jaemtigabelas

bagian tujuh puluh tiga; rak buku.

Hari ini, Anne terpaksa harus kerja setengah hari. Dikarenakan pikiran yang tidak bisa diajak bekerja sama. Sejak insiden meminum susu semalam, membuat perasaannya menjadi campur aduk. Maka dari itu, daripada Anne tidak bisa fokus dengan pekerjaannya, lebih baik ia pulang dan mengistirahatkan otaknya sejenak. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri saat ini.

Suara air mendidih yang berasal dari panci berisi sup daging itu sama sekali tidak menggoyahkan lamunan Anne. Pandangannya kosong ke depan. Namun tangannya tetap sibuk memotong wortel yang bentuknya mulai tidak beraturan. Sampai detik ini, Anne masih memikirkan alasan mengapa Jeffry tega memberikan obat tidur tanpa sepengetahuannya? Jika dia benar-benar peduli pada Anne, bukankah lebih baik kalau suaminya itu berkata jujur dari awal.

“Awwww ....” Anne meringis kesakitan, saat bilah pisau itu tidak sengaja mengenai jari telunjuknya. Ia langsung menghisap darah yang mengalir keluar dari telunjuknya.

Anne segera mengambil kotak P3K nya lalu mengambil plaster untuk menutupi luka yang ada di jari telunjuknya itu.

“Bunda ....” Rengek Luna yang sudah berada di hadapan Anne.

“Kenapa sayang?” Anne sedikit berjongkok. Menyamakan tingginya dengan tinggi sang putri.

“Luna mau ambil bola yang tadi Luna mainin, bun. Sekarang bolanya ada di ruang kerja ayah.” Ucap anak tujuh tahun itu dengan mata yang masih fokus ke arah bawah.

“Heiii sayang. Lihat bunda.” Anne memegang kedua bahu sang anak, menyuruh Luna untuk menatap matanya. “Kamu ambil sendiri ya. Kan udah besar. Bunda masih mau bikin sup buat Luna.”

“Tapi bun, Luna takut.”

Alis Anne berkerut. Merasa janggal dengan perilaku Luna saat ini. Anak tujuh tahun itu tidak biasanya takut dengan suatu hal. Karena sejak kecil, Jeffry selalu mengajari Luna untuk menjadi gadis yang pemberani. Maka dari itu, Anne merasa heran saat mendengar kata ‘takut’ keluar dari mulut anaknya itu.

Demi kemauan sang putri, Anne berjalan menuju ruang kerja Jeffry sambil menggandeng Luna yang bersembunyi dibelakang tubuhnya. Ia lalu membuka sedikit ruang kerja Jeffry dengan perlahan. Ruangan ini seperti ruang privasi bagi Jeffry. Tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam ruangan tersebut, tanpa sepengetahuan Jeffry sebelumnya. Anne juga tidak tahu mengapa? Tapi namanya juga privasi. Anne tidak bisa berbuat apa-apa.

Saat ibu dan anak itu masuk. Wangi harum rasa kopi itu langsung menusuk ke lubang hidung mereka. Sebenarnya yang membuat Anne suka dengan ruang kerja Jeffry adalah wangi kopi ini. Wangi kopi yang bisa membuat pikirannya tenang. Andai saja suaminya itu tidak menjadikan ruangan ini sebagai ruang privasinya. Anne ingin berlama-lama berada disini. Tidur di atas sofa yang terletak di ujung ruangan. Memandangi pemandangan kebun di belakang rumah. Ahhh ... Anne sangat menyukai ruangan ini melebihi kamarnya sekalipun.

“Nahhh ... ini bola kamu sayang.” Anne mengambil bola berukuran sedang yang terletak di tengah ruangan, lalu berbalik menghadap Luna. Namun yang ia dapati adalah anak gadis itu justru menatap takut ke arah rak buku yang terletak di sebelah kanannya.

“Kenapa sayang?” Tanya Anne meyakinkan.

Luna tidak menjawab. Tidak tahu apa yang sedang anak itu itu pikirkan. Luna langsung berlari terbirit-birit meninggalkan ruang kerja sang ayah. Persis seperti seorang anak yang baru saja melihat hantu yang sangat menyeramkan.

Merasa ada yang tidak beres dengan sang putri. Anne kemudian menatap rak buku yang menjulang ke atas memenuhi ruangan tersebut. Rak yang memiliki pembatas dengan rak yang lain. Karena penasaran, Anne pun berjalan mendekat ke arah rak tersebut.

Tidak ada yang mencurigakan sebenarnya. Hanya terdapat beberapa tumpukan buku tebal yang Anne yakini itu adalah buku tentang anatomi tubuh, ilmu kedokteran, dan buku lainnya mengenai profesi Jeffry selama ini.

Namun, saat Anne ingin menyentuh rak tersebut. Ponselnya tiba-tiba berdering. Menandakan ada panggilan masuk. Wanita itu langsung mengambil ponsel dari saku celananya. Menampakkan kontak bertuliskan ’My Husband ❤️’ disana.

“Halo, Jeff?” Anne pun langsung mengangkat panggilan Jeffry. Seperti tidak terjadi apa-apa.

”Aku ketinggalan sesuatu. Bisa kamu antar berkas yang ada di meja kerja aku ke rumah sakit sekarang, Ann?”

Anne lalu melirik meja kerja Jeffry yang terletak tepat di sebelah kirinya saat ini.

“Ohhhh iya, berkasnya ada disini. Tapi maaf, Jeff. Kepala aku masih pusing. Aku minta Pak Yanto yang anter berkasnya ya?”

”Ya udah nggak papa. Kamu istirahat yang cukup ya. Cepat sembuh. Love you.”

Wanita itu tersenyum, “Love you too.” Dan langsung menutup panggilannya.

Pandangan Anne kini terfokus pada berkas yang ada di atas meja kerja Jeffry. Ia mengambilnya dan segera keluar dari ruang kerja itu. Akan tetapi, saat pintu ruangan tersebut tertutup rapat. Anne tidak pernah tahu, bahwa ada kamera cctv yang menyala di balik tirai jendela.

—jaemtigabelas

bagian enam puluh sembilan; segelas susu hangat.

Tepat pada pukul sembilan malam, Anne sudah sampai di depan rumahnya. Setelah kejadian yang membuat raganya sempat hilang sebentar, akibat perkataan dari sekretarisnya soal kamera tersembunyi yang ada di bola mata boneka pemberian Jeffry. Suaminya itu memberikan Anne sebuah boneka tiga tahun yang lalu, tepat dihari ulang tahunnya yang ke 24 tahun. Akan tetapi, dirinya tidak pernah menyangka bahwa ada kamera tersembunyi yang sengaja dipasang disana. Jadi selama ini, dia diuntit oleh seseorang yang bisa jadi itu adalah Jeffry.

Anne melangkah masuk ke dalam rumahnya. Dan seperti yang ia duga. Rumahnya itu sudah dalam kondisi gelap. Hanya ada lampu dapur yang bersinar terang memenuhi satu ruangan. Menandakan bahwa suami serta sang putri sudah berada di alam mimpi mereka masing-masing. Selalu seperti ini. Tidak ada tatap muka, apalagi obrolan saat Anne pulang kerja. Wanita yang rambutnya sudah melebihi bahu itu, hanya bisa bernapas pasrah. Mencoba mengerti dengan posisi Jeffry yang pasti sama sibuknya dengan Anne.

Menghiraukan pikiran negatifnya, Anne pergi menuju dapur untuk mematikan lampu yang menyala sejak beberapa jam yang lalu. Namun matanya menangkap segelas susu hangat yang terletak di atas meja makan. Susu yang selalu Jeffry siapkan setiap dirinya tidak bisa menemani Anne saat pulang kerja. Wanita itu kemudian mengambil secarik kertas berwarna merah muda yang terletak di samping gelas bening itu. Dan kertas tersebut bertuliskan.

’Minumlah sampai habis. Maaf, tidak bisa menemanimu. Anggap susu ini adalah aku yang bisa membuat hatimu tenang. Love you<3’

Bibir semerah cherry itu pun mengambang tipis saat membaca kalimat dari Jeffry yang terdengar sangat romantis. Namun sekali lagi, perasaan Anne tidak enak. Apalagi saat memandangi segelas susu tersebut.

Setelah semua yang terjadi hari ini. Dari obat tidur yang tidak pernah Anne konsumsi sedikit pun, sampai kamera tersembunyi yang ada pada bola mata boneka pemberian Jeffry. Membuat Anne mulai mencurigai suaminya. Apakah perkataan sang ayah selama ini benar? Soal psikopat dan Jeffry. Apakah mereka adalah satu orang yang sama?

Anne langsung menggeleng cepat. Tidak, tidak mungkin. Ia segera menghilangkan pikiran negatif yang sejak tadi menghantui otaknya.

’Sudahlah Anne. Jeffry bukan pembunuh okay? He’s your husband. Suami yang sudah menemanimu hampir separuh hidupnya. Pantas kamu mencurigainya sebagai pembunuh?’ Batinnya.

Tanpa berbasa-basi lagi, dengan otak dan hati yang sedang berperang argumen, Anne tetap meminum susu itu dengan pelan sambil berjalan menuju tempat sampah yang terletak di ujung dapur. Bukan apa-apa, ia hanya ingin membuang beberapa kantong bekas makanan yang sempat ia beli dipinggir jalan tadi.

