngikutin kamu?” Tanya Anne yang menyadari Jeffry tidak kunjung keluar dari gedung gelap itu.

“Ayah ....” Luna menggantungkan kalimatnya. Anak kecil itu masih sesegukan dan masih terlihat syok. Sehingga sedikit sulit untuk berbicara, “Ayah masih di dalam, Bunda. Lagi berantem sama orang yang culik Luna tadi.”

“Astaga ....” Jantung Anne seolah sudah menghilang entah kemana.

“Pak, bom nya sudah dinonaktifkan.” Ujar rekan Pak Josh.

“Baik, kita bisa masuk sekarang.” Perintah Pak Josh pada anak buahnya yang lain.

Semua orang yang berada disana langsung masuk ke dalam gedung dengan masing-masing pistol yang sudah digenggam oleh mereka. Namun, saat Pak Josh dan para bawahannya ingin masuk ke dalam gedung ....

DOOORRRRR!!!

Tiba-tiba terdengar suara tembakan pistol yang sangat keras entah dari mana. Dan detik selanjutnya, seseorang terjatuh dari gedung berlantai dua puluh itu.

Saat salah satu bawahan Pak Josh mendekat ke arah objek, untuk mengecek siapa yang jatuh dari atas gedung?

“Pak, William tewas!” Teriak salah satu rekan Pak Josh. Membuat semua orang yang ada disana terkejut bukan main. Bahkan Anne pun ikut terkejut.

Tanpa menunggu lama lagi, Pak Josh serta bawahannya yang lain langsung berlari menghampiri. Dan yang benar saja. William ditemukan tewas dengan posisi terlentang dan tangan yang sedang menggenggam sebuah pistol, darah segar seketika mengalir deras di daerah belakang kepalanya, serta dahi sebelah kanan yang berlubang akibat sebuah tembakan.

Pak Josh, dengan mata yang masih membulat sempurna dan rahang yang mengeras lalu mendongak ke atas. Tepatnya ke arah rooftop gedung. Menampakkan Jeffry yang sedang tersenyum lebar sambil menatap ke arah bawah. Dan tentu saja, hanya Pak Josh yang melihat hal tersebut karena bawahannya sibuk dengan mayat William yang sudah terkapar tidak berdaya.

Apa yang sudah iblis itu perbuat?

—jaemtigabelas