bagian delapan ; Ending.
Setelah melalui mimpi yang sangat panjang, akhirnya Joey bisa membuka matanya. Ini adalah mimpi terburuk yang belum pernah Joey alami sebelumnya. Bagaimana tidak, dirinya sedang berdiri sendirian di tengah halaman yang sangat luas dan gersang. Tidak ada seorang pun disana, hanya ada angin yang berhembus sangat kencang. Joey sudah berlari kesana-kemari untuk menemukan jalan keluar, namun hasilnya nihil. Ia masih terus terjebak di sana.
Sampai pada akhirnya, ada suara yang tiba-tiba memanggil namanya. Suara yang terdengar serak dan berat. Seperti suara Nagara, suaminya. Suara yang meminta Joey untuk kembali dan pergi dari sana. Dan setelah itu, semua menjadi gelap gulita.
Suara tangisan bayi sempat mengganggu pendengarannya saat ini. Joey mengerjapkan matanya perlahan. Dimana dirinya sekarang?
“Syukurlah, kamu sudah bangun.” Nagara disana. Sedang berdiri di dekat jendela rumah sakit, sambil menggendong seorang bayi.
Joey masih belum bisa mencerna pikirannya. Ia lalu mengusap perutnya. Joey masih ingat kalau perutnya itu masih membesar. Tapi tunggu... kenapa perutnya tiba-tiba mengecil? Kemana bayinya itu pergi?
“Mas... Anak kita....” Joey mulai panik. Ia mencoba untuk bangun, meskipun kepalanya masih sangat pusing. Mungkin, efek dari dua hari koma.
Nagara tersenyum tipis. Senyuman yang membuat kadar kerinduannya meningkat. Joey sangat bersyukur, akhirnya ia bisa melihat senyuman itu lagi.
“Anak kita perempuan, Joey.”
Lelaki pemiliki suara berat itu kemudian mendekat, memberikan bayi lucu itu pada Joey. Wanita itu masih tidak menyangka. Anaknya... Anak yang selama ini ia perjuangkan. Anak yang membuat dirinya sempat mati suri selama beberapa detik. Darah dagingnya.
Joey masih gelagapan. Tangannya gemetar hebat. Meskipun ia sebenarnya sudah tahu tata cara menggendong bayi dengan benar, tapi tetap saja, Joey merasa gugup. Tapi anehnya, bayi itu langsung diam saat berada dipelukan Joey. Tatapan bayinya kosong. Menerawang lurus ke arah obsidian pekat yang mulai berair itu.
“Jovanka.”
Joey mengangkat kepalanya. Memandangi Nagara yang tengah duduk di tepi kasur. “Jovanka Orlin Pradipa. Itu namanya. Gadis pemberian dari Tuhan yang akan selalu berkilau dalam cahaya keemasan.”
Joey kembali memandangi sang buah hati. Perasaannya tidak dapat didefinisikan. Bahagia. Dirinya sangat bahagia. Melihat suami serta anaknya ada di depan matanya saat ini. Tidak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaannya tersebut.
“Hai Jovanka. Ini bunda, sayang.” Ujar Joey lembut. Pandangannya tidak lepas dari sang anak. “Matanya mirip kamu, mas.”
Nagara tersenyum, membenarkan kalimat istrinya barusan. “Saya panggil dokter dulu ya.”
Melihat sang suami ingin beranjak, Joey segera menahannya. Lengan Nagara ia genggam dengan erat, seolah melarang lelaki itu untuk pergi dari pandangannya.
“Joey...”
“Jangan pergi.” Suara Joey bergetar. Entah, ia juga bingung kenapa dirinya tiba-tiba berubah menjadi mellow begini. Tapi, Joey masih takut.
Melihat istrinya mulai terisak. Nagara kembali duduk. “Heiii... kenapa nangis? Saya nggak kemana-mana, Joey. Saya cuma mau panggil dokter buat pastiin kondisi kamu.”
Joey menggelengkan kepalanya. Kini, sorot mata wanita itu menangkap wajah suaminya. Mata yang sudah basah dan memerah. “Mas. Kali ini, aku nggak ngebolehin kamu pergi. Aku takut... aku takut kalau kamu nggak bakal balik lagi kayak kemarin. Aku nungguin kamu mas. Dua minggu aku nungguin kamu pulang. Tapi apa yang aku dapat? Justru pintu yang masih tertutup rapat. Tiap malam, aku nungguin kamu di ruang tamu, mas. Nungguin kapan kamu bakal buka pintu, terus nunjukin senyuman kamu sambil peluk aku. Kamu sadar nggak sih, mas?”