Namun, saat Anne membuka tempat sampah tersebut. Yang ia temukan justru sebotol obat kecil terpampang jelas diantara tumpukan sampah lainnya. Dan Anne bisa yakin, itu adalah obat tidur dalam bentuk cair yang sengaja dibuang disana. Anne sangat syok dan terkejut. Benar saja, wanita itu langsung berlari menuju westafel dan memuntahkan susu yang sempat ia minum barusan.

Demi Tuhan. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

—jaemtigabelas

bagian lima puluh enam; ruang rahasia

🔞

“Jeff. Kamu disitu?” Tanya Anne sambil sedikit membuka pintu kerja suaminya.

Jeffry tersenyum manis, “Iya aku disini.”

Anne lalu masuk ke dalam ruang kerja Jeffry. Menghampiri lelaki jangkung itu yang sedang sibuk memberesken tumpukan berkas kerjanya.

“Ada apa, hm?” Tanya Jeffry dengan raut wajah yang sedikit lelah. Anne merasa kasihan pada suaminya, ini pasti karena kerjaan lelaki itu yang sangat banyak. Sehingga Jeffry tidak memiliki waktu untuk beristirahat.

Anne melihat sekeliling. Ruangan kerja Jeffry didominasikan oleh rak buku yang berjejer memenuhi dinding ruangan. Jeffry sangat menyukai ruangan ini. Anne sampai heran saat menyadari lelaki itu jarang tidur disampingnya, melainkan tertidur di sofa ruang kerjanya ini.

“Luna nyariin kamu dari tadi. Ternyata kamu disini.” Dumel Anne pada sang suami.

Jeffry kemudian berjalan menghampiri rak buku yang ada di belakang meja kerjanya, lalu menaruh beberapa berkasnya diantara tumpukan buku yang ada disana. “Iya, habis ini aku bakal nemenin dia main. Maaf ya, kerjaan aku banyak banget. Jadi nggak ada waktu buat main sama Luna.”

Anne terdiam sejenak. Ia kemudian melirik secangkir teh yang ia buat khusus untuk suaminya tadi. Namun teh tersebut masih terlihat utuh, bahkan tidak berkurang sedikit pun. Sepertinya, Jeffry terlalu sibuk hanya untuk meminum teh hangat buatan Anne.

Wanita berambut sebahu itu kemudian menghampiri Jeffry. Memeluk punggung kekar itu dari belakang. Memeluknya sangat erat. Seperti tidak ingin sang tuan pergi barang sejengkal pun.

Menyadari perlakuan istrinya yang terlihat sedikit langka itu, Jeffry hanya terkekeh kecil. Ia sangat tahu pasti istri cantiknya ini sedang menginginkan sesuatu.

“Kenapa, hm?”

”I miss you a lot.” Jawab Anne semakin mempererat dekapannya.

Jeffry kemudian membalikkan tubuhnya menghadap Anne. Kedua tangan istrinya ia genggam dengan perasaan sayang yang menyelimut hatinya saat ini. Jeffry sedikit terduduk di atas meja kerjanya. Membelai surai hitam itu dengan perlahan. Menatap manik mata itu sangat dalam. Sudah lama mereka tidak melakukannya seperti ini. Tidak ada waktu, adalah salah satu alasannya.

”I miss you too.” Bisik Jeffry dengan suara yang sedikit serak basah.

Anne lalu melingkarkan tangannya ke leher suaminya. Ia tersenyum lebar kemudian. Cantik, pikir Jeffry. Dengan hati yang berbunga-bunga, sang wanita semakin mengikis jarak yang tercipta diantara mereka. Akan tetapi di detik selanjutnya, Jeffrey menahan kepala Anne dengan menyentuh bibirnya. Membuat Anne langsung mengernyitkan alisnya.

“Luna emang sudah tidur?” Tanya Jeffry sambil tersenyum nakal. Sebenarnya tujuannya adalah hanya ingin menggoda Anne. Supaya wanita itu marah dan kesal. Dan bingo, wanita dengan pakaian piyama itu terlihat kesal seketika.

Anne melemaskan bahunya, “Jeefffff ... iya sudah tidur. Gara-gara kamu kelamaan sibuk sama kerjaan kamu.” Cibir Anne pada sang suami.

Jeffry terkekeh pelan. Kepalanya sedikit menengadah ke atas. Mensejajarkan tatapan sang istri yang sedikit lebih tinggi darinya saat ini. ”Wanna play with me girl?”

Anne tahu kalau Jeffry sedang menggodanya saat ini. Apalagi tangan kekarnya sekarang sudah berada di daerah belakang wanita itu. Sentuhan Jeffry membuat Anne terlena, dan membuat istrinya menganggukkan kepalanya setuju.

Merasa mendapatkan lampu hijau, Jeffry memiringkan kepalanya lalu mencumbu mesra bibir ranum sang istri. Pelukan mereka semakin erat. Suara decapan pun mulai terdengar. Untung saja ruangan ini kedap suara. Sehingga tidak terdengar sampai luar saking intensnya ciuman suami-istri ini.

Detik selanjutnya, ponsel Jeffry bergetar disampingnya. Menandakan ada panggilan masuk dari nomer yang tidak dikenal. Jeffry tidak mempedulikannya. Acaranya dengan sang istri jauh lebih penting dari panggilan tersebut. Jeffry lalu membalikkan ponselnya, memposisikan layarnya yang berada dibawah sekarang.

Ciuman itu semakin panas. Mungkin mereka harus berpindah tempat agar lebih leluasa melanjutkan aktivitas malam mereka. Ya, mereka harus pindah. Karena bahaya apabila Anne berlama-lama ada didalam ruangan ini. Istrinya itu tidak tahu, bahwa ada ruangan rahasia yang tersembunyi di dalam ruang kerja Ini.

—jaemtigabelas

bagian empat puluh sembilan; balasan.

“Kamu ngapain disini?” Ujar Pak Josh yang nampak terkejut saat melihat punggung Jeffry sedang berada di depan makam seseorang yang ia kenal.

Jeffry yang mendengar suara serak berat itupun kemudian berdiri dari posisi jongkoknya. Namun ia tidak langsung berbalik. Jeffry memasok udaranya terlebih dahulu, lalu tersenyum miring, sebelum dirinya memutuskan untuk berbalik menghadap Pak Josh. Tentu dengan sorot mata polosnya.

“Aku lagi mengunjungi makam seseorang yah.” Jeffry memasukkan kedua tangannya ke saku coatnya. “Ayah kenal sama beliau?” Tanya Jeffry kemudian. Bermaksud mengarahkan pembicaraannya pada makam yang sedang ia kunjungi saat ini.

Pak Josh terdiam seketika, saat sorot matanya mengarah ke batu nisan yang bertuliskan nama sang teman. Jantungnya terasa seperti ingin jatuh ke dalam jurang yang begitu dalam. Darahnya seketika mengalir deras dari ujung kepala sampai ujung kaki. Keringat dinginnya mulai bercucuran memenuhi wajah tampannya saat ini. Rahangnya mengeras. Mulutnya seolah tertutup rapat hanya untuk menjawab pertanyaan dari menantunya tersebut.

Karena Pak Josh yang tak kunjung menjawab pertanyaannya, Jeffry kembali berbalik. Menghadap makam yang sudah dipenuhi oleh bucket bunga berwarna kuning pemberiannya.

“Soal Steff ....” Jeffry sedikit menggantungkan kalimatnya. Hati serta jantungnya seketika berdenyut sakit saat menyebutkan satu nama yang memiliki arti yang begitu mendalam baginya, “Iya ... Dia memang adikku, yah. Adik angkatku.”

“Dua belas tahun yang lalu, ayahku ingin mengadopsi seorang anak perempuan, karena ibuku yang tidak kunjung mendapatkan keturunan. Dan ketemulah Steff ini. Ayah sangat menyukai gadis lima belas tahun itu, dan langsung mengangkatnya sebagai anak ....”

“Aku dengar, Steff adalah anak yatim piatu yang punya masa lalu yang begitu tragis. Ayahnya seorang narapidana kasus pemerkosaan serta pembunuhan pada seorang publik figur yang sangat terkenal. Hingga membuat dirinya harus dihukum mati akibat kasus itu ....”

“Dan hanya berselang tiga hari dari eksekusi mati ayahnya, ibunya juga menyusul dengan cara gantung diri di dalam kamarnya. Sungguh tragis bukan, yah?” Tanya Jeffry dengan nada sedikit parau. Kepalanya mulai pening setelah menceritakan serpihan-serpihan masa lalu adik kecil yang selalu ia bangga-banggakan itu.

Pak Josh masih membisu. Ia memejamkan matanya sejenak. Buliran air mata perlahan menetes dari kelopak matanya. Meninggalkan jejak pada pipi mulusnya itu. Pecahan masa lalu itu seolah menghujam jantungnya saat ini. Masa lalu yang membuatnya sangat bersalah seumur hidup. Membuat Pak Josh selalu merasa kalau dirinya tidak pantas hidup di dunia tak abadi ini.

“Steff selalu cerita sama aku, yah ....” Jeffry menengadahkan kepalanya ke arah cakrawala yang sangat cerah. Dipenuhi oleh pepohonan rindang yang menghalangi sinar mentari yang ingin menghujam kulitnya saat ini, “Ayahnya ... adalah lelaki yang sangat baik, bertanggung jawab, pantang menyerah, dan selalu membuatnya tenang dikala pikirannya sedang kacau. Ayahnya adalah sosok yang paling sempurna di mata Steff saat itu. Tapi mungkin karena saking baiknya, beliau dijadikan kambing hitam atas perbuatan orang keji di luar sana. Orang yang tidak mau bertanggung jawab atas ulahnya, sehingga memaksa orang lain untuk menggantikannya dalam menempuh proses hukum. Semua orang seakan buta dan tuli, saat Steff dan ibunya berjuang menegakkan keadilan untuk orang tercintanya.”

Jeffry berbalik. Memandangi tubuh Pak Josh yang mulai gemetar tidak karuan. Jeffry seketika menunjukkan senyum kemenangannya. “Ayah bisa lihat sekarang. Polisi itu justru membiarkan orang bersalah hidup semena-mena. Sedangkan orang yang tidak bersalah, hidup mereka harus hancur karena ulah para polisi yang konon katanya adalah sosok yang membuat semua orang aman dan tentram.” Jeffry meringis sejenak. “Tapi nyatanya, kalimat itu adalah kalimat terkonyol yang pernah aku dengar seumur hidupku, yah ....”

“STOOOPPPPPP!” Pak Josh memekik tajam. Rahangnya semakin mengeras seiring matanya yang semakin memerah padam. “Dimana dia sekarang? DIMANA ADIKMU ITU, JEFFRY?!”

Lelaki yang surainya sudah mulai terlihat panjang itu, kemudian mendecih pelan. Sangat lucu, karena baru sekarang dirinya mendengar Pak Josh menanyai keberadaan sang adik, “Dia mungkin sudah tenang di atas sana, yah. Menyusul kedua orang tuanya yang lebih dulu meninggalkan dunia kejam ini. Tapi sayangnya, sampai sekarang aku tidak berhasil menemukan mayat Steff. Sehelai rambut pun, aku belum menemukannya.”

Jeffry mulai maju selangkah demi selangkah. Sehingga kini, jarak dirinya dengan Pak Josh hanya tersisa beberapa senti saja. Lelaki jangkung itu mendekatkan kepalanya pada telinga kanan Pak Josh. Bermaksud supaya mertuanya yang saat ini sedang gugup itu, mendengar perkataannya secara jelas.

“Entah Steff dibunuh oleh seseorang, Aku tidak akan diam saja, yah. Semua orang yang membuat hidup adikku hancur ... harus menerima balasannya.” Ujar Jeffry penuh penekanan disetiap kalimatnya.

Jeffry langsung berlalu pergi, meninggalkan ayah mertuanya seorang diri. Berdiri mematung di depan batu nisan yang bertuliskan nama teman karibnya itu. Tangan Pak Josh kemudian terkepal kuat. Mencoba untuk meredamkan amarahnya yang sudah memuncak saat ini. Pak Josh tidak begitu tahu, kalau Jeffry ternyata adalah kakak angkat dari anak temannya itu. Dan dari semua penjelasan Jeffry barusan, Pak Josh bisa menarik kesimpulan bahwa, menantunya itu ingin menghabisi dirinya.

—jaemtigabelas

bagian dua puluh delapan; terlambat.

Pak Josh yang dilanda rasa panik pun langsung berlari ke sana ke mari untuk mencari Airin yang sedang dilanda bahaya. Pak Josh yakin, ini adalah ulah psikopat gila itu. Psikopat yang mengincar kepala korbannya sejak dulu. Namun, Pak Josh tidak pernah terpikirkan jika Airin lah yang akan menjadi target korban selanjutnya.

Dengan kekuatan do’a dan strategi, Pak Josh berharap bisa menemukan posisi Airin sekarang juga. Ia memeriksa jam di ponselnya. Tiga menit sudah berlalu, dan Pak Josh belum menemukan sesuatu.

Sial, kenapa gang perumahan ini begitu gelap dan sangat membingungkan? Sudah berkali-kali Pak Josh memeriksa gang demi gang yang ada disana. Namun tetap nihil.

Ia harus bagaimana sekarang?

Memakai GPS ponsel pun percuma. Setelah mengirim pesan ancaman tersebut, dengan pintarnya sang pelaku langsung mematikan ponsel milik Airin. Sehingga Pak Josh tidak akan bisa melacak posisi kekasihnya itu.

“Ya Tuhan 4 menit.”

Pak Josh mulai panik. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun yang didapat hanyalah pepohonan rindang dan beberapa hunian rumah yang sangat sepi.

Tidak, Airin harus selamat. Mereka sudah merencanakan untuk menikah bulan depan. Bahkan, Pak Josh sudah membeli rumah yang ditujukan khusus untuk kekasih tercintanya itu. Jangan sampai ia merasa kehilangan untuk kedua kalinya.

Saat sampai di suatu gang yang sangat sepi dan gelap. Langkahan Pak Josh terhenti seketika, diikuti detak jantungnya saat ini. Raganya seolah dicabut begitu saja. Sesak, sakit, dan berdarah-darah. Apa yang harus ia lakukan? Pemandangan didepannya, seperti neraka yang siap menariknya masuk kapan saja.

Airin ada disana. Dengan posisi terkapar tidak berdaya, tepat disamping jalan yang gelap dan sepi. Wajahnya sangat pucat, dan lehernya sudah terlilit oleh benang yang sangat tajam. Sehingga darah segar mengalir dari lehernya tersebut.

Kedua kakinya melemah. Pak Josh terjatuh tepat didepan mayat kekasihnya. Buliran air mata seketika memenuhi pelupuk matanya saat ini. Ia syok, sangat syok dengan apa yang baru saja ia lihat.

“A ... Ai ....” Dengan tangan yang gemetar, Pak Josh berusaha menangkup pipi Airin yang sangat dingin.

“Bangun Ai ....” Pak Josh mulai terisak. Ia menundukkan kepalanya sambil menangis disana.

Tuhan mungkin sedang menghukumnya saat ini. Tuhan sudah mengambil Airinnya. Kebahagiaannya.

Dengan diiringi isakan tangis yang sangat menusuk, Pak Josh memeluk erat tubuh kekasihnya yang sudah menjadi mayat itu. Tubuh yang selalu ia peluk dengan hangat, tubuh yang selalu ia rindukan.

“Ai ... Kamu bilang ... Kamu bakal pulang cepat, Ai. Aku udah siapin kejutan buat kamu. Makanya bangun Ai ....” Pak Josh semakin mempererat pelukannya. Tangisannya semakin menjadi-jadi.

Tidak ada jawaban. Bahkan suara napas Airin, tidak lagi terdengar di gendang telinga Pak Josh.

“PSIKOPAT BRENGSEK!!! GUE BERANI BERSUMPAH, KALAU SUATU HARI GUE PASTI BISA NANGKEP DAN BONGKAR IDENTITAS LO. TUNGGU AJA BRENGSEK!!!” Teriak Pak Josh secara lantang.

Pak Josh tidak bisa membiarkan hal ini terjadi lagi. Psikopat gila itu ... Ia pasti akan menemukannya.

—jaemtigabelas

bagian dua puluh dua; mantra.

“Anak kamu udah gede ya, Ann. Mana cantik banget lagi. Kayak kamu,” Puji Airin sambil tersenyum kagum melihat perkembangan Luna yang semakin hari semakin terlihat cantik dan anggun.

“Ya iya lah. Cucu siapa dulu?” Disampingnya, Pak Josh sudah menampangkan wajah sombongnya.

Kini Pak Josh dan Airin sudah berada di rumah Anne. Berniat untuk menjenguk Anne yang sedang sakit. Mereka bertiga sudah duduk di ruang tamu selama sepuluh menit lamanya. Saling bercanda gurau sambil meminum secangkir teh hangat, menemani Luna yang sedang bermain boneka barbie, dan berbincang sedikit soal pekerjaan masing-masing.

“Aku nggak muji kamu.” Cibir Airin pada Pak Josh. Wanita cantik itu sedikit menggelengkan kepalanya. Terlalu bingung dengan tingkah laku kekasihnya yang semakin hari semakin menjadi-jadi.

“Oh ya, suami kamu ke mana, Ann? Belum pulang?”

Yang ditanya pun sekilas melirik jam yang terpasang di dinding. Dan Jam menunjukkan pukul enam sore, “Sebentar lagi pulang kok tan. Tadi emang lagi banyak pasien, jadi pulangnya agak telat.”

Mendengar penuturan Anne barusan, membuat Airin menatap wanita yang tak lama lagi akan menjadi anaknya itu dengan tatapan kagum, “Kamu beruntung banget sih Ann. Bisa dapet suami yang baik, ganteng, berwibawa. Anak kamu juga cantik. Kasih tahu rahasianya dong?”

Anne yang ditanya seperti itu hanya bisa membulatkan matanya. Rahasia? Rahasia apa yang dimaksud oleh wanita yang tingkat kecantikannya melebihi kecantikan dewi Hera sekalipun.

“Apasih, tan? Justru tante Airin yang jauh lebih beruntung sekarang bisa dapetin ayah aku. Ya nggak, yah?” Tanya Anne pada sang ayah sambil menaikkan sebelah alisnya nakal.

“Yoi.” Pak Josh yang baru saja dipuji sang anak pun merasa sangat senang akan hal itu.