Nagara tidak bergeming. Ia menundukkan kepalanya. Joey, wanita itu akhirnya baru bisa mengungkap isi hatinya tentang penantian tidak berujungnya. Sekarang, di depan Nagara. Joey menceritakannya dengan air mata yang mengalir. Seolah air mata tersebut adalah saksi dari penderitaannya selama ini.
“Maaf... maafin saya Joey.” Hanya kalimat maaf yang sanggup Nagara ucapkan saat ini. Dari ribuan kalimat yang ingin lelaki itu katakan, hanya kalimat maaf yang berani terucap.
“Kenapa, mas?” Joey berusaha menghentikan tangisannya. Tatapannya yang sangat tajam, membuat Nagara takut untuk membuka mulutnya dan mulai berbicara. “Aku salah apa, sampai mas mutusin buat pisah sama aku?”
Lelaki bertengkuk tegas itu memejamkan matanya. Joey membahas surat cerai itu. Surat cerai yang baru saja ia kirim tadi pagi. Dimana surat itu? Nagara ingin membakar surat bencana itu sekarang juga.
“Bukan salah kamu, Joey. Ini salah saya yang terlalu pengecut buat kamu.”
“Kalau ini soal Hendra... Kamu salah paham, mas.” Potong Joey cepat. Seolah ia bisa membaca pikiran lelaki yang tengah duduk di depannya itu.
Joey kemudian menggenggam tangan kekar suaminya. Tangan yang sudah lama tidak ia pegang. Biasanya, setiap malam pasti ia tertidur sambil memegang tangan Nagara. Namun sayang. Selama dirinya hamil, aktivitas berpegangan tangan itu sudah jarang dilakukan. Karena Joey selalu tertidur di kamar Hendra.
“Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Hendra. Hati aku masih sama. Masih dan akan selamanya berhenti di kamu, Mas Na.” Jelas Joey sambil tersenyum tipis. Berusaha untuk meyakinkan Nagara bahwa semua kalimat yang ia ucapkan adalah murni dari relung hatinya yang paling dalam.
Mendengar itu, membuat pertahanan Nagara runtuh. Ia menangis, walau sedikit. Lelaki itu merasa tidak pantas dicintai oleh wanita sempurna seperti Joey. Lelaki yang pemikirannya kadang masih seperti kekanakan. Lelaki pengecut yang bersembunyi dibalik topeng. Itu lah yang Nagara pikirkan sekarang.
“Kali ini saya cemburu, Joey. Saya cemburu, bukan iri. Kamu selalu membutuhkan Hendra ketimbang saya. Saya juga mau mengusap perut kamu setiap waktu, merasakan tendangan anak saya dan cegukan dia. Saya juga mau temenin kamu tidur disetiap malam kamu. Dan saya juga mau jadi orang pertama yang kamu ceritakan soal anak kita, Joey. Saya ini suami kamu, bukan musuh kamu.”
Ya Tuhan. Hati Joey langsung berdenyut sakit. Melihat Nagara menangis, adalah hal yang paling ia tidak sukai di dunia ini. Suaminya itu terkenal tegas dan sedikit sadis dikalangan orang-orang. Tapi lihat sekarang. Di depan istrinya, lelaki sadis ini seolah menjelma menjadi anak kucing yang sedang kehilangan induknya.
“Mas... kamu mau tahu kenapa aku selalu butuhin Hendra dimasa-masa kehamilan aku?”
Nagara mengangguk pelan. Andai saja Hendra ada disini. Mungkin lelaki itu akan tertawa lepas melihat tingkah laku bossnya yang seperti anak kecil ini.
“Aku cuma mau melindungi anak kita, mas.”
Hening. Tidak ada jawaban. Nagara masih diam. Mencoba untuk mencerna kalimat Joey barusan. Suamimu butuh penjelasan, Joey.
“Setiap aku ada didekat kamu. Yang ada di otakku cuma bayangan kamu yang lagi masukin aku, mas. Aku selalu ingin ngelakuin itu lagi, lagi, dan lagi tiap lihat kamu. Aku tahu ini bahaya buat anak kita. Makanya, aku kemana-mana selalu sama Hendra dan mulai menjaga jarak sama kamu. Aku nggak mau ada Giselle yang kedua, mas.”
Ok, Nagara. Sekarang kamu tahu alasan mengapa istrimu selalu bersama Hendra? Bukan karena Joey mempunyai rasa pada sahabatmu, melainkan dirinya sedang menyelamatkan nyawa anak kalian. Garis bawahi, menyelamatkan nyawa. Malu lah dirimu, Nagara.