Wanita yang kini masih berpakaian polisi itu kemudian terkekeh pelan. Pasalnya, hubungan ayah dan anak ini sangatlah dekat dan hangat. Jujur kalau Airin bisa pilih, ia ingin memiliki ayah yang sifatnya seperti Pak Josh ini. Selalu menjalani hidup dengan santai, terbuka dengan anak, sosok yang sangat cocok dijadikan wadah untuk berbagi keluh kesah. Tidak seperti ayah kandungnya yang cenderung lebih tegas, dingin, dan keras kepala.

“Yeaayyy ... ayah pulang,” Ucap Luna berlari menghampiri Jeffry yang berada di ambang pintu.

Airin mengikuti langkahan Luna pergi. Ia membalikkan badannya ke arah pintu tempat Jeffry menggendong Luna saat ini. Akan tetapi, saat melihat wajah Jeffry untuk pertama kalinya, ia merasa aneh. Seperti pernah bertemu sebelumnya.

“Loh ada ayah disini?” Tanya Jeffry kemudian sambil berjalan mendekat ke arah ruang tamu.

“Hallo Jeff. Sudah lama kita nggak ketemu.” Sapa Pak Josh sambil mengangkat tangan kanannya sedikit.

Jeffry hanya tersenyum manis lalu duduk di sofa single yang terletak di ruang tamu tersebut.

“Luna sayang. Kamu main dulu ya sama caca.” Bujuk Anne pada sang anak. Kalau penasaran, caca adalah nama boneka barbie milik Luna.

“Tapi Luna mau main sama ayah, bunda.” Rengek Luna dengan bibir yang mengerucut ke depan.

“Ayah lagi ada tamu sayang. Nanti aja ya main sama ayahnya.” Bujuk Anne lagi.

Dan detik selanjutnya, Luna pun turun dari pangkuan Jeffry dan berjalan menjauh.

“Aku bikinin kopi kesukaan kamu dulu ya.” Tawar Anne yang hanya diberi anggukan oleh sang suami. Lalu Anne pun pergi sejenak menuju dapur.

Airin masih sibuk mencerna otaknya. Hatinya tidak tenang. Seolah ada yang bergejolak di dalam dirinya. Seperti memiliki insting yang kuat pada Jeffry.

“Kamu kenapa?” Pak Josh yang menyadari keanehan Airin, langsung menggenggam tangan mulus wanita itu.

Airin menoleh ke arah Pak Josh, sambil berbisik, “Dia kok kayak anaknya—“

“Perkenalkan, nama saya Jeffry Nathanael. Anak dari Briptu Adhiyatma,” Potong Jeffry tiba-tiba.

“Ahhh kamu anaknya Pak Adhi?” Airin yang baru saja menyadari sesuatu, sontak menutup mulut dengan kedua tangannya, “Saya turut berduka cita atas kepergian kedua orang tua kamu ya, Jeff.” Ungkap Airin dengan sedih.

Jeffry tersenyum miring, “Terima kasih.”

Anne kemudian datang dengan membawa segelas kopi hitam kesukaan Jeffry. Kopi hitam yang super pahit. Anne sendiri pun terheran, mengapa suaminya suka sekali meminum kopi rasa karet ban ini.

“Padahal almarhum pernah bantuin saya bertugas beberapa minggu yang lalu. Kamu pernah aku ceritain kan soal perampok yang nyerang ibu-ibu. Itu Briptu Adhi yang bantuin aku.” Jelas Airin pada Pak Josh.

Jeffry hanya diam. Wajahnya tenang dan datar. Tidak sedih, dan juga tidak senang. Seolah tidak merasa kehilangan sama sekali dengan kepergian kedua orang tuanya. Namun sayangnya, tidak ada seorang pun yang menyadari hal tersebut.

“Silahkan diminum teh hangatnya.” Yang bisa Jeffry lakukan hanya mempersilahkan kedua tamu tersebut untuk meneguk kembali teh yang sudah tinggal setengah gelas lagi.

Disaat Jeffry meneguk kopi panasnya dengan nikmat, ia sedikit melirik ke arah Airin dan Pak Josh. Mereka berdua sedang bercanda gurau dengan Anne, istrinya. Entah membahas apa, Jeffry seakan tuli. Tapi yang jelas, sosok iblis yang ada pada dirinya saat ini sedang membisikkan sebuah mantra. Mantra yang menyuruhnya untuk melenyapkan salah satu di antara keduanya.

—jaemtigabelas

bagian satu; Jaket.

“Maaf. Gue lama ya?” Tanya Joey, sambil berjalan mendekat ke arah lelaki yang sedang menggendong seorang bayi.

Hendra yang berwajah kecut itu pun memandang malas Joey. Sudah cukup 20 menit ia dipermalukan oleh para tamu penting yang datang ke perusahaan Nagara. Kurang lebih sebanyak sepuluh orang yang menertawakannya secara diam-diam, karena melihat Hendra sedang menggendong seorang bayi yang tengah memakai busana serba pink, serta bando pita berukuran sedang melingkar di kepala mulusnya.

Sungguh, Hendra ingin pergi saja dari tempat terkutuk ini.

“Nungguin lu keluar kayak lagi nunggu korut berubah jadi negara kapitalis tahu nggak?” Ejek Hendra kemudian. Terlihat wajahnya yang sudah mulai memerah. Entah akibat memendam rasa malu, atau memendam amarahnya. Atau mungkin, keduanya.

Joey mencibir tanpa suara. Dari pada ia harus mendengar omelan seorang OB yang ada di depannya ini. Joey segera mengambil bayi Jovanka dari gendongan Hendra. “Tapi hebat loh. Anak gue nggak nangis waktu digendong sama lo. Coba kalau ayahnya yang gendong, nangis terus dia.”

Lelaki bareface itu hanya mengedikkan bahunya. Kepalanya terangkat sedikit, seolah ingin menyombongkan diri, “Ya iyalah. Orang yang gendong 11 12 sama Justin Bieber gini.”

Plaaaakkkk...

Pukulan kecil mengenai lengan Hendra. Joey tergelak pelan sambil sedikit menggelengkan kepalanya. Setelah memastikan bayi Jovanka sudah aman di gendongannya, Joey lalu berbalik. Sempat mencari keberadaan suaminya, dan akhirnya ketemu. Lelaki yang dicintainya itu, saat ini sedang berbincang dengan seseorang. Yang Joey yakini adalah dewan direktur perusahaan ini.

“Mau gue anter ke sana?” Tanya Hendra, membuat Joey kembali membalikkan badannya.

Joey sedikit merucutkan bibirnya, nampak berpikir sejenak, “Nggak usah. Emang gue anak kecil apa pakai dianter segala?”

“Lah.... Emang anak kecil kan? Lihat aja sekarang tinggi lu.” Ejek Hendra lagi.

Wanita yang sudah menyandang sebagai seorang ibu itu menghela napasnya panjang. Kalau saja Joey bisa, pasti tangannya sudah mendarat ke wajah menyebalkan itu. Tapi apa daya. Tangannya sudah dipakai untuk menopang tubuh kecil Jovanka.

“Udah ah, gue nggak mau berantem. Mending gue pergi dari sini.” Joey setengah berbalik, “Thanks ya Hen. Dadah om gilaaaa.”

Senyuman wanita itu merekah lebar. Tangannya mengayunkan tangan mungil Jovanka. Menyuruh sang anak untuk melambaikan tangannya pada Hendra juga. Namun, melihat senyuman manis dibibir Joey, membuat Hendra lupa dengan segalanya. Akal sehatnya seketika hilang. Jantungnya kembali berpacu cepat. Waktu seakan terhenti. Hanya memandangi punggung Joey perlahan menjauh dari pandangannya, Hendra merasa, raganya juga menghilang saat itu juga.

Hendra menggeleng cepat. Tidak, ini salah. Jangan seperti ini, Hen. Joey sudah punya kebahagiaannya sendiri. Hendra pun sama. Meskipun yang ia alami selama ini hanya terjebak dengan perasaan yang semu.

Tunggu, perasaan semu?

Braakkk...

Disaat Hendra berbalik. Lelaki jangkung itu tidak sengaja menabrak seorang gadis yang sedang membawa segelas kopi hangat ditangannya. Alhasil, kopi tersebut tumpah ke kemeja gadis tersebut.

“Sorry... Nggak sengaja.”

“HENDRAAAAAAA!!!!” Pekik gadis pemilik nama lengkap Karin Ranjani itu.


Karena kesalahan yang baru saja ia perbuat. Hendra berakhir disini. Berdiri di depan toilet wanita sambil menyenderkan punggungnya di dinding ber marmer tersebut. Sebenarnya, Rendy sudah mengamuk dari tadi. Mengamuk karena Hendra tidak kunjung datang untuk membenarkan AC ruangannya. Ia tidak peduli. Amukan seorang Rendy bagi Hendra, seperti amukan kucing. Yang hanya perlu dilihat tanpa perlu melakukan apa-apa.

Hanya berselang lima belas menit Hendra menunggu. Karin akhirnya keluar dari toilet tersebut sambil mengibas-ngibaskan bercak kecoklatan yang ada di kemeja biru mudanya. Gadis dengan rambut tergelombang ke bawah itu, seketika menatap Hendra dengan aura mematikannya.