BRAAGGHH
Suara bantingan pintu yang sangat keras, membuyarkan lamunan mereka. Hendra yang entah datang dari mana, berjalan cepat menghampiri Nagara. Deru napasnya memburu, seperti sengaja berlari saat menuju kesini.
”Lu... keluar. Kita perlu bicara.” Ujar lelaki OB itu tajam. Lalu keluar dari ruangan tersebut
Joey yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap Nagara dengan penuh tanda tanya.
Nagara membalasnya dengan tersenyum. ”Saya pergi dulu ya. Nggak lama kok.”
Setelah itu, Nagara beranjak dari tempatnya dan mengikuti Hendra pergi.
BUGHHH
Hantaman keras sukses mengenai wajah tampan itu. Hendra yang sudah diselimuti amarah, langsung memukul Nagara dengan sangat keras. Saking kerasnya, Nagara sampai hampir terjatuh ke bawah.
”Lu kemana aja brengsek? Bisa-bisanya disaat Joey butuh lu, lu malah pergi gitu aja.”
BUGGGHH
Sekali lagi, Hendra meninju rahang Nagara. Bibir atasannya itu seketika mengluarkan darah segar. Nagara langsung mengusapnya.
”Lo juga brengsek, Hendra. Berani-beraninya lo suka sama istri gue.”
Hendra sedikit tertawa. Suara Nagara terdengar samar-samar ditelinganya karena hembusan angin kencang yang ada di rooftop. Akan tetapi, lelaki itu masih bisa menangkap inti dari kalimat Nagara.
”Udah gue duga, pasti gara-gara ini.” Lelaki yang masih berpakaian OB itu mulai mendekat sambil berkacak pinggang. ”Na, dengerin ye. Meskipun gue suka sama Joey, tapi gue nggak ada niatan sedikitpun buat ngambil dia dari lu.”
Nagara diam. Membuang pandangannya ke arah langit yang sudah didominasi cahaya mentari itu. Sebenarnya, Nagara merasa canggung sekaligus malu jika harus berhadapan dengan Hendra. Tapi apa boleh buat. Hendra adalah lelaki licik yang bisa membaca pikiran dan tingkah laku seseorang hanya dari sorot matanya saja. Jadi, setiap ada orang yang berbohong padanya. Lelaki itu pasti menyadarinya.
”Asal lu tahu aja. Selama lu nggak ada, dia selalu mikirin lu. Disaat gue nemenin Joey tidur, lu tau apa yang dia pikirin? Dia mikir, kapan lu bisa selesai sama kerjaan lu dan bisa tidur disamping dia? Disaat Joey minta gue buat ngelus perutnya, lu tau apa yang dia bilang? Dia mau tangan kekar lu yang bisa ngelus perut dia, bukan tangan gue.” Ungkap Hendra dengan suara yang sedikit meninggi. Jari telunjuknya ia arahkan ke wajah Nagara. Fyi aja, hanya Hendra yang berani melakukannya.
”Gue sadar, na. Joey bakal selamanya jadi milik lu. Gue nggak bisa ngerebut perhatian dia, disaat otak Joey dipenuhi sama nama lu doang.”
Lihatlah Nagara. Bahkan sahabatmu saja tidak berani mengambil yang bukan haknya. Joey, wanitamu. Hendra tidak sanggup merebutnya. Karena ia sadar, bahwa perasaannya akan selamanya bertepuk sebelah tangan. Hendra rela dihantui dengan perasaan semu, demi melihat dua orang yang paling ia sayang bahagia.
”Kenapa nggak dari dulu aja lu kayak gini, hah? Gue mending dipukul lu habis habisan, sampai babak belur, sampai masuk rumah sakit pun gue terima. Tapi gue nggak terima, waktu lu milih buat pergi ninggalin istri lu yang lagi berjuang buat anak kalian. Mikir pakai otak dong, jangan pakai dengkul bisanya.”
”Udah ngomelnya?” Setelah hampir dua puluh menit bungkam, Nagara akhirnya bersuara. Matanya yang menyipit akibat sinat mentari yang terik, menangkap wajah Hendra yang mulai terlihat panik.
”Udah.”
”Lo nonjok gue, hen.”
”Terus? Apa masalahnya?”
”Masalahnya, gue nggak nonjok lo sama sekali.”
Hendra seketika memeriksa tubuhnya dan meraba wajahnya yang tidak terluka sama sekali. Beda dengan Nagara. Ada sebercak keunguan di pipi mulus lelaki itu, dan tak lupa darah segar yang masih keluar dari sudut bibirnya saat ini.
Kalau Nagara bisa, ia pasti akan membunuh lelaki bajingan yang ada dihadapannya ini.
”Astaga... mas. Muka kamu kok babak belur begini?” Suara panik Joey terdengar menggelegar ke seluruh ruangan, saat menyadari wajah tampan suaminya sudah tidak berbentuk lagi.
Wanita itu sedang menyusui Jovanka, buah hati mereka. Pemandangan yang sangat indah bagi Nagara. Keluarga kecil yang selalu ia idam-idamkan sejak dulu, akhirnya terwujud sekarang. Betapa bahagianya Nagara bisa menghabiskan separuh hidupnya bersama wanita yang sangat ia cintai. Apalagi kini, mereka sudah dikaruniai oleh anak perempuan yang cantik jelita, secantik namanya. Yang kelak bisa menembus sisi gelap dengan cahaya keemasannya tersebut.
”Nggak papa. Tadi jatuh waktu turun dari tangga.” Bohong Nagara yang dibalas cibiran tidak bersuara dari Joey.
”Dok, gimana kondisi istri saya?” Nagara kini beralih pada sosok dokter yang sedari tadi berdiri disamping istrinya. Mengamati kegiatan ibu dan anak itu dengan senyuman manisnya.
”Kondisi istri anda mulai membaik pak. Kondisi jantungnya juga sudah mulai ada kemajuan. Akan tetapi, ibu Joey tetap dianjurkan makan makanan yang sehat, jangan stress, dan istirahat yang cukup ya, bu.” Jelas Dokter Fransiska sambil masih tersenyum ramah.
Dokter yang baru saja berusia 27 tahun itu segera beranjak dari sana. Namun saat berbalik, ia hampir menabrakkan diri ke arah Hendra. Untung saja Dokter Fransiska bisa menyeimbangkan tubuhnya. Kalau tidak, mungkin gadis itu akan jatuh ke pelukkan Hendra.
Jantung sang dokter tiba-tiba berdegup kencang. Sedikit cerita. Saat baru pertama kali bertemu dengan Hendra—tepatnya waktu lelaki itu menemani Joey untuk cek kandungan— Dokter Fransiska sudah merasakan gejolak aneh pada dirinya. Ia masih belum tahu gejolak apa yang ia rasakan selama ini? tapi yang jelas, tiap bertemu dengan Hendra, jantungnya akan berdetak dua kali lipat dari biasanya.
”Mau kemana dok?” Tanya Hendra membuyarkan lamunan Dokter Icha, nama panggilannya.
”Hmmmm anu... mau kembali ke ruangan.” Jawab dokter Fransiska sedikit gugup. Ia memasukkan tangannya ke saku jas dokternya. Berusaha untuk menetralkan denyut jantungnya.
Namun, bukannya kembali normal, jantungnya malah berpacu sangat cepat kali ini. Melihat senyuman maut ala Hendra yang bisa meluluhkan hati para gadis single di luar sana. Termasuk Dokter Fransiska yang terkenal gadis lugu dan polos itu.
Karena tidak ingin terlalu lama terjebak dalam suasana canggung, akhirnya Dokter Fransiska melanjutkan langkahannya dan segera pergi dari hadapan Hendra. Akan tetapi, lelaki itu justru menahan lengannya. Dan otomatis Dokter Fransiska berbalik menghadapnya.
”A... ada apa ya... pak Hendra?” Tanya gadis itu sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.
”Bikin gue jatuh cinta sama lu, bisa?”
Dan seperti yang diduga, Dokter Fransiska langsung membulatkan matanya. Ok, mungkin jantungnya sekarang sudah terbang dari sarangnya.
”Gue tahu lu suka sama gue. Maka dari itu, lu bikin gue jatuh cinta sama lu. Biar gue bisa bales perasaan lu, Icha.”
Susah payah Dokter Fransiska menelan air liurnya dan menetralkan denyut jantungnya. Tatapan Hendra sanggup membuatnya terhipnotis. Matanya sampai tidak berkedip selama sepuluh menit. Sedangkan Hendra, lelaki itu dengan brengseknya menunjukkan senyum miringnya. Oh Tuhan, bisakah ia sekali saja tidak membuat Dokter Fransiska tersiksa batin?
Diujung sana. Kedua sejoli hanya memandangi adegan itu layaknya seperti menonton film romantis. Joey dan Nagara kemudian saling menatap sambil sedikit tertawa. Mereka berdua sangat bahagia. Akhirnya, sudah tidak ada kesalah pahaman lagi diantara mereka. Nagara, Joey, dan juga Hendra. Semoga akan selamanya seperti ini. Damai dan tentram. Tidak ada lagi rasa sakit yang harus mereka lukis setelah ini.
Semoga.
—jaemtigabelas

selesai