“Kalau mau balik lihat-lihat dulu kek. Main asal balik badan aja. Lihat nih... kemeja kesayangan gue udah nggak berbentuk lagi.” Omel Karin dengan nada penuh kesal.

“Ya maaf sih. Gue juga nggak tahu kalau ada lu di belakang gue tadi.” Balas Hendra dengan tatapan menyesalnya.

Wajah Karin masih merengut. Ia masih sibuk mengibas-ngibaskan kemejanya. Berharap noda kopi tersebut menghilang dari kemeja yang ia beli dengan harga hampir sama dengan harga satu buah motor. “Gimana nih? Mana sepuluh menit lagi gue ada meeting penting.”

Melihat Karin yang masih nampak kesal, Hendra kemudian melepaskan jaket yang ia kenakan sejak tadi. Lalu menaruhnya di kedua bahu Karin. “Nih... Pakai ini dulu.”

Karin sekilas melirik jaket tersebut. Sedikit heran, saat lelaki yang dimatanya suka jahil, memberikan sebuah jaket padanya. Karin lalu menjauhkan jaket itu dari bahunya, dan mengembalikan jaket tersebut ke pemiliknya. “Ini jaket kulit, Hendra. Ya kali gue pakai ini waktu meeting? Bisa-bisa gue diomelin sama atasan.”

“Neng. Meskipun ini jaket kulit, setidaknya bercak kopi di kemeja lu itu nggak kelihatan. Lu mau meeting, apa cosplay jadi spg kopi?”

Nah kan, Hendra kembali menjadi lelaki yang sangat menyebalkan. Kalimat lelaki itu, sukses membuat Karin ingin segera mencabut bibir pedas itu sekarang juga.

“Nggak usah, hen. Gue mau pinjam blazernya Sonya aja nanti.” Karin masih bersih kukuh untuk tidak memakai jaket kulit berwarna hitam pekat itu. Memakai jaket kulit waktu meeting dengan dewan direksi? Oh ayolah, ia tidak ingin didepak dari perusahaan yang sudah ia abdikan selama empat tahun lamanya.

Disaat Karin ingin pergi dari hadapan Hendra, lelaki OB itu menahan lengan Karin. “Nggak ada waktu buat cari pinjaman Blazer. Gue lihat Sonya hari ini nggak pakai blazer ke kantor. Udah deh jangan ngeyel. Pakai!” Tegas Hendra.

“Cewek kalau nggak cantik, setidaknya rapi. Soalnya, kebanyakan orang bisa menilai kepribadian lu, ya dari penampilan lu sendiri. Kalau lu nggak mau dianggap jelek, benerin dulu penampilan lu.” Imbuhnya. Entah datang dari mana semua kalimat itu. Hendra hanya reflek berbicara seperti itu.

Mendengar penuturan Hendra, Karin menurut. Gadis itu dengan polosnya memakai jaket kulit milik Hendra. Membiarkan jaket hitam itu membalut tubuh langsingnya. Karin sudah tidak punya waktu lagi. Sudah lima menit waktunya terbuang hanya untuk mendebatkan hal yang tidak penting dengan Hendra.

Merasa ada bau yang aneh, Karin mengendus-endus jaket Hendra dengan alis yang berkerut, “Jaket lo udah dicuci belum sih? Bau banget.”

Hendra hanya tergelak pelan, lalu mulai melangkah pergi sambil berkata, “Udah sebulan nggak dicuci.”

Mata Karin seketika membulat sempurna. Saking terkejutnya, bola matanya hampir terlepas. Mulutnya menganga lebar. Mungkin setelah ini, Karin akan menghabiskan satu botol parfum jo malone miliknya.

—jaemtigabelas

bagian delapan ; Ending.

Setelah melalui mimpi yang sangat panjang, akhirnya Joey bisa membuka matanya. Ini adalah mimpi terburuk yang belum pernah Joey alami sebelumnya. Bagaimana tidak, dirinya sedang berdiri sendirian di tengah halaman yang sangat luas dan gersang. Tidak ada seorang pun disana, hanya ada angin yang berhembus sangat kencang. Joey sudah berlari kesana-kemari untuk menemukan jalan keluar, namun hasilnya nihil. Ia masih terus terjebak di sana.

Sampai pada akhirnya, ada suara yang tiba-tiba memanggil namanya. Suara yang terdengar serak dan berat. Seperti suara Nagara, suaminya. Suara yang meminta Joey untuk kembali dan pergi dari sana. Dan setelah itu, semua menjadi gelap gulita.

Suara tangisan bayi sempat mengganggu pendengarannya saat ini. Joey mengerjapkan matanya perlahan. Dimana dirinya sekarang?

“Syukurlah, kamu sudah bangun.” Nagara disana. Sedang berdiri di dekat jendela rumah sakit, sambil menggendong seorang bayi.

Joey masih belum bisa mencerna pikirannya. Ia lalu mengusap perutnya. Joey masih ingat kalau perutnya itu masih membesar. Tapi tunggu... kenapa perutnya tiba-tiba mengecil? Kemana bayinya itu pergi?

“Mas... Anak kita....” Joey mulai panik. Ia mencoba untuk bangun, meskipun kepalanya masih sangat pusing. Mungkin, efek dari dua hari koma.

Nagara tersenyum tipis. Senyuman yang membuat kadar kerinduannya meningkat. Joey sangat bersyukur, akhirnya ia bisa melihat senyuman itu lagi.

“Anak kita perempuan, Joey.”

Lelaki pemiliki suara berat itu kemudian mendekat, memberikan bayi lucu itu pada Joey. Wanita itu masih tidak menyangka. Anaknya... Anak yang selama ini ia perjuangkan. Anak yang membuat dirinya sempat mati suri selama beberapa detik. Darah dagingnya.

Joey masih gelagapan. Tangannya gemetar hebat. Meskipun ia sebenarnya sudah tahu tata cara menggendong bayi dengan benar, tapi tetap saja, Joey merasa gugup. Tapi anehnya, bayi itu langsung diam saat berada dipelukan Joey. Tatapan bayinya kosong. Menerawang lurus ke arah obsidian pekat yang mulai berair itu.

“Jovanka.”

Joey mengangkat kepalanya. Memandangi Nagara yang tengah duduk di tepi kasur. “Jovanka Orlin Pradipa. Itu namanya. Gadis pemberian dari Tuhan yang akan selalu berkilau dalam cahaya keemasan.”

Joey kembali memandangi sang buah hati. Perasaannya tidak dapat didefinisikan. Bahagia. Dirinya sangat bahagia. Melihat suami serta anaknya ada di depan matanya saat ini. Tidak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaannya tersebut.

“Hai Jovanka. Ini bunda, sayang.” Ujar Joey lembut. Pandangannya tidak lepas dari sang anak. “Matanya mirip kamu, mas.”

Nagara tersenyum, membenarkan kalimat istrinya barusan. “Saya panggil dokter dulu ya.”

Melihat sang suami ingin beranjak, Joey segera menahannya. Lengan Nagara ia genggam dengan erat, seolah melarang lelaki itu untuk pergi dari pandangannya.

“Joey...”

“Jangan pergi.” Suara Joey bergetar. Entah, ia juga bingung kenapa dirinya tiba-tiba berubah menjadi mellow begini. Tapi, Joey masih takut.

Melihat istrinya mulai terisak. Nagara kembali duduk. “Heiii... kenapa nangis? Saya nggak kemana-mana, Joey. Saya cuma mau panggil dokter buat pastiin kondisi kamu.”

Joey menggelengkan kepalanya. Kini, sorot mata wanita itu menangkap wajah suaminya. Mata yang sudah basah dan memerah. “Mas. Kali ini, aku nggak ngebolehin kamu pergi. Aku takut... aku takut kalau kamu nggak bakal balik lagi kayak kemarin. Aku nungguin kamu mas. Dua minggu aku nungguin kamu pulang. Tapi apa yang aku dapat? Justru pintu yang masih tertutup rapat. Tiap malam, aku nungguin kamu di ruang tamu, mas. Nungguin kapan kamu bakal buka pintu, terus nunjukin senyuman kamu sambil peluk aku. Kamu sadar nggak sih, mas?”

Nagara tidak bergeming. Ia menundukkan kepalanya. Joey, wanita itu akhirnya baru bisa mengungkap isi hatinya tentang penantian tidak berujungnya. Sekarang, di depan Nagara. Joey menceritakannya dengan air mata yang mengalir. Seolah air mata tersebut adalah saksi dari penderitaannya selama ini.

“Maaf... maafin saya Joey.” Hanya kalimat maaf yang sanggup Nagara ucapkan saat ini. Dari ribuan kalimat yang ingin lelaki itu katakan, hanya kalimat maaf yang berani terucap.

“Kenapa, mas?” Joey berusaha menghentikan tangisannya. Tatapannya yang sangat tajam, membuat Nagara takut untuk membuka mulutnya dan mulai berbicara. “Aku salah apa, sampai mas mutusin buat pisah sama aku?”

Lelaki bertengkuk tegas itu memejamkan matanya. Joey membahas surat cerai itu. Surat cerai yang baru saja ia kirim tadi pagi. Dimana surat itu? Nagara ingin membakar surat bencana itu sekarang juga.

“Bukan salah kamu, Joey. Ini salah saya yang terlalu pengecut buat kamu.”

“Kalau ini soal Hendra... Kamu salah paham, mas.” Potong Joey cepat. Seolah ia bisa membaca pikiran lelaki yang tengah duduk di depannya itu.

Joey kemudian menggenggam tangan kekar suaminya. Tangan yang sudah lama tidak ia pegang. Biasanya, setiap malam pasti ia tertidur sambil memegang tangan Nagara. Namun sayang. Selama dirinya hamil, aktivitas berpegangan tangan itu sudah jarang dilakukan. Karena Joey selalu tertidur di kamar Hendra.

“Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Hendra. Hati aku masih sama. Masih dan akan selamanya berhenti di kamu, Mas Na.” Jelas Joey sambil tersenyum tipis. Berusaha untuk meyakinkan Nagara bahwa semua kalimat yang ia ucapkan adalah murni dari relung hatinya yang paling dalam.

Mendengar itu, membuat pertahanan Nagara runtuh. Ia menangis, walau sedikit. Lelaki itu merasa tidak pantas dicintai oleh wanita sempurna seperti Joey. Lelaki yang pemikirannya kadang masih seperti kekanakan. Lelaki pengecut yang bersembunyi dibalik topeng. Itu lah yang Nagara pikirkan sekarang.

“Kali ini saya cemburu, Joey. Saya cemburu, bukan iri. Kamu selalu membutuhkan Hendra ketimbang saya. Saya juga mau mengusap perut kamu setiap waktu, merasakan tendangan anak saya dan cegukan dia. Saya juga mau temenin kamu tidur disetiap malam kamu. Dan saya juga mau jadi orang pertama yang kamu ceritakan soal anak kita, Joey. Saya ini suami kamu, bukan musuh kamu.”

Ya Tuhan. Hati Joey langsung berdenyut sakit. Melihat Nagara menangis, adalah hal yang paling ia tidak sukai di dunia ini. Suaminya itu terkenal tegas dan sedikit sadis dikalangan orang-orang. Tapi lihat sekarang. Di depan istrinya, lelaki sadis ini seolah menjelma menjadi anak kucing yang sedang kehilangan induknya.

“Mas... kamu mau tahu kenapa aku selalu butuhin Hendra dimasa-masa kehamilan aku?”

Nagara mengangguk pelan. Andai saja Hendra ada disini. Mungkin lelaki itu akan tertawa lepas melihat tingkah laku bossnya yang seperti anak kecil ini.

“Aku cuma mau melindungi anak kita, mas.”

Hening. Tidak ada jawaban. Nagara masih diam. Mencoba untuk mencerna kalimat Joey barusan. Suamimu butuh penjelasan, Joey.

“Setiap aku ada didekat kamu. Yang ada di otakku cuma bayangan kamu yang lagi masukin aku, mas. Aku selalu ingin ngelakuin itu lagi, lagi, dan lagi tiap lihat kamu. Aku tahu ini bahaya buat anak kita. Makanya, aku kemana-mana selalu sama Hendra dan mulai menjaga jarak sama kamu. Aku nggak mau ada Giselle yang kedua, mas.”

Ok, Nagara. Sekarang kamu tahu alasan mengapa istrimu selalu bersama Hendra? Bukan karena Joey mempunyai rasa pada sahabatmu, melainkan dirinya sedang menyelamatkan nyawa anak kalian. Garis bawahi, menyelamatkan nyawa. Malu lah dirimu, Nagara.

BRAAGGHH

Suara bantingan pintu yang sangat keras, membuyarkan lamunan mereka. Hendra yang entah datang dari mana, berjalan cepat menghampiri Nagara. Deru napasnya memburu, seperti sengaja berlari saat menuju kesini.

”Lu... keluar. Kita perlu bicara.” Ujar lelaki OB itu tajam. Lalu keluar dari ruangan tersebut

Joey yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap Nagara dengan penuh tanda tanya.

Nagara membalasnya dengan tersenyum. ”Saya pergi dulu ya. Nggak lama kok.”

Setelah itu, Nagara beranjak dari tempatnya dan mengikuti Hendra pergi.


BUGHHH

Hantaman keras sukses mengenai wajah tampan itu. Hendra yang sudah diselimuti amarah, langsung memukul Nagara dengan sangat keras. Saking kerasnya, Nagara sampai hampir terjatuh ke bawah.

”Lu kemana aja brengsek? Bisa-bisanya disaat Joey butuh lu, lu malah pergi gitu aja.”

BUGGGHH Sekali lagi, Hendra meninju rahang Nagara. Bibir atasannya itu seketika mengluarkan darah segar. Nagara langsung mengusapnya.

”Lo juga brengsek, Hendra. Berani-beraninya lo suka sama istri gue.”

Hendra sedikit tertawa. Suara Nagara terdengar samar-samar ditelinganya karena hembusan angin kencang yang ada di rooftop. Akan tetapi, lelaki itu masih bisa menangkap inti dari kalimat Nagara.

”Udah gue duga, pasti gara-gara ini.” Lelaki yang masih berpakaian OB itu mulai mendekat sambil berkacak pinggang. ”Na, dengerin ye. Meskipun gue suka sama Joey, tapi gue nggak ada niatan sedikitpun buat ngambil dia dari lu.”

Nagara diam. Membuang pandangannya ke arah langit yang sudah didominasi cahaya mentari itu. Sebenarnya, Nagara merasa canggung sekaligus malu jika harus berhadapan dengan Hendra. Tapi apa boleh buat. Hendra adalah lelaki licik yang bisa membaca pikiran dan tingkah laku seseorang hanya dari sorot matanya saja. Jadi, setiap ada orang yang berbohong padanya. Lelaki itu pasti menyadarinya.

”Asal lu tahu aja. Selama lu nggak ada, dia selalu mikirin lu. Disaat gue nemenin Joey tidur, lu tau apa yang dia pikirin? Dia mikir, kapan lu bisa selesai sama kerjaan lu dan bisa tidur disamping dia? Disaat Joey minta gue buat ngelus perutnya, lu tau apa yang dia bilang? Dia mau tangan kekar lu yang bisa ngelus perut dia, bukan tangan gue.” Ungkap Hendra dengan suara yang sedikit meninggi. Jari telunjuknya ia arahkan ke wajah Nagara. Fyi aja, hanya Hendra yang berani melakukannya.

”Gue sadar, na. Joey bakal selamanya jadi milik lu. Gue nggak bisa ngerebut perhatian dia, disaat otak Joey dipenuhi sama nama lu doang.”

Lihatlah Nagara. Bahkan sahabatmu saja tidak berani mengambil yang bukan haknya. Joey, wanitamu. Hendra tidak sanggup merebutnya. Karena ia sadar, bahwa perasaannya akan selamanya bertepuk sebelah tangan. Hendra rela dihantui dengan perasaan semu, demi melihat dua orang yang paling ia sayang bahagia.

”Kenapa nggak dari dulu aja lu kayak gini, hah? Gue mending dipukul lu habis habisan, sampai babak belur, sampai masuk rumah sakit pun gue terima. Tapi gue nggak terima, waktu lu milih buat pergi ninggalin istri lu yang lagi berjuang buat anak kalian. Mikir pakai otak dong, jangan pakai dengkul bisanya.”

”Udah ngomelnya?” Setelah hampir dua puluh menit bungkam, Nagara akhirnya bersuara. Matanya yang menyipit akibat sinat mentari yang terik, menangkap wajah Hendra yang mulai terlihat panik.

”Udah.”

”Lo nonjok gue, hen.”

”Terus? Apa masalahnya?”

”Masalahnya, gue nggak nonjok lo sama sekali.”

Hendra seketika memeriksa tubuhnya dan meraba wajahnya yang tidak terluka sama sekali. Beda dengan Nagara. Ada sebercak keunguan di pipi mulus lelaki itu, dan tak lupa darah segar yang masih keluar dari sudut bibirnya saat ini.

Kalau Nagara bisa, ia pasti akan membunuh lelaki bajingan yang ada dihadapannya ini.


”Astaga... mas. Muka kamu kok babak belur begini?” Suara panik Joey terdengar menggelegar ke seluruh ruangan, saat menyadari wajah tampan suaminya sudah tidak berbentuk lagi.

Wanita itu sedang menyusui Jovanka, buah hati mereka. Pemandangan yang sangat indah bagi Nagara. Keluarga kecil yang selalu ia idam-idamkan sejak dulu, akhirnya terwujud sekarang. Betapa bahagianya Nagara bisa menghabiskan separuh hidupnya bersama wanita yang sangat ia cintai. Apalagi kini, mereka sudah dikaruniai oleh anak perempuan yang cantik jelita, secantik namanya. Yang kelak bisa menembus sisi gelap dengan cahaya keemasannya tersebut.

”Nggak papa. Tadi jatuh waktu turun dari tangga.” Bohong Nagara yang dibalas cibiran tidak bersuara dari Joey.

”Dok, gimana kondisi istri saya?” Nagara kini beralih pada sosok dokter yang sedari tadi berdiri disamping istrinya. Mengamati kegiatan ibu dan anak itu dengan senyuman manisnya.

”Kondisi istri anda mulai membaik pak. Kondisi jantungnya juga sudah mulai ada kemajuan. Akan tetapi, ibu Joey tetap dianjurkan makan makanan yang sehat, jangan stress, dan istirahat yang cukup ya, bu.” Jelas Dokter Fransiska sambil masih tersenyum ramah.

Dokter yang baru saja berusia 27 tahun itu segera beranjak dari sana. Namun saat berbalik, ia hampir menabrakkan diri ke arah Hendra. Untung saja Dokter Fransiska bisa menyeimbangkan tubuhnya. Kalau tidak, mungkin gadis itu akan jatuh ke pelukkan Hendra.

Jantung sang dokter tiba-tiba berdegup kencang. Sedikit cerita. Saat baru pertama kali bertemu dengan Hendra—tepatnya waktu lelaki itu menemani Joey untuk cek kandungan— Dokter Fransiska sudah merasakan gejolak aneh pada dirinya. Ia masih belum tahu gejolak apa yang ia rasakan selama ini? tapi yang jelas, tiap bertemu dengan Hendra, jantungnya akan berdetak dua kali lipat dari biasanya.

”Mau kemana dok?” Tanya Hendra membuyarkan lamunan Dokter Icha, nama panggilannya.

”Hmmmm anu... mau kembali ke ruangan.” Jawab dokter Fransiska sedikit gugup. Ia memasukkan tangannya ke saku jas dokternya. Berusaha untuk menetralkan denyut jantungnya.

Namun, bukannya kembali normal, jantungnya malah berpacu sangat cepat kali ini. Melihat senyuman maut ala Hendra yang bisa meluluhkan hati para gadis single di luar sana. Termasuk Dokter Fransiska yang terkenal gadis lugu dan polos itu.

Karena tidak ingin terlalu lama terjebak dalam suasana canggung, akhirnya Dokter Fransiska melanjutkan langkahannya dan segera pergi dari hadapan Hendra. Akan tetapi, lelaki itu justru menahan lengannya. Dan otomatis Dokter Fransiska berbalik menghadapnya.

”A... ada apa ya... pak Hendra?” Tanya gadis itu sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.

”Bikin gue jatuh cinta sama lu, bisa?”

Dan seperti yang diduga, Dokter Fransiska langsung membulatkan matanya. Ok, mungkin jantungnya sekarang sudah terbang dari sarangnya.

”Gue tahu lu suka sama gue. Maka dari itu, lu bikin gue jatuh cinta sama lu. Biar gue bisa bales perasaan lu, Icha.”

Susah payah Dokter Fransiska menelan air liurnya dan menetralkan denyut jantungnya. Tatapan Hendra sanggup membuatnya terhipnotis. Matanya sampai tidak berkedip selama sepuluh menit. Sedangkan Hendra, lelaki itu dengan brengseknya menunjukkan senyum miringnya. Oh Tuhan, bisakah ia sekali saja tidak membuat Dokter Fransiska tersiksa batin?

Diujung sana. Kedua sejoli hanya memandangi adegan itu layaknya seperti menonton film romantis. Joey dan Nagara kemudian saling menatap sambil sedikit tertawa. Mereka berdua sangat bahagia. Akhirnya, sudah tidak ada kesalah pahaman lagi diantara mereka. Nagara, Joey, dan juga Hendra. Semoga akan selamanya seperti ini. Damai dan tentram. Tidak ada lagi rasa sakit yang harus mereka lukis setelah ini.

Semoga.

—jaemtigabelas

selesai

Bagian tujuh ; Pergi dan Kembali.

Suasana yang menyelimuti sore itu amat sangat mencengkam. Siap untuk membunuh jiwa Nagara saatt itu juga. Nagara langsung terbang dari Singapura menuju Jakarta saat membaca pesan dari Hendra. Bahkan pesan tersebut belum terbalaskan. Nagara hanya membaca beberapa kalimat dan langsung memesan tiket pesawat untuk segera pulang.

Joey akan melahirkan hari ini. Itu inti dari pesan Hendra. Tapi, bukankah usia kehamilannya baru menginjak tujuh bulan?

Persetan dengan usia kehamilan. Yang Nagara pikirkan hanyalah Joey, Joey, dan Joey. Kondisi istrinya adalah alasan utama Nagara pulang, setelah hampir dua minggu ia bersembunyi.

Sial, mengapa koridor Rumah Sakit ini sangat panjang? Nagara tidak sabar untuk segera bertemu dengan istri tercintanya, dan berjuang bersama untuk melahirkan buah hati mereka.

Satu menit berlalu, akhirnya Nagara bertemu Hendra. Lelaki itu sedang berdiri di depan ruangan. Menundukkan kepalanya karena panik dengan kondisi wanita yang ada didalam ruangan tersebut.

“Dimana Joey?” Nagara langsung menanyakan keberadaan Joey pada Hendra.

“Akhirnya lu dateng juga, brengsek. Dia di dalam.” Jawab Hendra yang masih tersulut emosi.

Tidak mempedulikan emosi Hendra. Nagara segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Saat masuk, keadaan semakin mencengkam. Ada Dokter Fransiska dan beberapa perawat disana. Serta Joey. Wanita itu sedang merintih kesakitan. Istri mu sekarat, Nagara.

“Bapak nagara... Akhirnya anda datang juga.” Dokter Fransiska berjalan menghampiri Nagara.

Nagara tidak bergeming. Matanya masih tertuju pada sang istri yang sudah memakai baju rumah sakit, dan tidur terlentang di atas kasur bangsal sambil menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.

“Ada yang mau saya bicarakan, pak.” Imbuh Dokter Fransiska, membuat obsidian Nagara kini teralihkan pada wanita berpakaian medis itu.

“Sorry... Mau bicara apa dok?” Nagara mencoba untuk fokus, meskipun pikirannya sedang kacau saat ini.

“Benar seperti apa yang saya bilang kemarin. Jantung ibu Joey, mulai lemah kembali. Saya sarankan untuk melakukan operasi caesar, pak. Demi keselamatan ibu Joey, dan juga bayinya. Tapi...” Dokter Fransiska menggantungkan kalimatnya. Tersirat raut wajah ragu disana. Membuat hati Nagara semakin tidak tenang.

“Tapi apa dok?”

“Ibu Joey... tetap ingin melahirkan secara normal, pak.”

Nagara seketika menatap Joey dengan tatapan tidak menyangka. Istrinya itu masih saja keras kepala. Ini menyangkut keselamatan Joey dan juga bayinya. Nagara tidak bisa diam saja. Lelaki jangkung itu kemudian berjalan menghampiri Joey. Berdiri di samping istrinya yang susah payah mengatur deru napasnya.

“Joey...” Panggil Nagara dengan lembut. Namun tidak digubris oleh sang pemilik nama. Tangannya lalu mengusap peluh yang mengalir di sekujur wajah cantik itu. “Ini bahaya sayang. Operasi caesar saja, ya?”

Joey menggelang pelan. Ia masih tetap pada pendiriannya untuk melahirkan secara normal. Bukan apa-apa. Hanya saja, Joey merasa ia sanggup untuk melahirkan buah hatinya secara normal.

“Joey... dengerin saya....”

“Nggak mau!” Kini, wajah pucat itu menatap Nagara dengan sorot mata yang begitu tajam. “Aku bisa, mas!”

Tatapan mereka bertemu. Posisi wajah mereka sangat dekat. Nagara sampai bisa merasakan deru napas istrinya yang sedang memburu. Sakit. Itu yang dirasakan Nagara saat ini. Melihat Joey yang merintih kesakitan, Nagara seperti ingin mati saja sekarang.

“Aku yang mengandung, aku yang merasakan sakit, aku mual, aku pusing. Dan sekarang, aku yang melahirkan dia. Jadi aku berhak buat ambil keputusan!” Ujar Joey penuh dengan penekanan. Berharap suaminya itu menuruti apa yang ia mau.

Nagara tidak bisa barkata-kata lagi. Hati Joey seketika menjadi sekeras batu yang tidak bisa ditembus oleh setetes air pun. Mau tidak mau, Nagara mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

'Tidak apa-apa Nagara, Pasti ada pelangi setalah hujan, bukan?'

Nagara lalu menoleh ke arah Dokter Fransiska. Kepalanya mengangguk pelan. Menyuruh dokter cantik itu untuk melanjutkan persalinan istrinya.

Dan disinilah Nagara sekarang, menjadi orang yang paling panik sedunia. Menggenggam tangan sang istri yang sudah basah karena keringat. Hatinya bergetar mendengar teriakan kesakitan itu. Kedua kakinya seketika lemas saat itu juga.

Sudah ribuan kali Nagara memanjatkan do'a. Berharap Tuhan benar-benar mendengarkan do'anya kali ini. Dahi jenjang itu ia kecup dengan sayang. Nagara ketakutan setengah mati. Takut jika kekhawatirannya selama ini menjadi kenyataan. Ia hanya ingin anak dan istrinya selamat. Tidak lebih dari itu.

Sampai semuanya berlalu, pikiran Nagara masih kosong. Ia bahkan tidak dapat menangkap ucapan selamat dari dokter Fransiska dan para perawat disana. Teriakan istrinya yang tidak lagi terdengar. Membuat napas Nagara yang awalnya menggebu, berangsur normal seperti semula.

“Selamat. Anaknya perempuan.”

Tidak ada yang lebih membahagiakan dari keduanya, baik Joey maupun Nagara. Suara tangisan pertama yang keluar dari mulut bayi mereka, membuat mata Nagara mulai berlinang air mata.

Nagara lalu mengambil bayinya yang sudah terbalut kain putih itu dari gendongan perawat. Memeluk bayi mungil tersebut dengan penuh cinta dan sayang. Tangisan yang nyaring tidak membuat Nagara risih, melainkan membuat Nagara merasa amat sangat bahagia. Kini, ia sudah menjadi seorang ayah.

“Dok... pasien kritis.”

Sampai suara suster yang ada di ujung sana, membuyarkan lamunan Nagara. Nyawanya seolah baru saja dicabut oleh malaikat. Saat Nagara mengalihkan atensinya pada sang istri. Sosok itu memejamkan matanya.

“Ada apa?” Dokter Fransiska kembali menghampiri Joey yang sudah tidak berdaya di atas kasur bangsal.

“Jantung pasien tidak terdeteksi dok.”

Deg... Tubuh Nagara seketika lemas. Pandangannya langsung kosong. Tidak... istrinya tidak boleh pergi.

“Bapak Nagara... kami akan mengurus pasien terlebih dahulu. Bapak bisa menunggu di luar.” Ujar sang perawat kemudian mengambil bayi perempuan itu dari gendongan Nagara.

Nagara masih blank. Apa yang baru saja terjadi? Ia tidak ingin keluar dari ruangan ini. Nagara hanya ingin menemani Joey. Istrinya sedang melawan maut sekarang.

“Siapkan alat kejut jantung.” Suara dokter Fransiska membuat Nagara semakin panik.

Lelaki pemilik nama asli Abimanyu Surya Nagara itu memejamkan matanya. Kedua tangannya mulai menjambak rambutnya. Super panik dan dan super takut. Itu yang mewakilkan perasaanya saat ini.

Dokter Fransiska mulai menempel alat kejut jantung itu tepat di dada Joey.

Percobaan pertama... tidak berhasil.

Percobaan kedua... tetap tidak berhasil.

Dan percobaan ketiga...

Harapan Nagara langsung pupus, saat melihat mesin EKG tersebut masih memperlihat garis lurus. Tidak ada perubahan. Ya Tuhan, selamatkan istrinya.

“Pak. Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan istri anda.” Dokter Fransiska menghampiri Nagara dengan raut wajah menyesalnya.

Satu kalimat yang berhasil meruntuhkan Nagara saat itu. Kalimat yang terngiang dan begitu berdengung di telinganya. Kalimat yang menghancurkannya luar dan dalam.

Nagara masih berharap ini hanyalah mimpi. Joey tidak pergi. Joeynya tidak boleh pergi. Tangisan Nagara langsung pecah. Perlahan, langkahannya mendekati tubuh kaku istrinya. Selang pernapasan tidak lagi tertancap di hidungnya. Wajah yang selalu terlihat cantik itu berubah menjadi pucat. Dan bibir manis itu tidak lagi berwarna merah, melainkan berwarna abu-abu gelap.


“Mas... kamu mau bayinya perempuan atau laki-laki?”

“Apa saja. Yang penting kamu selamat, Joey.”

“Mas... aku pasti selamat. Tuhan pasti punya rencana yang baik buat kita, mas.”

“Joey... kalau misal Tuhan benar-benar mengambil kalian dari saya. Tenang saja, saya pasti akan mencari seribu cara untuk menyusul kalian.”


“J... Joey....” Nagara berusaha memanggil nama istri tercintanya, sambil terisak.

Tangan kekarnya memeluk punggung tangan Joey. Menggenggamnya erat, menciumnya, dan menempelkan tangan dingin itu ke tengkuknya. Membiarkan buliran air matanya mengenai kulit mulus Joey. Dunia Nagara semakin hancur. Setelah kehilangan seorang sahabat, kini Nagara juga harus merasakan kehilangan orang yang paling ia cintai.

“Jangan pergi... Jangan pergi sayang... Maafin aku.” Kalimat menyakitkan itu terdengar lirih.

Ini karma untuknya. Karma karena sudah meninggalkan Joey yang sedang berjuang mempertahankan buah hati mereka sendirian. Nagara, ini karma yang pantas untukmu.

“Maaf... sudah jadi suami yang nggak berguna buat kamu.”

Setelah kalimat maaf terucap dari mulutnya. Nagara merasa ada pergerakan sedikit di jari telunjuk Joey. Lelaki itu terkejut bukan main. Ini bukanlah halusinasinya saja. Nagara benar-benar merasa kalau telunjuk Joey sedikit bergerak.

“Dok... jantung pasien kembali berdetak.” Ujar salah satu perawat, membuat Nagara menangis bahagia.

Bagian enam ; Memaklumi

Tidak ada yang lebih menyakitkan dari kehilangan seorang sahabat yang sudah menemani mu selama dua tahun lebih lamanya. Dunia Nagara seakan hancur berkeping-keping. Seolah dirinya baru saja kehilangan separuh jiwanya. Senyuman Jendra yang khas, suara tawanya, tingkah lakunya yang membuat Nagara tertawa. Kini, Nagara tidak bisa melihat itu semua pada diri sahabatnya. Hanya wajah pucat, mata yang terpejam, serta tubuh yang terbujur kaku di dalam peti. Ya, Nagara melihat itu semua dengan mata telanjangnya. Hatinya semakin perih dan perih. Tidak bisa didefinisikan lagi.

Dikala Nagara sibuk dengan kesedihannya tersebut, sebuah tangan mungil tiba-tiba menggenggam tangannya. Diusapnya punggung tangan itu lembut. Sangat lembut. Nagara lalu mengangkat kepalanya. Joey, kini sedang berusaha untuk menguatkan suaminya yang tengah rapuh. Mencoba untuk tersenyum penuh arti. Senyuman yang berarti menguatkan. Bermaksud menyuruh Nagara untuk tersenyum juga, walaupun keadaan tidak mendukung saat ini.

“Mas... nggak papa ya. Jendra pasti sudah bahagia kok disana.” Suara lembut Joey terdengar jelas di telinga Nagara. Joey berusaha menenangkan suaminya. Walapun ia tahu, kalau kalimatnya tidak bisa membuat Jendra kembali hidup, dan membuat Nagara kembali bahagia seperti sedia kala.

Nagara tidak bergeming. Pandangannya kosong. Namun senyumannya tetap merekah sempurna. Sudah cukup meyakinkan Joey, bahwa suaminya itu masih terlihat kuat.

Joey kemudian menatap sekeliling. Kepalanya mulai pusing saat melihat banyak orang yang mulai berdatangan ke kediaman Jendra. Joey tidak tahu persis siapa mereka. Namun, melihat semakin banyak orang yang berdatangan, membuat dadanya mulai terasa sesak.

“Mas... kepala ku pusing. Aku keluar dulu ya.” Bisik Joey sambil mengernyitkan dahinya.

“Kamu pusing? Saya antar kamu pulang.” Ujar Nagara sambil menangkup pipi sang istri. Raut wajahnya terlihat sangat panik dengan kondisi Joey yang tengah hamil besar saat ini.

Joey menggeleng. “Nggak usah mas. Kamu disini aja. Kasihan, wali Jendra cuma kamu, mas. Aku cuma butuh udara segar kok. Nanti kalau sudah baikan, aku ke sini lagi.”

Wanita bersurai kecoklatan itu lalu berdiri dengan hati-hati. Efek kehamilannya yang sudah menginjak umur 7 bulan. Membuat Joey sangat kesulitan hanya untuk beranjak dari duduknya. Bahkan waktu berdiri pun, beban tubuhnya seakan bertambah menjadi dua kali lipat dari biasanya.

Dan detik selanjutnya, Joey pergi dari pandangan Nagara untuk mencari udara segar di halaman belakang rumah Jendra.


Sudah lebih dari tiga puluh menit Nagara menanti. Menunggu Joey yang tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Nagara mengambil ponsel dari saku jas nya, mencoba untuk menghubungi sang istri.

Tidak ada jawaban. Hanya suara operator yang terdengar disana.

Nagara mulai panik. Rasa takutnya mulai melanda. Bagaimana jika Joey tiba-tiba pingsan di tengah jalan? Bagaimana jika perutnya tiba-tiba berkontraksi tanpa sepengetahuan Nagara? Ya Tuhan, jangan sampai pikiran negatifnya itu menjadi kenyataan.

Namun, saat lelaki ber jas rapih itu memasuki halaman belakang rumah Jendra. Hatinya tiba-tiba mencelos. Ada sedikit rasa lega, saat melihat Joey sedang terduduk manis disamping Hendra. Bercanda gurau layaknya pasangan yang paling bahagia di alam Semesta ini.

Nagara sangat membenci situasi seperti ini. Tangannya terkepal kemudian. Ia marah, Ia murka. Akan tetapi, Nagara tidak bisa berbuat apa-apa. Jika lelaki yang sedang duduk disamping Joey adalah lelaki yang tidak ia kenal. Tanpa menunggu lama, Nagara pasti langsung menonjok wajah tidak bersalah itu. Tidak peduli dengan situasi disana yang sedang berduka. Jika mengenai istri tercintanya, Nagara tidak bisa diam saja.

Akan tetapi, jika lelaki itu Hendra... Nagara hanya diam. Melihat dari jauh kebahagiaan mereka yang begitu menyakiti perasaannya saat ini. Entah mengapa, jika itu Hendra... Nagara memaklumi. sekali pun lelaki itu tahu, bahwa Hendra memiliki perasaan lebih kepada istrinya.

—jaemtigabelas